Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dislokasi adalah cedera pada sendi di mana ujung dari tulang pada sendi
tersebut lepas dari posisi normalnya. Sering terjadi pada bahu dan jari, lokasi lain
meliputi siku, lutut maupun pinggul. Dislokasi pada sendi besar erat kaitannya
dengan adanya cedera pada jaringan saraf dan pembuluh darah di sekitarnya.
Dislokasi adalah kondisi ketika tulang keluar atau bergeser dari posisi
normalnya pada sendi. Semua persendian yang ada di tubuh dapat mengalami dislokasi,
terutama saat terjadi benturan akibat kecelakan berkendara atau terjatuh ketika
berolahraga.Dislokasi paling sering terjadi pada bahu dan jari tangan, walau
sebenarnya dislokasi dapat terjadi di semua sendi, termasuk lutut, siku, rahang, dan
panggul.

B. Rumusan masalah
a. apa devinisi luka bakar?
b. Apa tanda gejala luka bakar?
c. Bagaimana patofisiologi luka bakar?
d. Bagaimana penatalaksanaannya
C. Tujuan
Tujuan disusun makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan dislokasi sendi.
b. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui pengertian dislokasi sendi
b) Untuk mengetahui tanda gejala dislokasi sendi
c) Untuk mengetahui patofisiologi dislokasi sendi
d) Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada dislokasi sendi

1
D. Manfaat
Manfaat disusun makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk Mahasiswa
Menambah pengetahuan keperawatan Gawat daruat tentang dislokasi sendi.
b. Untuk Institusi Stikes Zainul Hasan Genggong
Makalah ini dapat menjadi audit internal kualitas pengajar.
c. Untuk pembaca
Pembaca dapat mengetahui, memahami dan menguasai tentang keperawatan Gawat
darurat dislokasi sendi.

2
BAB II
ISI
A. Devinisi
Dislokasi adalah cedera pada sendi di mana ujung dari tulang pada sendi
tersebut lepas dari posisi normalnya. Sering terjadi pada bahu dan jari, lokasi lain
meliputi siku, lutut maupun pinggul. Dislokasi pada sendi besar erat kaitannya
dengan adanya cedera pada jaringan saraf dan pembuluh darah di sekitarnya.
Dislokasi adalah kondisi ketika tulang keluar atau bergeser dari posisi
normalnya pada sendi. Semua persendian yang ada di tubuh dapat mengalami dislokasi,
terutama saat terjadi benturan akibat kecelakan berkendara atau terjatuh ketika
berolahraga.Dislokasi paling sering terjadi pada bahu dan jari tangan, walau
sebenarnya dislokasi dapat terjadi di semua sendi, termasuk lutut, siku, rahang, dan
panggul.
B. Penyebab Dislokasi
Dislokasi terjadi ketika sendi mengalami benturan atau tekanan yang keras.
Kondisi yang dapat menyebabkan dislokasi antara lain:
● Terjatuh, misalnya akibat terpeleset
● Kecelakaan kendaraan bermotor
● Cedera akibat olahraga yang melibatkan kontak fisik, seperti sepak bola
atau bela diri.

C. Manifestasi klinis
a.Nyeri
b.Perubahan kontur sendi
c.Perubahan panjang ekstremitas
d.Kehilangan mobilitas normal
e.Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
f.Deformitas
g.Kekakuan

3
D. Patofisiologi
Patofisiologi dislokasi bahu pada dasarnya diawali trauma pada gelang bahu,
namun mekanisme trauma yang berbeda akan menghasilkan jenis dislokasi yang
berbeda pula. Jenis dislokasi bahu yang paling sering terjadi adalah dislokasi bahu
anterior (95%) kemudian diikuti posterior (2-5%) dan inferior (<1%).

a.Dislokasi Bahu Anterior


Patofisiologi dislokasi bahu anterior umumnya didasari mekanisme indirek
pada bahu. Mekanisme tersering adalah tumpuan gaya mendadak pada lengan
dalam keadaan abduksi, rotasi eksternal, dan ekstensi. Pada 40% kasus dislokasi
bahu anterior, dapat terjadi kerusakan saraf, fraktur caput humerus, robekan fossa
glenoid, atau labrum.

Dislokasi bahu anterior dapat dibagi berdasarkan letak caput humeri terhadap
glenoid. Dislokasi subkorakoid adalah yang paling sering, disusul dengan subglenoid
dan subklavikula.
b.Dislokasi Bahu Posterior
Berbagai mekanisme dapat menyebabkan dislokasi bahu posterior, yang
paling sering adalah tumpuan gaya aksial pada lengan saat adduksi, fleksi, dan
rotasi internal (misalnya jatuh dengan tangan terentang atau FOOSH injury).
Dislokasi posterior juga dapat terjadi akibat kontraksi muskular seperti pada kejang
atau tersengat listrik, dimana rotator internal menarik sendi lebih kuat
dibandingkan rotator eksternal. 
c.Dislokasi Bahu Inferior
Patofisiologi dislokasi bahu inferior sering disebabkan dua mekanisme.
Pertama adalah kompresi aksial terhadap lengan yang terabduksi penuh, sehingga
menyebabkan caput humeri terdorong melewati ligamen glenohumeral inferior.
Kedua adalah gaya hiperabduksi pada lengan yang sudah dalam posisi abduksi,
sehingga humerus proksimal terangkat melewati akromion, menyebabkan cedera
pada ligamen glenohumeral inferior, ligamen glenohumeral media, dan rotator cuff.

4
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dislokasi bahu adalah reduksi dari sendi glenohumeral
yang dilakukan pasca pemberian antinyeri pada sendi atau dengan sedasi,
kemudian dilanjutkan dengan rehabilitasi. Pembedahan dilakukan hanya pada kasus
dislokasi dengan fraktur yang menjadi kontraindikasi reduksi tertutup, atau pada
kasus instabilitas bahu rekuren terutama pada pasien berusia <25 tahun.
● Anestesi Sebelum Reduksi Bahu
Reduksi bahu dapat diawali dengan pemberian antinyeri lokal (10 ml lidocaine),
atau prosedural sedasi (dengan fentanyl, midazolam, ketamine, atau propofol) disertai
monitoring dengan kapnografi. Bila reduksi tidak bisa dicapai pada kondisi sedasi, dapat
dilakukan anastesi umum. 

Teknik Reduksi Bahu


Berbagai teknik reduksi bahu yang sering dilakukan untuk dislokasi bahu anterior
antara lain manipulasi scapula, teknik rotasi eksternal, teknik Stimson, dan
teknik Milch.
Pada dislokasi bahu posterior, pasien dalam posisi supinasi. Dokter melakukan traksi
pada humerus disertai rotasi internal dan eksternal sementara asisten melakukan
penekanan caput humerus ke anterior.

Metode Reduksi
Bahu Cara

Pasien duduk dengan bahu kontralateral tetap


bersandar. Dokter di belakang pasien menekan
ujung skapula dengan ibu jari ke sisi medial
dan mendorong acromion ke inferior dengan
ibu jari lainnya, sementara asisten mentraksi
Manipulasi Skapula lengan.

Teknik Rotasi Eksternal Pasien dalam posisi supinasi, siku fleksi 90

5
derajat. Dokter memegang siku dengan satu
tangan dan pergelangan tangan dengan tangan
lainnya. Perlahan lakukan rotasi eksternal
untuk “menjatuhkan” lengan pasien ke sisi
ranjang. Prosedur ditahan pada posisi di mana
pasien berhenti karena nyeri agar otot
berelaksasi lebih dulu. Setelah 5-10 menit
posisi rotasi eksternal, reduksi terjadi,
umumnya pada posisi 70-110o.
Teknik ini tidak memerlukan asisten maupun
sedasi.

Pasien berbaring pronasi dengan posisi lengan


bergantung di ranjang (bisa dibantu dengan
pasien memegang beban 2-6 kg). Dokter
melakukan traksi longitudinal disertai rotasi
internal atau eksternal.
Teknik Stimson Teknik ini tidak memerlukan sedasi.

Lengan dilakukan gerakan pasif abduksi


dengan rotasi eksternal sementara ibu jari
dokter di axilla menekan caput humerus.
Teknik ini tidak memerlukan asisten maupun
Teknik Milch sedasi.

Pasien dalam posisi supinasi. Dokter


melakukan traksi pada humerus disertai rotasi
internal dan eksternal sementara asisten
Reduksi Bahu melakukan penekanan caput humerus ke
Posterior anterior.

Teknik Hippocratic Merupakan teknik tertua untuk dislokasi bahu

6
anterior.
Kaki dokter diletakan di axilla pasien kemudian
dilakukan traksi longitudinal pada lengan,
dapat disertai rotasi internal/eksternal.
Teknik ini sudah tidak direkomendasikan
karena risiko komplikasi yang tinggi.

Setelah reduksi bahu dilakukan, pasien dipasangkan arm sling (sekitar 1-3 minggu),


cek kondisi neurovaskular distal lengan ipsilateral, lakukan pencitraan ulang, serta
kontrol ke spesialis ortopedi.
F. Contoh kasus
Seorang pasien laki-laki usia 35 tahun dating ke IGD Rumah Sakit Hasan
Sadikin karena tidak dapat menutup mulut kembali setelah menguap, dari anamnesis
didapat bahwa kurang lebih 2 jam sebelum masuk rumah sakit, saat pasien sedang
menguap tiba-tiba pasien tidak dapat menutup kembali mulutnya, pasien
mempunyai riwayat keluhan yang sama sebelumnya ± 2 tahun yang lalu, pasien juga
mempunyai riwayat mengunyah hanya disatu sisi yaitu disisi kanan, kemudian pasien
langsung dibawa ke IGD Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dari pemeriksaan fisik dan
tandatanda vital, diperoleh hasil sebagai berikut: kesadaran compos mentis, tekanan
darah normal 120/80 mmHg, nadi 78 kali/menit, suhu 36,3 ºC, pernafasan 18
kali/menit. Pada pemeriksaan keadaan umum tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan ekstraoral diperoleh hasil: wajah simetris,mulut yang terbuka, dan tidak
ditemukan laserasi. Pada pemeriksaan intraoral tidak ditemukan adanya kelainan di
intra oral pada pasien ini. Pada pemeriksaan odontogram ditemukan adanya
gigi 47 dengan nekrosis pulpa dan kalkulus diregio rahang bawah kiri.

7
Dari anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa dengan dislokasi
sendi temporomandibula anterior bilateral. Tindakan di IGD, pasien diberikan
analgesik dan muscle relaxant, kemudian dilakukan reposisi secara manual dan
pemasangan head bandage. Pasien disarankan untuk tidak membuka mulut terlalu
lebar, head bandage dipertahankan selama tiga hari, dan juga disarankan untuk
pembersihan karang gigi serta pencabutan gigi.

Dislokasi mandibula anterior dapat terjadi unilateral atau bilateral dan diklasifikasi ke dalam
bentuk akut atau kronik. Bentuk kronik meliputi rekuren, habitual dan yang sudah menetap
lama (‘long standing’). Dislokasi mandibula akut didefinisikan sebagai pergeseran kondilus ke
anterior eminensia artikularis dan terpisah seluruhnya dari permukaan artikulasi serta
terkunci pada posisi tersebut. Kejadian dislokasi akut cukup sering dan terjadi spontan
setelah suatu trauma atau berkaitan dengan penyakit- penyakit psikiatri dan terapi obat.
Dislokasi akut membutuhkan reposisi manual mandibula segera untuk mencegah terjadinya
spasme otot yang progresif. Kejadian ini dapat terjadi pada saat menguap, muntah, tertawa,
atau usaha-usaha mastikasi yang kuat. Dislokasi rekuren kronik juga dapat terjadi pada
penderita epilepsi, distropi miotonik dan sindroma Ehlers-Danlos. Istilah ‘kronik’, ‘rekuren

8
kronik’ atau ‘habitual’ sebaiknya diberikan untuk dislokasi episodik yang berulang. Sedangkan
istilah ‘long standing’ dapat diberikan untuk kasus dislokasi yang telah menetap lama dalam
periode waktu lebih dari satu bulan dan dislokasi ini biasanya belum terdiagnosa
sebelumnya.

Prosedur manual yang lain yaitu operator berada dibelakang pasien kemudian
ibu jari diletakkan pada retromolar pad dan jari jari lain memegang mandibula bagian
depan, lalu mandibula ditekan ke arah kaudal (bawah) dan biasanya mandibula akan
tertarik dengan sendirinya keposterior, teknik ini akan lebih efektif bila disertai
dengan sedasi
Jika telah terdapat spasme otot yang berat karena keterlambatan mereduksi,
prosedur ini mungkin sebaiknya dilakukan dengan bantuan anestesi lokal yang
disuntikkan ke dalam sendi dan otot pterigoid lateral, atau dengan pemberian
diazepam intravena untuk menghilangkan spasme otot dan mengurangi nyeri. Jika
cara ini juga tidak efektif, anestesi umum digunakan untuk mendapatkan relaksasi
yang memadai. Setelah reduksi berhasil dilakukan, mandibula dapat diimobilisasi
selama beberapa hari dengan head-chin strap atau fiksasi intermaksila. Tujuan
imobilisasi agar kapsul mempunyai kesempatan untuk mengadakan perbaikan dan
penyesuaian kembali keseimbangan otot serta mencegah dislokasi terjadi kembali
disebabkan kapsul yang masih kendor. Jika sendi dalam keadaan normal pada saat
terjadi dislokasi, perawatan ini harus memadai untuk memulihkan fungsi dengan
baik. Tetapi, pada kondisi yang mana dislokasi disebabkan karena kapsul yang
longgar, terdapat kecenderungan terjadi dislokasi berulang atau rekuren. Pada
kondisi tersebut, perawatan yang lebih definitif menjadi indikasi.

9
Jika penatalaksanaan belum teratasi akan erjadi fraktur dislokasi, cedea pembulu darah
seperti arteri aksila dapat rusak. Cedea saraf antara lain saraf aksila dapat cedera, pasien
tidak dapat mengkerutkan otot deltoid an mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa
pada otot tersebut.

10
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dislokasi adalah kondisi ketika tulang keluar atau bergeser dari posisi
normalnya pada sendi. Semua persendian yang ada di tubuh dapat mengalami
dislokasi, terutama saat terjadi benturan akibat kecelakan berkendara atau terjatuh
ketika berolahraga.Dislokasi paling sering terjadi pada bahu dan jari tangan, walau
sebenarnya dislokasi dapat terjadi di semua sendi, termasuk lutut, siku, rahang,
dan panggul.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Abrams R, Akbarnia H. Shoulder dislocations overview. StatPearls. Updated 2019


Feb12.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459125/. 
2.Cothran VE. Shoulder dislocation. Medscape. Updated 2018 Jan 02.
https://emedicine.medscape.com/article/93323-overview. 
3. Hendey GW. Managing Anterior Shoulder Dislocation. Annals of Emergency Medicine,
2016. 67(1): 76–80. doi:10.1016/j.annemergmed.2015.07.496 
4. Sheehan SE, Gaviola G, Gordon R, et al. Traumatic Shoulder Injuries: A Force Mechanism
Analysis—Glenohumeral Dislocation and Instability. American Journal of Roentgenology,
2013.201(2):378–393.doi:10.2214/ajr.12.9986 
5. Nambiar M, Owen D, Moore P, Carr A, Thomas M. Traumatic inferior shoulder
dislocation: a review of management and outcome. European Journal of Trauma and
Emergency Surgery, 2017. 44(1): 45–51. doi:10.1007/s00068-017-0854-y
6. Faisal, et al [2019]. Monitoring Methods of Human Body joints:State-of-the-Art and
Research Challenges. Sensors (Basel), 19(11), pp. 2629.

7. Abraham Ning Novyan, Penatalaksanaan dislokasi sendi temporomandibula anterior


bilateral, MKGK. Desember 2016; 2(3): 120-125 ISSN: 2460-0059 (online).

8. Rozzi,et al. (2018).National ATHLETIC Trainers Association Position Statement; Immediate


Management of Appendicular Joint Disloations. Journal of athletic Training, 53(12),pp.1117-
1128.

12

Anda mungkin juga menyukai