Anda di halaman 1dari 5

Musik Liturgi

Pengantar

Berbicara tentang musik-liturgis, kita ingat akan nama-nama lain yang juga sering kita dengar
seperti: musik-gereja, musik-rohani, musik-suci. Dalam rangka mengerti kekhasan musik liturgi
baiklah lebih dahulu kita memahami arti dari istilah-istilah lain itu dan hubungannya dengan
musik-liturgis.

Jenis Musik

“Musik-gereja” atau musica eccelsiastica adalah istilah yang digunakan oleh para pengikut
Kristus atau Gereja ketika persekutuan beriman ini menyadari kekhasannya dalam
mengekspresikan iman lewat musik terutama dalam ibadat atau liturgi. Istilah ini mengacu pada
tatanan bunyi dengan melodi tertentu tanpa teks atau sesuai dengan bentuk teks yang
mengungkapkan baik isi hati umat beriman maupun ajaran dan iman Gereja. Musik ini dapat
dihasilkan dengan bantuan alat/instrumen atau/dan dengan suara penyanyi. Karena
mengungkapkan iman yang diajarkan dan dihayati oleh umat beriman maka musik Gereja
memiliki kekhasan dibandingkan dengan musik dari umat yang beragama lain meskipun
dipengaruhi juga oleh musik agama lain misalnya dari musik orang Yahudi. Musik gereja pada
umumnya adalah salah satu bentuk dari musik-religus atau musik-rohani.

Yang dimaksudkan dengan “musik-religius” (musica religiosa) atau “musik-rohani” adalah


musik yang mengungkapkan atau mengandung tema-tema rohani. Musik atau lagu rohani ini
dimiliki umat agama manapun. Bahkan ada tema musik-rohani yang umum diterima oleh umat
manapun karena bersifat universal. Baik melodi maupun teksnya mengungkapkan pengalaman
rohani yang diterima oleh orang beriman dari berbagai agama. Ketika suatu musik/lagu rohani
mengungkapkan pengalaman khusus dari umat agama tertentu, maka ia menjadi musik/lagu yang
khas misalnya lagu-rohani khas Yahudi atau khas Hindu dan Budha atau khas Kristen dan Islam.
Musik-rohani itu jadi khas Kristiani bila mengungkapkan keyakinan iman akan Kristus Tuhan
dan Penyelamat atau akan Tritunggal Mahakudus serta pokok iman lain yang diyakini orang
Kristiani. Itulah yang kita namakan secara umum musik-gereja. Di dalam lingkup Gereja sendiri,
musik-rohani dalam arti sempit berarti segala macam musik/lagu yang mengungkapkan
pengalaman rohani khas Gereja tetapi tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam perayaan-
perayaan liturgis.

Ada juga istilah “musik-suci” (musica sacra) yang pernah dipakai oleh Gereja Katolik dalam arti
segala macam musik-rohani atau musik-gereja yang digubah khusus untuk ibadat atau perayaan-
perayaan liturgis. Kini istilah yang lebih populer adalah “musik-liturgis”. Karena itu sekedar
untuk membedakan musik-suci dari musik-liturgis, menurut Gelineau (Voices and Instruments in
Christian Worship: Principles, Laws, Applications, Collegeville: The Liturgical Press, 1964)
musik-suci dalam arti tertentu mengacu pada semua macam musik yang inspirasinya atau
maksud dan tujuan serta cara membawakannya mempunyai hubungan dengan iman Gereja. Lalu
apa itu musik-liturgis dan ciri-cirinya?
Ciri-ciri Musik Liturgis

“Musik-liturgis” (khususnya melodi yg dihasilkan oleh alat-alat musik) dan “nyanyian-liturgis”


(khususnya teks atau tindakan liturgis yang diberi melodi), dapat dilagukan dengan suara dan
bunyi alat-alat musik sebagai pengiring. Baik teks maupun musik dengan melodinya yang secara
khas mengekspresikan iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang
dilakukan Allah (karya agung Allah yang menyelamatkan) dan tanggapan manusia beriman
(syukur-pujian, sembah-sujud, dan permohonan).

Kita menggunakan istilah “musik-liturgis” dan bukan “musik dalam liturgi” karena dengan
“musik-liturgis” mau digarisbawahi pandangan Gereja tentang musik sebagai bagian utuh dari
perayaan liturgi dan bukan sebagai suatu unsur luar yang dicopot dan dimasukkan ke dalam
perayaan liturgis seakan-akan suatu barang asing atau hal lain dari liturgi lalu diletakkan di
tengah perayaan liturgi.

Sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi itu merupakan doa dan bukan sekedar suatu
ekspresi seni yang jadi bahan tontonan. Memang musik-liturgi itu mesti indah dan memenuhi
persyaratan-persyaratan seni musik/nyanyian pada umumnya, namun lebih dari itu musik-liturgi
mengungkapkan doa manusia beriman. Bahkan musik atau nyanyian-liturgis sebagai doa
mempunyai nilai tinggi. Sebab musik-liturgi menggerakkan seluruh diri manusia yang menyanyi
atau yang menggunakan alat-alat musik (budi, perasaan-hati, mata, telinga, suara, tangan atau
kaki dll). Sekaligus demi harmoni dituntut kurban untuk meninggalkan diri sendiri dan
menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan tempat, dengan situasi, dengan maksud-tujuan
musik/nyanyian liturgis yaitu demi Tuhan dan sesama. Ini memang cocok dengan hakekat dari
liturgi sebagai perayaan bersama yang melibatkan banyak orang demi kepentingan umum
(kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia, bukan hanya demi diri sendiri). Oleh karena itu
Gereja mewarisi pandangan bahwa orang yang menyanyi dengan baik sebenarnya berdoa dua
kali (si bene cantat bis orat). Sekali lagi, nilai yang tinggi itu tercapai kalau ada kurban dengan
meninggalkan diri sendiri dan bersatu dengan yang lain dalam menyanyi atau bermusik demi
kepentingan bersama.

Seni Musik Liturgis

Musik-liturgis sebagai karya seni (bukan tontonan atau pertunjukan) sebenarnya membantu kita
semua sebagai peraya untuk mengarahkan seluruh diri kepada inti misteri yang dirayakan dalam
liturgi yaitu kepada Tuhan sendiri sebagai sumber segala karya seni. Oleh karena itu cara-cara
yang mengalihkan perhatian kita kepada hal lain atau kepada tokoh tertentu perlu diwaspadai.
Bisa saja kita memilih seorang artis sebagai pemazmur atau penyanyi solo tetapi ketika ia
menjalankan tugasnya tidak boleh ditonjolkan keartisannya, tetapi “fungsi liturgisnya”.
Memberikan aplaus kepada si pemazmur atau solist karena suaranya yang bagus lebih
merupakan bagian dari suatu acara panggung pertunjukan. Demikian juga pembawa homili yang
memilih dan membawakan lagu yang sedang populer di tengah atau di akhir homili (karena ada
kaitan dengan tema homili) yang langsung ditanggapi oleh umat dengan tepuk tangan meriah,
perlu dipertimbangkan apakah hal seperti itu punya fungsi atau makna liturgis. Padahal ketika
imam menyanyikan Prefasi atau Kisah Institusi dalam Doa Syukur Agung dengan suara yang
bagus tidak diberi aplaus.
Pertimbangan yang sama dapat kita pakai untuk menilai kebiasaan koor menyanyikan semua
lagu selama perayaan liturgis. Sebetulnya koor dengan dirigen yang bagus sungguh berfungsi
liturgis kalau dapat membantu semua peraya yang lain untuk menyanyi bersama dengan lebih
baik seperti atau mendekati cara koor menyanyi. Kalau dari awal sampai akhir semua nyanyian
dibawakan hanya oleh koor, meskipun semuanya sangat mempesona, sebetulnya telah
mengurangkan maknanya sebagai musik/nyanyian liturgis. Perlu ada suatu pembagian yang lebih
seimbang dalam hal ini.

Proses Menjadi Musik Liturgis

Menerima musik-liturgis sebagai doa liturgis menuntut pula kesediaan setiap peraya atau
kelompok peraya untuk menerima musik atau nyanyian yang sudah disepakati oleh Gereja untuk
dipakai di dalam perayaan-perayaan liturgi. Musik/nyanyian yang ada di dalam buku-buku
nyanyian yang diterbitkan dengan nihil obstat dan imprimatur pimpinan Gereja, dipandang
sebagai musik-liturgis. Tentu melewati proses seleksi yang dibuat oleh orang-orang yang punya
kemampuan dalam bidangnya hingga mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja. Kesempatan
terbuka bagi para komponis untuk mencipta lagu-lagu bagu yang lebih sesuai dengan rasa seni
musik orang setempat, namun untuk dipakai sebagai musik/nyanyian liturgis perlu menempuh
prosedur seleksi hingga mendapat pesetujuan resmi untuk dipakai dalam perayaan liturgi. Patut
kita puji inisitip-inisitip untuk mencipta dan menemukan lagu-lagu baru yang lebih seusai
dengan budaya setempat dan kebutuhan liturgis, misalanya dalam misa dengan “lagu-lagu
alternatif”. Akan tetapi perlu kita waspadai kecenderungan menggunakan nyanyian-nyanyian
baru itu tanpa peduli pada proses untuk “menjadi milik besama” dari Gereja, apalagi kalau yang
jadi patokan utama adalah rasa suka, tertarik, tersentuh tanpa mengindahkan persyaratan liturgis.

Kadang terjadi bahwa kita memilih musik/nyanyian tertentu untuk perayaan liturgi karena sudah
bosan dengan yang lama padahal yang baru itu belum tentu memenuhi persyaratan liturgis. Ini
tantangan buat kita: merasa bosan dengan musik/nyanyian liturgis karena terus menerus
menyanyikan yang sama (lama) atau merasa tidak tertarik, tidak suka, tidak tersentuh, tidak
tergerak. Kita cendrung tersentuh dengan yang baru. Maka serta merta kita mencari dan
membawakan musik/nyanyian baru dalam liturgi, tetapi tanpa pertimbangan atau seleksi. Dengan
demikian dapat terjadi bahwa kita menggunakan musik/nyanyian yang sebenarnya tidak
memenuhi persyaratan untuk perayaan liturgis.

Jadi bukan soal utama suka atau tidak suka, menarik atau tidak menarik, menyentuh atau tidak
menyentuh, baru atau lama tetapi apakah telah menjadi “milik bersama” dari Gereja karena
disepakati sebagai musik/nyanyian liturgis. Sebuah nyanyian atau musik diterima sebagai “milik
bersama” bukan hanya karena telah dimasukkan ke dalam buku nyanyian resmi tetapi juga
karena dilatih bersama, dinyanyikan bersama dan dipahami serta dihayati bersama maknanya
dalam perayaan.

Musik-liturgis diterima atau diakui oleh Gereja sebagai miliknya, milik persekutuan demi
kepentingan bersama (dikenal tradisi untuk tidak menulis si komponisnya dalam buku-buku
resmi nyanyian-liturgis, tetapi nama mereka ditulis dalam catatan sejarah penyusunan buku).
Perlu ada proses menjadikan musik-liturgis itu sebagai milik bersama. Dalam proses ini Gereja
melihat betapa pelunya membuat latihan untuk menguasai dan menghayati musik/nyanyian
bersama sebagai nyanyian dari hati, nayanyian yang mempengaruhi seluruh pribadi peraya. Jadi
ada proses meninggalkan diri sendiri (rasa dan keinginan pribadi atu kelompok khusus) lalu
menerima yang umum dan menjadikannya bagian atau milik pribadi demi kepentingan umum.
Ini sebuah proses yang tidak gampang, karena yang menjadi tantangan adalah kecenderungan
untuk mengutamakan rasa atau keinginan pribadi/kelompok khusus. Aspek personalnya lebih
nampak dari pada aspek liturgis (yang umum). Kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada
kepentingan umum.

Untuk memenuhi persyaratan sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi juga mesti berfungsi
liturgis dalam arti baik teks maupun lagunya sesuai dengan unsur atau tindak liturgis dalam
keseluruhan tata perayaan liturgis. Maka kita dapati nyanyian yang cocok untuk liturgi
pembaptisan tetapi tidak sesuai untuk liturgi pernikahan. Nyanyian-liturgis untuk Ekaristi juga
mesti sesuai dengan teks liturgi Ekaristi dan tindakan liturgis dalam unsur-unsur atau bagian-
bagian tertentu dari liturgi Ekaristi. Sebuah lagu pembuka tentu tidak cocok untuk kesempatan
seruan “kudus-kudus”, meskipun dari sudut kebenaran teks dan keindahan lagu tak ada cacat.
Dalam hal ini tempat liturgis lagu pembuka itu tidak cocok atau nyanyian itu tidak mempunyai
fungsi liturgis karena dinyanyikan pada saat “kudus kudus”.

Memilih Musik Liturgis

Perlu diketahui juga teks-teks liturgis mana saja yang dapat dinyanyikan (khususnya dalam
liturgi Ekaristi). Ada teks-teks baku-tetap (antara lain Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Aku
Percaya, Kudus-Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah). Nyanyian ini disebutordinarium. Ada
juga teks-teks yang dapat berubah atau bervarisi rumusannya sesuai dengan perayaan pada hari
bersangkutan dan disebutproprium (Antifon Pembuka atau Lagu Pembuka untuk mengiringi
perarakan masuk, Mazmur Tanggapan untuk menanggapi Sabda Allah yang telah dimaklumkan,
Alleluia-Bait Pengantar Injil untuk menyiapkan diri mendengarkan pemakluman Injil, Antifon
Komuni atau Lagu Komuni selama atau sesudah komuni, Nyanyian Persiapan Persembahan
untuk mengiringi perarakan bahan-bahan persembahan dan Lagu Penutup untuk mengiringi
perarakan kembali). Teks-teks ini sangat kaya dan berhubungan erat dengan tindakan liturgis,
unsur-unsur liturgis, tema perayaan, masa liturgis serta bacaan-bacaan dalam perayaan liturgi.
Suatu hal yang patut dipuji adalah kebiasan menyanyikan Mazmur Tanggapan dan Alleluia-Bait
Pengantar Injil dengan teks yang bervariasi sesuai dengan hari atau pestanya. Suatu hal yang
perlu diperhatikan adalah lagu yang sesuai dengan teks-teks antifon (Pembuka dan Komuni)
yang sebenarnya sangat kaya dan bervariasi serta biblis.

Dalam hubungan dengan teks-teks liturgi, terutama yang harus atau boleh dinyanyikan,
diharapkan agar susunannya tepat serta mudah dan indah kalau dinyanyikan. Dalam hal ini lagu
melayani teks dan bukan sebaliknya. Baiklah kita waspadai nyanyian-nyanyian yang
mengorbankan ketepatan dan kebenaran iman demi mempertahankan suatu melodi. Misalnya
lagu Bapa Kami Filipina, demi penyesuaian dengan melodinya diubahlah rumusan “jadilah
kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga” menjadi “jadilah kehendak-Mu di bumi dan di
surga”. Mengganti “seperti” dengan “dan” sebenarnya mengubah iman kita akan surga, bahwa di
surga dan di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Padahal kita percaya bahwa kehendak
Tuhan selalu terjadi di surga sedangkan di bumi tidak selalu terjadi karena ulah manusia yang
suka melawan kehendak Tuhan, maka kita mohon agar kehendak Tuhan terjadi di bumi seperti di
surga. Kalau prinsip “melodi melayani teks” diperhatikan, maka ketepatan dn kebenaran teks-
teks liturgis juga dapat lebih dijamin.

Ditulis oleh: Romo Bernardus Boli Ujan SVD (Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi
Liturgi KWI tahun 2002-2008)

Tulisan ini pernah dimuat sebagai artikel dalam Majalah Bulanan Kristiani INSPIRASI, Lentera
Yang Membebaskan, No 24, Tahun II Agustus 2006, hlm 27-29.

Anda mungkin juga menyukai