Anda di halaman 1dari 2

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dilaporkan seorang laki-laki bernama Tn.D, berusia 38 tahun yang
merupakan pasien rujukan dari RSUD Kuala Kurun dengan keluhan utama diawal masuk
instalasi gawat darurat RSUD dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, Kalimantan Tengah
tanggal 18 Mei 2017dengan yaitu nyeri dada yang disertai dengan sesak napas sejak 2 hari
SMRS dengan diagnosis STEMI antero-inferior denggan sepsis dan diabetes melitus tipe II.
Berdasarkan hasil anamnesisyang telah dilakukan, tanda dan gejala yang ditemukan
sebagai pendukung dari diagnosis dari kasus ini adalah diketahui bahwa pasien mengeluhkan
nyeri dada yang dirasakan sejak 2 hari SMRS. Nyeri dirasakan terus-menerus seperti tertindih
beban berat dan menjalar tembus ke punggung belakang bagian tengah, ke tangan, bahu dan
ulu hati. Nyeri dada baru pertama kali dirasakan. Nyeri juga disertai dengan sesak. Sesak
dirasakan terus menerus dan memberat saat pasien sedang melakukan aktivitas ringan sehari-
hari serta sering sulit tidur karena sesak memberat pada malam hari. Pasien juga
mengeluhkan apabila tidur harus menggunakan minimal 2 bantal. Keluhan lain seperti mual
(+), muntah (+), BAK dan BAB dalam batas normal.
Pada hari pertama pasien masuk perawatan, tanda-tanda vital pasien menunjukkan
hasil yaitu tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 105 x/menit kuat angkat, respirasi 26 x/menit
dan suhu 37,2 derajat Celcius. Diagnosa awal pada pasien ini adalah STEMI antero – inferior,
sepsis dan DM tipe II. Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien menderita
keluhan nyeri yang termasuk dalam kriteria angina tipikal yakni rasa tertekan/berat pada
daerah retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, bahu atau epigastrium, nyeri berlanggsung
secara persisten (>20 menit) dan disertai dengan keluhan mual, muntah, nyeri abdominal
serta sesak napas. Atas dasar terrsebut maka pasien ini dapat dimasukan kedalam pasien
kemungkinan SKA dengan gejala. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
penunjang untuk penegakan diagnosis.

Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan


laboratorium yang dilakukan pada tanggal 18 Mei 2017. Hasil yang ditunjukkan pada semua
parameter adalah dalam batas normal diantaranya leukosit 21.770/uL, eritrosit 6.150.000/uL,
trombosit 214.000/uL, creatinin 1,51, GDS 222. Dilakukan pemeriksaan ulang pada tanggal
19 Mei 2017, didapatkan hasil GDP 198, GD 2 jam PP 364, Kolesterol total 223, Trigliserida
226, Kolesterol HDL 45, Kolesterol LDL 133. Pada tanggal 20 Mei dan 21 Mei 2017
dilakukan pengecekan berkala pada GDS pasien dan didapatkan 156 dan 165. Hasil diatas
menunjukkan peningkatan kadar leukosit diatas normal. Dimana hal tersebut sesuai dengan
pernyataan beberapa penelitian yang telah membuktikan adanya kaitan antara sindrom
koroner akut dengan jumlah leukosit ataupun rasio neutrofi l limfosit. Sebagian besar
melaporkan rasio neutrofi l limfosit lebih tinggi pada pasien sindrom koroner akut (SKA)
dibandingkan yang bukan SKA ataupun kontrol orang normal. Sindrom koroner akut juga
berhubungan dengan peningkatan jumlah leukosit, neutrofi l, dan jumlah limfosit yang
rendah. Selain itu juga, hasil GDS pasien diatas juga memperkuat diagnosis bahwa pasien ini
positif menderita DM tipe 2 yang ditunjukkan dengan riwayat DM sebelumnya dan hasil
GDS lebih dari 200 serta kadar GDP lebih dari 140. Setelah pemberian pengobatan
menggunakan atorvastatin 40 mg dan metformin 500 mg serta injeksi lantus rutin 14 unit
setiap malam, hasil yang didadapkan pada hari ke 3 dan ke 4 perawatan mengalami kadar
GDS yang lebih stabil terkontrol dalam batas normal.

Selain pemeriksaan laboratorium, pada pasien ini juga telah dilakukan pemeriksaan
elektrokardiografi yang dilakukan pada tanggal 18 Mei 2017. Hasil EKG menunjukkan
adanya gambaran irama sinus takikardi, reguler, frekuensi 136 x/menit, dengan gambaran
elevasi segmen ST pada lead I, II, III, aVf, V3-V6. Hal ini dapat menyingkirkan diagnosis
banding yakni sindrom koroner akut tipe NSTEMI maupun UAP serta memperkuat diagnosis
pasien menjadi definitif sindrom koroner akut tipe STEMI. Dilihat dari lokasi elevasi segmen
ST maka kemungkinan lokasi iskemia atau infark pada pasien ini adalah pada daerah
anterolateral-inferior. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini terkait dengan diagnosis
STEMI ialah cedocard, lovenox, furosemide, bisoprolol, aspilet serta clopidogrel. Hasil EKG
pasien hari-hari berikutnya setelah terapi masih menunjukkan adanya elevasi segmen ST
terutama pada lead II, III, aVf, V3-V6, akan tetapi frekuensi heart rate telah stabil dari hari ke
hari.

Prinsip tatalaksana pada kasus STEMI ialah

Pemeriksaan penunjang lainnya yang juga dilakukan pada pasien ini adalah foto
rontgen thorax PA. Dimana hasil yang didapatkan menunjukkan adanya kesan kardiomegali
dengan efusi pleura dextra. Hasil tersebut dapat ditunjukkan dengan nilai CTR > 50% dan
sudut kostofrenikus yang tumpul. Kardiomegali pada kasus STEMI dapat terjadi akibat dari.
Selain itu juga salah satu komplikasi

Anda mungkin juga menyukai