Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

Herpes Zoster

Disusun untuk memenuhi sebagai syarat dalam mengikuti Program Pendidikan


Profesi Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Disusun oleh:
Widi Cahya Utami, S.Ked
FAB 118 015

Pembimbing:
dr. Nyoman Yudha Santosa, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKARAYA
RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
201
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Widi Cahya Utami, S.Ked

NIM : FAB 118 015

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Palangka Raya

Tahun Akademik : 2019

Judul Laporan Kasus : Herpes Zoster

Diajukan : Februari 2019

Pembimbing : dr. Nyoman Yudha Santosa, Sp. KK

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL : Februari 2019

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Materi

dr. Nyoman Yudha Santosa, Sp. KK

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya penyusunan laporan kasus yang berjudul “Herpes Zoster”  dapat diselesaikan
dengan baik. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Penulis sadar bahwa dalam proses penulisan laporan kasus ini banyak mengalami kendala,
namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan kasih dari Allah SWT
sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.
Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada pembimbing saya dr.
Nyoman Yudha Santosa, Sp. KK yang turut membimbing dan membantu saya dalam
penyusunan laporan kasus ini, serta orang tua dan teman-teman yang saya sayangi.
Demikian yang dapat penyusun sampaikan. Kiranya laporan kasus ini dapat berguna
dan membantu generasi dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswa-mahasiswi
jurusan kesehatan lain yang sedang dalam menempuh pendidikan, laporan kasus ini berguna
sebagai referensi dan sumber bacaan untuk menambah ilmu pengetahuan

Palangka Raya, Februari 2019

Widi Cahya Utami, S.Ked


FAB 118 015

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................................2
2.1 Identitas............................................................................................................................2
2.2 Anamnesa.........................................................................................................................2
2.3 Status Generalis................................................................................................................3
2.4 Status Dermatologis..........................................................................................................3
2.5 Diagnosis Banding............................................................................................................5
2.7 Diagnosis Kerja................................................................................................................5
2.8 Penatalaksanaan................................................................................................................5
2.9. Prognosis.........................................................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................6
3.1 Definisi.............................................................................................................................6
3.2 Epidemiologi....................................................................................................................6
3.3 Etiologi.............................................................................................................................7
3.4 Patofisiologi......................................................................................................................8
3.5 Gejala Klinis.....................................................................................................................9
3.6 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................10
3.7 Tatalaksana.....................................................................................................................10
3.8 Komplikasi.....................................................................................................................11
3.9 Prognosis........................................................................................................................12
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................................13
BAB V KESIMPULAN..........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lesi Herpes Zoster 4


Gambar 2 Lesi Herpes Zoster 4
Gambar 3 Patofisiologi 10
Gambar 4 Dermatom Tubuh 14

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Herpes zoster (HZ) adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa nyeri
radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang
dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis.
Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang menetap
dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. Penyebab reaktivasi tidak sepenuhnya
dimengerti tetapi diperkirakan terjadi pada kondisi gangguan imunitas selular.1
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman.
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela dan tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan
varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan host-virus.2 Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih
tua.2,3,4 Faktor risiko utama adalah disfungsi imun selular. Faktor-faktor yang berpotensi
menyebabkan reaktivasi adalah: pajanan Varicella Zoster Virus (VZV) sebelumnya (cacar
air, vaksinasi), usia lebih dari 50 tahun, keadaan imunokompromais, obat-obatan
imunosupresif, Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immune Deficiency
Syndrome  (AIDS), transplantasi sumsum tulang atau organ, keganasan, terapi steroid jangka
panjang, stres psikologis, trauma dan tindakan pembedahan.1,2
Kejadian HZ meningkat secara dramatis seiring dengan bertambahnya usia. Kira-kira 30%
populasi (1 dari 3 orang) akan mengalami HZ selama masa hidupnya bahkan pada usia 85
tahun, 50% (1 dari 2 orang) akan mengalami HZ. Insidens pada anak-anak 0,74 per 1000
orang per tahun. Insiden ini meningkat menjadi 2,5 per 1000 orang di usia 20-50 tahun (adult
age), 7 per 1000 orang di usia lebih dari 60 tahun (older adult age) dan mencapai 10 per 1000
orang per tahun di usia 80 tahun. Hampir 90% akan mengalami nyeri. Nyeri akut maupun
nyeri kronisnya dapat mengganggu kualitas hidup. Bahkan berdasarkan pengukuran derajat
nyeri dari literatur Katz J & Melzack R, nyeri akut herpes zoster berada pada derajat yang
lebih nyeri daripada nyeri melahirkan.2,3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : An. G
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 7/02/2019

2.2 Anamnesa
Anamnesis langsung dilakukan dengan orang tua pasien.
Keluhan Utama : Bintik-bintik merah di badan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
dengan keluhan 4 hari yang lalu di badan tiba-tiba muncul bintik-bintik berisi kecil berisi
cairan jernih, terasa nyeri, dan gatal. Pasien demam tidak tinggi, demam naik turun. Saat
itu pasien tidak menderita batuk, pilek, maupun diare sehingga ibu pasien hanya
memberikan parasetamol untuk menurunkan demam. Ibu pasien juga memberikan salep
yang didapatkan dari apotik sehingga bitnik-bintik tersebut terasa perih.
Pada pasien terdapat riwayat kontak dengan teman sebangkunya yang menderita varisela
dua minggu sebelum pasien mengeluhkan muncul bintik merah berair tersebut. Riwayat
imunisasi dasar lengkap namun belum pernah mendapatkan vaksin varisela. Tidak
terdapat riwayat alergi obat maupun alergi makanan. Riwayat tumbuh kembang dalam
batas normal. Riwayat nutrisi terkesan kualitas dan kuantitas kurang.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat cacar air (+) pada usia 3 tahun

Riwayat Penyakit Keluarga : Pasien mengaku bahwa tidak ada anggota keluarga yang
mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.

2
2.3 Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
Denyut nadi : 81 kali / menit, kuat angkat, reguler
Frekuensi pernapasan : 20 kali / menit, tipe torako-abdominal
Suhu :36,50C
Kepala : mesocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi siliar
(-), conjunctival bleeding (-)
Hidung : discharge (-/-), tidak ada deviasi septum, nafas cuping
hidung (-)
Mulut : bibir sianosis (-), lidah tidak kotor
Telinga : daun telinga simetris, serumen (+/+), discharge
(-/-)
Leher : tidak ada pembesaran limfonodi
Thorax dan paru : simetris, perkusi dan palpasi tidak dilakukan,
auskultasi suara dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : inspeksi dalam batas normal, perkusi dan palpasi tidak
Dilakukan.
Auskultasi S1-S2 tunggal, murmur (-/-), gallop (-/-)
Abdomen : Datar, auskultasi bising usus (+), massa (-), nyeri tekan (-),
perkusi timpani
Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time < 2 detik

2.4 Status Dermatologis


Efloresensi: Pada regio mamaria dan scapularis terdapat vesikel berukuran miliar diatas
daerah yang eritematosa, lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai
dengan letak saraf yang terinfeksi virus yaitu di T4-T5.

3
Gambar 1. Lesi Herpes Zoster

Gambar 2. Lesi Herpes Zoster

4
2.5 Diagnosis Banding
1. Herpes Zoster
2. Herpes Simpleks
3. Dermatitis Atopik

2.7 Diagnosis Kerja


Herpes Zoster

2.8 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
1. Asiklovir 20mg/kgBB, 4x400mg
2. Sanmol 10-15mg/KgBB, 3x250mg
3. Salep Mupirosin
4. Imboost Sirup

b. Non medikamentosa
1. Edukasi kepada pasien tentang penyakitnya
2. Edukasi kepada pasien tentang komplikasinya
3. Mencegah garukan pada daerah yang gatal
4. Menjaga kebersihan kulit

2.9. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus
varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan kadang--
kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf kranial
menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan segmen yang
dipersarafinya.4

3.2 Epidemiologi
Varisela dapat mengenai semua kelompok umur termasuk neonatus, tetapi hampir
sembilan puluh persen kasus mengenai anak dibawah umur 10 tahun dan terbanyak
pada umur 5-9 tahun. Di Amerika Serikat, sebelum diperkenalkan vaksin varisela
terjadi epidemi varisela tahunan setiap musim dingin dan musim semi, tercatat sekitar 4
juta kasus. Pada tahun 2000, angka kejadian varisela menurun 71%-84% sejak
diperkenalkannya vaksin varisela. Angka kesakitan dan kematian menurun terutama
pada kelompok umur 1-4 tahun. Angka kejadian varisela di Indonesia belum pernah
diteliti sedangkan berdasarkan data dari poliklinik.5
Insiden anak-anak berusia 0 hingga 14 tahun adalah 110 per 100.000 orang-tahun.
Secara umum, herpes zoster jarang terjadi pada individu yang berusia kurang dari 10
tahun dan jarang terjadi pada bayi. Semakin muda seorang anak ketika ia menderita
varicella, semakin besar kemungkinan herpes zoster akan berkembang di masa anak-
anak atau dewasa awal. Pada sekitar 2% anak-anak yang terpapar virus varicella-zoster
di dalam rahim, varicella subklinis berkembang, dan karenanya mereka berisiko terkena
herpes zoster setelah lahir. Herpes zoster dapat terjadi akibat vaksinasi varicella karena
jenis vaksin virus varicella-zoster dapat menjadi laten dan kemudian diaktifkan kembali
untuk menyebabkan herpes zoster. Dalam satu penelitian, kejadian herpes zoster di
antara penerima vaksin varicella adalah sekitar 14 kasus per 100.000 orang-tahun,
dibandingkan dengan 20 hingga 63 kasus per 100.000 orang-tahun setelah infeksi
varicella alami. Dalam penelitian lain, kejadian herpes zoster yang dikonfirmasi di
laboratorium adalah 48 kasus per 100.000 orang-tahun pada anak-anak yang
divaksinasi.6

6
3.3 Etiologi
Pada manusia, infeksi primer terjadi saat virus varisela zoster kontak dengan mukosa
saluran pernapasan atau konjungtiva. Dari tempat-tempat kontak tersebut virus lalu
menyebar ke seluruh tubuh melalui serat saraf sensoris menuju sel akar/ radiks ganglia
dorsalis dimana virus akan menjadi dorman. Alasan mengapa hanya satu akar ganglion
dorsal saja yang mengalami reaktivasi virus sementara tidak terjadi reaktivasi pada
ganglia lain masih belum jelas. Menurunya imunitas seluler diperkirakan meningkatkan
risiko aktivasi kembali dimana keadaan tersebut meningkat sesuai dengan usia.4

Reaktivasi Varicella Zoster Virus yang telah menjadi dorman, sering dalam puluhan
tahun setelah infeksi primer dalam bentuk varisela, menjadi herpes zoster. Penyebab pasti
timbulnya reaktivasi tersebut masih belum diketahui, akan tetapi mungkin penyebabnya
adalah salah satu atau kombinasi dari beberpa faktor seperti eksposur eksternal dengan
VZV, proses penyakit akut atau kronis (terutama infeksi dan keganasan), beberapa jenis
pengobatan dan stres emosional.4

Varicella Zoster Virus adalah herpes virus yang merupakan penyebab dari 2 penyakit
berbeda yaitu varisela (juga dikenal cacar air) dan herpes zoster (juga dikenal shingles/
cacar ular/ cacar api/ dompo). Varicella Zoster Virus merupakan anggota dari keluarga
Herpesviridae seperti Herpes Simplex Virus (HSV) tipe 1 dan 2, Cytomegalovirus
(CMV), Epstein-Barr Virus (EBV), Human Herpes Virus (HHV-6), Human Herpes Virus
(HHV-7) dan Human Herpes Virus 8 (HHV-8).4

Virus varisela adalah virus DNA, alphaherpesvirus dengan besar genom 125.000 bp,
berselubung/ berenvolp dan berdiameter 80-120 nm. Virus mengkode kurang lebih 70-80
protein, salah satunya enzim thymidine kinase yang rentan terhadap obat anti virus karena
memfosforilasi acyclovir sehingga dapat menghambat replikasi DNA virus. Virus
menginfeksi sel Human diploid fibroblas in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel dan
sel epidermal in vivo untuk replikasi produktif serta sel neuron. Virus varisela dapat
membentuk sel sinsitia dan menyebar secara langsung dari sel ke sel.4

Infeksi primer dengan VZV atau varisela pada umumnya ringan, merupakan penyakit
self-limiting yang biasanya ditemukan pada anak-anak ditandai dengan demam ringan dan
disertai vesikel berisi cairan yang gatal pada seluruh tubuh. Sesudah infeksi primer
varisella, VZV menetap dan laten dalam akar ganglion sensoris dorsalis. Sesudah

7
beberapa dekade, virus neurotropik ini dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan
herpes zoster.4,5

3.4 Patofisiologi
Selama perjalanan varicella, virus varicella zoster berpindah dari lesi pada
permukaan kulit dan mukosa ke ujung saraf sensoris yang bersebelahan dan diangkut
secara sentripetal melalui serabut sensorik menuju ganglia sensorik. Sel T yang terinfeksi
juga membawa virus ke ganglia sensorik secara hematogen. Di ganglia, virus tersebut
membentuk infeksi laten yang bertahan seumur hidup. Herpes zoster paling sering terjadi
pada dermatom di mana ruam varicella mencapai kepadatan tertinggi - yang diinervasi
oleh ramus pertama saraf trigeminal (oftalmikus) dan oleh ganglia sensoris spinalis dari
T1 sampai L2.
Meskipun virus laten di ganglia mempertahankan potensinya untuk infektivitas
penuh, reaktivasi bersifat sporadis dan jarang terjadi, dan virus infeksius tampaknya tidak
muncul selama fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi virus varicella zoster
laten tidak jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan penekanan kekebalan; stres
emosional; radiasi kolomna vertebra; keterlibatan tumor saraf, radix ganglion dorsalis,
atau struktur yang berdekatan; trauma lokal; manipulasi bedah tulang belakang; dan
sinusitis frontal (sebagai presipitant oftalmik zoster). Namun yang paling penting adalah
penurunan kekebalan seluler spesifik virus varicella zoster yang terjadi dengan
bertambahnya usia.
Virus varicella zoster juga dapat diaktifkan kembali tanpa menimbulkan penyakit
yang mencolok. Sejumlah kecil antigen virus yang dilepaskan selama reaktivasi tersebut
diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan kekebalan terhadap virus varicella
zoster. Ketika kekebalan seluler spesifik virus varicella zoster turun di bawah tingkat
kritis, virus yang diaktifkan kembali tidak dapat lagi dibendung. Virus bereplikasi dan
menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuron dan peradangan yang hebat,
sebuah proses yang sering disertai dengan neuralgia berat. Virus varicella zoster infeksius
kemudian menyebar secara antidromis ke saraf sensorik, menyebabkan neuritis yang
hebat, dan dilepaskan dari ujung saraf sensorik di kulit, di mana ia menghasilkan
karakteristik vesikel zoster yang bergerombol.
Penyebaran infeksi ganglionik secara proksimal di sepanjang akar saraf posterior
menuju meninges dan korda spinalis dapat menyebabkan leptomeningitis lokal,
pleocytosis fluoresen serebrospinal, dan myelitis segmental. Infeksi neuron motor pada

8
anterior horn dan peradangan akar saraf anterior menyebabkan palsi lokal yang menyertai
erupsi kutaneous, dan perluasan infeksi di dalam sistem saraf pusat (SSP) dapat
menyebabkan komplikasi herpes zoster yang jarang terjadi (misalnya, meningoensefalitis,
mielitis melintang). Viremia juga terjadi selama herpes zoster.
Nyeri merupakan gejala utama herpes zoster. Seringkali mendahului dan umumnya
menyertai ruam, dan sering berlanjut setelah ruam sembuh - komplikasi yang dikenal
sebagai neuralgia postherpetic (PHN). Sejumlah mekanisme yang berbeda namun saling
tumpang tindih tampaknya terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN.
Cedera pada saraf perifer dan neuron di ganglion memicu sinyal nyeri aferen. Peradangan
di kulit memicu sinyal nosiseptif yang selanjutnya memperkuat nyeri kulit. Pelepasan
asam amino eksitatorik dan neuropeptida yang melimpah yang diinduksi oleh impuls
aferen berentet yang berkelanjutan selama fase prodromal dan fase akut herpes zoster
dapat menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya inhibitorik interneuron pada cornu
dorsalis tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang dan ganglion,
dan ke saraf perifer, penting dalam patogenesis PHN. Saraf aferen utama yang rusak
dapat menjadi aktif secara spontan dan hipersensitif terhadap rangsangan perifer, dan juga
stimulasi simpatis. Aktivitas nociceptor yang berlebihan dan generasi impuls ektopik,
pada gilirannya, dapat mensensitisasi neuron SSP, menambah dan memperpanjang
respons sentral terhadap rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya. Secara klinis,
mekanisme ini menghasilkan allodynia (rasa sakit dan/atau sensasi yang tidak
menyenangkan yang disebabkan oleh rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan,
misalnya sentuhan ringan) dengan sedikit atau tanpa kehilangan fungsi sensorik.
Perubahan anatomis dan fungsional yang bertanggung jawab untuk PHN tampaknya
dimulai pada awal herpes zoster. Ini akan menjelaskan korelasi tingkat keparahan nyeri
awal dan adanya nyeri prodromal dengan perkembangan PHN selanjutnya, dan kegagalan
terapi antiviral untuk mencegah PHN sepenuhnya.6,7

9
Gambar 3. Patofisiologi

3.5 Gejala Klinis


Onset penyakit dapat ditandai oleh nyeri di dalam dermatom dan lesi pada 48 hingga
72 jam. Rasa sakit tersebut disebabkan oleh neuritis akut dan berhubungan dengan
replikasi virus, peradangan, dan produksi sitokin yang mengarah pada penghancuran
neuron dan peningkatan sensitivitas reseptor rasa sakit. Kadang-kadang, mungkin ada
paresthesia, terbakar, atau gatal di daerah yang terkena. Area eritema mengikuti dan
mendahului perkembangan sekelompok vesikel dalam distribusi dermatom yang
sesuai dengan ganglion akar dorsal yang terinfeksi. Biasanya 1, 2 atau 3 dermatom
yang terpengaruh.
Pada anak kecil, herpes zoster memiliki kecenderungan untuk area yang dipasok
oleh dermatom servikal dan sakral. Pada orang dewasa, lesi lebih sering terjadi pada
dermatom toraks dan torakalis bawah dan melibatkan saraf trigeminal. Pada anak-
anak dan orang dewasa, lesi biasanya tidak melewati garis tengah. Vesikel dapat
bergabung untuk membentuk lesi bulosa. Lesi vesikular dan bulosa dapat menjadi
pustular atau kadang berdarah dan akhirnya mengeras dalam 7 hingga 10 hari.
Terdapat limfadenopati regional. Herpes zoster dapat melibatkan kelopak mata ketika
cabang ophthalmic dari saraf trigeminal dipengaruhi. Penampilan lesi kulit di sisi
hidung merupakan keterlibatan cabang nasociliary dari saraf mata (tanda Hutchinson)
dan memprediksi kemungkinan keterlibatan mata yang lebih tinggi. Herpes zoster
cenderung lebih ringan pada anak-anak daripada pada orang dewasa. Herpes zoster

10
yang terkait dengan vaksin lebih ringan daripada herpes zoster setelah varicella. Pada
individu dengan defisiensi imun, lesi dapat melibatkan multipel yang berdekatan, non-
berdampingan, bilateral.6

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi
pada lesi namun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
histopatologi akan tampak gambaran vesikula bersifat unilocular, biasanya pada
stratum granulosum, kadang-kadang sub epidermal. Yang paling penting adalah
temuan “sel balon” yaitu sel stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan
membesar, juga badan inklusi (lipschutz) yang tersebar dalam inti sel epidermis,
dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah. Pada dermis tampak dilatasi
pembuluh darah dan sebukan limfosit.2

3.7 Tatalaksana
Pasien terkena infeksi menular karena virus dapat ditularkan melalui kontak
langsung dengan lesi herpes zoster dan melalui penyebaran melalui udara dari
aerosolisasi virus dari lesi kulit. Anak-anak yang terkena dampak harus dijauhkan dari
sekolah atau penitipan anak sampai kerak muncul dan hindari kontak dengan wanita
hamil. Varisela dapat berkembang pada individu yang rentan terpapar herpes zoster.
Tindakan pencegahan umum meliputi:

- kebersihan pribadi yang baik, dengan mencuci tangan, dan menutupi lesi yang
terbuka dengan perban.
- Kuku harus dipangkas untuk mengurangi cedera akibat garukan.

Jika infeksi bakteri sekunder terjadi, terapi antibiotik topikal atau sistemik
diindikasikan. Tujuan dari terapi antivirus adalah untuk mengurangi pelepasan virus,
mempercepat penyembuhan lesi kulit, mencegah pembentukan lesi baru, mengurangi
rasa sakit yang terkait dengan neuritis akut dan mungkin mengurangi komplikasi dari
penyakit. Asiklovir oral (20 mg / kg / takaran, maksimum 800 mg / dosis) 5x sehari
selama 5 sampai 7 hari harus dipertimbangkan untuk herpes zoster tanpa komplikasi
pada anak imunokompeten. Asiklovir intravena (10 mg / kg atau 500 mg / m2 setiap 8
jam) selama 7 hingga 10 hari adalah pengobatan pilihan untuk anak-anak yang
mengalami gangguan kekebalan yang berisiko. Obat harus diberikan secara ideal

11
dalam waktu 72 jam dari onset ruam. Relaps herpes zoster dapat diobati dengan
asiklovir yang kedua dengan dosis dan durasi yang sama dengan episode primer.6

3.8 Komplikasi
Kompliasi Kutaneus
a. Infeksi Sekunder : Dapat menghambat penyembuhan dan pembentuk jaringan
parut (selulitis, impertigo, dll)
b. Gangren Superfisialis : Menunjukkan herpes zoster yang berat, mengakibatkna
hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
Komplikasi Neurologis
Neuralgi Paska Herpes (NPH) : nyeri menetap di dermatom yang terkena 3 bulan setelah
erupsi herpes zoster menghilang. Insidn NPH berkisar 10-40% dari kasus herpes zoster.
Neuralgia Paska Herpes merupakan aspek herpes zoster yang paling mengganggu pasien
secara fungsional dan psikososial. Pasien dengan NPH akan mengalami nyeri konstan
(terbakar, nyeri, berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk-tusuk) dan nyeri yang dipicu
stimulus seperi allodinia (nyeri yang dipicu stimulus normal seperti sentuhan, dll). Risiko
NPH meningkat pada usia > 50 tahun (27x lipat) ; nyeri prodormal lebih lama atau lebih
berat; erupsi kulit lebih hebat (luas dan berlangsung lama) atau intensitas nyerinya lebih
berat. Risiko lain : Distribusi di daerah oftalmik, ansietas, depresi, kurangnya kepuasan
hidup, wanita, diabetes. Walaupun mendapat obat anti virus, NPH tetap terjadi pada 10-
20% pasien herpes zoster dan seringkali refrakter terhadap pengobatan, walaupun
pengobatan sudah optimal, 40% tetap merasa nyeri.

3.9 Prognosis
Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia tua
risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat menimbulkan
makula hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan higiene & perawatan yang
teliti akan memberikan prognosis yang baik & jaringan parut yang timbul akan menjadi
sedikit.4,6

12
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan Pasien An.G dari Poli Kulit dan Kelamin dengan Diagnosis Herpes
Zoster. Diagnosis Herpes Zoster didapatkan hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
terhadap status dermatologis pasien.

Menurut teori Herpes zoser merupakan reaktivasi virus Varicella zoster post infeksi
primer yang berupa varisela atau cacar air. Pada pasien tidak didapatkan riwayat adanya cacar
air pada usia 3 tahun. Hal ini mungkin saja terjadi karena varisela dapat bersifat subklinis.
Sumber infeksi Herpes zoster pada pasien kemungkinan didapat dari teman pasien yang
memiliki riwayat cacar air, baik melalui airborne maupun kontak langsung, dan tidak
menutup kemungkinan sumber infeksi bisa juga berasal dari orang lain yang tidak disadari
oleh penderita.4

Berdasarkan anamnesis tentang awal kemunculan lesi hingga kondisi pasien saat ini,
ditambah dari hasil pemeriksaan status dermatologis pasien, diagnosis Herpes Zoster dapat
dengan mudah dibuat. Hal ini karena secara klinis Herpes Zoster memiliki lesi yang khas
yakni unilateral dan penyebarannya mengikuti dermatom persarafan yang ganglionya
terdapat virus Varicella zoster yang tereaktivasi.1
Predilesi lesi pada pasien di torakal 4-5 unilateral kanan. Sesuai dengan dermatom
yang mengalami replikasi dan inflamasi didaerah torakal (predileksi yang lebih sering
muncul lesi) diperkuat dengan teori penyakit ini yaitu lokalisasinya unilateral dan
dermatomal sesuai persarafan.1

13
Gambar 4. Dermatom Saraf Sensorik Tubuh Manusia

Selain itu dugaaan kuat mengarah pada diagnosis herpes zoster dibuktikan
berdasarkan riwayat penyakit dahulu pasien yaitu sudah pernah kena cacar air namun pasien
lupa waktu kejadiannya. Data tersebut diperkuat dengan suatu teori yang mengatakan bahwa
apabila sudah mengalami infeksi primer varisela, VZV akan menetap dan laten dalam akar
ganglion sensoris dorsalis. Sesudah beberapa dekade, virus neurotropik ini dapat mengalami
reaktivasi dan menyebabkan herpes zoster.4
Diagnosis banding Herpes Zoster dengan lokasi seperti pada pasien adalah dermatitis
atopic atau Herpes simpleks. Diagnosis herpes simpleks dapat disingkirkan karena lesi herpes
simpleks tidak terdistribusi secara rata mengikuti dermatom tertentu. Diagnosis banding
lainnya yaitu dermatitis atopic, karena dari lesi kulit hamper sama dengn herpes zoster yaitu
terdapat eritema disertai vesikel atau papula, pada anak-anak biasanya mereka gelisah karena
sangat gatal dan dari lokasi lesi terdapat pada lipat tubuh (siku, lutut), tengkuk dan punggung,
lokasi lesi tidak mengikuti dermatom tubuh dan pada anamnesis harus didapatkan adanya
riwayat alergi pada dirinya sendiri atau keluarganya, hal itulah yang membuat diagnosis
banding dermatitis atopik dapat disingkirkan.1
Penatalaksanaan pada kasus Herpes Zoster secara umum adalah bersifat simptomatik,
untuk nyerinya diberikan analgesik. Pada pasien ini analgesik dan antipiretik diberikan
parasetamol 3x250mg. Pasien juga diberikan sirup Imboost sebagai terapi suportif agar daya
tahan tubuh anak meningkat. Penatalaksanaan dengan obat topikal diberikan salep mupirosin

14
sebagai terapi terhadap infeksi sekunder, namun Penatalaksanaan dengan obat topikal
bergantung pada stadium. Jika masih stadium vesikel, vesikel dapat diberikan bedak dengan
tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Jika
terdapat ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.
Tindakan yang tepat saat ini adalah selain memberikan terapi untuk tatalaksana
keluhan pasien yakni memberikan edukasi pada pasien mengenai penyakitnya dan komplikasi
yang kemungkinan timbul kedepannya, selain itu penting untuk menjaga kebersihan kulit
yang terinfeksi dan jangan memberikan zat-zat yang belum terbukti secara klinis mengurangi
keluhan namun malah dapat memicu infeksi sekunder.

15
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus Herpes Zoster pada an.G berjenis kelamin perempuan, usia 10
tahun ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis yang ditemukan
pada pasien. Dimana pada anamnesis didapatkan keluhan bitnik kemerahan di dada dan
punggung belaang sejak kurang lebih 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan ujud kelainan kulit berupa Bentuk lesi
polimorfik (papula, vesikel dan dasar eritma) dengan lesi ukuran lentikular, penyebaran
herpetiformis unilateral pada perut kanan.
Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi berupa anti virus oral asiklovir 4x400 mg,
anti biotik topikal guna mencegah infeksi sekunder. Prognosis dari Herpes Zoster adalah
baik, bergantung dari penatalaksanaan awal. komplikasi yang akan muncul pada pasien ini
adalah Post Herpetik Neuralgia yang muncul setelah Herpes Zoster sembuh.
Tindakan yang tepat saat ini adalah selain memberikan terapi untuk tatalaksana
keluhan pasien yakni memberikan edukasi pada pasien mengenai penyakitnya dan komplikasi
yang kemungkinan timbul kedepannya, selain itu penting untuk menjaga kebersihan kulit
yang terinfeksi dan jangan memberikan zat-zat yang belum terbukti secara klinis mengurangi
keluhan namun malah dapat memicu infeksi sekunder.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. 2013.
2. Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005.
3. Sampathkumar P et al. Herpes Zoster (Shingles) and Postherpetic Neuralgia. Mayo
Clin Proc. March 2009;84(3):274-280
4. Perdoski. Buku Panduan Herpes Zoster. Jakarta: badan Penerbit FKUI, 2014.
5. Theresia, Rejeki S, Hadinegoro. Terapi Asiklovir pada Anak dengan Varisela tanpa
Penyulit. Jakarta: Dept. IKA FKUI, 2010
6. Leung A, Barankin B. herpes Zoster in Childhood. Toronto: Scientific Research
Publishing, 2015.
7. Goldsmith RA et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Ed. 8. McGraw-
Hill. 2012

17

Anda mungkin juga menyukai