Anda di halaman 1dari 13

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Para penulis telah mengomentari dan menambahkan bab satu sama lain. Daftar
singkatan, glosarium, peta, daftar pustaka dan wawancara, serta indeks nama pribadi,
tempat dan subjek telah disusun menjadi satu. Hummel, bekerja sama erat dengan
Telaumbanua, juga memberikan ringkasan dari seluruh penelitian dalam bahasa
Belanda.

1.4 METODOLOGI

Studi ini sebagian besar mengikuti metodologi induktif empiris43 dalam


merekonstruksi data historis dan sosiologis seobjektif mungkin. Pada tingkat yang
lebih rendah, itu bersifat deduktif, ketika menarik kesimpulan dan menawarkan
perspektif baru.
Telaumbanua mendekati materi pelajaran terutama dalam hal deskripsi dan
analisis sosiologis. Di Ch. 2 dia menggunakan cara yang lebih deskriptif, sementara
di Ch. 6 ia menggunakan pendekatan sistematis dan antropologis, untuk membahas
secara kritis cara hidup Ono Niha dalam interaksinya dengan agama Kristen. Di Ch.
7, ia menguraikan situasi saat ini dari teologi Protestan di Nias. Untuk itu ia
memusatkan perhatian pada BNKP, yang sejauh ini merupakan gereja terbesar di
Niasan. Telaumbanua kemudian membuat beberapa saran deduktif untuk teologi
kontekstual lokal di Nias dan Kepulauan Batu dalam kerangka yang lebih besar dari
perdebatan teologi kontekstual di Indonesia.
Hummel menggunakan deskripsi sejarah di seluruh babnya. Di Ch. 3 ia
menggambarkan dan menganalisis dua masyarakat misionaris Protestan secara
komparatif. Di Ch. 4 dan Ch. 5 ia merekonstruksi sejarah misi dan gereja di
kalangan Ono Niha secara lebih sistematis. Bila perlu, data sejarah disusun
secara tematis, mengikuti urutan kronologis peristiwa, dan didiskusikan secara
kritis. Baik Hummel maupun Telaumbanua sengaja lebih memilih fokus pada
mereka yang telah menjadi objek kegiatan misionaris dan budaya, dengan
memberikan perhatian yang relatif lebih besar kepada penduduk asli. Mereka
juga menghargai usaha para wanita (istri misionaris, diakones dan wanita Kristen
Niasan).

1.5 STRUKTUR STUDI

Penelitian ini memiliki delapan bab, termasuk pendahuluan dan penutup. Di Ch. 2
dan Ch. 3 gambaran umum diberikan, pertama tanah dan masyarakat Nias dan
Kepulauan Batu, setelah itu dua masyarakat misionaris yang membawa agama
Kristen ke bagian dunia ini diuraikan. Sejarah Kristenisasi, mula-mula di bawah
kepemimpinan dan pengawasan ketat para misionaris Eropa dan kemudian di
gereja-gereja independen di Nias dan Kepulauan Batu, direkonstruksi dalam Ch. 4
dan Ch. 5. Dalam Ch. 6 Rekonstruksi sejarah dilengkapi dengan deskripsi
sosiologis dan analisis interaksi antara agama Kristen dan budaya Nias di
masyarakat. Ini diikuti, di Ch. 7,

4
'lih.JABJongeneel,Filsafat, Sains, dan Teologi Misi pada Abad ke-19 dan ke-201,
2002, hlm. 175-181.

9
1.6 SUMBER

1.6.1Sumber utama

Rekening tertulis utama yang tidak diterbitkan sebagian besar berasal dari risalah,
laporan, surat dan makalah misionaris Eropa", serta gereja-gereja Niasan. Juga,
bahan-bahan utama yang diterbitkan dalam bahasa Niasan dan bahasa Indonesia,
serta publikasi Eropa seperti majalah misi menawarkan tangan pertama Para
penulis berkonsultasi dengan sumber-sumber ini dalam arsip berikut:

1. Arsip gereja Gereja Kristen Protestan (BNKP) di Gunungsitoli.


2. Arsip Seminari Teologi STT BNKP Sundermann di Gunungsitoli.
3. Arsip Kabupaten Nias.
4. Arsip Masyarakat Misionaris Rhenish di Wuppertal-Barmen.
5. Arsip Serikat Misionaris Lutheran Belanda di Amsterdam.
6. Arsip Gereja Lutheran Injili di Kerajaan Belanda di Amsterdam.
7. Arsip Dewan Misi Gereja Reformasi Belanda dan perpustakaan
Institut Hendrik Kraemer di Utrecht.

Bahan-bahan yang tidak diterbitkan, yang diberikan kepada penulis oleh mantan
misionaris, disimpan untuk wawasan di arsip Rhenish Missionary Society di
Wuppertal yang disebutkan di atas.

1.6.2 Sumber Sekunder

Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada buku yang
diterbitkan, bagian buku, artikel di majalah, serta tesis akademik yang berkaitan
dengan Nias dan Kepulauan Batu. Termasuk karya-karya yang ditulis dari sudut
pandang misionaris atau gereja (misalnya, Theodor Miiller-Kruger, Die „grofie
Reue' auf Nias, 1931, dan Ubald
M. Telaumbanua, Penginjilan dan Budaya Niasan, 1993), serta pilihan dari
perpustakaan penelitian etnografi, antropologi dan sosiologi yang sangat besar,
yang paling luar biasa di antaranya adalah karya-karya EEWG. Schroder, Nias I
dan II, 1917 (jilid pertama memuat 866 halaman uraian rinci tentang etnografi Nias
dan jilid kedua menyajikan 270 foto dan peta), Peter Suzuki, seorang keturunan
Jepang-Amerika yang melakukan penelitian di Leiden, Belanda, menghasilkan
dalam rekonstruksi sistematik agama utama Ono Niha (Sistem dan Budaya Religius
Nias, Indonesia, 1959), dan Andrew Beatty, Masyarakat dan Pertukaran di Nias,
1992, 'sebuah analisis etnografis dan kontribusi terhadap diskusi teoretis dalam
tradisi' (ibid., hal. 1), serta karya-karya Johannes M. Hammerle45,

44

Untuk evaluasi catatan tertulis misionaris selama tahun 1861 sampai 1914, lih. Maren
Führmann,Der historisch-ethnographische Aussagewert deutschsprachiger Missionsliteratur iiber
die Batak auf Sumatra and die indigene Bevolkerung von Nias, 1989.
45
Dua karya terbaru Hammerle are: Asal usul masyarakat Nias: Suatu penafsiran, 1999, danNias
— eine eigene Welt: Sagen, Mythen, Uberlieferungen, 1999.

10
Budaya Niasan, dari Bambowo La'ia46, seorang teolog dan antropolog Protestan
Niasan, dan dari Sokhi'aro W. Mendrofa47, budayawan paling terkenal di Nias dan
Kepulauan Batu.

1.6.3 Sastra Umum

Karena fokus disertasi ini adalah pada 'Injil dan budaya', beberapa literatur
teologis tentang tema ini juga telah dikonsultasikan. Sementara, tentu saja, fokus
utama di sini adalah para sarjana Indonesia, para penulis juga mengacu pada
karya-karya teolog Asia lainnya, serta Afrika, Amerika dan Eropa (lih. Bab 1.2).
Terakhir, sejumlah karya sejarah dan sosiologis dibaca untuk mendapatkan
pemahaman tentang latar belakang umum dan konteks topik ini.

1.6.4 Tradisi Lisan

Mengenai tradisi lisan, sejumlah wawancara diadakan dengan Ono Niha yang sudah
lanjut usia dan mantan misionaris Eropa atau anak-anak mereka.

46
Kajian yang paling terkenal adalah: B. La'ia, Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat
47
Desa di Nias-Indonesia, 1983.
SW Mendrofa, Boro Gotari Gotara, 1969; oleh penulis yang sama, Fondrako Ono Niha: Agama
Purba, Hukum Adat, Hikayat dan Mitologi Masyarakat Nias, 1981.

11
2 Tanah dan Penduduk Nias dan Kepulauan Batu

2.1 PERKENALAN

Untuk memahami proses interaksi dan perubahan sosial yang terjadi akibat
perjumpaan antara agama Kristen dan budaya Nias, sangat penting untuk mengenal
konteks atau 'medan misi' di satu sisi, dan juga Injil. sebagai masyarakat misionaris,
di sisi lain. Untuk mengenal daerah misionaris, seseorang perlu memiliki gambaran
yang jelas tentang letak geografis, penduduk, dan sistem religi dan budaya.
Sejalan dengan tema kajian ini, wilayah dakwah yang diuraikan di sini adalah
Nias dan Kepulauan Batu. Mayoritas penduduknya adalah suku Niasan (Ono Niha).
Mereka memiliki budaya yang unik dan kuno, dengan variasi wilayah geografis yang
berbeda di Nias Utara, Nias Selatan, Nias Timur, dan Nias Barat.' Sebelum masa
kolonial, Ono Niha telah mengatur dirinya sendiri, berdasarkan tradisi dan hukum
adat mereka(adat).Namun di bawah kolonialisme, Kepulauan Batu dihubungkan
dengan provinsi Sumatera Barat2, sedangkan Nias menjadi bagian dari Tapanuli.
Ketika Indonesia merdeka, Nias dan Kepulauan Batu digabungkan menjadi satu
wilayah yang diberi nama Kabupaten Nias.
Bab ini akan membahas masyarakat Niasan mulai dari masa pra-Kristen hingga
berakhirnya 'Orde Lama' Indonesia (1965). Perhatian tertuju pada geografi
Kabupaten Nias, penduduknya, sistem religi, hukum adat (adat),sistem sosial dan
ekonomi, serta kolonialisme dan nasionalisme sejauh mempengaruhi Ono Niha.
Bukan maksud penulis untuk memberikan rekonstruksi lengkap tentang
budaya dan agama awal, karena ini akan melampaui ruang lingkup penelitian ini,
melainkan untuk memberikan gambaran umum, berdasarkan sumber-sumber yang
tersedia. Interaksi dengan kekristenan dan perubahan sosial yang dihasilkan dari
perjumpaan ini tidak akan diuraikan secara komprehensif, karena akan dibahas
secara lengkap di Bab 6.

2.2 G E O G R A F I

Dari utara ke selatan sepanjang Pantai Barat Sumatera terdapat gugusan pulau-
pulau kecil: Simeulue, Kepulauan Banyak, Nias, Kepulauan Batu, Mentawai,
Nassau, dan Enggano. Dari pulau-pulau tersebut, Kepulauan Nias dan Batu terletak
kira-kira tujuh puluh mil dari Sumatera.3

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 2003, hal. 193. Ia menyatakan bahwa Nias dan
Kepulauan Batu merupakan satu etnik yang berbeda dengan etnik asli Indonesia lainnya. Para
ahli etnologi telah membagi lingkaran hukum adat menjadi sembilan belas wilayah. Nias dan
Kepulauan Batu digolongkan sebagai salah satu wilayah dalam lingkaran hukum adat.
2Indisch Staatsblad Nr. 104, lih. Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1921, hal. 348. Di

Tahun 1864, Kepulauan Batu menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Barat.
P.Suzuki, Survei Kritis Kajian Antropologi Nias, Mentawai dan Enggano, 1958, hal. 2. lih. kentang
goreng,Nias: Amoeata Hulo Nono Niha, 1919, hal. 1. Fries mencatat jarak antara Sumatera dan Nias
sekitar 120 km dari Singkel, Barus atau Sibolga.
12
Di bawah kekuasaan Belanda, nama `Nias' hanya digunakan untuk pulau
dengan nama yang sama, yang membentang sekitar 120 kilometer, dari Duru
Laoya di utara hingga Teluk Dalam di selatan. Lebarnya sekitar 40 kilometer, dari
Sirombu di barat hingga Foa di timur. Luas total Nias adalah sekitar 3900
kilometer persegi.4 Kepulauan Hinako di lepas pantai barat Nias dan Kepulauan
Batu di lepas pantai selatan Nias diperlakukan secara terpisah, yang pertama
dimasukkan ke dalam Karesidenan Tapanuli dan yang terakhir ke dalam Provinsi
Sumatera Barat.5
Mulai tahun 1928, Kepulauan Batu dan Hinako dimasukkan ke dalam
Kabupaten Nias (afdeeling). Ketika Indonesia merdeka, Nias, Hinako dan
Kepulauan Batu diperlakukan sebagai satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Nias terdiri dari 132 pulau yang luasnya sekitar 5.625 km2 atau 7,8 %
dari luas Provinsi Sumatera Utara, terletak antara 0° 12' dan 1° 32' Lintang Utara
dan 97° dan 98° Bujur Timur, dengan batas-batas sebagai berikut: 6

- Sebelah utara: Kepulauan Banyak, Provinsi Aceh


- Sebelah selatan: Mentawai, Provinsi Sumatera
Barat
- Di sebelah timur: Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera
Utara - Di sebelah barat: Samudera Hindia.

Pada tahun 2002, Kabupaten Nias dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu
Kabupaten Nias dengan ibu kota Gunungsitoli yang meliputi empat belas kecamatan
dan Kabupaten Nias Selatan dengan ibu kota Teluk Dalam yang mencakup delapan
kabupaten (termasuk Kepulauan Batu). .'
Nias dikelilingi oleh laut yang kaya akan sumber daya alam dan menyediakan tempat
wisata yang mengesankan, seperti pantai putih di Mo'ale dan Toyolawa, ombak unik untuk
berselancar di Lagundri, dan biota laut yang indah di Kepulauan Batu. Topografi
pedalaman Nias beragam, dari dataran hingga perbukitan, bahkan pegunungan setinggi 886
mdpl (misalnya Lolomatua di tengah Pulau Nias).8 Dataran ini hanya mencakup 24% dari
keseluruhan pulau, sedangkan bukit-bukit yang lebih rendah menutupi 28,8% dan bukit-
bukit yang lebih tinggi dan pegunungan menutupi sekitar 51,2%. Topografi ini
menyulitkan pembangunan jalan lurus dan lebar. Karena alasan ini, kota-kota utama
terletak di pesisir.

4
E. Fries, Nias: Amoeata Hulo Nono Niha, 1919, hlm. 1-2. lih. EEWG. Schroder, Nias, 1917, hal.
636. Ia mencatat luas total Pulau Nias adalah 3980 km2.
BPS Kabupaten Nias, `Nias dalam Angka 2000', 2002, hlm xii-xiii. lih. Indisch Staatsblad Nr. 104
(lih. Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1921, hal. 348). Pada tahun 1864, Nias
menjadi bagian dari residensi Tapanuli, sedangkan Kepulauan Batu dimasukkan ke dalam Westkust
Sumatra. Kemudian pada tahun 1919, Nias menjadi satu afdeeling (dipimpin oleh seorang asisten
residen) dengan Gunungsitoli sebagai ibu kotanya. Terbentuknya Nias sebagai afdeeling didasarkan
pada perspektif antropologi, karena tidak pernah ada satu kerajaan yang mampu menyatukan seluruh
Nias. Afdeeling Nias terdiri dari dua onderafdeelingen, yaitu onderafdeeling Zuid-Nias yang
beribukota di Teluk Dalam dan onderafdeeling Noord-Nias yang beribukota di Gunungsitoli. Setiap
onderafdeeling dipimpin oleh seorang controleur. Bawahan onderafdeeling ada struktur
pemerintahan lainnya, yaitu kecamatan dan kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh seorang
demang dan seorang pembantu demang. Pada bulan Desember 1928, Kepulauan Batu dimasukkan
sebagai onderafdeeling dari afdeeling Nias.
6
lih. E. Fries, Nias: Amoeata Hulo Nono Niha, 1919, hlm. 2. lih. ENI 1 (1917), hlm. 207.
Empat belas kecamatan di Kabupaten Nias adalah sebagai berikut: Gunungsitoli, Lahewa, Afulu,
Alasa, Tuhemberua, Lotu, Namiihalu-Esiwa, Hiliduho, Gido, Idanogawo, Bawolato, Lolotitu Moi,

13
Mandrehe dan Sirombu. Kabupaten Nias Selatan meliputi kabupaten berikut: Teluk Dalam, Gomo,
Lahusa, Amandraya, Lolomatua, Lolowa'u, Pulau-pulau Batu dan Hibala.
8
JT Nieuwenhuizen en HCB von Rosenberg, Het eiland Nias, 1863, hal. 24.
Sebagian besar garis pantai terdiri dari terumbu karang, dengan beberapa pantai
yang indah, meski sempit. Garis pantainya sangat tidak rata, dengan banyak tanjung
kecil (ujung) dan teluk (teluk). Teluk terpenting adalah: Teluk Sumbawa dan Teluk
Balaika di tenggara, Teluk Dalam dan Teluk Lagundri di selatan, Teluk Sirombu di
barat, Teluk Lafau di utara, dan Teluk Gunungsitoli di timur.9
Ada juga sungai di Nias, yang terpanjang adalah Muzoi, Moi, Oyo, dan Susua.
Sejak hujan turun sepanjang tahun, dengan jumlah hari hujan sekitar 273 hari
dalam setahun atau 23 hari dalam sebulan dan curah hujan rata-rata 3145,1
milimeter per tahun, struktur tanah menjadi labil, mengakibatkan banjir, tanah
longsor dan perubahan struktur tanah. dasar sungai yang sering menyebabkan
kerusakan jalan dan jembatan. Selain curah hujan, karena letaknya di daerah
khatulistiwa, Nias panas dan lembap. Suhu rata-rata antara 14,3° di pagi hari dan
30,4° di siang hari, dengan kelembapan antara 65% dan 90%. Kecepatan angin
rata-rata sekitar 5-6 knot per jam. Kondisi geografis tersebut menunjukkan bahwa
Nias dan Kepulauan Batu merupakan kepulauan yang terisolasi dengan iklim dan
topografi yang berbeda-beda.

2.3 O R A N G ORANG

2.3.1 Penduduk

Di Kabupaten NiasII, kelompok etnis terbesar terdiri dari penduduk asli Niasan, atau
Ono Niha. Ada juga beberapa kelompok etnis yang lebih kecil yang tinggal di sana,
seperti Aceh, Minangkabau, Batak, Bugis, Jawa, dan Tionghoa.12 Ono Niha percaya
bahwa nenek moyang mereka adalah manusia pertama yang tiba di Nias. Nenek
moyang ini menganggap diri mereka sebagai pemilik tanah (sotano) atau penduduk
desa (sowanua), sedangkan mereka yang datang kemudian disebut 'orang asing'
(sifatewu). Mereka belum terikat adat.13 Karena itu, anggota suku Niasan menyebut
dirinya Ono Niha, yang secara harfiah berarti 'anak manusia'. Nias dan pulau-pulau
sekitarnya disebut 'tanah orang' (Tano Niha).14
Istilah dakwah, yang menunjukkan orang yang melakukan dakwah Islam,
digunakan secara umum untuk menyebut orang non-Ono Niha (kecuali orang Eropa),
khususnya orang Aceh dan Melayu Muslim. Di masa pra-Kristen, dakwah
mengungkapkan hubungan yang kurang harmonis antara Ono Niha dengan pedagang
budak Aceh dan Melayu. Ono Niha menganggap mereka sebagai dawa dalam
pengertian Unmenschen

9
Ibid.
10
BPS Kabupaten Nias, `Nias dalam Angka 2000', 2002, hlm. vii-xii .
itIstilahKabupatenNias(KabupatenNias)menunjukkanwilayahyangmeliputiNias,KepulauanHinakodan
Kepulauan Batu.
12
JM Hammerle, Asal-usul Masyarakat Nias, 2001, hlm. 164-206. Pendeta Harnmerle percaya
bahwa kemungkinan besar beberapa leluhur Ono Niha berasal dari Tiongkok.
13
F. Zebua, Kota Gunungsitoli, 1996, hlm. 7.
14
Istilah `Nias' berasal dari orang luar (Melayu, Aceh dan Eropa); lih. Yakobus
Danandjaja, 'Ono Niha: Penduduk Pulau Nias', 1976, hal. 90. lih. BRM, 1867, hal. 110. LE Denninger
mencatat bahwa Ono Niha dalam dialek `sumbawa' adalah Nikha. Itu mungkin cara mereka
memanggil leluhur mereka Tuada Hia. Istilah Tano Niha diambil dari rano Hia (tanah Hia). Jadi Ono
Niha bisa berarti Ono Hia (anak Hia) dalam Tano Hia (tanah Hia). lih. E. Fries, Amuata Hoelo Nono
Niha, 1919, hlm. 2-4.
14
(orang biadab yang tidak berperikemanusiaan).15 Latar belakangnya adalah
masyarakat Aceh memperlakukan Ono Niha dengan cara yang tidak manusiawi (hulo
zi tenga niha), menculik mereka dan menjualnya sebagai budak.16 Jauh sebelum
perdagangan budak dimulai sekitar abad ke-1117, masyarakat Aceh telah barter
barang-barang seperti emas, kuningan, bauksit, nikel, dan berbagai jenis sutera dan
wol dengan hasil bumi Nias, seperti kelapa, unggas, dll. Perdagangan komersial
berjalan beriringan dengan interaksi budaya. istilah Aceh, seperti emas (ana'a); sutra
(sotdra), timah (simo); kuningan (laoya), digunakan dalam puisi Ono Niha tertua,
kata-kata mutiara dan peribahasa (amaedola).18
Salah satu suku bangsa yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah Nias
adalah suku Bugis, yakni suku Maru, yang bermukim di Kepulauan Hinako dan
Batu pada abad XVII. Willem L. Steinhart19, mengatakan bahwa orang Bekhua
di Kepulauan Batu dianggap sebagai pemilik tanah, yakni penduduk asli tanah
tersebut. Nenek moyang mereka disebut Maru.2° Hingga abad ke-18, masyarakat
ini masih menggunakan bahasa daerah dan tradisi Bugis dalam kehidupan sehari-
hari. Mayoritas dari mereka adalah Muslim. Namun setelah melalui proses
asimilasi yang panjang, mereka sendiri dianggap sebagai Ono Niha dan
menggunakan bahasa Niasan (Li Nono Niha).

2.3.2 Asal Usul Ono Niha

Salah satu sumber yang sangat tua berasal dari seorang pedagang dari Persia
bernama Sulaiman. Ia datang ke Nias pada tahun 851 IKLANdan mencatat bahwa
penduduk Niyan (yaitu, Nias) memiliki banyak emas. Kelapa merupakan makanan
utama mereka. Jika salah satu dari mereka ingin menikah, dia akan diberi istri hanya
jika dia mampu membawa tengkorak musuh. Jika dia mampu membunuh dua musuh,
dia diizinkan memiliki dua istri. Jika dia mampu membunuh lima puluh musuh, dia
diizinkan memiliki lima puluh istri, dan seterusnya.21
Asal usul Ono Niha belum diklarifikasi secara memuaskan. Beberapa ahli telah
melakukan penelitian dengan menggunakan, pada dasarnya, tiga metode yang
berbeda, yaitu: metode genealogis, etnologis dan mitologis.
Ludwig E. Denninger22 menolak teori Nieuwenhuizen dan Von Rosenberg
bahwa Ono Niha adalah cabang dari Batak.23 Ia berpendapat bahwa fisiognomi,
hukum adat (adat) dan bahasa Ono Niha sangat
15
BRM,1867, hlm. 108-116.
16
Selama berabad-abad, Nias menjalin hubungan dagang dengan masyarakat Aceh, Barus, dan
Cina, serta Melayu, lih. F. Zebua, Kota Gunungsitoli, 1996, hlm. 10-11; lih. EM Loeb, Sumatra:
His History and People, 1972, hal. 135.
17
Setelah kerajaan Trumon Aceh menjadi adidaya regional, sekitar abad kesebelas, orang Aceh
mulai menculik orang Niasan di Nias untuk dijual sebagai budak. Penculikan yang dilakukan
oleh orang Aceh ini paling menyakitkan bagi Ono Niha, menciptakan istilah emali ndrawa
Ase (pencuri dan penculik Aceh). E. Fries, Nias, 1919, hlm. 126. lih. JM Hammerle, Ritus
Patung Harimau, 1996, hlm. 46. Hammerle mencatat bahwa melalui perdagangan budak, ada
banyak Ono Niha yang tinggal di Sumatera, khususnya di Padang, tetapi juga sampai ke
Penang.
18
Misalnya peribahasa berikut: Siloe Sotora, sumbolo afasi, ha sowohli zi lo In& ba zi solchi.
Pepatah ini mengungkapkan pendapat bahwa sutra begitu indah sehingga hanya orang bodoh yang
tidak menginginkannya; hanya orang bodoh yang tidak menginginkan hal-hal baik dalam hidup.
lih. B. Ama Wohada Mendrofa, `Amaedola Nono Niha', 1982, hal. 284.
19
lih. Ch. 3.5.1 dan Ch. 4.7.1.
20
WL Steinhart, Niassche Priesterlitanieen, Deel LXXIV, Eerste Stuk, hal. 20.
21
EEWG. Schröder, Nias. 1917.

15
22
lih. Ch. 3.5.1 dan Ch. 4.2.
23
JT Nieuwenhuizen dan HCB von Rosenberg, Verslag omtrent het eiland Nias en deszelfs
pemenang,1863, hlm. 1-153.
berbeda dengan suku Batak. Teorinya, sebaliknya, orang Nias awalnya berasal dari
Burma.
FM Schnitger, sebaliknya, menemukan kesamaan besar antara Ono Niha dan
Naga Khassi di Assam dalam kaitannya dengan hukum adat, penggunaan batu
megalit dan pesta babi besar (owasa). Pendapat ini didukung oleh ahli etnologi
Indonesia James Dananjaja, yang mengatakan bahwa pesta yang diadakan
sehubungan dengan pendirian batu besar di Nias itu unik, karena kurban yang
dibawakan adalah babi, bukan kerbau. Martin Thomsen24 mengkategorikan Ono
Niha sebagai suku kuno (Altvolker), yang berasal dari wilayah Asia Tenggara
China sekitar tahun 1000 Masehi. Teori ini diperkuat oleh fakta bahwa para
pemukim pertama di Nias tampaknya hidup dari pertanian, menggunakan
perkakas besi dan memakai perhiasan emas, mirip dengan yang digunakan di
Cina pada masa itu.
Berdasarkan studi fisiognomi wajah-wajah dari bagian utara dan selatan Nias,
Elio Modigliani25 berpendapat bahwa nenek moyang Ono Niha berasal dari daerah
timur laut India, tiba dalam beberapa gelombang imigrasi.
Berdasarkan kajiannya terhadap silsilah berbagai marga (mado) Niasan, Johannes
M. Hammerle26 berpendapat bahwa telah ada seratus generasi Ono Niha sejak lima
ratus tahun sebelum Masehi hingga sekarang. Mado yang berbeda tampaknya
memiliki lebih dari satu nenek moyang, yang kemudian, menurut Modigliani, akan
tiba di Nias dalam beberapa gelombang. Kajian linguistik tampaknya mendukung
teori ini, meskipun Eduard Fries27 (1877-1923) berpendapat bahwa Ono Niha
termasuk ras Melayu.28
Denninger mencatat bahwa mitos Niasan tentang leluhur Tuada Hia dan
istrinya29 mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dunia atas (dari desa
purba, bernama Teteholi Ana'a). Setelah melahirkan satu laki-laki dan satu
perempuan, mereka kembali ke dunia atas. Menurut mitos, generasi kesepuluh dari
keturunan mereka kemudian mulai menetap di bumi. Pada awalnya generasi ini
tinggal di Gomo di atas batu besar, di bawah pohon besar. Baik batu maupun
pohon yang semula berasal dari dunia atas tetap ada, namun dalam wujud tak kasat
mata yang hanya dapat dilihat oleh pendeta/pendeta (sebelum). Dalam mitos lain
tentang penciptaan dunia, penciptanya bernama Lowalangi. Dia memiliki empat
putra, yang turun ke bumi dan menjadi nenek moyang Ono Niha.
Heinrich Sundermann3° juga menyebutkan mitos penciptaan, yang menurutnya
Lowalangi, seperti manusia pertama, adalah buah dari Solambayo-nga'eu, pohon
purba, yang tumbuh di tempat pertemuan tiga puluh angin penciptaan. Manusia
pertama meninggal, tetapi dari hatinya tumbuh 'pohon kehidupan' yang disebut
pohon tora'a. Buah emas dari tora'a adalah nenek moyang sebenarnya dari Ono
Niha.31

24
lih. Ch. 5.2.5.
25
lih. Elio Modigliani, Un Viaggio a Nias, 1890.
26
JM Hammerle, Asal-usul masyarakat Nias, 2001, hlm. 208-209. Hammerle adalah seorang misionaris
Katolik Roma yang melayani di Nias.
27
lih. Ch. 4.4.1.
28
E. Fries, Amuata Hoelo Nono Niha, 1919, hlm. 52-54.
29
Ch. M. Thomsen, 'Die Sage vom Stammvater Hija: Ein Gesang aus Mittelnias', dalam: Zeitschrift fur
etnologi,104/2 (1979).
30
Cf Ch. 4.3.1.3.
31
lih. H. Sundermann, Die Psychologie des Niassers, 1887, hal. 289.

16
Mitos pohon Tora'a juga disebutkan oleh Johann W. Thomas.32 Dikatakan
memiliki tiga bunga. Bunga pertama melahirkan Lowalangi, Lature dan Nadaoya
(atau AfOkha); bunga kedua melahirkan Barasi-luluo, Baliu dan FetoalitO. Bunga
ketiga, pada awalnya, tidak menghasilkan apa-apa. Maka terjadilah perkelahian antara
Lature dan Barasi luluo atau Baliu tentang kepemilikan bunga ketiga. Mereka sepakat
bahwa siapa pun yang dapat membuat 'manusia' dari bunga itu akan menjadi pemilik
bunga itu. Lature mencoba, tetapi dia tidak berhasil. Kemudian Barasi-luluo atau
Baliu mencoba, tetapi dia hanya mampu membentuk dua tubuh, laki-laki dan
perempuan, dengan alat kelaminnya masing-masing. Kemudian Lowalangi
memerintahkan Baliu untuk mengambil angin dan meniupkannya ke mulut makhluk-
makhluk tersebut, agar mereka dapat berbicara. Nama-nama manusia tersebut adalah
Futi (perempuan) dan Tuha-Barege-dano (laki-laki). Mereka adalah penghuni dunia
ketiga. Putra mereka hidup di dunia yang berbeda, yaitu: Golu Mbanua di dunia
keempat, Tarewe Kara di dunia kelima, Hulumogia di dunia keenam, Dundru TanO
dan Saota di dunia ketujuh, dan Sirao di dunia delapan. Tanah Ono Niha diciptakan
oleh salah satu putra Sirao.
Faogoli Harefa33 juga menegaskan asal usul Ono Niha dari dunia atas (Teteholi
Ana'a) sebagai keturunan Sirao. Hia Walangi Sinada dan istrinya, leluhur pertama, telah
ditempatkan di Gomo. Ketika mereka telah turun ke bumi, mereka telah diberikan benda-
benda tertentu untuk dibawa bersama mereka, yaitu, candi (osali), rumah (omo), tongkat
pengukur (depan), takaran beras (lauru), timbangan ( fali'era), serta bibit tanaman, hewan,
perhiasan, dan gambar (adu). Hia Walangi Sinada dikatakan memiliki semua aturan dan
hukum (huku), serta standar untuk ukuran dan berat (jadi 'aya gafore, lauru, fali'era).
Ketika Hia Walangi turun ke Gomo, pulau itu condong ke selatan. Untuk
mengembalikan keseimbangan, Gozo diturunkan di Hilimaziaya (Nias Utara).
Karena membuat pulau melengkung di tengahnya, maka Daeli Sanau Talinga
kemudian turun ke Ono Waembo Idanoi (Nias Timur) dan Hulu Boro Tanotanii
putra Silogu Mbanua turun ke tepi sungai Oyo (Nias Barat). Ini membentuk
keseimbangan dan harmoni yang baik kemudian memerintah di pulau itu.34 Dari
uraian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan di antara para
peneliti mengenai asal-usul Ono Niha. Pepatah Nias mengatakan: di tempat yang
berbeda, ada tradisi yang berbeda (sambua mbanua, sambua mbuabua).35
Tampaknya masuk akal bahwa keragaman mitos menunjukkan keragaman asal,
waktu, dan tempat pemukiman di Nias dalam tahapan yang berbeda.36

32
lih. Ch. 4.3.1.1 dan 4.3.1.2; untuk mitos, lih. E. Modigliani, Un Viaggio a Nias, 1890, hlm. 614-615.
33
F. Harefa, Hikayat dan Ceritera Bangsa serta ',Mat Nias', 1939, hlm. 9-23.
34
F. Harefa, Hikayat dan Ceritera Bangsa serta Adat Nias', 1939, hlm. 17-23. lih. S. Zebua,
`Menyelusuri Sejarah Kebudayaan Ono Niha', 1984, hlm. 67-68. lih. E. Fries, Amuata Hoelo Nano
Niha, 1919, hlm. 52-53. lih. JM Hammerle, Famato Harimao, 1986, hlm. 72-74.
35

B. Laia, `Sendi-sendi Masyarakat Nias', dalam: Peninjau 1/1975 melihat kemungkinan nenek moyang
suku Nias datang dalam beberapa gelombang dan dari latar belakang yang berbeda. JM Hammerle,
Asal Usul Masyarakat Nias, 2001, menunjukkan indikasi yang ditemukan pada nama-nama keluarga
bahwa nenek moyang orang Nias berasal dari latar belakang yang berbeda: Ono Mbela, LaturedanO,
Nadaoya, Tuhangarofa, dengan suku terakhir Ono Niha, dengan Hia sebagai sosok utamanya.
36
lih. R. Subagya, Agama Asli Indonesia, 1981, hlm. 28-29. Subagya mengklasifikasikan Ono Niha di
Selatan
Nias sebagai 'suku protomelayu', mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah pendatang
pertama dari Asia Tenggara, sedangkan pemukim lain di Nias adalah 'Deuteromalay'. lih. ENI 3

17
(1919), hlm. 25. Kleiweg de Zwaan, 'De „Pontianalc" op Nias', 1912, hlm. 25-35, mengatakan
bahwa Ono Niha bukanlah ras yang homogen, melainkan campuran dari banyak unsur.
2.3.3Bahasa

Suku Ono Niha memiliki bahasanya sendiri, Li Nono Niha, yang sangat berbeda
dengan bahasa lain di daerahnya, termasuk bahasa tetangga Batak. Bahasa daerah
Ono Niha milik rumpun bahasa Melayu-Polinesia (Austronesia).37
Salah satu ciri khas Li Nono Niha yang membedakannya dengan bahasa lain di
Indonesia adalah pada akhir kata tidak ada konsonan sehingga terdengar vokal.
Selain itu, Li Nono Nihamemiliki satu vokal suara, o,yang jarang ditemukan
dalam bahasa etnis lain di Indonesia. Niasan o dalam efa atau abolo terdengar
mirip dengan bahasa Jerman ö dalam losen atau konnen, tetapi diucapkan sebagai
vokal tengah belakang tidak dibulatkan dan bukan, seperti dalam bahasa Jerman,
sebagai vokal bulat depan.38
Dua dialek Li Nono Niha yang berbeda dapat dibedakan, yang satu
ditemukan di Nias Utara dan yang lainnya di Nias Selatan. Secara umum, mereka
memiliki kosa kata yang mirip, tetapi berbeda dalam pengucapan. Namun, ada
juga beberapa contoh kata yang berbeda, seperti:

Syarat Nias SelatanNias Utara


(Standar Teluk Dalam) (Stamdard Gunungsitoli)

kepala delau / telau hogo


kelapa sikhula banio
di atas Lawa yawa
Dewa Lowalani Lowalangi
gambar / idola azu, adju adu
Siapa namamu? hata doimo? haniha doimo?

Kedua varian ini dapat dibedakan lagi menjadi sejumlah dialek, (misalnya, Hinako,
Alasa, Lahewa, dll., di utara; Gomo, Amandraya, Lahusa dan Kepulauan Batu di
selatan).
Contoh-contoh yang diberikan di atas bisa menjadi indikasi nenek moyang yang
berbeda dari Ono Niha. Perbedaan bahasa ini terkadang menimbulkan kesulitan
dalam berkomunikasi. Namun, karena interaksi yang panjang, serta pengaruh Kristen
melalui terjemahan Injil, liturgi, dan himne, yang digunakan di seluruh Kabupaten
Nias, masyarakat di selatan dapat memahami bahasa masyarakat di utara. dan
sebaliknya. Namun demikian, kesadaran akan perbedaan tersebut sering
menimbulkan tuntutan akan materi khusus untuk ibadah dan sekolah dalam dialek
Nias Selatan dan Kepulauan Batu, misalnya adanya himne yang berbeda, yang
disebut Buku Naino, di Kepulauan Batu.39

37
J. Feldman, `Nias dan Patung Tradisionalnya', dalam: Harta Karun Suku Nias, 1990, hal. 23; J.
Danandjaja, 'Ono Niha: Penduduk Pulau Nias', 1976, hal. 91.
38
lih. A.Betty,Masyarakat dan Pertukaran di Nias, 1992, hlm. 7-8.
39
Selama periode DLM di Kepulauan Batu, Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Batu
bahasa sehari-hari, khususnya Injil Matius dan Yohanes. Para misionaris juga menerjemahkan
liturgi. Namun setelah BKP melebur menjadi BNKP pada tahun 1960, secara resmi semua orang
menggunakan Alkitab dan liturgi dalam terjemahan Niasan Utara. Namun dalam praktik nyata,
para pemimpin ibadah di Kepulauan Batu menerjemahkan semua teks langsung ke dalam dialek
Batu. lih. Ch. 4.5.6.

18

Anda mungkin juga menyukai