Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1. Pengertian Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori dan emosi tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial

menurut International Association for the Study of Pain (2007). Definisi nyeri

lainnya, nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh, timbul bila jaringan

rusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri

tersebut (Guyton, 2011).

Nyeri pada bayi prematur menjadi masalah oleh karena bayi prematur tidak

dapat menginformasilan secara verbal untuk menjelaskan rasa nyeri yang

dirasakannya secara akurat (Kyle & Carman, 2015). Sensasi yang tidak

menyenangkan ini sangat individual hanya dapat dirasakan, tetapi dapat

memenuhi seluruh pikiran seseorang, bersifat sangat subjektif dan merupakan

salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang mengindikasikan bahwa terdapat

suatu masalah (Kozier & Erb’s, 2012). Penanganan nyeri sebagai suatu hak dasar

yang bersifat legal. Perawat secara legal dan etik bertanggung jawab dalam

menangani nyeri serta mengurangi penderitaan klien (Potter & Perry,2011).

2.2. Fisiologi Nyeri

Sensasi nyeri merupakan fenomena kompleks yang melibatkan sekuens

kejadian fisiologis (Kyle & Carman, 2015). Rasa nyeri/nosiseptif adalah istilah

yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana nyeri menjadi didasari.

Terdapat empat proses fisiologis dari nyeri nosiseptif (Nosiseptif: saraf-saraf yang

14
15

menghantarkan stimulus nyeri ke otak) meliputi tranduksi, transmisi, persepsi dan

modulasi.

2.2.1. Tranduksi

Serabut perifer yang memanjang dari berbagai lokasi di medula spinalis

dan seluruh jaringan tubuh, seperti kulit, sendi, tulang dan membran yang

menutupi organ internal. Diujung seabut ini ada reseptor khusus, disebut

nosiseptor, yang menjadi aktif ketika mereka terpajan dengan stimuli berbahaya.

Stimuli berbahaya ini dapat berupa mekanis, kimia, atau termal. Stimuli kimia

dapat berupa pelepasan mediator , seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, atau

bradikinin, sebagai respon trauma jaringan, iskemia atau inflamasi. Proses aktivasi

nosiseptor ini disebut tranduksi (Kyle & Carman,2015). Tranduksi dimulai dari

perifer, ketika stimulus terjadinya nyeri mengirimkan impuls yang melewati

serabut saraf nyeri perifer yang berada di panca indra, nosiseptor ini

menghantarkan stimulus nyeri ke otak sehingga menimbulkan potensial aksi

(Potter & Perry, 2011).

Tabel 2.1 Neurofisiologi Nyeri

Neurofisiologi Nyeri: Neuroregulator


Neurotransmitter (Eksisatoris)

Substansi P Ditemukan di sel-sel saraf nyeri yang terdapat ditulang


belakang (peptide eksitatori). Impuls nyeri harus
ditransmisikan dari perifer ke pusat otak yang lebih
tinggi. Menyebabkan vasodilatasi dan edema.
Serotonin Dihasilkan oleh tulang otak dan tulang belakang untuk
menghambat transmisi nyeri.
Prostaglandin Dihasilkan dari pemecahan fosfolipid di membran sel.
Untuk meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri.
Bradikinin Dihasilkan dari plasma yang keluar dari pembuluh
darah sekitar pada jaringan yang rusak. Mengikat
reseptor di saraf-saraf perifer, meningkatkan stimulus
saraf. Mengikat sel-sel yang dapat menyebabkan reaksi
kimia yang menghasilkan prostaglandin.
16

Neuromadulator (inhibitor)
Merupakan suplai alami tubuh terhadap substansi yang
mirip dengan morfin. Diaktivasi dengan adanya stres
dan nyeri. Terletak didalam otak, medula spinalis dan
sistem pencernaan. Menyebabkan tidak adanya rasa
nyeri ketika mendekati reseptor opium diotak. Terjadi
peningkatan jumlah pada orang yang merasakan sedikit
nyeri dibanding orang lain dengan kondisi cedera/luka
yang sama.

2.2.2. Transmisi

Kerusakan sel disebabkan oleh stimulus suhu, mekanik, atau kimiawi yang

menghasilkan pelepasan neurotranmitter eksitatori seperti prostaglandin,

bradikinin, kalium, histamin dan substansi P (Tabel 2.1). Substansi yang peka

terhadap nyeri yang terdapat disekitar serabut nyeri di cairan ekstraseluler,

menyebarkan pesan adanya nyeri dan mengalami inflamasi (peradangan). Serabut

nyeri memasuki medula spinalis melalui tulang belakang berakhir di gray matter

(lapisan abu-abu) medula spinalis (Potter & Perry, 2011). Substansi P dilepaskan

di tulang belakang menyebabkan terjadinya transmisi sinapsis dari saraf perifer

aferen (pancaindra) ke sistem saraf spinotalmik yang melewati sisi yang

berlawanan (Potter & Perry, 2011).

Ada dua macam serabut saraf perifer yang mengontrol stimulus nyeri yaitu

Serabut delta-A bermielin dan sangat kecil menginduksi impuls yang sangat

cepat. Nyeri ditransmisikan oleh serabut ini sering menyebar sebagai nyeri yang

termal (kyle & Carman, 2015 hal 436). Serabut A mengirimkan sensasi tajam,

terlokalisasi dan jelas yang membatasi sumber nyeri dan mendeteksi dari

intensitas nyeri tersebut. Nyeri juga di ditransmisikan oleh serabut C tidak

bermielin, lambat. Serabut ini membawa impuls ke medula spinalis melalui kornu

dorsal. Neurotransmitter dilepaskan untuk memfasilitasi proses transmisi ke otak


17

(Kyle & Carman, 2015). Serabut C menghantarkan impuls-impuls yang tidak

terlokalisasi secara jelas, terbakar atau sangat panas dan menetap (Potter & Perry,

2011).

2.2.3. Persepsi

Ketika kornu dorsal modula spinalis, serabut saraf dibagi dan kemudian

melintasi sisi yang berlawanan dan naik ketalamus. Talamus merespons secara

cepat dan mengirimkan pesan ke korteks somatosensori otak, tempat impuls

diinterpretasikan sebagai sensasi fisik nyeri. Impuls dibawa oleh serabut delta-A

yang cepat yang mengarah ke persepsi tajam, nyeri lokal menikam yang biasanya

juga melibatkan respons reflek meninggalkan dari stimulus. Impuls dibawa oleh

serabut C lambat yang menyebabkan persepsi nyeri yang menyebar, tumpul,

terbakar atau nyeri yang sakit. Titik tempat seseorang pertama kali merasakan

intensitas terendah stimulus nyeri disebut ambang batas nyeri. Untuk mengirim

pesan kekorteks serebral, talamus juga mengirim pesan ke sistem limbik, tempat

sensasi diinterpretasikan secara emosi, dan kepusat batang otak, tempat respons

sistem saraf otonom dimulai (Kyle & Carman, 2015, hal 427).

Bersamaan dengan seseorang menyadari adanya nyeri, maka reaksi

kompleks mulai terjadi. Faktor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan

neurofisiologi dalam mempersepsikan rasa nyeri. Persepsi memberikan seseorang

perasaan sadar dan memberi makna terhadap nyeri sehingga membuat orang

tersebut bereaksi. Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku

yang terjadi setelah seseorang merasakan nyeri (Potter dan Perry, 2011).

2.2.4. Modulasi
18

Sesaat setelah otak menerima adanya stimulus nyeri, terjadi pelepasan

neurotransmitter inhibitor seperti opioid endogenus (endorfin dan enkefalin),

serotinin (5HT), norefinefrin, dan asam aminobutirik gamma (GABA), yang

bekerja untuk menghambat transmisi nyeri dan menciptakan efek analgetik (Potter

& Perry, 2011). Terhambatnya transmisi impuls nyeri merupakan fase keempat

dari proses nosisepsi yang dikenal sebagai modulasi.

Persepsi nyeri dapat dimodifikasi secara perifer atau secara pusat. Pada

serabut saraf perifer, zat kimia dilepaskan yang menstimulasi serabut saraf.

Sensitisasi perifer memungkinkan serabut saraf beraksi terhadap stimulus dengan

intensitas rendah yang diperlukan untuk meyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya,

sesorang merasakan nyeri yang lebih banyak. Tindakan atau kerja yang memblok

atau menghambat pelepasan zat ini dapat menyebabkan penurunan dalam persepsi

nyeri (Kyle & Carman , 2015).

Nyeri menyebabkan reaksi refleks motorik dan psikis. Beberapa kerja

motorik timbul secara refleks dari medula spinalis, karena impuls nyeri yang

memasuki substansi grisea medula spinalis langsung bereaksi dengan refleks

penarikan diri menjauhkan tubuh atau bagian tubuh dari rangsang berbahaya

(Guyton, 2011).

Terori yang paling dikenal adalah teori kendali gerbang nyeri (gate-control

theory). Berdasarkan teori ini, kornu dorsal medula spinalis berisi serabut

interneuronal atau interkoneksi. Serabut berdiameter besar lebih cepat membawa

nosiseptif atau tanda nyeri. Serabut besar, ketika terstimulasi, menutup gerbang

atau jaras ke otak, dengan demikian menghambat atau memblok transmisi impuls

nyeri. Sesudah itu, impuls tidak mencapai otak, tempat impuls diinterpretasikan
19

sebagai nyeri. Teori ini membantu menjelaskan beberapa terapi nonfarmakologis,

seperti masasse dan tekanan, efektif dalam mengurangi nyeri (Porth & Matfin,

2009 dalam Kyle & Carman 2015).

2.3. Nyeri pada Bayi

2.3.1. Fisiologi nyeri pada neonates

Pemahaman tentang perkembangan neurobiologi dari komponen nosisepsi

sangat penting untuk mengindentifikasi efek dari nyeri dan injuri pada awal

kehidupan dan juga membantu untuk penangan analgetik yang tepat. Reseptor

Sensori kutaneus muncul pada daerah perioral pada janin usia gestasi 7 minggu,

kemudian muncul pada wajah, telapak tangan dan telapak kaki pada minggu ke

11 gestasi. Pada daerah tangan dan kaki pada usia gestasi 15 minggu, dan

berkembang keseluruh bagian tubuh pada usia gestasi 20 minggu penyebaran

reseptor kutaneus didahului oleh perkembangan sinaps antara serat sensori dan

intraneuron di dorsal horn pada spinal cord pertama muncul pada minggu ke 6.

Sinapsis interkoneksi dan spesifik neurotransmitter muncul mulai ada pada gestasi

13-14 minggu, susunan saraf pusat janin telah berkembangdengan baik pada

gestasi 24 minggu dan berkembang sempurna pada gestasi ke 30 minggu. Oleh

karena itu bayi prematur pada sistem sarafnya kurang termielinisasi .

Struktur perifer dan spinal mentransmisikan informasi nyeri yang telah ada

dan berfungsi pada trimester pertama dan kedua. Akses pituitary adrenal juga

berkembang baik pada saat itu dan reaksi fight or fight dapat diobservasi dalam

merespon pengeluaran katekolamin sebagai respon terhadap stres [ CITATION

Hoc12 \l 1057 ].
20

Bayi prematur lebih sensitif terhadap nyeri dibandingkan bayi neonatus

yang usianya lebih matang. Terdapat beberapa alasan tentang adanya peningkatan

sensitivitas ini, diantaranya:

(1) Jumlah serabut saraf nosiseptif pada kulit bayi neonatus sama dan bahkan

lebih banyak daripada dewasa.

(2) Mielinisasi serabut nyeri yang tidak lengkap pada bayi neonatus tidak

menghalangi transmisi nyeri, dan jaraknya yang lebih dekat pada jalur

nyeri yang belum matang mengimbangi kecepatan yang rendah

disebabkan oleh kurangnya mielinisasi.

(3) Neurotransmiter nyeri ditemukan dengan jumlah yang berlimpah dan

berfungsi pada fetus.

(4) Terdapat area neuron reseptor nyeri yang luas dikorteks somatosensori.

Alasan penting lainnya tentang meningkatnya sensitivitas nyeri pada

bayi adalah karena transmisi nyeri berkembang baik, namun mekanisme

modulasinya belum matang, sehingga hal ini mempengaruhi mempengaruhi

bayi dalam mengatasi impuls nyeri yang muncul.

Terdapat pematangan yang tertunda pada jalur penghambat nyeri dari

area supraspinal, penundaan pematangan pada interneuron di substansia

gelatinosa dan juga adanya kemungkinan penurunan neurotransmiter

penghambat nyeri. Neurotransmiter nyeri banyak terbentuk pada bayi

prematur, tetapi tidak diimbangi dengan adanya neurotransmiter penghambat

nyeri yang adekuat, karena penurunan modulasi nyeri, terdapat peningkatan

impuls nyeri ditulang belakang dan meningkatnya sensitivitas terhadap nyeri.

Tabel 2.2 Nyeri pada Bayi


21

Kesalahpahaman Koreksi

Bayi tidak bisa merasakan Bayi memiliki syarat-syarat fungsional dan anatomis
nyeri terhadap proses nyeri dipertengahan tiga bulan terakhir
usia kehamilan.
Bayi kurang sensitif terhadap Bayi baru lahir cukup bulan memiliki sensitivitas
nyeri dari pada anak-anak atau terhadap nyeri yang sama dengan batita dan anak-
dewasa anak. Bayi baru lahir belum cukup bulan memiliki
sesitivitas yang lebih besar terhadap nyeri dari pada
baru lahir cukup bulan atau anak-anak yang lebih tua.
Bayi tidak dapat Meskipun bayi tidak dapat mengungkapan rasa nyeri
mengekspresikan rasa nyeri dengan kata-kata, tetapi mereka akan merespons
dengan isyarat perilaku dan indikator fisiologis yang
mungkin untuk diobservasi.
Bayi harus belajar tentang Nyeri tidak membutuhkan pengalaman sebelumnya;
nyeri dan pengalaman nyeri bayi tidak perlu belajar tentang nyeri dari pengalaman
sebelumnya awal merasakan nyeri. Nyeri timbul ketika cidera
pertama kali terjadi.
Nyeri pada bayi tidak dapat Isyarat perilaku (contoh: ekspresi wajah, menangis,
dikaji secara akurat gerak tubuh) dan indikator fisiologis dari nyeri dapat
dikaji secara valid dan dapat dipercaya baik salah satu
atau dengan kombinasi. Pendekatan yang paling valid
adalah dengan ekspresi wajah. Ukuran nyeri yang
kompleks bisa juga digunakan.
Bayi tidak dapat mengingat Paparan awal terhadap stimulus yang berbahaya
rasa nyeri terkadang memiliki efek pada respons bayi yang akan
datang terhadap kejadian yang menyakitkan.
Perawat tidak memberikan Bayi yang usianya lebih dari 1 bulan dapat
analgesik dan anestesi secara memetabolisme obat denga cara yang sama pada batita
aman kepada bayi dan bayi dan anak-anak. Seleksi yang teliti terhadap obat, dosis,
baru lahir karena kapasitas cara dan waktu pemberian dan pengamatan secara
mereka dalam memetabolisme teratur akan efek yang diharapkan dan tidak
dan mengeleminasi obat belum diharapkan, dan titrasi obat dan mencegah
cukup matang serta sensitivitas peminimalisasian efek opioid dan nonopioid yang
terhadap opioid dapat merugikan terhadap manajemen nyeri pada bayi baru
mengakibatkan depresi lahir.
pernapasan

2.3.2. Respon nyeri pada bayi

Respon fisiologis dari nyeri pada bayi neonatus merupakan ancaman

kehidupan karena berkaitan dengan perubahan fisiologis dari kondisi yang normal

[ CITATION Hoc12 \l 1057 ]. Nyeri pada bayi prematur dapat dikaji berdasarkan

respon fisiologis, respon perilaku dan respon metabolik sebagai berikut :

Tabel 2.3 Respon nyeri pada bayi


22

Perubahan Fisiologis Perubahan Perilaku Perubahan Biokimia


Peningkatan : Perubahan ekspresi wajah Peningkatan sekresi

Denyut jantung Meringis Kortisol


Tekanan darah Screwing up of eyes Katekolamin
Pernafasan Nasal Flaring Glukagon
Konsumsi Oksigen Lekuk nasobilal dalam Hormon pertumbuhan
Mean Airway Pressure Lidah membeloh Renin
Kekuatan otot Pipi bergetar Aldosteron
Tekanan intrakranial Hormon diuretik

Perubahan autonom Pergerakan tubuh Perubahan sekresi

Midriasis Jari mengepal insulin


Berkeringat Tashing of limbs
Merona Arching of back
pucat Mengangkat kepala
Dalam Merenstein & Gardners : Handbook of neonatal Intensive Care,2012

2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri pada bayi prematur

Respon bayi prematur terhadap nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor,

diantaranya yaitu:

(1) Usia Gestasi

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa bayi prematur memiliki

ambang batas nyeri yang lebih dan menunjukan respon fisiologi yang lebih besar

pada prosedur yang menimbulkan nyeri. Namun, beberapa peneliti lain

mengemukakan bahwa neonatus prematur tidak memiliki kemampuan untuk

merespon nyeri dengan tepat. Sebagian peneliti lebih cenderung setuju bahwa

neonatus yang matur merespon nyeri lebih jelas pada prosedur invasif,

mengindikasikan bahwa maturasi sangat penting terutama dalam memanifestasi

respon nyeri).

Salah satu penelitian menunjukan bahwa neonatus yang lahir usia 32

minggu dan dirawat diruang nicu selama 4 minggu memiliki denyut jantung yang
23

lebih besar, saturasi oksigen yang jauh lebih rendah dan menunjukan ekspresi

wajah tampak lebih kesakitan, dibandingakan dengan bayi usia 32 minggu yang

baru lahir saat ini. Hal ini menunjukan bahwa pengalaman nyeri sebelumnya

mempengaruhi peningkatan respon otonom jantung. Usia kehamilan harus dinilai

dengan faktor lain, seperti paparan prosedur invasif sebelumnya dan usia

posnatal, untuk membedakan dampak dari berbagai faktor (Porter et al, 2011)

(2) Paparan sebelum tindakan nyeri

Sebagian peneliti berpendapat bahwa paparan nyeri dan stress di ruang

NICU mempengaruhi respon nyeri berikutnya pada bayi prematur. Sementara

peneliti lain berpendapat bahwa jumlah prosedur invasif dan lama hari rawat di

NICU mengakibatkan respon nyeri yang lebih hebat pada bayi prematur (Porter et

al, 2011).

(3) Keadaan neonatus berespon pada nyeri

(4) Keparahan penyakit

(5) Jenis kelamin

(6) Penggunaan obat sedatif

Penggunaan sedatif ini harus di interpretasi dengan sangat hati-hati karena

hanya 25% bayi yang dapat menggunakan obat opioid atau sedatif. Dari hasil

penelitian ditemukan para Neonatologis di Beirut menggunakan obat sedatif ini

dengan penggunaan yang rendah karena dapat mendepresi saluran pernapasan

bayi. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk mengetahui keamanan dan

keefektifan pemberian sedatif untuk bayi prematur dan untuk mengetahui faktor

faktor yang mempengaruhi respon nyeri pada bayi prematur terutama untuk

perkembangan neurodevelopmental jangka panjang.


24

2.4. Pengkajian Nyeri Pada Neonatus

Penggunaan alat pengkajian nyeri fisiologis dan perilaku memungkinkan

mengukur parameter dan perubahan spesifik yang akan mengindikasikan bahwa

bayi mengalami nyeri. Pengukuran ini membantu dalam menentukan intensitas

pengalaman nyeri serta supaya perawat mengkaji nyeri secara objektif dan

efektivitas pengukuran manajemen nyeri (Kyle & Carman, 2015).

Syarat dari setiap skala nyeri adalah apakah skala nyeri tersebut benar-

benar dapat mengukur nyeri. Orang dewasa bisa menyatakan secara verbal nyeri

yang dirasakan, namun bayi prematur tidak dapat melaporkan nyeri yang

dirasakan. Oleh karena itu, poin-poin yang ada dalam skala nyeri harus sensitif

dan spesifik sehingga nyeri yang dirasakan dapat di diagnosis, dan respon nyeri

dapat dibedakan dari tingkatannya. Ketika menerapkan alat ukur nyeri dalam

lingkungan klinis, maka penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain yang

dapat mempengaruhi faktor perilaku dan fisiologis.

2.4.1. Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)

NIPS dikembangkan oleh Lawrence, Alcock, McGrath, Kay, McMurray,

& Dulberg pada tahun 1993. NIPS merupakan alat ukur nyeri dengan 6 indikator

yaitu menangis, ekspresi wajah, pola napas, lengan, tungkai, tingkat kesadaran.

Awalnya NIPS dikembangkan 8 indikator yaitu menangis, ekspresi wajah, warna

wajah, pola napas, pergerakan torso, lengan, tungkai, tingkat kesadaran. Setelah

dilakukan analisa bahwa warna wajah disebabkan karena kesakitan dan dapat

berubah kembali, dan hasil dari pilot study juga mengatatakan sangat sulit untuk
25

menilai pergerakan torso. Pada akhirnya CHEO study menghapus dua indikator

tersebut.

NIPS adalah alat pengkajian perilaku yang berguna untuk mengukur nyeri

pada bayi prematur dan bayi matur (Lawrence et al.,1993 dalam Kyle & Carman

2015). Enam indikator NIPS dijelaskan sebagai berikut :

(1) Ekpresi wajah

Ekpresi wajah dilihat sebelum dan sesudah dilakukan heelstick. Jika

relaksasi seperti wajah tenang dan ekpresi alami diberi nilai 0, jika tampak

meringis akan tampak otot wajah tegang; alis mata,dagu dan rahang

berkerut ekpresi wajah negatif diberi nilai 1.

(2) Menangis

Menangis yang diamati adalah jika tidak menagis bayi tampak diam dan

tenang diberi nilai 0. Jika tamapak merengek sebentar merintih ringan

diberi nilai 1, dan jika menangis hebat berteriak kencang melengking

secara terus menerus diberi nilai 2.

(3) Pola napas

Pola napas yang dicatat adalah pola napas yang maksimum dan kemudian

dibandingkan dengan pola napas sebelum tindakan. Pola napas bayi

sebelum tindakan menjadi pola dasar. Jika relaks diberi nilai 0, dan jika

adanya perubahan pola napas seperti irregular diberi nilai 1; lebih cepat

dari biasa ; seperti tersumbat dan menahan napas diberi nilai 1.

(4) Lengan
26

Lengan dinilai pada saat dilakukan prosedur heelstick. Diamati semenjak

penusukan jika relaks tanpa ada rigiditas otot; kadng-kadang menggerakan

lengan tanpa disengaja diberi nilai 0. Apabila lengan tampak

fleksi/ekstensi tamapk tegang, lurus, kaku atau fleksi dan ektensi cepat

diberi nilai 1.

(5) Tungkai

Tungkai dinilai pada saat dilakukan prosedur heelstick. Diamati semenjak

penusukan jika relaks tanpa ada rigiditas otot; kadng-kadang menggerakan

tungkai tanpa disengaja diberi nilai 0. Apabila tungkai tampak

fleksi/ekstensi tamapk tegang, lurus, kaku atau fleksi dan ekstensi cepat

diberi nilai 1.

(6) Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran dinilai dengan membandingkan sebelum dilakukan

tindakan. Jika tidur atau terjaga tampak diam dan tenang maka nilai 0, dan

jika tampak rewel gelisah maka diberi nilai 1.

Nilai maksimal yang dapat dicapai adalah 7. Nilai yang lebih tinggi

mengidentifikasikan peningkatan nyeri (Kyle & Carman, 2015). Perhitungan

respon nyeri menggunakan NIPS dapat dikategorikan menjadi tidak ada nyeri jika

nilai NIPS 0, jika nilai skor 1-3 nyeri ringan, jika nilai skor 4-5 nyeri sedang dan

jika nilai skore 6-7 nyeri berat.

Tabel 2.4 Neonatal Infant Pain Scale

Assesment Nyeri
Ekspresi wajah
27

0- Otot relaks Wajah tenang, ekspresi netral


1- meringis Otot wajah tegang, alis berkerut ( ekspresi wajah
negatif)
Tangisan
1- Tidak menangis Tenang, tidak menangis
2- Merengek Menangis lemah intermitten
3- Menangis keras Menangis kencang, melengking terus menerus
(cat: menangis tanpa suara diberi skor bila bayi
diintubasi)
Pola napas
1- Relaks Bernafas biasa
2- Perubahan nafas Tarikan irreguler, lebih cepat dibanding biasa,
menahan nafas, tersedak
Tungkai tangan
1- Relaks / restraint Tidak ada kekakuat otot, gerakan tungkai biasa
2- Fleksi / ekstensi Tegang kaku
Tungkai kaki
1- Relaks / restraint Tidak ada kekakuan otot, gerakan tungkai biasa
2- Fleksi / ekstensi Tegang kaku
Tinkat kesadaran
1- Tidur / bangun Tenang tidur terlelap atau bangun
2- gelisah Sadar atau gelisah
Interpretasi
Skor 0 Tidak nyeri
Skor 1-3 Nyeri ringan
Skor 4-5 Nyeri sedang
Skor 6-7 Nyeri berat

2.4.2. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas NIPS

Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) reliabel dan valid dalam

mengidentifikasi tanda-tanda indikasi nyeri dengan adanya perbedaan yang

signifikan pada skor ketika indikator diukur selama prosedur yang menyakitkan

dan tanpa intervensi keperawatan. Inter-rater reliabilitas 0.92 dan 0.97

sedangkan Validitas konstruk menggunakan ANOVA antara sebelum, selama dan

setelah prosedur menghasilkan korelasi antara F= 18.97, df = 2.42, p<0.001.

semua kelompok memperlihatkan peningkatan yang signifikan pada skor NIPS

setelah prosedur nyeri di mulai. Skor total nilai rata-rata sebelum, selama, dan

setelah prosedur scara berurutan adalah 0.44, 3.04, dan 0.6. Jadi NIPS reliable
28

dan valid mengindentifikasi indikasi perilaku dari nyeri serta dapat

mengidentifikasi kualitas nyeri pada neonatus.

Hal ini didukung juga oleh Malarvizhi et al (2012) pada penelitian yang

dilakukan pada 100 responden yang diobservasi dengan berbagai interval waktu

dan tiga fase, inter-rater reliability dari skala NIPS diantara hasil tiga kali

observasi adalah 0.82, 0.81, 0.75. Ditemukan bahwa NIPS mempunyai reliabel

dan validasi yang tinggi dengan skala multidimensi, praktis dan baik digunakan

pada lahan praktik klinik.

2.5. Hubungan Pacifier dengan respon nyeri

Pacifier, yang juga dikenal sebagai dummy, soother atau empeng, adalah

pengganti puting susu (ibu) yang biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pacifier

sudah lama dikenal dalam sejarah umat manusia, penggunaannya merupakan

usaha orangtua untuk memberikan sesuatu yang dapat menenangkan dan

memberikan rasa nyaman untuk bayinya. Pacifier, secara universal seakan

menjadi simbol perlengkapan perawatan bayi, penggunaannya sangat seluas di

seluruh dunia.

Pada awal kelahiran, periode oral pada bayi baru lahir belum seluruhnya

tampak, seperti refleks rooting, attaccing, sucking dan menelan yang

memerlukan refleks suprabulbar. Refleks primitif mulai terlibat dalam proses

pencernaan dan berkembang pada trimester pertama dalam janin. Pada awal

gestasi 9 minggu perkembangan oral mulai terbentuk dan berkembang mulut di

bagian bawah muka, Menyentuh wilayah bibir pada gestasi 11 minggu tampak

pergerakan membuka daerah rahang dan terjadi ritmik menyusui yaitu membuka
29

dan menutup pada gestasi 12 minggu. seperti menghisap dan respon refleks secara

komplek mulai pada gestasi 14 minggu seiring perkembangan rooting. Pada

gestasi 15 minggu tampak seperti menghisap jari terlihat pada ultrasound.

Karakteristik reflek the pasic bite yaitu dengan membuka dan menutup rahang

dalm respon seperti mengunyah permen mulai ada pada gestasi 28 minggu. Bayi

prematur yang lahir antara gestasi 29 dan 30 minggu tanpa pola ritme menghisap

sampai gestasi 33-36 minggu,pada usia ini tampak pola menghisap / sucking

serupa dengan bayi yang matur .

Penggunaan pacifier pada awal-awal kehidupan sering dikaitkan dengan

keinginan yang tinggi dari bayi untuk selalu menghisap sesuatu. Penggunaan

pacifier dianggap bermanfaat, karena akan menenangkan bayi serta memberikan

rasa nyaman pada keadaan-keadaan tertentu seperti keinginan untuk mulai tidur,

rasa nyeri pada waktu gigi tumbuh, dipisahkan dari ibunya, menurunkan frekuensi

menghisap jari, serta menurunnya kejadian SIDS (sudden infant death syndrome).

Terdapat hubungan antara refleks isap dengan serotonin. Meskipun masih

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi adanya hubungan ini.

Pacifier dapat bayi menjadi nyaman dan mengembangkan aspek fisiologi

pertumbuhan dan perkembangan bayi. Serotonin dihasilkan di otak dan dilepaskan

dari serabut desenden yang bersinap di medulla spinalis. Terdapat hubungan atau

interaksi antara opioid endogenus dangan sistem serotonergik. Heelstick

merupakan prosedur yang dapat menimbulkan nyeri saat tindakan dapat diberikan

pacifier dan swaddling untuk meminimalisir nyeri.

Field (2003) menyebutkan bahwa, bayi-bayi prematur yang dirawat di

ruang perawatan intensif (NICU), yang juga diberikan pacifier, menunjukkan


30

perkembangan yang positif dengan kenaikan berat badan yang signifikan,

mengurangi kejadian enterokolitis nekrotikan (NEC), serta memperpendek masa

perawatan. Di sisi lain, penggunaan pacifier akan selalu menimbulkan perdebatan

dengan banyaknya pendapat yang berbeda, karena penggunaan pacifier pada bayi-

bayi akan menimbulkan implikasi yang merugikan seperti, terjadinya gangguan

pola pengisapan bayi sehingga akan terjadi penyapihan awal karena bayi menolak

untuk menetek, meningkatnya risiko otitis media, infeksi saluran cerna dan

pernapasan, serta maloklusi gigi.

Bayi yang sudah mempunyai reflek hisap berarti telah mempunyai

mekanisme regulasi, hal ini dapat kita lihat apabila bayi mengisap pacifier setiap

dua kali hisapan dalam 1 detik.

Pacifier yang aman adalah empeng secara keseluruhan hanya terdiri dari

satu bagian, memiliki pelindung yang cukup besar dengan dua lubang ventilasi

sehingga tidak dapat masuk ke mulut dan memiliki pegangan supaya dapat ditarik

( Whaley & Wong dan Leiver (2015))

2.6. Hubungan Swaddling Dengan Respon Nyeri

Swaddling atau pembedongan adalah membungkus tubuh bayi

menggunakan kain atau selimut untuk membatasi pergerakan bayi yang dapat

berfungsi sebagai efek menenangkan dan peningkatan kualitas tidur serta dapat

membantu mengurangi nyeri selama prosedur (Motta & Cuncha, 2014). Posisi

bayi dilakukan dengan pacillitated tucking yaitu posisi bayi sama dengan posisi

intrauterin, dilakukan dengan melibatkan sentuhan dan mengatur posisi bayi.

Swaddling dengan facillitated tucking dapat menghambat transmisi nyeri dengan


31

menghambat serabut assenden dengan menutup gerbang atau dengan

mengaktivasi endogenous desenden non opioid sehingga menurunkan transmisi

nosiseptif dan menurunkan nyeri. Teori gerbang menjelaskan gating terstimulasi

pada saraf perifer ke medulla spinalis, ketika neuran A- betha besar yang

membawa informasi rangsangan taktil kulit distimulasi bersamaan dengan serabut

A delta dan C menyalurkan stimulus nyeri, Aktivasi spinal traktus

neospinotalamikus dan paleospinaotalamikus menjadi berkurang.

Perawat seharusnya sudah menyiapkan bayi berpotensial dengan prosedur

yang menyakitkan agar dapat membangunkanya secara lembut dan perlahan-lahan

menggunakan contaiment. Contaiment atau swaddling ini menggunakan

pendekatan simulasi seperti uterus mencegah aktivitas motorik bayi yang

berlebihan dan tidak terorganisir dan dapat memberikan kenyamanan pada bayi.

Untuk menjaga ekstremitas untuk tetap bertekuk digunakan swaddling,

membentuk posisi ini dapat juga digunakan tangan perawat. Bayi diposisikan

dengan supine atau fleksi dengan tangan bayi didekatkan dengan mulut bayi untuk

dihisap seperti posisi intrauterin. Contaiment ini disebut juga pacillitatad tucking

(Fernandes, Chambell-Yeo, & Johnson 2011 dalam Murray & McKinney, 2014).

Menurut Kennedy, (2013) cara memilih dan menggunakan bedong yang

tepat agar pertumbuhan panggul dan kaki bayi tetap normal di kemudian hari:

1. Pilih bedong yang mudah digunakan dan memiliki bahan halus dan cocok

untuk bayi. Kemudian lipat sisi atas.

2. Masukkan terlebih dulu lengan kiri bayi ke bawah lipatan kain, dengan

telapak tangan menghadap ke atas dan sikut terbengkok sedikit secara natural.
32

3. Untuk lengan kanan bayi, selipkan lengan kanan di bawah lipatan bedong.

Kemudian tarik lembut kantung lengan melewati dada, lalu selipkan dan

kencangkan di bawah pantat bayi. bedong ini dapat mengamankan lengan

bayi di dalam bedong dan menghindari bayi dari refleks terkejut.

4. Posisi tangan bayi ke dada. Setelah menyelipkan dan mengencangkan lengan

kanan, tarik lembut di atas lengan kiri, lalu di belakang pantat bayi. Kantung

lengan ini menolong posisi lengan bayi melewati dada.

Posisi lengan ini meniru posisi bayi sewaktu bayi masih dalam rahim.

Kebanyakan bedong cenderung mengunci lengan bayi di sisi badan, sehingga

kaki bayi sulit untuk direnggangkan pada posisi yang benar, yang sebetulnya

sangat dibutuhkan untuk menjaga kesehatan panggul yang optimal.

5. Posisi pangul sehat, yakni dengan mengamankan posisi panggul bayi.

Caranya, letakkan bagian untuk memposisikan panggul di antara kaki bayi

dan kencangkan dengan lembut. Posisi panggul pada bedong yang baik bisa

membantu kaki bayi terbentuk seperti yang direkomendasikan dengan

membuat 'kaki kodok' ergonomis yang natural untuk bayi baru lahir.

Menurut Institut Displasia Panggul Internasional, kaki bayi seharusnya

dalam posisi bengkok dan mengarah keluar dari panggul dan kaki bayi tidak

disarankan dibedong lurus ke bawah dan terhimpit kain. Membedong bayi baru

lahir dengan panggul dan lutut pada posisi lurus, dapat meningkatkan risiko

displasia dan dislokasi panggul.

2.7. Peran Perawat dalam Manajemen Nyeri Pada Prematur

Pertimbangan klinis membutuhkan kemampuan perawat dalam

mengantisifasi informasi yang diperlukan, menganalisa data, dan membuat


33

keputusan terhadap asuhan yang diberikan pada klien (Potter&Perry, 2011).

Pengetahuan akan fisiologis nyeri dan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

akan membantu perawat dalam menangani nyeri klien, serta pengalaman merawat

klien dengan nyeri dapat mengasah ketrampilan dan kemampuan perawat dalam

mengkaji serta memilih terapi yang efektif untuk klien (Potter&Perry, 2011).

Manajemen nyeri yang berhasil tidak selalu berarti mengeliminasi nyeri,

tetapi lebih kepada hasil pencapaian dari tujuan untuk mengurangi dan

mengontrol nyeri, oleh karena itu perawat perlu melakukan pendekatan

manajemen nyeri secara sistematis untuk dapat mengerti dan mengobati nyeri

pada klien (Potter&Perry, 2011). American Nurses Association (ANA) percaya

bahwa pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam jangkauan setiap praktik

keperawatan (Potter&Perry, 2011).

Kemampuan untuk menetapkan diagnosis keperawatan, menentukan

intervensi yang diberikan dan mengevaluasi respon klien terhadap respon klien

terhadap intervensi yang diberikan tergantung kepada aktivitas pokok dari

pengkajian nyeri yang bersifat faktual, tepat waktu dan akurat. Para perawat

dengan kewenangannya dapat menentukan dan memberikan tindakan secara

langsung terhadap manajemen nyeri pada bayi yang lebih baik dengan pemberian

terapi non farmakologi seperti modifikasi lingkungan, stimulasi yang minimal,

memberikan non nutritive sucking dan memberikan rasa nyaman seperti

membedongnya.

Perawat juga dapat membantu dalam menghilangkan kesalahpahaman

tentang persepsi nyeri pada bayi dengan pemberian pendidikan secara

berkelanjutan tentang indikator fisiologi dan perilaku bayi pada saat merasakan
34

nyeri, strategi menurunkan nyeri dan menekankan kebutuhan untuk intervensi

nyeri. Oleh karena itu perawat harus ahli dalam pengkajian nyeri dan memahami

metode penanganan nyeri.

2.8. Prosedur Heelstick

2.8.1. Pengertian

Pemeriksaan darah Heelstick adalah prosedur invasif yang sering

dilakukan pada neonatus. Pemeriksaan ini dilakukan bertujuan mendapatkan

spesimen darah untuk analisis laboratorium dengan jumlah darah yang

dibutuhkan relatif sedikit atau dilakukan ketika pengambilan darah vena tidak

dapat dilakukan. Pengambilan darah heelstick adalah prosedur yang paling banyak

dilakukan di ruang NICU dan dapat menimbulkan nyeri pada bayi. (Cloherty et

al., 2012).

2.8.2. Indikasi

Pengambilan darah kapiler yang dapat digunakan untuk pemeriksaan

adalah mengambil sample darah jika darah yang diperiksaan sedikit atau ketika

pengambilan darah melalui vena sulit diambil; Analisa Gas Darah; kultur darah

apabila vena tidak dapat dilkukan; Kadar bilirubin dan kimia darah.

2.8.3. Kontra Indikasi

Hal- hal yang harus diperhatikan ketika akan mengambil sample darah

pemeriksaan adalah bayi dalam keadaan syok; Aliran darah ke ekstremitas kurang

baik; Adanya Edema lokal; adanya infeksi lokal; Monitoring PO2 kapiler ketika

nilainya > 60 mmHg, dapat terjadi kesalahan pengukuran pada kondisi hiperoksia.
35

2.8.4. Komplikasi

Komplikasi pada pengambilan darah daerah tumit adalah :

(1) Selulitis, hal ini dapat diminimalisasikan apabila pada saat pengambilan darah

menggunakan tehnik steril. Kultur jaringan disekitar daerah yang terkena

harus mendapatkan antibiotik spektum luas.

(2) Osteomelitis, biasanya terjadi pada tulang kalkanes, yang merupakan pusat

atau tengah tumit di usahakan tidak menusuk terlalu dalam. Jika osteomelitis,

jaringan harus dikultur kolaborasi untuk pemberian antibiotik dan

konsultasikan dengan penanganan infeksi serta bagian orthopaedi.

(3) Infeksi, seperti abses dan perikondritis

(4) Adanya jaringan parut pada tumit, hal ini dapat terjadi apabila dilakukan

penusukan yang banyak ditempat yang sama.

(Gomela et al., 2009 ; Hatfield, 2008)

2.8.5. Prosedur pemasamgan

2.8.5.1. Perlengkapan

1. lancet yang steril ( tusukan ujung lancet 2mm jika bb< 1500gr atau 4mm bila

bayi besar).

2. Automated self-shielding lancets, dapat diasosiasikan dengan komplikasi sedikit

dan dapat menurunkan nyeri Alkohol swab 4 buah

3. tabung untuk pemeriksaan atau filter paper card

4. Alat untuk kompres hangat

5. sarung tangan bersih


36

6. Alas

7. Bengkok atau tempat sampah

2.8.5.2. Pelaksanaan

(1) peralatan didekatkan.

(2) Kaji ulang keadaan umum bayi meliputi tanda-tanda vital

(3) Pasang masker

(4) Mencuci tangan dengan 6 langkah

(5) Hangatkan tumit dengan membungkus tumit dengan kain pada suhu 39ºC -

40ºC. Pegang kain terlebih dahulu untuk memastikan kain terasa hangat

ketika disentuh hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

- Suhu diatas 40ºC menyebabkan kulit terbakar

- Waktu penghangatan kurang lebih sekitar 5 menit

- Prosedur ini tidak wajib walaupun dapat meningkatkan sirkulasi darah

ke tumit.

(6) Pilihlah sisi yang dilakukan penusukan, yaitu sebelah sisi kiri dan kanan

sebelah kalkaneus

(7) Bersihkan dengan alkohol lalau biarkan sampai mengering

(8) Genggam tumit pada telapak kaki dan sendi

(9) tusuk tumit dengan menggunakan Automated self-shielding lancets dengan

sekali tusukan, harus tegak lurus terhadap kulit, kedalaman disesuaikan

dengan berat badan.

(10) Jangan berlebihan menekan atau memeras, dapat menyebabkan hemolisis

dan menaktivasi homeostatis

(11) Usap darah yang keluar pertama dengan menggunakan kassa steril
37

(12) masukan darah kedalam tabung atau pada filter paper card

(13) Tekan bekas tusukan sampai darah berhenti keluar

(14) buka sarung tangan kemudian mencuci tangan

(15) dokumentasikan hasil tindakan yang dilakukan

2.8.5.3. Hal yang harus diperhatikan

(1) Hindari daerah antero medial pada tumit

(2) Jangan menggunakan air kompres diatas 40ºC untuk menghangatkan tumit

(3) Jangan menggunakan pisau scapel

(4) Jangan menggunakan lancet lebih panjang dari 2,5 mm, lancet yang dibuat

sekarang tidak lebih dari 1mm

(5) Hindari pembalut perekat yang mungkin akan mengakibatkan laserasi

(6) Membersihkan kulit dengan alkohol mungkin akan meningkatkan gula

darah apabila diperiksa dengan menggunakan dextrostik

(7) Alat tusuk yang kecil akan mengakibatkan waktu yang lebih lama untuk

pengambilan darah dan memerlukan peremasan yang lebih lama dan kadang

diperlukan tusukan kedua

(8) Tusukan yang terlalu dalam dapat mengakibatkan luka sayat, infeksi atau

jaringan parut.

Anda mungkin juga menyukai