Anda di halaman 1dari 5

MATERI HOME-LEARNING U.M.

P PSBB COVID-19 DKI JAKARTA


GUGUS DEPAN GAJAH MADA 10.02.06.209-210
SELASA, 21 APRIL 2020

Tema : Pembentukan Karakter SKU Bidang Agama Katolik


Judul : “MENGASIHI SESAMAKU MANUSIA”
Oleh : Willy Sohlehudin, S.Psi
Alat Peraga : Alkitab (Perjanjian Baru)
Waktu : Unlimited

SALAM PRAMUKA !!!

Pada materi ini, yang akan kita bahas adalah tentang perumpamaan “Orang Samaria Yang Baik Hati”.
Bahan materi diambil dari buku “Berhikmat Dengan Perumpamaan” karangan DR. Josep Susanto, Pr (Imam
Diosesan KAJ) cetakan penerbit OBOR cetakan ke-3 bulan Mei 2019. Nihil Obstat oleh DR. Andreas B.
Atawolo, OFM dan Rm. Carolus Putranto, Pr. Imprimatur oleh Vikjen KAJ, Rm. Samuel Pangestu, Pr.

Bacaan diambil dari Injil Lukas 10:25-37 dengan judul “Orang Samaria Yang Murah Hati”. Bacaan Injil
yang relevan dengan dengan materi ini adalah dari Injil Matius 22:35-40 dan Injil Markus 12:28-34.

Dalam Injil Matius dan Injil Markus, pertanyaan mengenai perintah yang paling
utama ini terjadi sebagai bagian dari pelayanan Yesus di Yerusalem, dimana di kota
Yerusalem inilah konflik Yesus dengan para pemimpin agama Yahudi semakin lama
semakin sengit dan memanas. Pertama-tama yang ditampilkan adalah para pemimpin
Yahudi yang ingin menjebak Yesus (Markus 12:13-34 – Matius 22:15-40), dan keduanya
diikuti oleh pernyataan Yesus dalam melawan para pemimpin agama Yahudi itu. Ahli
Taurat dalam Injil Markus bertanya kepada Yesus, “Hukum manakah yang paling
utama?” (Markus 12:28), sedangkan menurut Injil Matius, Ahli Taurat bertanya dengan
pertanyaan yang kurang lebih sama, “Hukum manakah yang terutama dalam Hukum
Taurat?” (Matius 22:36). Disini dalam Injil Matius berusaha lebih dipertajam secara detail
pertanyaan Ahli Taurat tersebut dengan menyebut secara jelas, “ ... dalam Hukum
Taurat”. Namun dalam Injil Lukas, Ahli Taurat mengajukan pertanyaan yang lain, yaitu
“Apa yang harus aku perbuat supaya memperoleh hidup yang kekal?” (Lukas 10:25).

Yesus pun menjawab agar Ahli Taurat melakukan apa yang tertulis dalam Hukum
Taurat, yaitu pada ayat ke-27 sang Ahli Taurat menjawab sendiri, “Jawab orang itu:
Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan
kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Namun disini, Ahli Taurat
mencoba membela diri dengan mengajukan pertanyaan balik kepada Yesus, “Dan
siapakah sesamaku manusia?”. Sebenarnya pertanyaan Ahli Taurat ini bukanlah suatu kebetulan,
sebab saat itu orang Yahudi seringkali berdebat, apakah sesama mereka manusia termasuk orang Samaria,
orang Romawi, dan orang Yunani. Seperti kita tahu bahwa ketiga kaum itu melakukan sesuatu yang bertolak
belakang dengan adat Yahudi, seperti: makan babi, melakukan tindak prostitusi, tidak beribadah kepada
Tuhan Allah di Yerusalem, dan sebagainya. Yesus tidak menjawab pertanyaan balik dari Ahli
Taurat itu, namun malah memberikan sebuah perumpamaan, yaitu perumpamaan orang
Samaria yang murah hati.

Kisah orang Samaria yang baik hati diawali dengan sebuah informasi tentang
seorang pejalan kaki (orang Yahudi) yang turun dari Yerusalem ke Yerikho, yang
merupakan daerah sepi dan rawan tindak kejahatan (perampokan). Nasib si pejalan kaki
ini pun jatuh ke tangan penyamun (perampok atau tukang begal), yang bukan hanya
merampok harta benda si pejalan kaki ini, namun juga memukul si pejalan kaki hingga
ditinggalkan setengah mati. Setengah mati artinya dia akan terlihat seperti orang mati.
Selanjutnya perhatian tertuju kepada kehadiran dua tokoh pejalan kaki, yang disebutkan
sebagai seorang Imam dan seorang Lewi. Bagi kaum Yahudi, kedua tokoh ini dianggap
orang saleh dan diharapkan untuk membantu si pejalan kaki yang malang tadi. Hal ini
dikarenakan kedua tokoh, Imam dan orang Lewi, dekat dengan Hukum Taurat yang
mengajarkan kepedulian kepada mereka yang lemah dan membutuhkan. Namun orang-
orang kecewa, sebab Imam dan orang Lewi yang melihat si pejalan kaki tergeletak
setengah mati, malah melewatinya saja, dan tidak melakukan tindakan pertolongan apa-
apa. Tiba-tiba cerita dilanjutkan dengan kedatangan orang Samaria yang lewat disitu.

Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah orang Israel, ada permusuhan antara
orang Yahudi dengan orang Samaria. Permusuhan ini berawal dari kembalinya orang
Israel dari pembuangan di Babilonia pada jaman Raja Nebukadnezar. Lalu orang Samaria
pernah membantu orang Syria (Asyur) dalam berperang melawan orang Yahudi. Maka
orang Yahudi yang mendengarkan perumpamaan dari Yesus sudah pasti menebak bahwa
orang Samaria yang lewat ini akan melakukan tindakan yang sama dari Imam dan orang
Lewi, bahkan bisa jauh lebih buruk. Namun dalam cerita Yesus, orang Samaria ini justru
melakukan tindakan pertolongan kepada si pejalan kaki. Tindakan menolong yang
dilakukan oleh orang Samaria membuat para pendengar perumpamaan terkejut luar
biasa, karena bukan bukan seseorang yang secara nyata menjalankan Hukum Taurat
(Imam dan orang Lewi), tapi malahan orang yang selama ini dianggap harus dibenci dan
dimusuhi oleh orang Yahudi. Sejak runtuhnya kerajaan utara (Kerajaan Israel) sekitar
tahun 723 Sebelum Masehi, penduduk Samaria adalah masyarakat campuran sehingga
mereka dianggap kelompok yang mengingkari tradisi agama Yahudi.

Tindakan orang Samaria yang membantu orang yang dirampok di tengah jalan
tentunya menghancurkan penafsiran sempit tentang ketaatan terhadap Hukum Taurat
dan membuka kedok kebencian serta pemisahan yang seringkali dianggap wajar dan
benar oleh para pemimpin agama dan para pengikutnya. Kisah orang Samaria ini juga
berhubungan dengan pewartaan Kerajaan Allah yang dilakukan Yesus dan pemberitaan-
Nya tentang Kasih Allah kepada para pendosa dan orang-orang diluar kelompok Yahudi.
Bagi Yesus, dalam Kerajaan Allah, tindakan kasih tidak dapat dikotak-kotakkan oleh
identitas kebangsaan, kesukuan, ataupun keagamaan sekalipun.

Pada ayat 30 bagian akhir berbunyi, “ ... dan yang sesudah itu pergi
meninggalkannya setengah mati”. Dalam pengajaran-Nya, Yesus menggambarkan
bahwa tubuh orang yang dirampok mungkin tampak seperti orang mati. Dalam cerita
perumpamaan, ia digambarkan sebagai orang yang “setengah mati”, tidak berbicara dan
tidak bergerak. Setengah mati berarti dari kejauhan orang itu tampak seperti orang mati,
seperti mayat yang tergeletak di pinggir jalan.

Jika Imam dan orang Lewi melakukan perjalanan ke Yerikho, ada aturan keagamaan
yang melarang mereka untuk berhubungan dengan mayat karena akan membuat mereka
tidak bersih sebelum mereka melaksanakan tugas mereka di Bait Allah di Yerusalem.
Barangkali alasan inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa mereka tidak hanya
terus berjalan tetapi juga melewatinya dari seberang jalan. Namun alasan ini juga tidak
bisa dibenarkan, karena diceritakan dalam perumpamaan bahwa mereka berdua baru
datang dari Yerusalem ke Yerikho, jadi mereka baru saja melakukan kegiatan keagamaan
di Yerusalem dan hendak pergi ke Yerikho. Para Imam dan orang Lewi ini sebenarnya
berada dalam dilema moral, di satu sisi mereka mau menjalani perintah Taurat untuk
tidak menajiskan diri dengan mayat sedangkan di pihak lain mereka mau menjalani
perintah Taurat untuk membantu sesama yang memerlukan bantuan. Dalam sebuah
kebimbangan, seseorang harus mengambil sebuah keputusan.

Sebagaimana dikisahkan dalam cerita perumpamaan, Imam dan orang Lewi ini
memilih untuk tidak membantu orang yang sangat memerlukan pertolongan di depan
mata mereka. Mereka mengambil keputusan untuk mempertahankan kekudusan mereka.
Perintah untuk menjaga kesucian telah membutakan mata mereka terhadap sesama yang
membutuhkan pertolongan segera. Disamping dilema yang dialami oleh Imam dan orang
Lewi tersebut, dalam kisah perumpamaan digambarkan ternyata justru orang Samaria-lah
yang membuat penafsiran yang benar tentang Hukum Taurat. Hal ini menjadi bertolak
belakang, karena salah satu pertengkaran yang utama antara orang Yahudi dan orang
Samaria adalah tentang penerapan Hukum Taurat Musa. Orang Samaria sering dianggap
tidak benar, tidak setia, dan tidak murni dalam melakukan perintah-perintah Kitab Taurat.

Ternyata perbuatan kasih orang Samaria tidak berakhir dengan hanya membalut
luka-luka si pejalan kaki dan menyiraminya dengan minyak dan anggur saja. Apalah
artinya bila orang yang sudah tidak berdaya itu, meski lukanya sudah dirawat, bila
ditinggalkan seorang diri di tengah jalanan yang rawan dan sepi, bisa jadi ia akan dihajar
lagi oleh perampok yang lainnya, atau bahkan akan mati kelaparan atau mati karena
infeksi dari luka-lukanya. Belas kasih telah membuat orang Samaria ini mampu mencari
akal untuk membantu orang tersebut sampai tuntas. Tindakan terakhir orang Samaria
kepada orang yang dirampok itu adalah membawa orang yang terluka itu ke penginapan.
Orang Samaria ini diceritakan dalam perumpamaan setelah membawa orang yang terluka
itu ke tempat penginapan, ia merawat orang itu sepanjang malam.

Sampai keesokan harinya, ia menyerahkan uang 2 Dinar kepada si pemilik


penginapan dan berjanji akan membayar bila ada kebutuhan lain diluar biaya pelayanan
kamar penginapan bagi orang yang terluka itu. Orang Samaria ini sadar bahwa orang
yang dirampok ini sudah tidak mempunyai uang lagi, karena telah dicuri oleh perampok.
Orang Samaria ini berpikir, jangan sampai setelah sudah sembuh dari lukanya, si pejalan
kaki korban perampokan ini malah masuk ke masalah baru, yaitu berhutang kepada si
pemilik penginapan. Maka si orang Samaria berjanji kepada pemilik penginapan dalam
ayat 35, “ ... Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan
menggantinya, waktu aku kembali”. Orang Samaria merelakan dirinya untuk
berhutang kepada si pemilik penginapan demi menolong orang Yahudi pejalan kaki yang
bahkan ia sendiri pun tidak mengenalnya.
Makna Perumpamaan:

Perumpamaan ini memberikan inspirasi yang tidak terbatas bagi laku hidup Kristiani,
dimana orang Katolik dinyatakan masih belum cukup jika hanya memasuki dunia sesama manusia
dengan perawatan dan belas kasihan. Orang Katolik dituntut untuk dapat membantu sesama
manusia memperoleh kebebasan sebagai tujuan dari pemberian bantuan tersebut. Untuk dapat
mengerti dan memahami arti dari perumpamaan Yesus ini, kita dapat menjadikan diri kita seolah-
olah seperti si pejalan kaki yang terluka dalam perumpamaan tadi. Hal ini akan menyadarkan kita
bahwa berkat Allah yang kita terima dapat datang dari mana saja, dari orang manapun, tanpa
terkecuali. Kasih Allah dapat juga muncul dari mereka yang tidak kita bayangkan dan kita
harapkan sekalipun. Pertolongan Allah bisa datang melalui pribadi-pribadi yang selama ini kita
anggap sebagai “orang luar” atau bahkan dari kalangan “orang lemah”.

Hal ini tentunya menantang kita untuk bergerak melebihi ruang lingkup sosial dan
keberagaman kita serta menghalangi kecenderungan kita untuk memisahkan atau mengkotak-
kotakkan orang lain. Perumpamaan orang Samaria dalam Injil Lukas ini menyadarkan kita bahwa
kebaikan dapat ditemukan dimana saja, termasuk dalam diri orang-orang yang seringkali kita
anggap musuh atau orang jahat. Selain itu, perumpamaan ini juga mengajak kita untuk mampu
menunjukkan solidaritas kita kepada mereka yang lemah dan menderita. Kita diajak untuk
menyadari bahwa solidaritas hanya dapat muncul ketika kita melihat sesama yang memerlukan
dengan ‘kacamata belas kasih’. Kita diajak untuk tidak melihat orang lain dengan hal-hal materi,
kekuasaan, pangkat, dan kedudukan/jabatan – karena itu semua bisa melumpuhkan semangat
kasih dan ketulusan kita dalam menolong sesama.

Untuk memenuhi perintah mencintai Allah dan sesama, seseorang harus mampu keluar dari
dirinya serta belajar menjadi seperti si orang Samaria. Orang Samaria itu adalah pribadi yang
penuh keterbatasan dan orang yang selalu mendapat cap buruk dari orang lain, khususnya dari
komunitas orang Yahudi. Walau begitu, si orang Samaria berani mengambil resiko dalam
mengatasi permasalahan perbedaan sudut pandang di masyarakat ini dan menghancurkan
perbedaan itu dengan rasa berbelas kasih dan perilaku melayani sesamanya. Sementara si Imam
dan orang Lewi adalah contoh mereka yang gagal melaksanakan perintah Allah untuk mencintai
sesama karena mengganggap dirinya sudah istimewa dan sempurna.

Anda mungkin juga menyukai