Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendiksitis atau radang apendiks adalah kondisi terjadinya infeksi

intraabdominal, kasus ini paling banyak ditemukan di negara-negara maju,

maupun pada negara berkembang. Hal ini mungkin terkait dengan diet serat

yang kurang pada masyarakat modern saat ini. Apendiksitis dapat ditemukan

pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang terjadi.

Insidensi pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak daripada wanita

(Santacroce dalam Muttaqin, 2018). Apendisitis ditemukan pada semua

kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun (Ajidah & Haskas, 2014).

Apendisitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan merupakan

penyebab masalah abdomen yang paling sering (Dermawan &

Rahayuningsih, 2016). Komplikasi apendiksitis yang sering terjadi yaitu

apendiksitis perforasi yang dapat menyebabkan perforasi atau abses sehingga

diperlukan tindakan pembedahan (Haryono, 2012).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan pada tahun

2016 jumlah penderita apendiksitis mencapai 591.819, pada tahun 2017

sebesar 596.132 orang dan insiden ini menempati urutan tertinggi di antara

kasus kegawatan abdomen lainnya (Kemkes RI, 2018). Penderita apendiksitis

yang dirawat di rumah sakit pada tahun 2018 sebanyak 3.236 orang dan pada

tahun 2019 sebanyak 4.351 orang (Kemkes RI, 2018). Kementrian Kesehatan

menganggap apendiksitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal

1
2

dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat

(Kemkes RI, 2018). Apendiksitis merupakan salah satu penyebab untuk

dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Hal-hal yang berhubungan

dengan perawatan klien post operasi dan dilakukan segera setelah operasi

diantaranya adalah dengan memperhatikan kebutuhan intake cairan

(Muttaqin, 2019).

Tindakan pembedahan sendiri akan memicu gangguan keseimbangan

cairan dan elektrolit yang biasanya diakibatkan oleh puasa yang harus

dilakukan sebelum pembedahan, kehilangan banyak cairan melalui saluran

cerna seperti muntah, diare, dan dilatasi lambung atau usus, selain itu

perdarahan dan perpindahan cairan juga akan mempengaruhi keseimbangan

cairan (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010). Pembedahan, puasa pra

pembedahan, muntah, diare, dehidrasi dan luka bakar akan menyebabkan

perubahan dan komposisi cairan tubuh sehingga dapat menyebabkan

gangguan fisiologis yang berat (Indriawati, 2013).

Gangguan keseimbangan cairan dan eletrolit dapat berupa kelebihan

cairan atau overhidrasi dan kekurangan intake cairan atau dehidrasi,

kekurangan cairan tubuh sendiri bisa disebabkan oleh kehilangan cairan tubuh

yang berlebih, pemasukan (intake) cairan yang kurang dan berpindahnya

cairan dari intravascular ke interstisial (rongga ketiga) (Sjamsuhidajat & De

Jong 2014). Kekurangan volume cairan tubuh sendiri dapat ditandai dengan

penurunan tekanan darah, penurunan nadi, penurunan turgor kulit, penurunan


3

pengisian vena, membran mukosa kering, haus, kulit kering, kelemahan,

peningkatan konsentrasi urin (Black & Hawks, 2014).

Terapi cairan atau pemenuhan kebutuhan intake cairan pada pasien

post-op apendiksitis sangat dibutuhkan untuk meningkatkan dan

mempertahankan kebutuhan cairan dalam tubuh seseorang yang telah

menjalani masa pembedahan, karena pada masa tersebut tubuh memerlukan

tambahan pemberian cairan untuk mengganti asupan cairan yang hilang pada

saat pembedahan (Sjamsuhidajat & De Jong, 2014). Terapi cairan pada

pembedahan juga bertujuan untuk menyediakan cairan yang cukup untuk

mempertahankan volume intravaskuler yang adekuat sehingga sistem

kardiovaskuler dapat bekerja optimal (Perhimpunan Dokter Spesialis

Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, 2019).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Hanato (2013) dengan judul

Hubungan Intake Cairan dengan Penyembuhan Luka Post Operasi

Apendisitis di RS Swasta Lamongan menunjukkan bahwa sebagian besar

responden yaitu 14 pasien (66,7%) intake cairannya normal dan sebagain

besar responden yaitu 11 pasien (52,4%) penyembuhan luka abnormal. Hasil

uji Koefisien Kontingensi didapatkan C=0,596 dan p=0,001 dimana p 0,05

artinya ada hubungan antara intake cairan dengan penyembuhan luka post

operasi apendisitis. Untuk membantu proses penyembuhan luka, pasien

dianjurkan intake cairan yang maksimal agar kebutuhan cairan terpenuhi dan

penyembuhan luka menjadi normal (Hanato, 2013).


4

Berdasarkan latar belakang di atas pemenuhan kebutuhan cairan

diperlukan pada pasien kasus post-op apendiksitis hari pertama pembedahan,

maka dengan ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Studi Literatur Asuhan Keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan intake

cairan pada pasien post op appendiktomi hari pertama”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang peneliti angkat berdasarkan uraian

latar belakang di atas yaitu: Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien

gangguan pencernaan post op appendiktomi dalam pemenuhan kebutuhan

intake cairan?

C. Tujuan penelitian

Tujuan dari studi literatur ini yaitu untuk mengidentifikasi asuhan

keperawatan pada klien kasus post op appendiktomi hari pertama dalam

pemenuhan kebutuhan cairan.

D. Manfaat Penelitian

Studi literatur ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Masyarakat :

Sebagai bahan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya

menjaga kebutuhan cairan tubuh khusunya pada pasien yang telah

menjalani pembedahan.
5

2. Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan :

Dapat dijadikan sebagai bahan pustaka bagi tenaga kesehatan/

keperawatan maupun bagi mahasiswa kesehatan yang ingin mengkaji

tentang gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan dengan kasus

post-op appendiktomi di hari pertama.

3. Penulis :

Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis dalam melakukan studi

literatur terkait prosedur asuhan keperawatan khususnya dalam

pemenuhan kebutuhan intake cairan pasien post op appendiktomi hari

pertama.

Anda mungkin juga menyukai