2.1.1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan
mengenai makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang
diteliti, dan akan mengeksplorasi isu tersebut (Banister dalam Poerwandari, 2007).
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan terhadap subjek penelitian dan significant
others untuk mengungkap peran dukungan emosional suami secara utuh.
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan
pedoman umum. Penulis menggunakan pedoman wawancara bersifat umum yang
mencantumkan isu yang berkaitan dengan topik mengapa penumpang ‘biasa’ yang
tidak memiliki hak untuk duduk di tempat duduk prioritas menduduki tempat duduk
prioritas. Pedoman wawancara digunakan untuk menjaga pembicaraan yang terjadi
saat wawancara tetap dalam fokus penelitian. Pedoman wawancara yang digunakan
hanya sebagai daftar untuk membuat penulis tetap fokus terhadap apa yang akan
ditanyakan. Jadi, pedoman umum untuk pertanyaan awal wawancara akan dibuat
sama, sedangkan perkembangan berikutnya akan menyesuaikan dengan kekhasan di
lapangan. Karena tema yang telah disusun dalam pedoman wawancara dapat
berkembang dalam setiap pelaksanaan wawancara sesuai dengan jawaban yang
diberikan subjek.
Wawancara akan direkam dalam alat perekam. Dan hasil rekaman dari alat
perekam akan diketik dalam bentuk transkrip hasil wawancara (verbatim) untuk
kemudian dianalisis lebih lanjut.
2.1.2. Catatan Lapangan
Catatan lapangan digunakan untuk menangkap data yang tidak terakomodir di
dalam wawancara dan observasi. Catatan lapangan dibuat secara lengkap dengan
tanggal dan waktu yang jelas disertai dengan tempat melakukan observasi atau
pengamatan. Kegiatan yang dimasukkan ke dalam catatan lapangan antara lain
adalah wawancara tanpa direkam, observasi tidak terstruktur, pengamatan medan,
serta aktivitas lain yang penting dalam menjawab pertanyaan penelitian. Catatan
lapangan berisikan perasaan peneliti, reaksi terhadap pengalaman yang dilalui, dan
refleksi mengenai makna personal dan arti kejadian dari sisi peneliti (Poerwandari,
2007).
2.1.3. Identifikasi Permasalahan
Pada tahun 2014, dunia maya sempat dihebohkan dengan pemberitaan sebuah
foto yang disebar di twitter. Foto tersebut menampilkan seseorang penyandang
disabilitas duduk di lantai saat berada di commuter line, sedangkan ada tiga pria
duduk santai di tempat duduk prioritas. Fenomena mengenai kesadaran akan fungsi
tempat duduk prioritas semakin sering terjadi. Berdasarkan pantauan Fadillah (2014),
ia menemukan bahwa ada penumpang yang sengaja memakai earphones sambil
tertidur dan tidak memberikan tempat duduk pada ibu yang membawa balita. Sebuah
wawancara pernah dilakukan kepada salah satu penumpang ’biasa’ mengenai kenapa
ia tidak memberikan tempat duduk prioritas bagi penumpang prioritas. Penumpang
tersebut menjawab kalau ia juga sudah membayar, dan ia berhak duduk dimanapun
yang ia mau. Penumpang tersebut menambahkan jika penumpang prioritas ingin
berpergian dengan nyaman sebaiknya jangan memakai KRL (Fadillah, 2014).
Berdasarkan hasil asesmen yang kelompok lakukan, permasalahan yang
dihadapi oleh kelompok komunitas adalah:
- Rendahnya rasa empati
Berdasarkan hasil asesmen, rata-rata penumpang biasa yang menduduki
tempat duduk prioritas menyatakan bahwa pada jam sibuk, maka seluruh kursi biasa
akan penuh, dan mereka memilih untuk duduk di tempat duduk prioritas
dibandingkan harus berdiri. Penumpang yang tidak berhak untuk menduduki tempat
duduk prioritas juga menyebutkan bahwa mereka merasa malas dan memilih untuk
berpura-pura untuk melakukan suatu kegiatan yang lain dan tidak memberikan tempat
duduk prioritas pada penumpang yang berhak. Hal tersebut disertai alasan bahwa
seluruh penumpang telah membayar dengan harga yang sama, maka semua
penumpang juga memiliki hak yang sama untuk menduduki kursi sesuai dengan
keinginan mereka.
Melihat fenomena tersebut, kelompok melihat bahwa rasa empati penumpang
kereta rel listrik masih kurang cukup. Empati adalah respon afektif dan kognitif yang
kompleks pada distres emosional orang lain (Baron & Byrne, 2004). Empati adalah
suatu kemampuan dalam memahami perasaan orang lain tanpa harus ikut terbawa
dalam perasaan orang tersebut. Empati mencakup keinginan menolong sesama, serta
mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan (Hodges & Klein, 2001).
Akibat rendahnya rasa empati yang dimiliki penumpang, maka penumpang biasa
tidak merasa bahwa tempat duduk prioritas ditujukan bagi kategori penumpang
prioritas.
2.2. Analisis Masalah
E.L. Thorndike, salah seorang tokoh psikologi berpendapat bahwa setiap
perbedaan pada rangsang (stimulus/S) akan mengakibatkan perbedaan tingkah laku
(respon/R). Ia mengajukan sebuah hukum psikologi, yang disebut dengan hukum
efek. Hukum ini mengatakan bahwa tingkah laku akan semakin diperkuat bila diikuti
dengan rangsang berupa ganjaran atau hadiah. Sebaliknya, tingkah laku akan
berkurang kekuatannya, bila diikuti dengan rangsang hukuman (Sarwono, 1994).
Aliran tersebut dinamakan aliran determinisme. Namun ternyata, hubungan S-R ini
tidak selalu berlaku. Jelaslah, faktor organisme memegang peranan penting dalam
hubungan S-R. Hubungan tersebut digambarkan sebagai S-O-R. Dalam faktor O
itulah terletak proses kognisi seperti motivasi, sikap, minat, emosi, dan rasio.
Dalam psikologi lingkungan, paham S-O-R ini dinamakan aliran
interaksionisme. Paham ini menjelaskan bahwa stimulus akan menimbulkan suatu
respon, dan segala respon itu bergantung pada organisme tersebut. Dalam hal ini
yang dimaksud dengan organisme adalah manusia atau penumpang kereta rel listrik,
baik penumpang biasa atau penumpang yang berhak menduduki tempat duduk
prioritas.
BAB III
Pelaksanaan Intervensi
3.1. Tujuan
1. Kognisi
2. Afeksi
3. Konasi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Millar & Tesser (1986), sikap dan
perilaku selalu berhubungan dan dijembatani oleh peran dari affective-cognitive
consistency. Komponen afektif dan kognitif termasuk dalam sikap yang muncul pada
perilaku. Kedua aspek tersebut yang seterusnya akan menguatkan perilaku dan
menyebabkan sikap berada pada kondisi yang stabil.
Perubahan perilaku dapat terjadi ketika aspek kognitif dan afektif individu
diberikan kekuatan yang bersifat eksternal untuk menciptakan kondisi kedua aspek
tersebut tidak stabil. Ketidakstabilan akan berdampak pada muncul tekanan-tekanan
untuk kembali menstabilkan kedua aspek tersebut supaya kembali konsisten.
Disinilah peran pemberian tekanan untuk menyebabkan inkonsistensi diperlukan
untuk memungkinkan terjadinya perubahan perilaku (Azwar, 2005).
BARS merupakan kursi prioritas atau reserved seating yang disediakan untuk
golongan prioritas, yaitu wanita hamil, ibu yang membawa anak, lanjut usia, dan
kaum difabel dengan beberapa pengembangan. Berbeda dengan kursi penumpang
pada umumnya, BARS dilengkapi dengan sensor tekanan yang dapat menghasilkan
output berupa stimulus audio atau suara. Keunikan BARS terletak pada sensor
tekanan berupa stimulus audio atau suara yang akan bekerja dengan mengeluarkan
rekaman suara ketika diduduki. Stimulus audio yang dihasilkan berisi informasi
edukatif mengenai kursi prioritas dengan pengguna khusus kursi prioritas.
Cara kerja dari BARS menggunakan prinsip modifikasi perilaku yaitu
negative reinforcement. Negative reinforcement memiliki tiga kondisi, yaitu adanya
kemunculan perilaku, stimulus yang dikurangi atau dihilangkan intensitasnya setelah
perilaku muncul, dan penguatan perilaku (Miltenberger, 2012). Stimulus merupakan
sesuatu objek atau kejadian baik berupa lingkungan fisik maupun sosial yang dapat
ditangkap oleh indera dan memiliki kecenderungan untuk memepengaruhi individu.
Dalam hal ini, yang termasuk stimulus adalah output stimulus audio atau suara
berupa rekaman edukatif. Stimulus dalam negative reinforcement juga berperan
sebagai aversive stimulus yang cenderung ingin dihindari karena sifatnya yang
mengganggu dan tidak menyenangkan. Rekaman edukatif yang akan bekerja ketika
kursi diduduki mampu menjadi aversive stimulus karena volume suaranya yang
tinggi dan mampu menarik perhatian penumpang di sekitar kursi prioritas.
Perubahan perilaku yang diharapkan adalah penumpang KRL Commuter Line
dengan kondisi normal dan sehat yang menduduki kursi prioritas akan menjadi
jengah dan malu karena rekaman edukatif yang muncul dengan volume tinggi.
Sehingga, mereka bisa menghilangkan perilaku tersebut dengan tidak duduk di kursi
prioritas. Selain itu, melalui stimulus rekaman edukatif ini dapat meningkatkan
awareness penumpang lain untuk saling mengingatkan mengenai penggunaan kursi
prioritas dan ditujukan khusus untuk golongan prioritas.
3.5.2. Sistem Tanda Kecakapan Gerakan Pramuka Indonesia
Dalam Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor: 134/KN/76
Tahun 1976 Tentang Petunjuk Penyelenggaraan Kecakapan Khusus dan Keputusan
Kwartir Gerakan Pramuka Nomor: 132 tahun 1979 Tentang Syarat – Syarat dan
Gambar- Gambar Tanda Kecapan Khusus (TKK) menyebutkan bahwa:
Sistem Tanda Kecakapan itu adalah untuk menyalurkan kesukaan anak didik
akan penghargaan atas hasil usahanya dan menyalurkan minatnya ke arah yang
positif dan bermanfaat. Maka semua tanda yang dipakai di dalam Gerakan Pramuka
itu harus berfungsi sebagai alat pendidikan, bukan sebagai perhiasan belaka.Oleh
karena di dalam Sistem Tanda Kecakapan terdapat unsur inisiatif anak didik dan
unsur belajar sendiri, maka sistem itu sekaligus menanam pada anak-didik suatu
kesadaran yang bernilai pendidikan yang tinggi. Maka harus diusahakan, supaya
inisiatif dan usaha untuk mencapai mutu tanda kecakapan itu datang dari anak-
didik sendiri. Tetapi Pembina Pramuka harus menganjurkan dan memberi
dorongan, agar anak didiknya bergerak mengambil inisiatif dan berusaha.
Sistem Tanda Kecakapan menjadi salah satu metode intervensi yang
diharapkan mampu memberikan alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan
Commuter Line di Jakarta. Intervensi yang kami maksudkan adalah rekomendasi
kepada Kwartir Nasional Gerakan Pramuka terkait pengadaan Tanda Kecakapan
Khusus yang bertemakan kepedulian kepada penumpang prioritas Commuter Line di
Jakarta. Sasaran intervensi ini adalah anggota Gerakan Pramuka mulai dari tingkat
siaga hingga pandega. Hal yang mendasari dipilihnya anggota Gerakan Pramuka
sebagai sasaran dalam intervensi ini adalah kesadaran akan pentingnya menanamkan
nilai-nilai kepedulian kepada lingkungan sekitar khususnya orang-orang yang berhak
mendapatkan prioritas dalam menggunakan fasilitas umum. Gerakan Pramuka dipilih
sebagai salah satu sistem yang akan menggerakkan intervensi ini karena keberadaan
dan legalitasnya sebagai salah satu kegiatan non formal yang diakui eksistensinya
oleh Undang-Undang dan potensinya sebagai gerakan yang memiliki komitmen
penanamana nilai moral kepada generasi penerus bangsa terbesar di Indonesia dengan
sistem kerja yang telah mantab dan terprogram. Melalui potensi-potensi besar
tersebut diharapkan intervensi ini dapat diterapkan secara massive dan continue
sehingga upaya untuk memutus mata rantai rendahnya kepedulian masyarakat pada
orang-orang yang memiliki hak prioritas dapat terwujud.
Bentuk intervensi yang diberikan adalah serangkaian tugas yang harus
dikerjakan anggota Gerakan Pramuka untuk mendapatkan sebuah tanda penghargaan.
Dalam Gerakan Pramuka. Hal tersebut lazim disebut sebagai pemenuhan Syarat
Kecakapan Khusus (SKK) oleh anggota Gerakan Pramuka untuk mendapatkan Tanda
Kecakapan Khusus (TKK). Syarat Kecakapan Khusus akan disesuaikan dengan
tingkat keanggotaan Pramuka yang berarti tingkat siaga akan memiliki syarat yang
berbeda jika dibandingkan dengan tingkat penggalang begitu juga tingkat penggalang
jika dibandingkan dengan tingkat pandega. Semakin tinggi tingkat keanggotaan
Pramuka maka semakin kompleks syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan
TKK.
Sistem Tanda Kecakapan di Gerakan Pramuka erat kaitannya dengan salah
satu konsep modifikasi perilaku yaitu token ekonomi di kajian ilmu psikologi.
Soekadji (1983, dalam Indrijati 2009) menyatakan bahwa modifikasi perilaku
merupakan suatu pendekatan untuk melakukan pengukuran, evaluasi, dan perubahan
perilaku untuk mengembangkan perilaku adaptif terhadap sosial dan mengurangi
perilaku maladaptif dalam kehidupan sehari-hari. Soekadji (1983, dalam Indrijati
2009) juga mendefinisikan token ekonomi sebagai permberian token (tanda, isyarat,
kepingan) sesegera mungkin setiap kali setelah perilaku yang diinginkan muncul dan
nantinya token yang telah terkumpul dapat ditukar dengan benda/ aktivitas yang
diingini oleh subyek. Berdasarkan kajian pada Sistem Tanda Kecakapan di Gerakan
Pramuka yang memiliki kesesuaian cara kerja dengan Sistem Token Ekonomi di
kajian Ilmu Psikologi maka dapat disimpulkan korelasi antara kedua sistem tersebut
yaitu pada pemenuhan syarat-syarat yang telah ditentukan untuk mendapatkan check
list pada buku panduan SKK yang dalam teknik token ekonomi dikenal sebagai
penguatan atau reinforcement serta penukaran check list yang jumlahnya telah
ditentukan dengan Tanda Kecakapan Khusus yang dalam teknik token ekonomi
dikenal dengan pemberian reward. TKK yang kami tawarkan bukalnlah satu-satunya
TKK dalam Gerakan Pramuka sehingga anggota Gerakan Pramuka bebas memilih
jenis SKK apa yang akan dipenuhi untuk mendapatkan TKK berdasarkan minat,
bakat dan kemampuannya. Namun pembina dapat memberikan dorongan atau
motivasi kepada anggota Gerakan Pramuka untuk mau mencoba TKK yang
ditawarkan dalam desain intervensi ini.
3.6. Materi
BAB IV
4.1. Pelaksanaan
Evaluasi terhadap target perubahan meliputi tiga aspek yaitu kognisi, afeksi
dan konasi yang memiliki perbedaan teknis evaluasi. Pada tahap kognisi target
perubahan didasarkan pada skor pre test dan post test. Apabila anggota Gerakan
Pramuka menunjukkan adanya peningkatan skor pada post test maka intervensi
dalam aspek kognisi dapat dinyatakan berhasil. Pada aspek afeksi evaluasi dilakukan
melalui wawancara pengalaman selama pemenuhan SKK dan anggota Gerakan
Pramuka akan dihadapkan pada beberapa studi kasus. Wawancara dilakukan oleh
pembina dan melalui teknik ini diharapkan pembina dapat memberikan penilaian
secara objektif akan nilai-nilai afeksi yang muncul saat wawancara berlangsung.
Untuk mengetahui perkembangan nilai-nilai afeksi pada anggota Gerakan Pramuka
maka setiap kali sesi materi pembina diharapkan melakukan brainstorming dengan
anggota Gerakan Pramuka untuk dapat mengumpulkan data awal sejauh mana peserta
melibatkan afeksinya dalam menyikapi fenomena sosial di lingkungan sekitar.
Evaluasi pada aspek konasi dapat dilakukan melalui observasi sebelum dan setelah
anggota Gerakan Pramuka mendapatkan intervensi/ materi. Selain itu evaluasi
terhadap aspek konasi dapat diperkuat melalui report berupa karangan, karya tulis
maupun cerita verbal yang dibuat/ disampaikan oleh anggota Gerakan Pramuka setiap
kali selesai melakukan aksi/ praktik penerapan di Commuter Line kepada pembina
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Baron., & Byrne. (2004). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Borba, M. (2008). Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Fadhillah, Ramadhian. Merdeka [on-line]. (2014). Diakses pada tanggal 14
September 2015 dari http://www.merdeka.com/jakarta/matinya-rasa-empati-
di-atas-krl-commuter-line.html.
Hodges, S.D., & Klein, K.J. (2001). Regulating the cots of empathy: the price of
being human. Journal of Socio-Economics.
Indrajati., H. (2009). Efektifitas Metode Modifikasi Perilaku “Token Economy”
Dalam Proses Belajar Mengajar Di Kelas. Jurnal Psikologi Indonesia Vol VI
No 1, 43-54.
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. (2007). Keputusan Kwartir Nasional Gerakan
Pramuka Nomor: 134/KN/76 Tahun 1976 Tentang Petunjuk Penyelenggaraan
Kecakapan Khusus dan Keputusan Kwartir Gerakan Pramuka Nomor: 132
tahun 1979 Tentang Syarat – Syarat dan Gambar- Gambar Tanda Kecapan
Khusus. Jakarta: Pustaka Tunasmedia.
Millar, M. G., & Tesser, A. (1986). Effects of affective and cognitive focus on the
attitude-behavior relation. Journal of Personality and Social Psychology ,
270-276.
Miltenberger, R. G. (2012). Behavior Modification Principles and Procedures, Fifth
Edition. Belmont: Wadswoth, Cengage Learning.