Pandemi Covid-19 sudah merupakan ancaman terhadap keamanan negara. Dengan
demikian penanganannya tidak cukup dilakukan hanya melalui upaya kesehatan semata serta hanya diserahkan kepada pemerintah. Ini harus menjadi tanggung jawab dari seluruh rakyat Indonesia. Sesuai dengan sistem pertahanan negara yang bersifat semesta sebagaimana ketentuan pasal 1 UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. “Sangat disayangkan, sekalipun sistem ini bersifat semesta, namun ternyata usaha yang dilakukan dalam mewujudkannya belum bersifat total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,” kata Pembina YSNB Pontjo Sutowo dalam bedah buku “Menggalang Ketahanan Nasional Dengan Paradigma Pancasila” dengan tema “Dampak Semesta Covid-19 Terhadap Perdamaian – Keamanan Global dan Ketahanan Nasional Indonesia”, beberapa waktu lalu. Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai mengatakan, pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan global. Organisasi regional telah berkurang perannya sehingga memaksa negara bangsa harus berjuang sendiri menghadapi pandemi Covid-19. “Hal ini membuat bangsa ini perlu segera memperkuat ketahanan nasionalnya. Ketahanan nasional yang tentu saja berbasis Pancasila,” tuturnya. Sementara itu pengamat Riant Nugroho mengelaskan, keunggulan suatu negara- bangsa sebenarnya ditentukan oleh keunggulan kebijakan publiknya. Demikian pula dalam dalam penanganan sistem ketahanan nasional Indonesia ataupun penanganan Pandemi Covid19. "Pada saat ini yang kita perlukan adalah bagaimana mengubah kebijakan yang biasa menjadi kebijakan yang luar biasa dengan mengedepankan bangsa dan negara sehingga menjadi bangsa unggul dan terhindar dari krisis,” ujarnya. Penyebaran pandemi Covid-19 telah menimbulkan kekhawatiran di dalam masyarakat mengenai ketersediaan pangan di Indonesia. Walaupun wabah Covid-19 masih dalam kategori tinggi, akan tetapi kegiatan produksi dan distribusi bahan pangan harus tetap berjalan di tengah pandemi ini. Stabilisasi harga pangan pun selalu diupayakan pemerintah agar pasokan makanan cukup. Rayyane Mazaya Syifa Insani, Dosen Food Technology Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) mengatakan, pandemi ini berdampak besar pada ketahanan pangan. Seperti yang telah dilansir oleh organisasi dunia seperti Food and Agriculture Organization (FAO), International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan United Nation (UN), pandemi Covid-19 dapat memunculkan krisis pangan baru yang mempengaruhi ketahanan pangan suatu negara, terutama negara miskin dan berkembang. “Pandemi ini menyebabkan gangguan sistem logistik global yang berdampak pada persoalan akses pangan. Di Indonesia sendiri, dan juga negara lain yang memiliki tingkat ekonomi serupa atau di bawah Indonesia, masalah akses pangan yang timbul umumnya dipengaruhi penghasilan masyarakat yang tidak memadai, bahkan sekedar untuk membeli pangan pokok. Banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19, menyumbang andil pada menurunnya ketahanan pangan sampai masyarakat harus bergantung pada bantuan pangan dari pemerintah” kata dia dalam siaran pers yang diterima Kontan.co.id, Senin (27/7) Berdasarkan data yang dirilis oleh Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, ada kenaikan harga pangan yang bergantung impor, misalnya gula yang terindikasi naik. Kenaikan harga juga terjadi pada bawang merah dan bombai, namun saat ini sudah menurun kembali. Disamping itu, pandemi ini juga berdampak pada kehidupan petani di Indonesia. Persebaran virus korona yang cepat memang membuat para pemimpin dunia khawatir. Sejauh ini, mengacu pada data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 176 negara yang dikonfirmasi telah terdampak virus yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Tiongkok, pada Desember 2019. Adapun data statistik yang disajikan Worldometer menyebutkan jumlah kasus yang terjadi di seluruh dunia mencapai 219.702 kasus, dengan rincian jumlah pasien sedang dalam kondisi terjangkit 124.973, jumlah korban meninggal 8.978, dan berhasil sembuh 85.751 (Worldometers.info, 2020). Di antara statistik di atas, Indonesia juga termasuk negara yang terdampak. Pemerintah Indonesia mendeteksi keberadaan pasien positif korona pada awal Maret 2020. Jumlah pasien positif korona mengalami peningkatan hari demi hari. Melihat persebaran yang cepat, membuat pemerintah Indonesia mengambil langkah waspada. Presiden Joko Widodo mengumumkan status korona sebagai bencana nasional serta meminta masyarakat untuk tenang, kemudian diikuti dengan agar masyarakat Indonesia bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah (Media Indonesia, 15/3). Ancaman yang ada di depan mata ialah perlambatan ekonomi global karena sebagian besar negara telah menetapkan pembatasan ruang gerak barang dari luar negeri. Aktivitas ekspor-impor terhenti. Devisa negara menurun. Bencana korona juga sudah pasti membuat neraca keuangan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, berada dalam kondisi tidak sehat. Itu karena sebagian dana harus dialokasikan untuk menghadapi virus mematikan tersebut. Neraca keuangan negara yang mengacu pada RAPBN perlu penyesuaian. Pada momen seperti saat ini, solidaritas seluruh elemen bangsa memang sangat dinanti. Korona seumpama musuh yang harus dikalahkan secara bersama-sama. Pemerintah harus bekerja sama dengan elemen organisasi masyarakat sipil, perusahaan, dan masyarakat luas tentang langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk dilaksanakan secara bersama. Pemerintah perlu berperan sebagai komando yang setiap perintahnya harus diikuti semua elemen bangsa. Tanpa adanya kerja sama, sangat sulit untuk meredam persebaran virus ini. Dalam konteks ketahanan nasional, daya tahan kita sebagai bangsa memang tengah diuji dimulai dari ketangguhan masyarakat dalam menyiapkan kondisi fisik untuk bisa bertahan melawan virus yang rentan menyerang kelompok usia 60 tahun ke atas. Konfigurasi kekuatan nasional, baik militer maupun nonmiliter, untuk antisipasi kemungkinan-kemungkinan ke depan. Kepatuhan masyarakat untuk melaksanakan imbauan pemerintah tidak keluar rumah selama proses isolasi diri. Solidaritas sesama warga negara ketika berada dalam bencana, apakah citra sebagai bangsa yang gotong royong masih mengakar atau tidak. Atau, malah sebaliknya, di tengah bencana muncul orang-orang egois yang hanya mempertimbangkan keuntungan pribadi dengan memborong bahan pangan di pasaran, di antaranya para spekulan yang mengambil untung dari kebutuhan masyarakat yang tengah membutuhkan produk kesehatan, seperti masker dan hand sanitizer, para politikus yang mencari panggung di tengah derita rakyat biasa, dan para penyebar berita bohong untuk menyebabkan kepanikan di tengah masyarakat. Akhirnya, kehadiran pemerintah sebagai pemimpin garda terdepan untuk melawan korona sangat dinantikan bangsa ini. Kebijakan nasional yang tepat dan terukur sangat dibutuhkan. Keterbelahan akibat kontestasi politik di masa lalu sebaiknya dinegasikan untuk sementara waktu. Itu karena kita dan bangsa-bangsa di dunia tengah berjuang menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa yang bisa diselamatkan. Pasca-diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara parsial di beberapa kota besar, saat ini pemerintah berkonsentrasi pada upaya mengamankan stok kebutuhan pokok. Untuk memenuhi kebutuhan pangan lebih dari 267 juta penduduk Indonesia, Presiden memerintahkan jajarannya untuk membuka lahan sawah baru di seluruh wilayah Indonesia. Langkah ini menjadi jawaban atas peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) bahwa dunia akan mengalami krisis pangan di akhir Agustus 2020 sebagai dampak penyebaran COVID-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Presiden juga meminta jajarannya untuk terus memantau stabilitas harga kebutuhan pokok agar tidak meroket. Padahal, hampir semua harga kebutuhan pokok terlanjur naik dua hingga tiga kali lipat. Di tengah menurunnya daya beli masyarakat karena pemotongan gaji atau tidak digaji oleh perusahaan tempat bekerja, tulisan ini berpendapat bahwa ‘intervensi’ pemerintah untuk memastikan stabilitas harga kebutuhan pokok mutlak diperlukan. Meskipun terlambat, kebijakan ketahanan pangan (food security) menjadi kata kunci dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini. Idealnya, negara hadir mengambil peran memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya. Ketika pemerintah terlambat merespon situasi darurat, rakyatlah yang menjadi korban. Situasi inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Harus diakui ketika COVID-19 akhirnya masuk ke Indonesia pada pertengahan Februari tahun ini, pemerintah tidak siap menghadapinya. Ketika sejak awal banyak negara menutup pintu masuk ke negaranya untuk mencegah penyebaran COVID-19, pemerintah malah menggenjot sektor pariwisata. Pun ketika virus ini menyerang negara-negara tetangga, alih- alih menyiapkan diri, sejumlah petinggi malah menyepelekan keberadaan virus tersebut. Kesombongan’ juga ditampakkan oleh sejumlah pejabat negara melalui pernyataan demi pernyataan di media bahwa COVID-19 tidak mungkin masuk ke Indonesia dengan menyebut berbagai alasan yang belum terbukti kebenarannya. Akibatnya, ketika COVID-19 akhirnya sampai di negeri ini, pemerintah Indonesia tergagap menghadapinya. Keterlambatan respon pemerintah melahirkan kepanikan di masyarakat. Seperti beberapa negara lain, Indonesia juga masih dihantui dengan semakin cepat dan luasnya penyebaran, serta semakin meningkatnya jumlah pasien positif COVID-19. Bahkan, jumlah pasien yang meninggal dunia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN dengan grafik yang belum melandai. Situasi penuh ketidakpastian ini melahirkan kepanikan di masyarakat. Mereka berbondong-bondong menyerbu pusat perbelanjaan dan memborong berbagai produk kebutuhan atau yang populer dengan istilah panic buying. Kelangkaan stok barang di pasaran tentu berimbas pada kenaikan harga komoditas tersebut. Daya beli yang semakin lemah di tengah kelangkaan dan meroketnya harga kebutuhan pokok membuat kelompok rentan semakin tidak berdaya. Ditambah lagi sekarang mau tidak mau harus menghadapi kenyataan bahwa perusahaan tidak lagi mampu membayar gaji mereka. Selain karyawan korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerja informal juga merupakan pihak yang paling terpapar, sementara jaring pengaman sosial negara ini belum memadai. Menurut World Food Summit (1996), ketahanan pangan terjadi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup aman dan bergizi yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dan preferensi makanan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. FAO (2015) merumuskan empat dimensi yang harus diperhatikan keberlanjutannya untuk mencapai ketahanan pangan, yaitu ketersediaan makanan (availability), akses yang terjangkau (access), penggunaan dan pemanfaatan makanan (utilization), dan stabilitas pasokan dan akses (stability). FAO (2008) menjabarkan empat dimensi tersebut sebagai berikut. Ketersediaan fisik pangan merujuk pada ‘sisi pasokan’ ketahanan pangan yang ditentukan oleh tingkat produksi pangan, tingkat stok, dan perdagangan bersih. Namun demikian, pasokan makanan yang memadai di tingkat nasional atau internasional tidak dengan sendirinya menjamin keamanan pangan di tingkat rumah tangga karena kurangnya akses pangan. Sementara itu, pemanfaatan makanan berkaitan dengan gizi individu yang dalam hal ini umumnya dipahami sebagai cara tubuh memanfaatkan berbagai nutrisi dalam makanan. Terakhir, stabilitas mengacu pada kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan secara berkala, bukan hanya untuk hari ini saja. Agar tujuan ketahanan pangan dapat terwujud, keempat dimensi ini harus dipenuhi secara bersamaan. Pemenuhan empat dimensi tersebut dapat menjadi masalah di saat pandemi COVID- 19 seperti saat ini. Kegagalan mewujudkan ketahanan pangan dapat berujung pada kondisi kerawanan pangan yang kronis, yaitu kondisi dimana masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode waktu yang lama. Untuk itu, intervensi pemerintah melalui kebijakan berkelanjutan terkait ketahanan pangan sangat dibutuhkan. Meskipun pemerintah telah menggelontorkan bantuan sosial melalui pembagian sembako dan pemberian uang tunai dari beragam pos dana sosial, namun belum menjangkau seluruh kelompok rentan. Kebijakan kompensasi memang berperan penting menyelamatkan masyarakat yang berada pada ruang konsumsi margin, tetapi tidak efektif untuk ketahanan jangka panjang di tengah ketidakpastian kapan pandemi berakhir. Harga kebutuhan pokok merupakan sinyal kunci atas kondisi ketahanan pangan. Harga pangan yang tidak stabil membawa konskuensi negatif di level rumah tangga maupun negara. Dalam kondisi krisis pangan, rumah tangga rentan seringkali menguras modal keuangan dan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Pada level yang lebih tinggi, instabilitas harga pangan menimbulkan dampak yang lebih dalam dan berbahaya, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, pemerintah berkewajiban menjaga persediaan makanan pokok yang mudah diakses dengan harga stabil. Untuk mencapai ketahanan pangan jangka panjang, pemerintah perlu melibatkan pemangku kepentingan. Misalnya, pihak kampus atau lembaga penelitian dan industri pangan itu sendiri perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Kerja sama antar-pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mencapai kesamaan pemahamam sekaligus mengidentifikasi katalis dan hambatan potensial menuju perubahan kebijakan. Dari sini pemerintah dapat memutuskan apakah kebijakan membuka lahan baru merupakan kebijakan yang tepat di tengah semakin kompetitifnya lahan dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem alami. Selain kebijakan, konsistensi implementasi yang berkelanjutan juga penting, bukan hanya heboh di depan tetapi melempem dalam perjalanannya. Tata kelola lahan yang tidak berkelanjutan (unsustainable land management) dapat menurunkan produktivitas lahan di samping semakin minimnya lahan produktif akibat pemukiman dan indutrialisasi. Terakhir, monitoring dan evaluasi yang tepat dibutuhkan untuk mengawal implementasi kebijakan. Meskipun dalam masa pandemi seperti saat ini, monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk menjaga agar kebijakan tetap akuntabel, konsisten di jalurnya, dan tepat sasaran.