Penjelasan:
1.
Zhahir dari makna tersebut; “Kecintaan mereka terhadap sekutu-sekutu
mereka” adalah termasuk kecintaan terhadap Allah, padahal kecintaan kepada
Allah adalah kecintaan pengagungan, ketundukan dan kepatuhan. Sebab tidak
semua kecintaan menjadi ibadah sampai terkandung di dalamnya
pengagungan dan ketundukan. Karena itu disebutkan “seperti kecintaan
Allah” bukan “sebagaimana kecintaan mereka pada Allah”. Jadi, pada saat
mencintai mereka dengan kecintaan yang paling agung, mereka benar-benar
merasa takut. Mereka yakin, bahwa yang mereka sembah itu bisa
memberikan kebaikan atas apa yang mereka nadzarkan bagi para sesembahan
itu dan atas apa yang mereka sembelih dan persembahkan dari harta mereka
untuk para sesembahan itu. Mereka berharrap mendapat bantuan dan
pertolongan untuk menangkal marabahaya dan mencegah bencana. Mereka
merasa khawatir terhadap dendam para sesembahan itu dengan
membinasakan tanaman mereka atau membinasakan anak-anak dan diri
mereka sendiri. Mereka tidak mengharapkan peranan Allah terhadap mereka,
sebagaimana mereka berharap terhadap para sesembahan itu. Mereka tidak
takut kepada Allah sebagaimana mereka takut kepada para sesembahan itu.
Maka mereka merasa bangga dalam mendekatkan diri kepada yang telah mati
dari kalangan para wali mereka. Sementara mereka merasa tidak tenang jika
berbuat baik dalam rangka mencari ridha Allah, atau dengan berbuat baik
kepada orang tua atau silaturrahmi atau memberi makan pada yang kelaparan
dan yang membutuhkan atau menolong orang miskin dari penduduk
negerinya. Inilah kondisi para penyembah kuburan dan orang-orang yang
telah mati di zaman sekarang ini.
Jika diamati dan dicocokkan kondisi mereka pada ayat-ayat kaum musyrikin
di dalam Al Qur`an, maka akan ditemukan, bahwa mereka melebihi kaum
musyrikin pada masa jahiliyah. Wallahu Al Musta’an, tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dari Allah
2.
Barangsiapa yang mencermati kecintaan kaum musyrikin zaman kita sekarang
ini, yaitu kecintaan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka yang yang mereka
sebut sebagai para wali, tentu akan mengetahui dengan yakin, bahwa mereka
mencintai tuhan-tuhan itu melebihi kecintaan mereka terhadap Allah. Mereka
bersedekah untuk dipersembahkan kepada tuhan-tuhan tersebut dengan nilai
yang tidak bisa mereka persembahkan kepada Allah.
3.
Dalam Qurratu Al Uyun disebutkan, karena tauhid adalah pengertian kalimat
yang agung ini, dan itu jelas sebagaimana yang diternagkan oleh ayat dan
hadits di atas. di dalamnya ada keterangantambahan dan pengungkapan
sesuatu yang masih rancu, dan menegakkan dalil atas orang yang salah dalam
mengartikan “Laa Ilaaha Illallah” dari orang-orang yang bodoh dan orang
yang menyimpang.
4.
Hadits riwayat At-Tirmidzi dari Anas bin Malik RA dari Nabi SAW.
5.
Dalam Qurratu Al Uyun disebutkan: Maksudnya mereka orang-orang yang
diseru oleh orang-orang musyrik adalah termasuk orang yang tidak dapat
menghilangkan bahaya dan tidak dapat memindahkannya, baik berupa
malaikat-malaikat, nabi-nabi, orang-orang shalih seperti nabi Isa, ibunya dan
Uzair. Agama mereka adalah tauhid, yaitu bertentangan denganorang yang
mereka seru selain Allah, dan Allah memberi sifat dengan firman-Nya,
“Mereka sendiri senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada-Nya).” Mereka
mencari kedekatan kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya dan menaati apa
yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, dan
taqarrub yang paling besar adalah tauhid yang Allah mengutus para nabi dan
rasul-Nya karenanya dan mewajibkan mereka supaya mengamalkan dan
mengajak kepadanya. Inilah yang menjadikan mereka dekat kepada Allah.
Maksudnya kepada ampunan-Nya dan ridla-Nya dan Allah menjadikan kriteria
itu dengan firman-Nya, “Dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut
akan siksa-Nya.” Maka mereka tidak berharap dari selain-Nya dan tidak takut
kepada selain-Nya. Itulah mentauhidkan-Nya, karena hal itu dapat mencegah
mereka dari syirik dan mewajibkan mereka berharap rahmat Allah dan
menjauh dari siksaNya. Sedangkan orang yang menyeru mereka- dan
keadaannya seperti ini- telah memutar balikkan masalah. Ia meminta dari
mereka apa yang mereka ingkari yaitu, syirik kepada Allah. Inilah arti firman
Allah, “Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu”. (Qs.
Faathir (35): 14) Firman Allah, “Dan apabila manusia dikumpulkan (pada
hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan
mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (Qs. Al Ahqaaf (46): 6)
Dalam ayat ini ada bantahan terhadap orang yang menyangka, bahwa
syiriknya orang-orang musyrik hanya dengan menyembah berhala-berhala.
Juga telah jelas dengan ayat ini, bahwa Allah Ta’ala mengingkari orang yang
menyeru kepada selain-Nya baik para nabi, orang-rang shalih, malaikat-
malaikat dan lain sebagainya. Juga bahwasanya menyeru kepada orang-orang
mati dan sesuatu yang ghaib untuk mendatangkan manfaat atau menolak
bahaya adalah termasuk syirik besar yang tidak akan mendapat ampunan dari
Allah, dan hal itu menafikan apa yang ditunjukkan oleh kalimat ikhlas.
Maka renungkanlah ayat yang agung ini. Anda akan mendapat kejelasan
tauhid dan apa yang menafikkannya yaitu syirik dan persekutuan. Karena ayat
ini turun berkenaan dengan orang yang menyembah malaikat, nabi Isa, ibunya
dan Uzair. Merekalah yang dimaksud dengan firman Allah, “Katakanlah,
“Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka
tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu
dan tidak pula memindahkannya.” (Qs. Al Israa`(17): 56) Kemudian Allah
menerangkan, bahwa mereka (orang-orang musyrik) telah menyalahi orang-
orang yang menyeru dalam agama-Nya. Dia berfirman, “Orang-orang yang
diseru oleh kaum musyrikin itu, mereka sendiri senantiasa berusaha unntuk
mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih
dekat (kepada-Nya).” (Qs. Al Israa` (17): 57)
Allah mendahulukan ma’mul (obyek), karena menunjukkan
pengkhususan. Maksudnya mereka mencari wasilah kepada Tuhan mereka
tidak kepada selain-Nya, dan wasilah yang paling besar kepada Allah Ta’ala
adalah tauhid yang Allah mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya serta
menciptakan makhluk karenanya. Termasuk bertawasul kepada-Nya adalah
tawasul dengan Asma (Nama-Nama) dan sifat-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman, “Hanya milik Allah Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu.” (Qs. Al A’raaf (7): 180)
Sebagaimana telah tertuang dalam dzikir yang ma’tsur yang digunakan
tawasul dalam do’a. Seperti sabda Nabi SAW,
ِ ْت َو ْاألَر
ض يَا َذا ُ َّت ْال َمن
ِ ان بَ ِد ْي ُع ال َّس َم َوا َ ك ْالَح ْم ُد الَ إِلَهَ إِالَّ أَ ْن
َ َك بِأ َ َّن ل َ ُاللَّهُ َّم إِنِّي أَسْأَل
.ْال َجالَ ِل َو ْا ِإل ْك َر ِام
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa bagi-Mu
segala puji tidak ada sesembahan kecuali Engkau, Maha Pemberi, Pencipta
langit dan bumi wahai Dzat Yang Maha Agung dan Mulia.”
Sabda Nabi,
ص َم ُد الَّ ِذي لَ ْم يَلِ ْد َ ت هللاَ الَ إِلَهَ إِالَّ أَ ْن
َّ ت اأَل َح ُد ال َ ك أَ ْن
َ َك ِبأ َ َّن ل
ˆَ ُاللَّهُ َّم إِنِّي أَسْأَل
.َولَ ْم ي ُْولَ ْد َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َح ٌد
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadamu bahwa Engkau adalah
Allah tidak ada sesembahan kecuali Engkau Yang Maha Esa, Tempat
bergantung kepada-Nya segala sesuatu Yang tidak beranak dan tidak
diperanakkan dan tidak ada seorangpun setara dengan-Nya.”
Dan amal-amal shalih yanng murni lainnya yang tidak dicampuri syirik.
Tawassul kepada Allah adalah dengan apa yang Dia cintai dan ridhai,
tidak dengan apa yang Dia benci dan tolak, yaitu syirik yang Dia
membersihkan diri-Nya dari syirik tersebt. “Katakanlah, “Apakah kamu
mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan
tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang
mereka mempersekutukan (itu). (Qs. Yuunus (10):18)
Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat dalam Al Qur’an. Allah
menyuruh hamba-hamba-Nya supaya memurnikan ibadah hanya kepada-Nya
dan melarang mereka dari beribadah kepada selain-Nya. Dia mengeraskan
siksa-Nya sebagaimana telah ditimpakan terhadap umat-umat yang
mendustakan para rasul dan apayang mereka bawa, yaitu tauhid dan larangan
syirik. Oleh karena itu Allah menimpakan siksa kepada mereka, seperti kaum
nabi Nuh, ‘Aad, Tsamud dan lain sebagainya, karena mereka telah durhaka
terhadap para rasul dan terhadap apa yang mereka perintahkan, yaitu tauhid.
Mereka berpegang kepada syirik. Mereka berkata kepada Nuh, “Dan kami
tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-rang yang
hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Qs. Hud (11): 27) mereka
berkata kepada nabi Huud, “Kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu
bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-
sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan
mempercayai kamu.” (Qs. Huud (11): 53) dan seterusnya. Mereka berkata
kepada nabi Shalih, “Sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di
antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk
menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?” (Qs. Huud (11): 62)
Mereka berkata kepada Syuaib, “Apakah agamamu yang menyuruh kamu
agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami.” (Qs.
Huud (11): 87)
Maka renungkanlah apa yang diceritaka Allah Ta’ala dalam kitab-Nya
dari apa yang didakwahkan para rasul dan apa yang ditimpakan kepada orang-
orang yang durhaka kepada mereka, karena Allah Ta’ala telah mendirikan
dalil terhadap setiap orang musyrik hingga pada hari kiamat. Adapun arti ayat
tersebut, yaitu menurut riwayat dari Ibnu Mas’ud, “Dahulu ada golongan
manusia penyembah golongan jin. Lalu jin itu masuk Islam dan mereka
berpegang kepada agama mereka.”
Ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah diterangkan,
karena ayat ini merupakan dalil atas setiap orang yang menyeru (berdoa
terhadap) seorang wali dari kaum dahulu dan kaum sekarang bersamaan
dengan Allah. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata dalam menafsiri ayat ini, “Dan perkataan-perkataan ini semuanya
adalah benar, karena ayat ini mencakup orang yang sesembahannya adalah
penyembah Allah baik malaikat, jin atau manusia.”
6.
Maksudnya, karena semua orang-orang shalih yang diseru dan dimintai
pertolongan oleh orang-orang musyrik, bisa jadi sebagai perantara kepada
Allah untuk menyampaikan hajat mereka, dan bisa jadi murni bahwa orang-
orang musyrik itu meminta mereka supaya memenuhi hajat mereka seraya
meyakini, bahwa Allah telah memberi kekuasaan kepada mereka. Orang-orang
shalih yang meyibukkan diri mereka, mereka berdoa kepada Allah untuk hajat
itu dan bertawasul kepada-Nya, takut siksa-Nya dan mengharapkan rahmat-
Nya. Ternyata mereka tidak dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya
untuk dirinya. Maka bagaimana mungkin mereka dapat mendatangkan manfaat
atau menolak bahaya untuk orang lain?