Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

ERITEMA NODOSUM LEPROSUM

Oleh :

Nicole Anne Teng Ai Ming (2002612128)


Sarasukma Maharani (2002612130)
Audrey Rachel Wijaya (2002612134)

Pembimbing :

Dr. dr. Luh Mas Rusyati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia- Nya, laporan kasus yang berjudul “Eritema Nodosum Leprosum” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,
petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini,
penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr.dr.IGN Darmaputra, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV selaku Ketua
SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi FK Universitas Udayana,
RSUP Sanglah, Denpasar.
2. dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK(K), FINSDV selaku Koordinator
Pendidikan Dokter SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar.
3. Dr. dr. Luh Mas Rusyati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku
pembimbing kami yang senantiasa membimbing dan memberikan
masukan dalam penyususan laporan kasus ini.
4. Dr. Putu Dyah Sawitri selalu residen pendamping kami yang
memberikan arahan dalam penulisan laporan kasus ini
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan
dan bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan
memberi manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, 6 Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................2
2.1 Definisi.................................................................................................................2
2.2 Etiologi ................................................................................................................2
2.3 Epidemiologi........................................................................................................2
2.4 Patogenesis...........................................................................................................3
2.5 Gejala Klinis ........................................................................................................3
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding ......................................................................4
2.7 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................5
2.8 Penatalaksanaan...................................................................................................6
BAB III LAPORAN KASUS.....................................................................................8
3.1 Identitas Pasien.....................................................................................................8
3.2 Anamnesis............................................................................................................8
3.3 Pemeriksaan Fisik................................................................................................9
3.4 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................11
3.5 Diagnosis Banding...............................................................................................11
3.6 Diagnosis Kerja....................................................................................................12
3.7 Penatalaksanaan...................................................................................................12
3.8 KIE.......................................................................................................................12
3.9 Prognosis..............................................................................................................13
BAB IV PEMBAHASAN..........................................................................................14
BAB V SIMPULAN..................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae (M. leprae). Penyakit ini menyerang saraf tepi, kulit, serta jaringan tubuh
lainnya seperti mata, mukosa, saluran pernafasan bagian atas, system
retikuloendotelial, otot, dan tulang.1 World Health Organization (WHO) sejak tahun
1991 menyatakan tingkat prevalensi kusta sebesar satu kasus per 10.000 populasi
dan menganggap kusta merupakan suatu masalah kesehatan publik. Pada tahun 2018
di Indonesia, jumlah total kasus baru kusta sebanyak 15.920 kasus dengan angka
prevalensi 0.72 per 10.000 penduduk. Indonesia sendiri termasuk negara ketiga
dengan jumlah kasus kusta terbanyak di dunia.2,3
Reaksi kusta adalah berbagai gejala dan tanda peradangan akut lesi kusta yang
dapat dianggap sebagai bagian dari perjalanan penyakit kusta. Reaksi kusta
merupakan reaksi imunologi yang dapat berdampak secara bermakna pada
perjalanan penyakit serta berhubungan dengan disabilitas. Reaksi kusta dapat terjadi
sebelum, saat, maupun setelah pengobatan. Terdapat dua tipe reaksi kusta yaitu
reaksi reversal (reaksi tipe 1) dan eritema nodosum leprosum (reaksi tipe 2).4
Eritema nodosum leprosum (ENL) adalah reaksi yang disebabkan saat
sejumlah besar bakteri M. leprae mati dan didegradasi bertahap oleh tubuh
melepaskan protein yang memicu reaksi alergi. ENL merupakan komplikasi
imunologi kusta tipe BL dan LL yang sulit diatasi. Sebagian besar pasien ENL dapat
mengalami beberapa episode dalam beberapa tahun seperti episode akut berulang
maupun episode kronis. Manifestasi dari ENL adalah berupa lesi eritema yang luas,
nodul inflamasi, dan papul baik superfisial atau dalam. Selain itu, dapat juga
ditemukan ulkus, nekrosis, pustul, dan bula. Reaksi ENL juga dapat disertai gejala
sistemik seperti demam tinggi, edema perifer, serta proteinuria transien.4,5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Reaksi kusta pada penderita kusta merupakan fenomena imunologi yang dapat
terjadi sebelum, saat, dan setelah pengobatan lengkap Multi Drug Treatment(MDT).
Terdapat 2 jenis reaksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan tipe 2 atau
Eritema Nodosum Leprosum (ENL)6. Eritema Nodosum Leprosum (ENL) merupakan
respon humoral terhadap infeksi Mycobacterium Leprae7. ENL merupakan suatu
komplikasi imunologi yang serius, menyebabkan peradangan pada kulit, saraf dan
organ lain8.
2.2 Etiologi
ENL adalah reaksi kusta yang disebabkan saat sejumlah besar bakteri
Mycobacterium leprae mati dan didegradasi bertahap oleh tubuh sebab protein dari
M.leprae yang mati dapat memicu reaksi alergi. Reaksi humoral berupa reaksi
antigen (M.leprae) dan antibodi yang akan mengaktifkan sistem komplemen sehingga
terbentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon
inflamasi dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Karena beredar dalam sirkulasi
darah, kompleks imun tersebut dapat mengendap ke berbagai organ terutama pada
lokasi dimana M.leprae berada dalam konsentrasi tinggi seperti pada kulit disebut
Eritema Nodosum Leprosum (ENL), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis),
tulang (artritis), ginjal (nefritis), dan testis (orkotis)9.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi kusta masih sangat tinggi di beberapa negara, terutama negara
berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan dan kepadatan
penduduk. Indonesia merupakan negara tropis dan termasuk salah satu daerah
endemik kusta. Data Profil Kesehatan Republik Indonesia mencatat angka penemuan
kasus baru kusta pada tahun 2013 sebanyak 16.856 kasus 9. Indonesia merupakan

2
negara dengan insiden terbanyak ketiga di dunia penderita kusta setelah India dan
Brazil. Pada tahun

3
3

2012 jumlah kasus baru tercatat 18.994 orang dan jumlah kasus terdaftar 22.390
orang dengan angka prevalensi 0,86 per 10.000 penduduk dan 80,96% diantaranya
merupakan kusta tipe multibasiler (MB)10.
Reaksi ENL ditemukan terjadi antara 19-26% dari kasus tipe multibasiler di
Nepal, India dan Thailand8. Menurut penelitian retrospektif Febrina, dkk (2018)
mengatakan dari seluruh pasien kusta di unit rawat jalan dan instalasi rawat inap
Kesehatan Kulit dan Kelamin tahun 2011-2013 berjumlah 434 orang. Tipe kusta yang
paling sering mengalami reaksi tipe 2 (ENL) adalah tipe Lepramatous Leprosy (LL)
yaitu sebanyak 62,3%11 .Pada penelitian yang dilakukan Putu Ayu, dkk (2019) di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
terdiagnosis multibasiler lebih cenderung mengalami reaksi kusta berat atau reaksi
ENL (>50%)12.
2.4 Patogenesis
Reaksi kusta tipe 2 atau ENL berhubungan dengan bakteri yang hancur,
antigen serta intensitas produksi antibodi. Konsentrasi antigen bakteri yang tinggi
dalam jaringan akan meningkatkan kadar antibodi IgM dan IgG penderita tipe
multibasiler. Mekanisme imunopatologi penting pada reaksi tipe 2 berupa formasi
dan berkurangnya kompleks imun serta aktivasi sistem komplemen dengan
meningkatnya mediator inflamasi. Pada kusta tipe multibasiler aktivasi limfosit Th2
mempengaruhi produksi interleukin (IL)-4 dan IL-10, yang akan menstimulasi
produksi antibodi limfosit B. Sebanyak 15% - 50% kusta tipe multibasiler
berkembang menjadi reaksi kusta tipe 2.
Beratnya reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya produksi sitokin
oleh limfosit Th2 sebagai respon imun tubuh untuk mengatasi peradangan. Tumor
necrosis factor alpha (TNF-a) dan Interferon gamma (IFN-g) merupakan komponen
sitokin spesifik pada ENL. Sirkulasi TNF yang tinggi terjadi pada reaksi kusta tipe 2,
diduga akibat sel mononuklear pada darah tepi yang dapat meningkatkan jumlah
TNF6.
2.5 Gejala Klinis
ENL sering muncul dengan gejala lesi menjadi lebih eritema, mengkilap,
sebagian kecil berupa nodul, dengan berukuruan bermacam-macam, namun pada
umumnya kecil. Lesi terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai

4
4

bawah, wajah, lengan, dan paha. Dapat muncul di hampir seluruh bagian tubuh.
Selain itu, didapatkan nyeri, pustulasi, dan ulserasi, disertai gejala sistematik seperti
demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf,
mata, ginjal, sendi, testis dan kelenjar limfe 1. Perbedaan reaksi kusta tipe 2 ringan dan
berat dapat dilihat pada tabel 2.1.9

Tabel 2.1. Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi kusta tipe 2

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat

Lesi kulit Nodul merah, panas dan nyeri, Nodul merah, panas, tebal dan
dapat menjadi ulkus, jumlah nyeri, sering menjadi ulkus,
sedikit jumlah banyak

Saraf tepi Membesar, tidak nyeri, fungsi Membesar, nyeri, fungsi saraf
saraf tidak terganggu terganggu

Gejala konstitusi Tidak demam atau demam Demam ringan hingga berat
ringan

Gangguan pada Tidak ada Peradangan pada mata, testis,


organ lain limpa, gangguan pada tulang
hidung dan tenggorokan

2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


1. Anamnesis
Dapat ditanyakan keluhan pasien, riwayat pengobatan kusta, apakah
belum/sedang/pernah, waktu atau durasi pengobatan dimana umumnya reaksi
kusta tipe 2 terjadi pada 3 tahun pertama setelah terapi kusta dimulai,
meskipun bisa juga terjadi pada fase awal pengobatan. Perlu juga ditayakan
riwayat reaksi kusta sebelumnya, keluhan timbulnya benjolan baru diluar
lokasi lesi kusta, keluhan demam, apakah adanya keluhan kelemahan
menyeluruh (general malaise), keluhan pada organ mata seperti gangguan
5

penglihatan, nyeri, merah, fotofobia, dan keluhan keterlibatan organ dalam


seperti pada sendi, testis13.
2. Pemeriksaan fisik
● Keadaan umum : apakah adanya kelemahan menyeluruh (general
malaise)
● Vital sign : apakah suhu tubuh diatas batas normal (demam)
● Kulit : nodul baru terletak dibawah permukaan kulit, berwarna merah dan
nyeri pada lokasi diluar lesi kusta, jumlah nodul bervariasi bisa beberapa
maupun banyak, lokasi terutama pada ekstremitas
● Mata : tanda dan gejala iritis, konjungtiva eritema, pupil iregular dan
menyempit, fotofobia (keluhan nyeri pada mata saat dipaparkan pada
cahaya)13
3. Diagnosis Banding
● Eritema nodosum yang disebabkan oleh tuberkulosis
● Infeksi kulit karena Streptococcus β hemolyticus
● Erupsi obat alergik
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan histopatologi
Pada penelitian yang dilakukan oleh Edessa, dkk (2017) menunjukkan
bahwa pada pemeriksaan histopatologi terdapat banyak infiltrat neutrofil
(58,9%) serta ditemukan juga infiltrat limfosit pada lesi ENL sebelum
dilakukan pengobatan14. Karena terjadi deposisi kompleks imun pada
reaksi kusta tipe 2 maka akan tampak adanya neutrofil dalam granuloma,
adanya leukositoklasia dan edema dermal papiler dan lobular (masing-
masing 81%), dan panikulitis neutrofilik septum (66%). Pada lesi yang
berat menunjukkan infiltrat jauh lebih padat dibandingkan lesi yang
ringan15.
c. Pemeriksaan sitologi Sehgal
Pemeriksaan sel untuk menilai jumlah sel, jenisnya dan strukturnya.
d. Pemeriksaan neuroelectrophysiology
6

Suatu pemeriksaan yang non-invasif untuk memeriksa keadaan saraf


perifer dan otot, serta pelengkap dari pemeriksaan klinis.
2.8 Penatalaksanaan
a. Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan identifikasi
ripe reaksi yang dialami
b. Reaksi ringan :
· Istirahat
· Analgetik/ antipiretik
· MDT diteruskan
· Hindari faktor penceetus
c. Reaksi berat :
· Istirahat
· Analgetik/ antipiretik
· MDT diteruskan
· Hindari faktor pencetus
· Berikan prednisone sesuai skema
- 2 minggu pertama : 40 mg/hari (1x8 tab)
- 2 minggu kedua : 30 mg/hari (1x6 tab)
- 2 minggu ketiga : 20 mg/hari (1x4 tab)
- 2 minggu keempat : 15 mg/hari (1x3 tab)
- 2 minggu kelima : 10 mg/hari (1x2 tab)
- 2 minggu keenam : 5 mg/hari (1x1 tab)
· Bila ENL berulang : tambahkan lamprene13
7

Gambar 2.1. Algoritma Terapi Reaksi Kusta Tipe 2


8
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : AP
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Pantai Labuan Sait Gang Suka Cita No. 4,
Jimbaran
Suku/ Bangsa : Bali /Indonesia (WNI)
Agama : Hindu
Tanggal Pemeriksaan : 1 April 2020

3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Pasien mengeluh benjolan merah di kulit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 1April dengan keluhan
muncul benjolan merah di kulit yang dirasakan 1 minggu yang lalu. Namun,
sejak 3 hari yang lalu lesi kulit pasien semakin membesar dan meluas ke area
tungkai atas dan tungkai bawah. Pasien juga mengeluh sangat nyeri di persendian
siku dan pergelangan tangan, gejala ini pertama kali dirasakan oleh pasien. Selain
gejala tersebut, pasien juga mengeluh nyeri pada lesi dan terdapat demam yang
muncul 3 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien ada riwayat penyakit kusta sejak 3 bulan yang lalu.

8
9

Riwayat Pengobatan:
Pasien mengambil obat paket kusta dari Puskesmas yang direncanakan untuk 12
bulan, namun pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 3 bulan. Untuk
lesi kulitnya saat ini, pasien tidak mengambil obat-obatan.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


Pasien mempunyai ayah mertua yang menderita stroke

Riwayat Penyakit Sosial:


Pasien mempunyai tetangga yang memiliki riwayat penyakit kusta yang telah
menyelesaikan pengobatan pada bulan Februari 2020

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4 V5 M6
Tekanan darah : 100/80 mm Hg
Nadi : 90x/ menit
Respirasi : 20x/ menit
Suhu aksila : 39oC
Tinggi :-
Berat :-
Status Gizi :-

Status Generalis
Kepala : Normocephali (+)
Mata : Konjungtiva anemsis -/-, sklera
ikterik -/-, refleks pupil +/+
THT : Sekret -/-
Leher : Simertris (+), pembesaran KGB (-)
10

Thorax : Simetris (+)


Cor: S1, S2 tunggal regular murmur (-)
Pulmo:Vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen : Bising usus normal, distensi (-)
Ekstremitas : Akral hangat pada semua ekstremitas

Status Dermatologi
Lokasi : Hampir seluruh tubuh
Effloresensi :Tampak nodul, berdasar
eritema,multipel, berbentuk
bulat,berbatas tegas, berukuran 0.5cm
hingga 0.7cm, penyebaran generalisata.
Tampak plak dan berdasar
eritema,multipel, ,berbatas tegas,
ukuran bervariasi 1 cm hingga 3 cm,
penyebaran generalisata.
11

Pemeriksaan Fungsi Saraf


Pemeriksaan Sensorik : Nyeri pada nervus ulnaris dextra et
sinistra
Pemeriksaan motorik : Tenaga normal
Pemeriksaan Pembesaraan Saraf : Pembesaran saraf pada nervus ulnaris
dekstra et sinistra

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Bakterioskopik
 Membantu menyingkirkan diagnosis banding
 Mycobacterium leprae
Solid : batang utuh = hidup
Fragmented : batang terputus = mati
Granular : butiran = mati
2. Pemeriksaan Histopatologik
 Penentuan klasifikasi kusta
 Memastikan gambaran klinis
3. Pemeriksaan Serologis
 Tes ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
 Tes MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
 Tes ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick)

3.5 Diagnosis Banding

1. Eritema nodosum leprosum


2. Eritema nodosum tuberkulosis
3. Infeksi kulit Streptococcus B hemolyticus
4. Erupsi obat alergik
12

3.6 Diagnosis Kerja

Eritema nodosum leprosum

3.7 Penatalaksanaan
Terapi Eritema nodosum leprosum (episode pertama ENL berat)
1. Terapi MDT diteruskan
Rifampisin : 600mg/bulan (minum didepan petugas)
Dapson :100mg/bulan (minum didepan petugas)
100mg/hari (minum di rumah)
Klofazimin : 300mg/ bulan (minum didepan petugas)
50mg/hari (minum di rumah)
Lama pengobatan: 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan
2. Prednisone:
2 minggu pertama : 40mg/hari (1x8 tab)
2 minggu kedua : 30mg/hari (1x6tab)
2 minggu ketiga : 20mg/hari (1x4 tab)
2 minggu keempat : 15mg/ hari (1x3tab)
2 minggu kelima : 10mg/hari (1x2 tab)
2 minggu keenam : 5mg/ hari (1x1 tab)
3. Analgetik & Antipiretik
4. Isthirahat

3.8 KIE
1. Pasien harus minum obat sesuai dosis dan lama terapi yang sudah ditetapkan
2. Pasien harus meminum obat setelah makan
3. Pasien harus tetap menjaga kebersihan diri

3.9 Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
13

Ad Sanationam : dubia ad bonam


BAB IV
PEMBAHASAN

ENL atau reaksi kusta tipe 2 adalah reaksi kusta yang disebabkan saat
sejumlah besar bakteri M. leprae yang mati dan didegradasi bertahap oleh tubuh,
protein dari M.leprae yang mati dapat memicu reaksi alergi. Reaksi humoral berupa
reaksi antigen (M.leprae) dan antibodi yang akan mengaktifkan sistem komplemen
sehingga terbentuk kompleks imun yang akan menimbulkan respon inflamasi dan
terdegradasi dalam beberapa hari. Sebanyak 15% - 50% kusta tipe multibasiler
berkembang menjadi ENL. ENL sering muncul dengan gejala lesi menjadi lebih
eritema, mengkilap, sebagian kecil berupa nodul, dengan berukuran bermacam-
macam, namun pada umumnya kecil. Lesi terdistribusi bilateral dan simetris,
terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, namun juga dapat
muncul di seluruh tubuh. Gejala lain yang dapat menyertai yaitu nyeri, pustulasi, dan
ulserasi, disertai gejala sistemik seperti demam dan malaise. Selain itu, perlu juga
diperhatikan adanya keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis
dan kelenjar limfe.

Pada kasus ini, pasien adalah seorang perempuan dan berusia 45 tahun,
dengan keluhan utama benjolan merah di kulit yang dirasakan sejak 1 minggu yang
lalu. Namun, sejak 3 hari terakhir lesi dirasa semakin membesar dan meluas ke area
tungkai atas dan bawah. Keluhan disertai rasa nyeri pada lesi dan juga nyeri pada
persendian siku dan pergelangan tangan, serta terdapat demam sejak 3 hari yang lalu.
Pasien memiliki riwayat kusta sejak 3 bulan yang lalu dan sudah mendapatkan obat
paket dari Puskesmas yang direncanakan untuk 12 bulan, namun hanya dikonsumsi
selama 3 bulan. Untuk lesi kulit saat ini pasien belum memberikan obat apapun.
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan memiliki tetangga dengan riwayat
penyakit kusta yang telah menyelesaikan pengobatan selama 12 paket pada bulan
Februari lalu. Hasil anamnesis ini sesuai dengan pustaka mengenai keluhan,
manifestasi klinis, dan faktor risiko pada kasus ENL.

14
15

Pada ENL, terdapat 2 reaksi yaitu reaksi ringan dan berat berdasarkan
gejalanya. Pada kasus ini setelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan pasien
demam dengan suhu 39oC serta tanda-tanda vital lainnya dalam batas normal. Pada
hampir seluruh tubuh ditemukan nodul eritema multipel berbentuk bulat, batas tegas,
berukuran bervariasi antara 0,5 cm hingga 0,7 cm, dengan distribusi generalisata.
Selain itu ditemukan juga plak eritema multipel berbatas tegas, ukuran bervariasi 1
cm hingga 3 cm dengan distribusi generalisata. Pada pemeriksaan fungsi saraf
ditemukan nyeri dan pembesaran saraf pada nervus ulnaris dekstra et sinistra. Maka
sesuai dengan pustaka, diagnosis pasien mengarah pada ENL tipe reaksi berat.

Diagnosis banding pada pasien ini adalah ENL, eritema nodosum


tuberkulosis, infeksi kulit Steptococcus B hemolyticus, dan erupsi obat alergik. Hal ini
berdasarkan lesi reaksi inflamasi kulit yang memiliki kemiripan manifestasi dengan
diagnosis banding tersebut. Untuk mengeliminasi diagnosis banding tersebut, maka
dapat dibedakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dengan seksama, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksan bakterioskopik akan membantu menyingkirkan diagnosis
banding, dengan ditemukannya gambaran M.leprae baik berbentuk solid, fragmented,
atau granular. Pemeriksaan histopatologi juga membantu untuk menentukan
klasifikasi kusta dimana pada ENL adalah pasien kusta tipe MB. Pemeriksaan
serologik juga dapat dilakukan apabila diagnosis masih meragukan karena tanda
klinis dan bakteriologik belum jelas.

Berdasarkan pustaka, penatalaksanaan pasien ini adalah dengan diberikan


analgetik atau antipiretik, meneruskan terapi MDT dosis tetap, menghindari faktor
pencetus, pemberian prednison sesuai dengan algoritma dan apabila berulang, dapat
ditambahkan lamprane. Pasien juga diberikan KIE untuk minum obat sesuai dosis,
aturan dan lama terapi yang sudah ditetapkan dan menjaga kebersihan diri. Prognosis
dari ENL cenderung baik apabila penatalaksaan dilakukan adekuat. Semakin cepat
diobati dan pasien mengonsumsi obat secara teratur maka kemungkinan terjadinya
deformitas akan semakin kecil.
BAB V
KESIMPULAN

ENL atau reaksi kusta tipe 2 adalah reaksi kusta yang disebabkan saat
sejumlah besar bakteri M. leprae yang mati dan didegradasi bertahap oleh tubuh dan
protein dari M.leprae yang mati dapat memicu reaksi alergi dalam tubuh. Reaksi
humoral berupa reaksi antigen (M.leprae) dan antibodi akan mengaktifkan sistem
komplemen sehingga terbentuk kompleks imun yang akan menimbulkan respon
inflamasi. Kusta tipe multibasiler (MB) yang dapat berkembang menjadi ENL. Gejala
yang sering muncul adalah lesi menjadi lebih eritema, mengkilap, berupa nodul,
dengan berukuran bermacam-macam, namun pada umumnya kecil, terdistribusi
bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha,
namun juga dapat muncul di seluruh tubuh. Gejala juga dapat disertai nyeri, pustulasi,
dan ulserasi, disertai gejala sistemik seperti demam dan malaise, serta keterlibatan
organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis dan kelenjar limfe.

Diagnosis ENL dapat ditegakkan dengan anamnesis, manifestasi klinis dan


dapat dilengkapi dengan hasil pemeriksaan penunjang. Pemilihan terapi adalah
dengan diberikan analgetik atau antipiretik, meneruskan terapi multidrug therapy
kusta (MDT) dosis tetap, menghindari faktor pencetus, prednison sesuai dengan
algoritma dan lamprane apabila reaksi berulang.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Bryceson, Pfalzgarff. Introduction. Dalam Bryceson A, Pfaltzgraff. Leprosy


edisi ke-3. Singapore, Churchill livingstone, 1990;p1-4.
2. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Dalam Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, dkk,
editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New
York, Mc Graw Hill, 2008; p1786-96.
3. Distribusi Penyakit Kusta di Dunia. Dalam Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI Kusta, 2018;p:5
4. Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DN, Leprosy type I reactions and
erythema nodosum leprosum. An Bras Dermatol. 2008;83:75-82
5. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 8th ed. Philadelphia: McGraw-Hill; 2014
6. Vionni, Jonathan A, Yoshua A. 2016. Reaksi Kusta. Cermin Dunia
Kedokteran Journal. 43(7): 501-504
7. Pooja D. 2016. Erythema Nodosum Leprosum. Internet Journal of
Rheumatology and Clinical Immunology. 4(1): 1-4
8. M Syafei H. 2016. Hubungan TranformingGrowthFactor-β Dengan Eritema
Nodosum Leprosum Berulang Berdasarkan Immunoglobulin-M Anti
Phenolic-Glycolipid-1 Dan Kortisol. Universitas Andalas.
9. Departemen Kesehatan RI, 2007. Buku Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Kusta. Cetakan XIX. Jakarta.
10. WHO, 2013. Weekly Epidemiological Record. 35:365-380.
11. Febrina D P, Indropo A. 2018. Kelainan Sistemik dan Laboratoris Pada
Pasien Dengan Reaksi Tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum). Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. 30 (1): 18-25.
12. Putu Ayu S, Luh Made M S, IGAA Dwi K. 2019. Karakteristik Penderita
Kusta Multi Basiller (MB) dengan Reaksi Erythema Nodosum Leprosum
(ENL) di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Selama Tahun 2016-
2018. Intisari Sains Medis. 10(3):655-658.
13. Yulianto L, Cita R S P, Medhi D A, Bagus H K. 2020. Reaksi Kusta Tipe II.
Panduan Praktik Klinis SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
14. Edessa N, Stephen L W, Selfu G, Shimelis N D, Degafe T, Saba M Lamber,
Munir H I, Yohanis T, Hazel M D, Abraham A, Diana N L. 2017. Clinico-
Pathological Feature of Erythema Nodosum Leprosom: A Case-Control
Study at Alert Hospital, Ethiopia. Plos Digital Health Journal. 11(10): 1-13.
15. Vijay A, Atul D, Uday K. 2012. A Restrospective Analysis of Histopathology
of 64 Cases of Lepra Reaction. Indian Journal of Dermatology. 57(2):114-
117.

Anda mungkin juga menyukai