Anda di halaman 1dari 2

Tentang Standar Pendidikan

Artikel Pendidikan, Pendidikan, Standar Nasional Pendidikan


Kehadiran Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dapat
dipandang sebagai tonggak penting untuk menuju pendidikan nasional yang terstandarkan. Dalam
Peraturan Pemerintah tersebut dikatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dengan lingkup terdiri 8 standar, yaitu: (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar
kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6)
standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan
Dilihat dari fungsi dan tujuannya, Standar Nasional Pendidikan memiliki fungsi sebagai dasar dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan
nasional yang bermutu, dan bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Dalam Peraturan Pemerintah ini terdapat pasal-pasal yang mengamanatkan perlunya dibuat Peraturan
Menteri sebagai penjabaran lebih lanjut dari delapan standar pendidikan dimaksud. Hingga akhir tahun
2009 pemerintah melalui Mendiknas (era kepemimpinan Bambang Sudibyo) telah berhasil menerbitkan
sejumlah PERMENDIKNAS yang dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan.
Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis secara detail isi yang terkandung dari setiap peraturan yang
ada, tetapi saya hanya ingin menggambarkan secara garis besarnya keterkaitan dan interdependensi
kedelapan standar pendidikan, khususnya dalam konteks sekolah, karena kedelapan lingkup standar
pendidikan ini pada dasarnya tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi merupakan sebuah rangkaian yang
utuh dan saling terkait.

Melihat gambar di atas, dari kedelapan lingkup standar pendidikan, Standar Kompetensi Lulusan (I)
seyogyanya dapat dijadikan sebagai titik sentral sekaligus inti dari seluruh standar pendidikan yang ada.
Dengan demikian, segenap aktivitas pendidikan dari standar pendidikan lainnya harus tertuju pada
pencapaian Standar Kompetensi Lulusan.
Untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan, terdapat wilayah yang bersentuhan langsung yang berada
pada aras A,yaitu: Standar Pendidik (II.a), Standar Isi (III); Standar Proses (IV); dan Standar
Penilaian (V). Pada aras A ini, yang menjadi komponen terpenting adalah Standar Pendidik. Melalui
pendidik yang terstandarkan diharapkan dapat menjalankan komponen-komponen yang berada pada
aras Asecara standar.
Aras A (key are pembelajaran) tidak akan berputar dengan baik apabila tidak ditopang oleh komponen-
komponen yang berada pada aras B (key are manejemen), yaitu: Standar Kepala Sekolah (II.b), dan
Standar Tenaga Kependidikan (II.c), Standar Pengelolaan (VI), Standar Sarana dan Prasarana (VII)
dan Standar Pembiayaan (VIII).
Dari berbagai komponen yang berada pada aras B , saya melihat tumpuan harapan terletak pada
Standar Kepala Sekolah. Melalui Kepala Sekolah yang terstandarkan diharapkan dapat menjalankan
komponen-komponen yang berada pada aras B dan juga aras A, sehingga pada akhirnya dapat
berdampak pula pada bergeraknya inti pendidikan yakni pencapaian SKL.
Dari seluruh rangkaian standar pendidikan sebagaimana tampak dalam gambar di atas, terus terang saya
mengalami kesulitan untuk memposisikan Standar Konselor (Permendiknas No. 27 tahun 2008).
Secara formal konselor digolongkan sebagai pendidik, tetapi keberadaannya tidak mungkin untuk
disentuhkan langsung dengan SKL, karena dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006 sama sekali tidak
disinggung SKL yang bisa dicapai melalui pelayanan konseling. Sepengetahuan saya, Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia telah menawarkan Draft Standar Kompetensi Kemandirian (SKK)
yang merupakan SKL-nya pelayanan konseling di sekolah, namun entah kenapa hingga saat ini
tampaknya pemerintah belum tergoda untuk mensahkannya sebagai sebuah kebijakan resmi.
Selain itu, mungkin diantara Anda ada yang mempertanyakan dimana letak Pengawas Satuan
Pendidikan? (Permendiknas No. 12 Tahun 2007). Dalam konteks ini, saya berfikir bahwa posisi
pengawas satuan pendidikan mungkin perlu dibuat Aras C, dimana kedudukannya dapat diletakkan
bersama-sama dengan Standar Pengelolaan Pemerintah Pusat (PP No 19 pasal 60) dan Standar
Pengelolaan Pemerintah Daerah (PP No 19 pasal 59) yang akan menopang pergerakan komponen-
komponen yang berada pada Aras B mau pun Aras A.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada, kita harus akui bahwa era kepemimpinan Bambang
Sudibyo bisa dipandang telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi upaya standarisasi pendidikan
nasional. Kita berharap pada era kepemimpinan pendidikan sekarang ini kiranya dapat melahirkan
berbagai kebijakan dan regulasi yang semakin dapat menyempurnakan sekaligus memperkokoh upaya
standarisasi pendidikan nasional yang telah dirintis sebelumnya.
Catatan:
Tulisan di atas hanya berupa pemikiran reflektif semata yang sangat mungkin untuk didiskusikan lebih
lanjut. Jika Anda ingin memperkaya pemikiran ini, silahkan sampaikan dalam forum komentar.

Anda mungkin juga menyukai