Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FT.

GERIATRIK

FISIOTERAPI PADA JANTUNG KORONER

DISUSUN OLEH:

NURUL ANNISA K

(PO714241181058)

D.IV FISIOTERAPI TK. III B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR


JURUSAN FISIOTERAPI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Fisioterapi pada Jantung
Koroner” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah FT. Geriatik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Jantung koroner bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Makassar, 23 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
2.1 Definisi........................................................................................................................................4
2.2 Epidemiologi...............................................................................................................................4
2.3 Klasifikasi....................................................................................................................................5
2.4 Etiologi........................................................................................................................................6
2.5 Patofisiologi.................................................................................................................................6
2.6 Faktor Resiko...............................................................................................................................7
2.7 Manifestasi klinis.........................................................................................................................9
2.8 Penatalaksanaan Fisioterapi.........................................................................................................9
2.9 Intervensi Fisioterapi.................................................................................................................11
PENUTUP.................................................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................19
3.2 Saran..........................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................21

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery Disease (CAD)
merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika arteri yang mensuplai darah untuk dinding jantung
mengalami pengerasan dan penyempitan (Lyndon, 2014). Arteri yang mensuplai miokardium
mengalami gangguan, sehingga jantung tidak mampu untuk memompa sejumlah darah secara
efektif untuk memenuhi perfusi darah ke organ vital dan jaringan perifer secara adekuat. Pada
saat oksigenisasi dan perfusi mengalami gangguan, pasien akan terancam kematian. Kedua jenis
penyakit jantung koroner tersebut melibatkan arteri yang bertugas mensuplai darah, oksigen dan
nutrisi ke otot jantung. Saat aliran yang melewati arteri koronaria tertutup sebagian atau
keseluruhan oleh plak, bisa terjadi iskemia atau infark pada otot jantung ( Ignatavicius &
Workman, 2010).
Penyakit jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Tahun 2010 penyakit
jantung koroner mengakibatkan kematian pada pria sebanyak 13,1 %, di prediksi tahun 2020
menjadi 14,3 % dan 14,9% pada tahun 2030. Untuk wanita kematian akibat penyakit jantung
koroner pada tahun 2010 mencapai 13,6%, dan diprediksi pada tahun 2020 mencapai jadi 13,9 %
dan 14,1% pada tahun 2030 (Rilantono, 2012). Penyakit jantung koroner merupakan penyebab
kematian utama di Amerika Serikat, Negara Eropa, Jepang dan Singapura (Rao, 2011).
Di negara Amerika Serikat diperkirakan 16.300.000 orang atau 7% dari populasi penduduk
Amerika Serikat yang berumur lebih dari 20 tahun terdiagnosa penyakit jantung koroner. Dari
angka tersebut 18,3% adalah pria dan 6,1% adalah wanita. Di prediksi tahun 2030, 8 juta warga
Amerika serikat lainnya akan terdiagnosa penyakit jantung koroner yang merupakan presentasi
dari peningkatan sebesar 16,6% dari tahun 2010 dan pada tahun 2011 terdapat 785.000 kasus
baru penyakit jantung koroner, sementara 470.000 merupakan kasus serangan berulang (Roger
dkk., 2011).
Berdasarkan laporan WHO (2008) Penyakit jantung menjadi penyebab utama kematian di
negara – negara Asia pada tahun 2010. Untuk wilayah Asia Tenggara ditemukan 3,5 juta
kematian penyakit kardiovaskuler, 52% diantaranya disebabkan oleh penyakit infark miokard
(Indrawati, 2012). Di negara berkembang seperti Indonesia tingkat kejadian terus meningkat
setiap tahun. Hasil survei dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menunjukkan prevalensi

1
penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah
sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Angka penyakit jantung koroner di
wilayah Sumatera Barat mendekati prevalensi Nasional, yaitu mencapai 1,2%.
Diantara penyakit kardiovaskuler, penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama
kematian, kecacatan, penderitaan dan kerugian materi, serta menyebabkan keterbatasan fisik dan
sosial yang memerlukan penataan kehidupan pasien, komplikasi – komplikasi yang ditimbulkan
oleh penyakit jantung koroner tidak hanya masalah bagi pasien tapi juga pada keluarga. Jika
pasien bertahan dalam serangan pertama, masalah berikutnya kemungkinan peningkatan
serangan akan lebih besar lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi
serangan berulang dan terjadi komplikasi, proses penyembuhan bisa lebih cepat lagi dan
meningkatkan kualitas hidup.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang definisi dari penyakit jantung koroner?
2. Apa epidemiologi penyakit penyakit jantung koroner?
3. Apa klasifikasi penyakit jantung koroner?
4. Apa etiologi dari penyakit jantung koroner?
5. Apa faktor resiko pada penyakit jantung coroner?
6. Bagaimana patofisiologi penyakit jantung koroner?
7. Bagaimana gejala klinis pada penyakit jantung koroner?
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada penyakit jantung coroner
9. Untuk mengetahui intervensi fisioterapi pada penyakit jantung koroner

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit jantung coroner
2. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit jantung coroner
3. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit jantung coroner
4. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit jantung coroner
5. Untuk mengetahui faktor resiko pada penyakit jantung coroner
6. Untuk mengetahui patofisiologi pada penyakit jantung coroner
7. Untuk mengetahui gejala klinis pada penyakit jantung coroner

2
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada penyakit jantung coroner
9. Untuk mengetahui intervensi fisioterapi pada penyakit jantung koroner

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi penimbunan plak
pembuluh darah koroner. Hal ini menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat
(Norhasimah, 2010).
American heart association (AHA), mendefinisikan penyakit jantung koroner adalah
istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan serangan
jantung. Penumpukan plak pada arteri koroner ini disebut dengan aterosklerosis (AHA,
2012).
PJK juga disebut penyakit arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik (IHD), atau
penyakit jantung aterosklerotik, adalah hasil akhir dari akumulasi plak ateromatosa dalam
dinding-dinding arteri yang memasok darah ke miokardium (otot jantung) (Manitoba Centre
for Health Policy, 2013).

2.2 Epidemiologi
PJK tidak hanya menyerang laki-laki saja, wanita juga berisiko terkena PJK meskipun
kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur 65 tahun ke atas, ditemukan
20 % PJK pada laki-laki dan 12 % pada wanita. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan
bahwa sekitar 17 juta orang meninggal tiap akibat penyakit kardiovaskuler, terutama PJK
(7,2 juta) dan stroke (5,5 juta). (WHO, 2002).

Secara umum angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) di Indonesia
belum diteliti secara akurat. Di Amerika Serikat pada tahun 1996 dilaporkan kematian akibat
PJPD mencapai 959.277 penderita, yakni 41,4 % dari seluruh kematian. Setiap hari 2600
penduduk meninggal akibat penyakit ini. Meskipun berbagai pertolongan mutakhir telah
diupayakan, namun setiap 33 detik tetap saja seorang warga Amerika meninggal akibat
penyakit ini. Dari jumlah tersebut 476.124 kematian disebabkan oleh Penyakit Jantung
Koroner. Huon, keith D, john M, lain A (2002) dalam ( Supriyono, 2008).

4
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi PJK (Putra S, dkk, 2013) :
1) Angina Pektoris Stabil/Stable Angina Pectoris
Angina pektoris stabil adalah keadaan yang ditandai oleh adanya suatu ketidaknyamanan (jarang
digambarkan sebagai nyeri) di dada atau lengan yang sulit dilokalisasi dan dalam, berhubungan
dengan aktivitas fisik atau stres emosional dan menghilang dalam 5-15 menit dengan istirahat
dan atau dengan obat nitrogliserin sublingual (Yusnidar, 2007). Angina pektoris stabil adalah
rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium yang merupakan hasil dari
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen miokard. Iskemia miokard
dapat disebabkan oleh stenosis arteri koroner, spasme arteri koroner dan berkurangnya kapasitas
oksigen di dalam darah (Aladdini, 2011).
2) Angina Pektoris Tidak Stabil/Unstable Angina Pectoris
Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis ekuivalen ketidaknyamanan
iskemik) dengan sekurang-kurangnya satu dari tiga hal berikut;
a. Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya berakhir setelah lebih dari 20
menit (jika tidak diberikan nitrogliserin).
b. Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan merupakan onset baru (dalam 1
bulan).
c. Timbul dengan pola crescendo (bertambah berat, bertambah lama, atau lebih sering dari
sebelumnya). Pasien dengan ketidaknyamanan iskemik dapat datang dengan atau tanpa
elevasi segmen ST pada EKG (yusnidar, 2007).
3) Infark Miokard Akut
Infark miokard adalah suatu keadaan yang berat disebabkan oleh oklusi (penutupan
mendadak pembuluh koroner) atau cabangnya yang mengalami sklerosis (pengerasan).
Biasanya cara penutupan disebabkan adanya trombus dan perdarahan dalam intima.
Terjadinya trombus disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan
trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark tergantung pada arteri yang
oklusi. Infark Miokard terbagi 2 yaitu Non ST Elevasi Miokardial Infark (NSTEMI) dan ST
Elevasi Miokardial Infark (STEMI).

5
Gambar 1.1 EKG Normal, STEMI dan NSTEMI

2.4 Etiologi
Etiologi penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan, penyumbatan, atau
kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah tersebut
dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan nyeri. Dalam
kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa darah dapat hilang. Hal ini dapat
merusak sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dengan kematian. (Hermawatirisa,
2014).

2.5 Patofisiologi
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil yang ditandai
penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di seluruh kedalaman
tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot polos). Arteri yang
paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri sereberal. (Ariesty, 2011).
Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi lapisan
endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari stimulus
lain, cedera pada sel endotel meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma,
termasuk asam lemak dan trigliserida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam

6
lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah.
(Ariesty, 2011).
Selain itu kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas
lapisan endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri.
Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit meningkat dan mulai terbentuk
bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut sehingga
mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhir adalah penimbunan kolesterol dan
lemak, pembentukan deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit
dan proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila
kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi iskemia
(kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga menggunakan glikolisis
anerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien
dan menyebabkan terbentuknya asam laktat sehinga menurunkan pH miokardium dan
menyebabkan nyeri.

2.6 Faktor Resiko


1) Faktor Risiko yang dapat diubah
a. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah, yang merupakan suatu
masalah kesehatan masyarakat, yaitu kenaikan tekanan darah sistolik melebihi 140
mmHg dan diastolik melebihi 90 mmHg. Meningkatnya tekanan darah dapat
mengakibatkan penyakit jantung koroner.
b. Dislipidemia
Sebenarnya kolestrol bukanlah sesuatu yang merusak tubuh selama kadarnya tidak
berlebihan, tetapi justru diperlukan dalam proses fisiologis seperti pembentukan
membran sel, hormon steroid dan empedu. Studi framingham menyatakan bahwa risiko
PJK meningkat dua kali pada kadar kolestrol total diatas 240 mg/dl dibanding dengan
pasien dengan kadar kolestrol total dibawah 200 mg/dl.
c. Merokok
Rokok dapat menyebabkan aterosklerosis melalui beberapa cara, diantaranya
peningkatan modifikasi oksidasi LDL, penurunan HDL, disfungsi endotel akibat

7
hipoksia dan stress oksidatif, peningkatan perlekatan platelet, peningkatan ekspresi
CAM, aktifasi simpatis oleh nikotin.
d. Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan factor risiko terhadap PJK yaitu bila kadar glukosa darah
naik terutama bila berlangsung dalam waktu yang cukup lama, gula darah (glukosa)
tersebut dapat menjadi pekat, hal ini mendorong terjadinya pengendapan aterosklerosis
pada arteri koroner.
e. Obesitas
Orang dengan berat badan berlebihan mempunyai kemungkinan terkena penyakit
jantung dan stroke lebih tinggi. Gemuk tidak sehat karena kelebihan berat badan
meningkatkan beban jantung. Ini berhubungan dengan penyakit jantumg koroner
terutama karena pengaruhnya pada tekanan darah, kadar kolesterol darah juga diabetes
melitus.
f. Ketidakaktifan fisik
Aktifitas fisik (exercise) dapat meningkatan kadar HDL kolestrol, memperbaikai
kolesterol koroner sehingga resiko PJK dapat dikurangi, memperbaiki fungsi paru dan
pemberian oksigen ke miocard, menurunkan berat badan, menurunkan kolesterol,
trigliserida, dan KGD pada pendrita DM, menurunkan tekanan darah
g. Stress
Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi yang
dapat berakibat mempercepat kekejangan (spasme) arteri koroner, sehingga suplai darah
ke otot jantung terganggu.
2) Faktor Risiko yang tidak dapat dubah
a. Umur
Penderita PJK sering ditemui pada usia 60 ke atas, tetapi pada usia dibawah 40 tahun
sudah ditemukan. Pada laki-laki, kasus kematian PJK mulai dijumpai pada usia 35
tahun, dan terus meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki kadar kolesterol
akan meningkat sampai usia 50 tahun dan akhirnya akan turun sedikit setelah 50 tahun.
Kadar kolesterol perempuan biasanya meningkatkan menjadi lebih tinggi dari pada laki-
laki.
b. Jenis kelamin

8
Di AS gejala PJK sebelum berumur 60 tahun di dapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan 1
dari 17 perempuan, ini berarti bahwa laki-laki mempunyai resiko PJK 2-3 kali lebih
besar daripada perempuan.
c. Genetik
Gillium (1978) menyatakan bahwa PJK cenderung lebih banyak pada subjek orang
tuanya telah menderita PJK dini. Bila kedua orang tua penderita PJK menderita PJK
pada usia muda, maka anaknya mempunyai resiko yang lebih tinggi bagi perkembangan
PJK dari pada hanya seseorang atau tidak ada orang tuanya menderita PJK.

2.7 Manifestasi klinis


Menurut, Hermawatirisa 2014, gejala penyakit jantung koroner:
1. Timbulnya rasa nyeri di dada (Angina Pectoris)
2. Gangguan pada irama jantung
3. Pusing
4. Rasa lelah berkepanjangan
5. Sakit perut, mual dan muntah
Penyakit jantung koroner dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda-beda. Untuk
menentukan manifestasi klinisnya perlu melakukan pemeriksaan yang seksama. Dengan
memperhatikan klinis penderita, riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik,
elektrokardiografi saat istirahat, foto dada, pemeriksaan enzim jantung dapat membedakan subset
klinis PJK.

2.8 Penatalaksanaan Fisioterapi


A. Pemeriksaan Fisik
1. Dalam keadaan akut melalui inspeksi pasien terlihat cemas, sedih dan gelisah. 
2. Pasien merasa nyeri dada dan sesak napas
3. Wajah terlihat pucat dan berkeringat
4. Tekanan vena jugularis biasanya normal atau sedikit meningkat pada kondisi akut
5. Tachyarrhythmias atau Bradycardia
6. Tekanan darah biasanya menurun dan akan kembali normal secara perlahan selang 2 sampai
3 minggu. Hipertensi yang sifatnya sementara (transient hypertension) dapat terjadi akibat
nyeri yang intens.

9
7. Bunyi jantung ketiga sering terdengar jika terjadi gagal jantung atau syok. Bunyi ke empat
(atrial sound) dapat didengar pada sebagian besar pasien.
8. Demam jarang mencapai 38°C pada 24 jam awal serangan.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Elektrokardiografik
2. Pemeriksaan Laboratorium  cretain kinase, troponin, laktat Dehidrogenase , dll
C. Tujuan Fisioterapi
1. Memperkecil pelebaran kerusakan otot
2. Memberikan faedah kejiwaan melalui latihan-latihan
3. Meningkatkan toleransi dalam aktivitas
4. Mengembalikan pasien ke pekerjaan semula dan kehidupan yang normal
5. Mengembalikan keyakinan pasien dalam kehidupan normal

Latihan dihentikan apabila terjadi:


a. Sesak napas
b. Dekompensasi Jantung
c. Aritmia
d. Demam diatas 380 C
e. Pusing
f. Target HR tercapai
g. Nyeri dada
h. Tekanan sistolik
i. Tanda tanda shock

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membuat program:


a. Umur
b. Pekerjaan
c. Ukuran jantung
d. Beratnya Penyakit
e. Riwayat sebelumnya
f. Kesehatan mental

10
2.9 Intervensi Fisioterapi
1. Relaksasi
Teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada klien
dengan menegangkan otot-oto tertentu dan kemudian relaksasi. Relaksasi progresif adalah salah
satu cara dari teknik relaksasi mengombinasikan latihan napas dalam dan serangkaian seri
kontraksi dan relaksasi otot tertentu. (Kustanti dan Widodo, 2008). Prosedur Relaksasi Pasien
PJK sebagau berikut:
a. Jelaskan tujuan, manfaat dan prosedur terapi yang akan dilakukan kepada klien
b. Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu berbaring dengan mata mata tertutup
menggunakan bantal dibawah kepala dan lutut atau duduk di kursi dengan kepala ditopang,
hindari posisi berdiri;

Gerakan 1
1. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
2. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi.
3. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan relaks selama 10 detik.
4. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
Gerakan 2
1. Tekuk kedua pergelangan tangan pasien ke belakang
2. Jari-jari ekstensi dan rasakan otot di bagian belakang dan lengan bawah menegang
3. Pada saat pergelangan tangan diluruskan kembali, klien dipandu untuk merasakan relaks
selama 10 detik.

Gerakan 3
1. Telapak tangan mengepal
2. Bawa tangan yang sudah mengepal ke bahu hingga terasa tegang pada bagian otot lengan atas
3. Tahan beberapa detik
4. Pada saat tangan diluruskan kembali, klien dipandu untuk merasakan relaks selama 10 detik.

11
Gerakan 4

1. Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga menyentuh kedua telinga.

2. Tahan hingga beberapa detik

3. Pada saat kedua bahu diturunkan kembali, klien dipandu untuk merasakan relaks selama 10
detik.

• Gerakan 5 dan 6 bermanfaat untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti otot dahi, mata, rahang,
dan mulut).

• Gerakan 7 bermanfaat untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh di bagian rahang.
Dilakukan dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi.

• Gerakan 8 bermanfaat untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Dilakukan denga cara bibir
dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut.

12
• Gerakan 9 bermanfaat untuk merileksikan otot leher. Dilakukan dengan cara menekan kepala
pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga dapat merasakan ketegangan dibagian
belakang leher dan punggung atas.

• Gerakan 10 bermanfaat untuk merileksikan otot leher. Dilakukan dengan cara membenamkan
dagu ke dada.

• Gerakan 11 dilakukan dengan cara punggung dilengkungkan, lalu  busungkan dada, tahan kondisi
tegang selama 10 detik, kemudian relaks. Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil
membiarkan otot menjadi lemas.

13
• Gerakan 12 dilakukan dengan cara menarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara
sebanyak-banyaknya, lalu ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian
dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.

• Gerakan 13 dilakukan dengan cara menarik dengan kuat perut ke dalam. Tahan sampai menjadi
kencang dan keras selama 10 detik, lalu dilepaskan

• Gerakan 14 dan 15 dilakukan dengan cara meluruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha
terasa kencang, Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga ketegangan pindah
ke otot betis, tahan posisi selama 10 detik, lalu dilepas.

2. Diathermy
Infra Red Radiation (Luminous). Bermanfaat untuk mengurangi spasme otot superfisial,
memperlancar peredaran darah dan melunakan kulit dan superficial connective tissue dengan
adanya peredaran darah yang lancar. Dilakukan setiap hari dengan intensitas 40-60 cm dari
kulit penderita dengan waktu 15 menit.
3. Breathing Exercise
Tujuan ;
 Meningkatkan ventilasi.
 Meningkatkan efektifitas mekanisme batuk.
 Mencegah atelectasis.

14
 Meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi.
 Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
 Koreksi pola-pola nafas yang tidak efisien dan abnormal.
 Meningkatkan relaksasi.
 Mengajarkan pasien bagaimana melakukan tindakan bila terjadi

a. PURSED LIPS BREATHING


 Menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung dengan mulut
tertutup.
 Kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi
seperti bersiul.
 Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung.
 Akan terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan
diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan
kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi

b. SEGMENTAL BREATHING
Suatu latihan nafas pada segmen paru tertentu dengan tujuan melatih pengembangan paru
persegmen.

Penatalaksanaan :

a. Posisi pasien tidur miring dan diganjal bantal..


b. Tangan fisioterapis berada pada segment paru-paru kanan (atas, tengah atau bawah)

15
c. Instruksikan pasien untuk menarik napas dan tangan fisioterapis pada akhir inspirasi
diberikan tekanan kearah atas dalam dan saat akhir ekspirasi berikan tekanan ke arah luar
bawah.

4. Chest Mobilization exercise


Latihan yang menggabungkan gerakan aktif dari trunk atau ekstremitas dengan
pernapasan dalam. Meskipun mobilitas dada harus dipertahankan pada semua pasien untuk
ventilasi yang efektif dan harus dimulai segera setelah cedera. Teknik Chest Mobilization
merupakan teknik dasar dalam penanganan kasus penyakit paru kronik diantaranya yang
disebabkan oleh poor posture, rigidity, atau lack dari thoracic spine dan gerakan rib (Vibekk,
1991).
Teknik ini dibedakan dalam bentuk pasif dan aktif, Chest Mobilization dengan
memperhatikan kondisi pasien. Teknik Aktif Chest Mobilization bisa dilakukan dalam praktik
general, pasien dengan fase pemulihan bisa dilakukan modifikasi Teknik Aktif Chest
Mobilization untuk meningkatkan flexibilitas dari dinding dada. Teknik ini terdiri dari
meningkatkan mobilitas dada bagian upper, midle dan bagian lower
Tujuan:
 Meningkatkan ventilasi paru-paru dan pertukaran gas.
 Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas dinding dada dan bahu ketika mempengaruhi
respirasi
 Memperkuat atau menekankan kedalaman inspirasi dan mengendalikan ekspirasi.

16
 Sebelum dan sesudah intervensi, inspeksi, palpasi atau pengukuran ekspansi dada, termasuk
X-Ray dan tes fungsi paru perlu dilakukan kembali, sangat penting untuk mengkonfirmasi
perbaikan secara klinis.

5. Passive Movement
Pada beberapa penelitian Passive movement tidak terlalu berdampak signifikan pada kondisi
jantung. Namun, dalam study of paediatric patients, Gozal dkk menemukan bahwa untuk
mendapatkan hasil signifikan pada passive movement, Passive movement harus dilakukan dengan
kecepatan di atas atau sama dengan 40 rpm. Pada kecepatan repitisi tersebut ditemukan
peningkatan penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida yang signifikan
Passive movement dapat dilakukan dalam bentuk passive ROM exercise pada wrist, elbow,
shoulder, hip, knee, dan foot.
Indikasi passive movement
• Saat dalam kondisi akut, terdapat peradangan jaringan, atau saat pergerakan aktif sangat
menyakitan atau tidak mungkin dilakukan.
• Pada kondisi tirah baring, koma, atau paralisis.
• Langkah pertama dalam re-edukasi otot.

Kontra indikasi
• sesaat setelah terjadinya luka akut, fraktur, atau operasi.
• Tanda-tanda adanya efusi atau pembengkakan berlebih.
• Nyeri pada sendi yang cukup tajam.
• Ketika blok tulang membatasi pergerakan sendi.
• Jika gerakan mengganggu proses penyembuhan.
• Terjadinya hipermobiltas sendi
• hematoma
6. Free Active Exercise
Free active exercise adalah latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien secara mandiri.
Latihan ini dilakukan setelah pasien pulang dari rumah sakit dan dilakukan secara perlahan mulai
dari aktivitas ringan hingga ke aktivitas berat.
Free exercise dapat menyebabkan:
 Relaksasi yang disebabkan ritme alami dari latihan.
 Pemeliharaan bentuk otot.

17
 Koordinasi dengan pola alami.
 Kepercayaan diri dalam melaksanakan dan mengendalikan gerakan

Prosedur Free Active Exercise


1. Posisi awal
2. Instruksi pada pasien  akan membantu meningkatkan minat dan kooperasi pasien.
3. Kecepatan latihan  bergantung pada hasil yang diinginkan.
4. Durasi  bergantung pada kapasitas pasien.

Manfaat Free Active Exercise untuk circulatory dan respiratory


• Peningkatan respirasi
• Peningkatan sirkulasi lokal dan general
• Memberi pekerjaan pada otot jantung

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery Disease (CAD)
merupakan suatu penyakit yang terjadi ketika arteri yang mensuplai darah untuk dinding jantung
mengalami pengerasan dan penyempitan (Lyndon, 2014). Arteri yang mensuplai miokardium
mengalami gangguan, sehingga jantung tidak mampu untuk memompa sejumlah darah secara
efektif untuk memenuhi perfusi darah ke organ vital dan jaringan perifer secara adekuat. Pada
saat oksigenisasi dan perfusi mengalami gangguan, pasien akan terancam kematian. Kedua jenis
penyakit jantung koroner tersebut melibatkan arteri yang bertugas mensuplai darah, oksigen dan
nutrisi ke otot jantung. Saat aliran yang melewati arteri koronaria tertutup sebagian atau
keseluruhan oleh plak, bisa terjadi iskemia atau infark pada otot jantung ( Ignatavicius &
Workman, 2010).
Penyakit jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Tahun 2010 penyakit
jantung koroner mengakibatkan kematian pada pria sebanyak 13,1 %, di prediksi tahun 2020
menjadi 14,3 % dan 14,9% pada tahun 2030. Untuk wanita kematian akibat penyakit jantung
koroner pada tahun 2010 mencapai 13,6%, dan diprediksi pada tahun 2020 mencapai jadi 13,9 %
dan 14,1% pada tahun 2030 (Rilantono, 2012). Penyakit jantung koroner merupakan penyebab
kematian utama di Amerika Serikat, Negara Eropa, Jepang dan Singapura (Rao, 2011).
Di negara Amerika Serikat diperkirakan 16.300.000 orang atau 7% dari populasi penduduk
Amerika Serikat yang berumur lebih dari 20 tahun terdiagnosa penyakit jantung koroner. Dari
angka tersebut 18,3% adalah pria dan 6,1% adalah wanita. Di prediksi tahun 2030, 8 juta warga
Amerika serikat lainnya akan terdiagnosa penyakit jantung koroner yang merupakan presentasi
dari peningkatan sebesar 16,6% dari tahun 2010 dan pada tahun 2011 terdapat 785.000 kasus
baru penyakit jantung koroner, sementara 470.000 merupakan kasus serangan berulang (Roger
dkk., 2011).

19
Berdasarkan laporan WHO (2008) Penyakit jantung menjadi penyebab utama kematian di
negara – negara Asia pada tahun 2010. Untuk wilayah Asia Tenggara ditemukan 3,5 juta
kematian penyakit kardiovaskuler, 52% diantaranya disebabkan oleh penyakit infark miokard
(Indrawati, 2012). Di negara berkembang seperti Indonesia tingkat kejadian terus meningkat
setiap tahun. Hasil survei dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menunjukkan prevalensi
penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah
sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Angka penyakit jantung koroner di
wilayah Sumatera Barat mendekati prevalensi Nasional, yaitu mencapai 1,2%.
Diantara penyakit kardiovaskuler, penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama
kematian, kecacatan, penderitaan dan kerugian materi, serta menyebabkan keterbatasan fisik dan
sosial yang memerlukan penataan kehidupan pasien, komplikasi – komplikasi yang ditimbulkan
oleh penyakit jantung koroner tidak hanya masalah bagi pasien tapi juga pada keluarga. Jika
pasien bertahan dalam serangan pertama, masalah berikutnya kemungkinan peningkatan
serangan akan lebih besar lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan agar tidak terjadi
serangan berulang dan terjadi komplikasi, proses penyembuhan bisa lebih cepat lagi dan
meningkatkan kualitas hidup.

3.2 Saran
Makalah ini semoga berguna bagi pembaca dan untuk para mahasiswa bisa dijadikan
referensi untuk lebih menyempurnakan isi dari makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dharmono, T. Rehabilitasi jantung. Jakarta: DIII FKUI; 2008

Baliga, Ragavendra.2005. Cardiology. Elesevier Mosby: Philadelphia

Julian, Desmond. Cowan, J. McLenachan, James. 2005. Cardiology (8th ed). Elsevier Saunders. USA

Rusli M, dll.2013.Fisioterapi Resprasi.Politeknik kesehatan Makassar.Makassar.

Margiana, R. 2007. Kardiovaskuler. Jakarta: FKUI

Sistem kardiovaskuler. 18 Mei 2011. Diunduh dari : www.medicastore.com.

Infark Miokard Akut. 18 Mei 2011. Diunduh dari : http://www.lenterabiru.com/2009/01/acute-miocard-


infark-ami.htm

Jantung dan pembuluh darah. 18 Mei 2011. Diunduh dari : www.adedq.wordpress.com.

Price, Sylvia & Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi : konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta :
EGC

21

Anda mungkin juga menyukai