Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan


atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan dalam pasal
1 No.1 bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut R.A. Kosnan
“Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa muda dan
perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya.”
(1984:25). Oleh karena itu anak-anak perlu diperhatikan secara baik dan
sungguh-sungguh terkhusus dalam memahami karakter anak yang pertama dari
lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lain.

Secara spesifik, Ratna (dalam Panjaitan, 2008) menyebutkan ada tiga unsur
yang harus dilakukan dalam model pendidikan karakter. Pertama, Knowing the
good. Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-
hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan
hal itu selama ini anak tahunya mana yang baik dan buruk, namun anak tidak
tahu alasannya. Kedua, feeling the good. Konsep ini mencoba membangkitkan
rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Disini anak dilatih untuk
merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Ketiga, Acting the good.
Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Ketiga faktor tersebut harus
dilatih secara terus-menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun
adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands.

Setiap anak harus dibiasakan memiliki kebiasaan yang baik dan positif bagi
tumbuh kembangnya dan juga pembentukan karakternya. Kebiasaan dalam

1
berpikir mampu diasah lewat membaca buku bacaan sesuai dengan usia anak.
Keluarga dapat menerapkan budaya literasi kepada anak dirumah sejak dini.
Kemudian sekolah sebagai lingkungan kedua bagi sang anak. Adapun bacaan
yang dapat dibaca oleh anak dan diajarkan ialah karya sastra baik berupa
dongeng, cerpen maupun puisi. Sastra memiliki peranan penting karena mampu
mengolah daya pikir, imajinasi sehingga mampu membentuk karakter anak.

1.2 Tujuan Praktik Kerja Lapangan

Tujuan dari Praktik Kerja Lapangan ini antara lain:

a. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan.


b. Memperoleh pengalaman kerja secara langsung di dunia kerja sebagaimana
yang akan dihadapi setelah lulus dari dunia perkuliahan.
c. Mengaplikasikan disiplin ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah.
d. Meningkatkan kemampuan lunak dan kemampuan keras.
e. Menjalin hubungan baik antara universitas dan instansi tempat mahasiswa
melaksanakan praktik kerja lapangan.

1.3 Manfaat Praktik Kerja Lapangan

Manfaat pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan ini dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Bagi Mahasiswa
a. Mahasiswa mendapatkan pengalaman kerja khususnya di Divisi Pengaduan
Masyarakat
b. Mahasiswa memiliki kesempatan untuk melaksanakan pengabdian kepada
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. Mahasiswa mendapatkan ilmu dan wawasan yang luas dalam berbagai
bidang sesuai dengan penempatan divisi yang telah dijalankan.

2
2. Bagi Perguruan Tinggi
a. Perguruan Tinggi dapat menjalin hubungan yang baik dengan instansi
mitra tempat mahasiswa melaksanakan Praktik Kerja Lapangan, sehingga
diharapkan jalinan kerjasama ini dapat berkelanjutan.
b. Perguruan Tinggi mendapatkan citra baik di mata masyarakat khususnya
instansi mitra dengan usaha dan hasil kerja yang baik dari mahasiswa PKL.

3. Bagi Instansi Mitra


a. Pihak instansi mitra mendapatkan bantuan tenaga tambahan dari
mahasiswa magang guna meringankan dan mempercepat proses pekerjaan
divisi terkait.
b. Pihak instansi mitra mendapatkan wawasan terkait disiplin ilmu yang
dipelajari mahasiswa serta kemampuan yang dapat dilakukan dan
diterapkan selama proses magang berlangsung.

1.4 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan

Praktik kerja lapangan ini dilaksanakan selama satu setengah bulan (6


minggu) yaitu pada tanggal 05 November s.d. 19 Desember 2018 di Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang terletak di Jl. Teuku Umar No.10-12
Menteng, Jakarta Pusat (10350). Penulis ditempatkan di tiga Divisi selama proses
pelaksanaan praktik kerja lapangan yaitu Divisi Pengaduan Masyarakat,
Hubungan Masyarakat, dan Front Desk.. Adapun pihak KPAI memberlakukan
jam kerja yaitu dari hari Senin-Jum’at pukul 09.00-16.00 WIB.

1.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam menyusun laporan ini adalah sebagai


berikut:

3
1. Observasi
Menurut Nawawi dan Martini (1992:74), “Observasi adalah pengamatan
dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam
suatu gejala atau gejala-gejala pada obyek penelitian”. Adanya observasi
maka dapat ditinjau secara langsung, dan lebih dekat mengenai keadaan dan
kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang terletak di Jl. Teuku Umar
No.10-12 Menteng, Jakarta Pusat (10350).

2. Wawancara
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan terstruktur karena penulis menggunakan pedoman
wawancara yang disusun secara sistematis dan lengkap untuk mengumpulkan
data yang dicari. Wawancara pada penelitian ini dilakukan pada salah seorang
Staff Data dan Informasi di KPAI.

3. Dokumentasi
Menurut Hamidi (2004:72) dokumentasi adalah informasi yang berasal
dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun dari
perorangan. Dokumentasi penelitian ini merupakan pengambilan gambar oleh
peneliti untuk memperkuat hasil penelitian. Dalam hal ini, penulis
mendokumentasikan situasi, keadaan dan kegiatan yang perlu untuk di
dokumentasikan selama melaksanakan kegiatan PKL di KPAI.

1.6 Analisis Data

Dalam laporan ini, penulis menggunakan metode deskriptif eksploratif dengan


mendeskripsikan apa yang menjadi permasalahan dan bahasan di lapangan dalam
hal ini di Divisi Data dan Informasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Adapun data-data deskriptif eksploratif tersebut antara lain:

a. Latar belakang pemilihan judul yang dibahas pada Bab I

4
b. Profil dan Sejarah Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang dibahas pada
Bab II
c. Permasalahan yang akan dibahas pada Bab III
d. Saran dan kesimpulan yang akan ditarik diakhir bab, yaitu Bab IV.

5
BAB II

TINJAUAN UMUM KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DAN


PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

2.1 Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merupakan lembaga negara


independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada
pasal 74. Komisi Perlindungan Anak Indonesia dipimpin oleh Dr. Susanto, MA. yang
menjabat sebagai Ketua sejak tahun 2017-2022 berdasarkan rapat pleno Keputusan
KPAI Nomor 01 Tahun 2017.

Kedudukan KPAI sejajar dengan komisi-komisi negara lainnya, seperti


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), dan Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), Komisi Kejaksaan, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia merupakan salah satu dari tiga institusi
nasional pengawal dan pengawas implementasi HAM di Indonesia (NHRI/National
Human Right Institusion) yakni KPAI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.

2.1.1 Sejarah Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk berdasarkan amanat


UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut
disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan
ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 20 Oktober 2002.
Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 dari undang-undang tersebut, Presiden

6
menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan mengangkat Anggota
KPAI seperti yang diatur dalam peraturan per-undang-undangan tersebut.

Berdasarkan penjelasan pasal 75, ayat (1), (2), (3), dan (4) dari Undang-
Undang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa Keanggotaan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu)
orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota, dimana keanggotaan KPAI terdiri dari
unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan
kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Adapun keanggotaan
KPAI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun,
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Periode I (pertama)
KPAI dimulai pada tahun 2004-2007.

2.1.2 Visi dan Misi Komisi Perlindungan Anak Indonesia

A. Visi Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Visi Komisi Perlindungan Anak Indonesia ialah:

“Terwujudnya Indonesia Ramah Anak”

Dengan visi terwujudnya Indonesia Ramah Anak, keanggotaan KPAI Periode


2017-2022 mempunyai komitmen yag tinggi, menjadi lembaga pengawas yang
profesional dan terpercaya untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan
haknya melalui sistem perlindungan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal
tersebut, KPAI melakukan penguatan sistem pengawasan yang modern, professional
dan berbasis teknologi informasi. Dengan demikian visi, misi dan tujuan KPAI dapat
terwujud secara optimal dalam pelaksanaannya.

7
B. Misi Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Untuk mencapai visi tersebut, KPAI telah menetapkan misi sebagai berikut:

1. Membangun sistem pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak


yang berkualitas dan professional;
2. Mengoptimalkan kuantitas dan kualitas usulan untuk perumusan
kebijakan yang berperspektif perlindungan anak;
3. Mewujudkan sistem data dan informasi perlindungan anak yang
terintegrasi;
4. Meningkatkan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan
masyarakat;
5. Mengoptimalkan layanan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak;
6. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan pemangku kepentingan
penyelenggaraan perlindungan anak;
7. Meningkatkan kualitas sistem pelaporan penyelenggaraan perlindungan
anak.

C. Strategi Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Dalam mewujudkan visi dan misinya yakni terwujudnya Indonesia


Ramah Anak, KPAI menetapkan beberapa strategi diantaranya sebagai berikut:

1. Penggunaan System Building Approach (SBA) sebagai basis pelaksanaan


tugas dan fungsi, yang meliputi tiga komponen sistem:
a) sistem norma dan kebijakan, meliputi aturan dalam perundang-
undangan maupun kebijakan turunannya baik di tingkat pusat maupun
daerah;
b) struktur dan pelayanan, meliputi bagaimana struktur organisasi,
kelembagaan dan tata-laksananya, siapa saja aparatur yang
bertanggung jawab dan bagaimana kapasitasnya;

8
c) proses, meliputi bagaimana prosedur, mekanisme kordinasi, dan SOP-
nya;
2. Penguatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang profesional, kredibel
dan terstruktur, sehingga diharapkan tugas dan fungsi KPAI dapat
berlangsung dengan efektif dan efisien;
3. Penguatan kesadaran masyarakat untuk mendorong tersedianya sarana dan
prasarana pendukung yang memberikan kemudahan akses terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak di semua sektor;
4. Perspektif dan pendekatan yang holistik, komprehensif dan bukan parsial
dalam merespon masalah atau kasus, karena masalah atau kasus anak tidak
pernah berdiri sendiri namun selalu beririsan dengan berbagai aspek
kehidupan yang kompleks;
5. Diseminasi konsep Indonesia Ramah Anak (IRA) pada berbagai
pemangku kewajiban dan penyelenggara perlindungan anak yang
meniscayakan adanya child right mainstreaming dalam segala aspek dan
level pembangunan secara berkelanjutan;
6. Penguatan mekanisme sistem rujukan (reveral system) dalam penerimaan
pengaduan, sehingga KPAI. Hal ini dipandang penting untuk
memantapkan proses penanganan masalah perlindungan anak yang
bersumber dari pengaduan masyarakat.
7. Kemitraan strategis dengan pemerintah dan civil society dalam setiap
bidang kerja dan isu agar setiap permasalahan bisa mendapatkan
rekomendasi dan solusinya yang tepat, serta terpantau perkembangannya.

2.1.3 Tugas dan Struktur Komisi Perlindungan Anak Indonesia

A. Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Tugas KPAI sesuai pasal 76 diantaranya sebagai berikut:

9
1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan
pemenuhan hak anak.
2) Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan perlindungan anak.
3) Mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak.
4) Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat
mengenai pelanggaran Hak Anak.
5) Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak.
6) Melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masrakat di
bidang Perlindungan Anak.
7) Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan
pelanggaran Undang-undang ini.

Kelembagaan KPAI sesuai mandat Undang-Undang No. 23 Tahun


2002 tentang Perlindungan Anak, diatur melalui Keputusan Presiden Nomor
77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dalam
perkembangan selanjutnya, aturan kelembagaan KPAI mengacu pada
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2006 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia pasca diterbitkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

B. Struktur Organisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Struktur Organisasi berdasarkan Keputusan Presiden Republik


Indonesia Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, bahwa struktur keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang
sekretaris dan 5 (lima) orang Anggota. Keanggotaan KPAI terdiri atas unsur
pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan,

10
organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dunia
usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

Selanjutnya Struktur Organisasi KPAI berubah berdasarkan Peraturan


Presiden Nomor 61 Tahun 2006 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, bahwa struktur keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh)
orang Anggota. Keanggotaan KPAI terdiri atas unsur pemerintah, tokoh
agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dunia usaha dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Untuk menajlankan
tugas tersebut, KPAI dibantu dan difasilitasi oleh kesekretariatan. Kepala
sekretariat KPAI beserta jajarannya menjalankan peran untuk memabntu
kelancaran kinerja KPAI.

Adapun struktur kelembagaan KPAI ditunjukkan melalui bagan


berikut ini:

11
Gambar 1. Struktur Organisasi KPAI

12
2.1.4 Mekanisme Kerja di KPAI

Dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawab Anggota/Komisioner


KPAI serta perangkat pendukung kerja lainnya, telah dirumuskan tata kelembagaan KPAI
melalui Peraturan KPAI Nomor 1 tahun 2017 tentang Kelembagaan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia.

Hal ini didasarkan pada kebutuhan kualitas kinerja kelembagaan secara organisasi.
Termasuk bagaimana KPAI mampu menghadapi dinamika dan perkembangan masyarakat
yang mengharuskan adanya penyesuaian dalam rangka optimalisasi pengawasan terhadap
perlindungan anak, ayng menuntut penguatan kelembagaan, baik yang bersifat internal
maupun eksternal.

Ketentuan tersebut antara lain mengatur pokok-pokok sebagai berikut:

1. Organ pendukung KPAI, antara lain: Sekretariat KPAI, yaitu kelengkapan


kelembagaan sebagai pelaksana tugas dan fungsi kesekretariatan yang merupakan
alat perangkat pemerintah untuk melaksanakan pelayanan administratif.
2. Tim Asistensi, yaitu adalah seorang yang memiliki kompetensi dan kualifikasi
tertentu yang ditetapkan oleh KPAI sebagai tenaga asistensi dengan tugas dan
fungsi, antara lain memberi masukan dan memfasilitasi kegiatan komisioner sesuai
keahliannya tersebut kepada KPAI.
3. Kelompok Kerja yaitu kelompok orang yang memiliki kompetensi dan kualifikasi
tertentu yang idtetapkan oleh Komisioner sebagai kelompok kerja dengan tugas
dan fungsi, antara lain memberi bantuan sesuai kualifikasinya dalam menunjang
tugas-tugas teknis komisioner.
4. Dewan kehormatan KPAI yaitu lembaga ad hoc yang dibentukoleh KPAI dengan
tugas dan fungsi utama memberikan rekomendasi sehubungan dengan persoalan
pelanggaran tata tertib dan/atau kode etik oleh Anggota KPAI.
5. Pembidangan komisioner KPAI, dimana masing-masing Anggota kpai berfungsi
sebagai Komisioner yang membindangi tugas dan tanggung jawab tertentu, yang

13
meliputi: (i) Bidang Agama dan budaya; (ii) Bidang Pendidikan; (iii) Bidang
Kesehatan dan NAPZA; (iv) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi; (v) Bidang
Keluarga dan Pengasuhan; (vi) Bidang ABH; (vii) Bidang Trafficking dan
Eksploitasi; (viii) Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat; (ix) Bidang
Pornografi dan Cyber Crime.
6. Berdasarkan divisi, ada 7 divisi yaitu: (i) Divisi Advokasi Kebijakan; (ii) Divisi
Pengawasan Monitoring dan Evaluasi; (iii) Divisi Kelembagaan; (iv) Divisi Data
dan Informasi; (v) Divisi Mediasi; (vi) Divisi Kajian dan Telaah; (vii) Divisi
Pengaduan. Adapun susunan pembidangan dan divisi komisioner sebagai berikut:

14
7. Tata Kerja, meliputi tugas dan tanggung jawab komisioner, yang secara umum
terkait dengan tugas dan kewajiban. Tugas Komisioner KPAI meliputi:
1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan
Hak Anak;
2) Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan perlindungan anak.
3) Mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak.
4) Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat
mengenai pelanggaran Hak Anak.
5) Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak.
6) Melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masrakat di bidang
Perlindungan Anak.
7) Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan
pelanggaran Undang-undang ini.

Dalam menjalankan tugasnya, setiap Komisioner mempunyai kewajiban:

a) Melaksanakan tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab, mematuhi


hukum, menghormati keberadaan dan integritas KPAI sebagai lemabaga
negara yang bersifat independen;
b) Melaksanakan tugas dan wewenang demi kepentingan terbaik bagi anak dalam
meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak;
c) Bertanggung jawab secara konsistem dalam pelaksanaan peraturan perundang-
undangan tentang anak;
d) Menjaga kerahasiaan yang dipercayakan kepadanya termasuk hasil rapat yang
dinyatakan sebagai rahasia;
e) Menjaga dan melaksankaan keputusan KPAI melalui rapat Pleno KPAI;
f) Tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis; dan
g) Menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan tercela dan/atau melanggar
norma agama, nilai-nilai etika dan moral yang berlaku di masyarakat.

15
Sementara, Tim Asistensi dan Kelompok Kerja KPAI memiliki Tugas;

(i) Membantu komisioner dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan


pembidangannya;
(ii) Merumuskan rancangan program dan kegiatan di bidang masing-masing,
sesuai arahan, amsukan, pertimbangan dan petunjuk Komisioner;
(iii) Mambantu melaksanakan program dan memabut laporan kegiatan Kelompok
Kerja di bidangnya;
(iv) Melaksanakan tugas lainnya yang berkaitan dengan bidangnya yang diminta
oleh Ketua, Wakil Ketua, dan Komisioner lainnya.

Untuk itu, KPAI menaungkan pola hubungan Komisioner dengan sekretariat


dalam sebuah tata aturan yang jelas, dimana Sekretariat KPAI merupakan bagian perangkat
pemerintah yang secara fungsional bertugas untuk KPAI dan dipimpin oleh Kepala
Sekretariat. Sekretariat KPAI mempunyai tugas melaksanakan pelayanan administratif
kepada KPAI dalam menyelenggarakan tugas, fungsi dan wewenangnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat KPAI menyelenggarakan fungsi:

(a) Pemberian dukungan dalam penyusunan rencana program, anggaran dan


pengelolaan keuangan;
(b) Pemberian dukungan dalam penyusunan data dan pelaporan KPAI;
(c) Pelaksanaan kehumasan, keprotokolan, ketata-usahaan, kerumahtanggaan,
kepegawaian; dan
(d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Komisioner.

2.1.5 Kinerja KPAI Berdasarkan Bidang

1) Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat

Pengaduan masyarakat di bidang sosial dan anak dalam situasi darurat ayng
diterima oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2017

16
berjumlah 238 kasus. Dari 238 kasus tersebut, kasus yang paling banyak didominasi
adalah kasus anak dengan masalah kesejahteraan sosial dengan jumlah 119 kasus,
disusul dengan kasus anak korban bencana (darat, laut, udara) dengan jumlah 109
kasus. Konflik sosial yang diadukan kepada KPAI di tahun 2017 hampir semuanya
mengenai kondisi psikologis anak-anak korban bencana alam, penggusuran, dan
kerentanan sosial (kemiskinan). Upaya yang dilakukan KPAI adalah melakukan
pengawasan terpenuhinya hak-hak anak terlantar tersebut di LKSA, melakukan
koordinasi dan pengawasan kepada Pemerintah terkait pelaksanaan perlindungan
sosial, melaksanakan pengawasan bencana alam yang terjadi di suatu daerah melalui
koordinasi dengan Dinasi Sosial setempat untuk memastikan terpenuhinya hak anak
korban bencana.

2) Keluarga dan Pengasuhan

Kerentanan kelaurga masih menjadi akar masalah dalam penyelenggaraan


perlindungan anak. Hal ini terlihat dari ketidakberfungsian orang tua dalam
mengasuh anak di dalam keluarga. Pada tahun 2017 KPAI menerima laporan
pengaduan pelanggaran hak pengasuhan anak sebanyak 593 dari 5.173 kasus
sepanjang 2011-2017.

Perebutan hak asuh, pelarangan akses dan penculikan anak menjadi


pelanggaran dominan dalam pengasuhan anak. Permasalahan ini salah satunya dipicu
oleh konflik keluarga dan perceraian orang tua. Orang tua yang berkonflik dan
berberai memiliki kecenderungan menjadikan anak sebagai korban dan objek dalam
pusaran konflik. Selain itu, seringkali nafkah anak sulit sekali dieksekusi. Upaya
yang telah dilakukan KPAI melalui tugas pokok fungsi adalah proses mediasi.
Namun di sisi lain, KPAI pun mendorong Mahkamah Agung Republik Indonesia
membangun sistem peradilan keluarga (family court) yang memberikan konseling
pada pasangan yang ingin bercerai sehingga mereka menyadari pilihannya,
memikirkan konsekuensinya sehingga tidak berdampak lebih buruk pada tumbuh
kembang anak.

17
3) Agama dan budaya

Selama tahun 2017, kasus anak terkait agama dan budaya mencapai 208
kasus. Kasus ini terdiri dari: anak korban konflik dan kekerasan atas nama agama dan
budaya, kemudian anak korban tayangan, pertunjukan dan siaran tidak ramah anak,
selanjutnya kasus anak korban pengabaian hak agama, anak korban pernikahan
dibawah umur, terakhir anak korban kecelakaan rekreasi dan kecelakaan berbahaya.

Dalam rangka merealisasikan mandat Undang-Undang, KPAI telah


melakukanberbagai langkah berikut: Pertama, pengawasan terhadap pemenuhan
agam dan budaya. Kedua, memberikan masukan dan usulan dalam perumusan
kebijakan terkadit perlindungan anak. Advokasi terus dilakukan kepada para
pengambil kebijakan, stakeholders, termasuk kelompok masyarakat dan pegiat seni
untuk pemastian, penumbuhan dan pembudayaan perlindungan anak. Ketiga,
melakukan telaah secara komprehensif terkait perlindungan anak di bidang agam dan
budaya.

4) Hak Sipil dan Partisipasi Anak

Pemenuhan hak sipil dan partisipasi anak dalam tahun 2017 dalam laporan yang
masuk ke KPAI ada 132 kasus dengan tiga data terbesar persoalan, pertama, anak
tanpa memiliki akta lahir, kedua anak korban denda atau penyalahgunaan akta
lahir dan NIK ganda, kemudian ketiga anak korban kawin campuran. Adapun
upaya yang dilakukan KPAI yaitu mendorong pusat dan daerah agar
meningkatkan anggaran pemenuhan akta lahir anak yang masih dikeluhkan di
beberapa daerah terutama daerah 3T (terpencil, tertinggal, dan terluar).kemudian
mendorong daerah agar peraturan daerah (perda) yang masih menerapkan denda
terkait keterlambatan pencatatan kelaiharan anak dihilangkan atau dibuat
kebijakan pemabayaran Rp.0 untuk emndorong percepatan pengurusan akta lahir
bai keluarga miskin.

18
5) Kesehatan dan NAPZA

Selama tahun 2017, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima


sebanyak 255 kasus di bidang Kesehatan dan Napza. Adapun kasus tersebut
diantaranya: kasus anak dengan masalah akses pelayanan kesehatan, anak korban
keracunan dan penyakit menular, dll. Dalam hal penanganan akses pelayanan
kesehatan, KPAI telah melakukan inventarisir masalah-masalah terkait, kemudian
mencari alternatif solusi melalui kajian pada FGD (Focus Group Discussion),
khususnya terkait payung hukum pelaksanaan JKN ini. Kemudian KPAI melakukan
koordinasi dan pengawasan kepada pemerintah khususnya kementerian kesehatan
terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.

6) Pendidikan

Pengaduan terbanyak di bidang pendidikan adalah kekerasan di sekolah,


baik yang dilakukan oleh sesama siswa, guru atau petugas sekolah, maupun
kekerasan terstruktur karena kebijakan. Kekerasan di pendidikan sulit diatasi
karena beberapa faktor, yaitu: Pertama, Anggapan yang masih ada diantara
pendidik bahwa menghukum anak dengan kekerasan masih diperlukan untuk
mendisiplinkan. Keuda, perlakuan sekolah yang tidak konsisten atas kekerasan
ayng dilakukan siswa kepada siswa lain. Ketiga, pemahaman tentang definisi
kekerasan tidak merata. Keempat, pemahaman tentang kebijakan-kebijakan ayng
ada tentang kekerasan di sekolah tidak merata. Kelima, kondisi di rumah yang
tidak harmonis termasuk tekanan ekonomi. Keenam, anak kerap menyaksikan
kekerasan melalui games dan youtube yang dapat memicu anak melakukan
kekerasan. Ketujuh, kurang dipahaminya hak-hak anak oleh pihak-pihak yang
terkait dengan anak. Kedelapan, anak-anak belum cukup diberdayakan agar
mampu melindungi dirinya serta melindungi temannya.

Menangani kasus-kasu diatas, KPAI pun kera menyelenggarakan Focus


Group Discussion (FGD) mendorong Sekolah Ramah Anak (SRA) baik terhadap

19
sekolah-sekolah, maupun di berbagai kesempatan di forum seminar, diskusi, dialog
dan wawancara di media massa baik online, cetak, maupun elektronik. Di sisi lain,
KPAI melaksanakan koordinasi dengan pemerintah kshususnya dinas pendidikan
setempat guna menciptakan dunia pendidikan, kebijakan dan pemantauan yang
lebih baik.

7) Pornografi dan Cyber Crime

Pada awal bulan September 2017 publik diramaikan dengan adanya akun
@VGKS yang berisi ribuan konten pronografi anak dan video anak yang sedang
berhubungan intim sesama jenis, adanya kecenderungan pelaku adalah anak yang
pernah mengalami kekerasan seksual dan tidak dilakukan rehabilitasi, adapun
penyebarannya menggunakan berbagai media sosial.

Pertumbuhan Fedofil anak pada saat ini memang sangat luar biasa, faktanya
pada kasus Grup Facebook yang bernama Official Loly Candy’s Group 18+ yang
menampilkan konten-konten foto pornografi anak, grup tersebut memiliki 7.497
member. Upaya yang dilakukan KPAI adalah melakukan pengawasan di internet dan
beberapa media sosial terkait dengan konten pornografi dan cyber crime pada anak,
mendorong pemerintah daerah agar diterbitkannya kebijakan tentang perlinfungan
anak dan anti pornografi di daerah, dan lain-lain.

8) Anak Berhadapan Hukum

Berdasar data yang telah dihimpun dan diolah KPAI dari tahun 2011-2017
ditemukan angka Anak Berhadapan Hukum (ABH) menduduki peringkat tertinggi
mencapai angka 9266 pengaduan. Kasus paling banyak adalah pengaduan terkait
anak yang mnejadi korban kekerasan seksual. Ini menunjukkan kebutuhan anak
untuk dilindungi secara hukum, moril maupun sosiologis patut menjadi perhatian
pemerintah, legislatif, dan aparat penegak hukum serta perhatian dari masyarakat
luas.

20
Banyaknya pengaduan masyarakat di bidang ABH perlu penanganan secara
cepat dan terintegratif, maka untuk memaksimalkan penanganan pengaduan kasus
ABH, KPAI menggandeng stakeholder terkait untuk menjalin kerjasama dengan
berbagai lembaga terkait baik di pusat maupun di daerah sebagai mitra rujukan ABH
untuk dilakukan upaya pendampingan hukum bagi anak kepada Organisasi bantuan
Hukum (OBH) yang telah terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Sedangkan apabila kasus ABH anak yang menjadi korban tindak pidana maka KPAI
akan merujuk korban kepada lembaga rehabilitasi.

9) Trafficking dan Eksploitasi

Sedikitnya ada empat kasus yang mnejadi high light pada tahun 2017 dalam
bidang trafficking dan eksploitasi. Pertama, kasus anak dalam lingkaran prostitusi
dan dilacurkan. Kedua, perdagangan anak yang dilakukan oleh ibu kandung dan
melibatkan jaringan medis serta penyalur orang tua asuh (ilegal adopsi). Ketiga,
eksploitasi anak dalam dunia kerja (anak di bawah umur). Keempat, peristiwa
eksploitasi pekerja rumah tangga dan sekaligus korban pencabulan oleh seorang
tokoh agama.

Langkah-langkah KPAI dalam melakukan pengawasan pada peristiwa


tersebut menggunakan sistem Rafferal system (Sistem rujukan) sesuai dengan tusi
yang diamanahkan UU Nomor 35 tahun 2014 yakni diawali oleh kajian mendalam
atas sebuah peristiwa/kasus/pelaporan/pengaduan, kemudian monitoring dan
pengawasan langsung ke lokasi dan melalui media, bila mengharuskan langkah
advokasi yakni memanggil pihak terkait, meminta penjelasan, atau menerima
konsultasi dan edukasi terkait kebijakan serta kelembagaan dan dapat melakukan
kerjasama dengan berbagai K/L yang sesuai dengan mandat perlindungan anak,
dengan Pemerintah Daerah, aparat Penegak Hukum, masyarakat, termasuk media
untuk menyuarakan pentingnya perlindungan anak.

21
2.3 Kelompok Kerja Pengaduan

Pokja Pengaduan KPAI merupakan kelompok kerja yang membidangi dan


bertanggung jawab atas penerimaan pengaduan dari masyarakat yang berkaitan
dengan hak-hak anak, yang diketuai oleh salah satu anggota komisioner KPAI. Staff
Pokja pengaduan terdiri dari 5 orang yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Berikut
merupakan nama staf pokja pengaduan masyarakat:

1. Agnes Purnamasari Tampubolon, SH.


2. Silvianty Nilamsari, S. ST
3. Helwina Handayani, S.AB
4. Gilang Yudi Pratama, S. Sos
5. Debby Tambunan M.Psi

Tugas dan tanggung jawab kelompok kerja pengaduan adalah sebagai berikut:

a. Menerima pengaduan dari masyarakat secara langsung.


b. Mengadakan registrasi dan identifikasi jenis kasus yang diterima.
c. Menyusun laporan kasus sesuai bidang permasalahannya dan meneruskan kasus
kepada komisioner sesuai bidangnya.
d. Melakukan pengalihan pelayanan (referal) kepada pihak yang terkait melalui
komisioner.
e. Mengkompilasi hasil pengalihan pelayanan yang dilaksanakan oleh komisioner.
f. Melaksanakaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua, Wakil ketua dan komisioner
lainnya.
g. Menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan kelompok kerja pengaduan setiap
semester kepada Ketua KPAI dan semua Komisioner.

Alur kerja Pokja Pengaduan adalah:

1. Seluruh pengaduan yang diterima KPAI yang bersifat struktural dan sistemik harus
ditelaah serta ditindaklanjuti.

22
2. Untuk kasus-kasus pengaduan ringan atau sederhana, seluruh komponen
pengaduan bisa langsung melakukan penyelesaian.
3. Untuk kasus-kasus pengaduan berat dan kompleks penanggung jawab Pokja
berkonsultasi dan berkoordinasi dengan komisioner terkait untuk memperoleh
penyelesaian yang terbaik.
4. Apabila suatu kasus tidak bisa diselesaikan oleh komisioner terkait, penanggung
jawab Pokja Pengaduan mengkomunikasikan kepada tim manajemen.
5. Untuk menjaga aktualitas data setiap dua minggu Pokja Pengaduan melaporkan
kepada Pokja Data dan Informasi.
6. Dalam menyelesaikan kasus-kasus pengaduan, Pokja Pengaduan
mempertimbangkan hasil kajian Pokja Penelaahan.
7. Berkas asli kasus pengaduan yang sudah dilimpahkan kepada pihak terkait,
dipantau dan ditelaah diserahkan kepada penanggung jawab Pokja Pengaduan
sebagai arsip.
8. Setiap triwulan Pokja Pengaduan melaporkan hasilnya kepada tim manajemen
sebagai bahan laporan kepada Presiden.

2.4 Pelaksanaan Kegiatan Magang

Kegiatan magang yang diberikan oleh pihak Komisi Perlindungan Anak


Indonesia berlangsung selama 1,5 bulan, terhitung 6 minggu hari kerja dengan
minggu pertama terdiri dari 5 hari kerja. Pada hari pertama pelaksanaan magang,
penulis disambut oleh Ketua Bagian Umum (Kabag Umum) KPAI dan melakukan
wawancara singkat terkait penempatan PKL. Pada hari pertama, penulis ditempatkan
di divisi Pengaduan Masyarakat. Kemudian, beberapa hari setelahnya penulis
membantu di Front Desk untuk menginput data dan sebagai penerima tamu. Pada
minggu pertama tersebut, penulis hanyalah satu-satunya anak magang yang berada di
KPAI dan pada saat itu penulis diarahkan mengenai gambaran kerja dan tugas-tugas
apa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa PKL kemudian penulis diajarkan beberapa

23
hal pada minggu pertama bahkan langsung menerapkan peran yang sudah menjadi
tugas penulis yaitu notulensi pengaduan masyarakat.

Pada minggu kedua, penulis ditempatkan selama tiga hari di divisi Hubungan
Masyarakat (Humas) membantu administrasi persuratan kantor, menerima telepon,
input data, dan lain-lain. Pada minggu kedua tersebut, saya dibantu oleh salah satu
teman magang dari Universitas Bung Karno yang juga bertugas sementara di divisi
Humas.

Pada minggu ketiga dan seterusnya (sampai minggu keenam) saya


ditempatkan di divisi Pengaduan Masyarakat dan mendapatkan tugas yang tidak jauh
berbeda dari sebelumnya yaitu notulensi pengaduan masyarakat dalam klaster
Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Pendidikan, Penganiayaan, Kekerasan Seksual,
kemudian notulensi klarifikasi teradu atas pengaduan pihak pertama, notulensi
mediasi (proses mencari kesepakatan dari kedua belah pihak dengan mediator),
menerima pengaduan via telepon dan memberikan alternatif solusi, menghubungi
klien via telefon terkait klarifikasi atau mediasi, membuat nomor surat, distribusi
surat dan dokumen.

Melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan di Komisi Perlindungan Anak


Indonesia terkadang menempatkan peserta magang di posisi yang fleksibel
sebagaimana disesuaikan dengan kebutuhan divisi terkait ditambah jumlah
mahasiswa magang yang tidak begitu banyak di lembaga ini. Jadi, peran aktif,
inisiatif dan dinamis adalah sikap dan karakter yang harus dimiliki oleh mahasiswa
magang. Terkadang penulis ditugaskan untuk mengajak anak-anak yang diajak oleh
orang tua selaku (pengadu) langsung, untuk menemani bermain di ruang bermain
yang berada di lantai 1 KPAI.

2.5 Faktor Pendukung dan Penghambat Praktik Kerja Lapangan

1. Faktor Pendukung Magang

24
a. Peluang magang di Komisi Perlindungan Anak Indonesia bagi mahasiswa
sangatlah terbuka lebar dari berbagai jurusan dalam setiap periode dan diharapkan
ilmunya dapat diterapkan selama proses magang berlangsung.
b. Para staff tidak segan untuk melibatkan mahasiswa magang dalam kegiatan yang
sedang berlangsung, memungkinkan mahasiswa magang untuk mempelajari hal-
hal yang relevan dengan dunia kerja.
c. Sikap ramah dan tidak segan menjaleskan para staff mampu membantu penulis
memahami dengan lebih baik tugas yang diberikan dan lingkungan kerja yang
sedang berlangsung.
d. Lokasi magang dilengkapi dengan sarana Wi-Fi yang baik, memudahkan penulis
untuk mencari informasi terkait isu seputar anak maupun data yang dibutuhkan
seputar tugas yang diberikan staff.
e. Akses ke lokasi magang (KPAI) sangat dekat dengan stasiun gondangdia sehingga
penulis dapat berjalan kaki dari stasiun dan hanya butuh waktu sekitar 5 menit.

2. Faktor Penghambat Magang


a. Latar belakang dan jurusan yang diambil oleh penulis tidak terlalu dapat
diaplikasikan ke dalam divisi dimana penulis ditempatkan, sebab dalam setiap
pengaduan masyarakat, penulis kurang mampu menganalisis kasus baik dalam
bidang pengasuhan dan ABH (Anak Berhadapan Hukum). Untuk itu, seharusnya
jurusan yang sesuai ialah psikologi dan hukum.
b. Akses kereta commuter line dari Bekasi menuju lokasi sering terkendala akibat
sering tertahannya kereta ditengah-tengah perjalanan sehingga yang seharusnya
memakan waktu hanya 45 menit bisa menjadi sekitar 1 jam.

25
BAB III

PERAN SASTRA DAN BUDAYA LITERASI DALAM PEMBENTUKAN


KARAKTER ANAK

3.1 Pengertian Anak

Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara hubungan pria
dan wanita. Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak
secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang
belum dewasa.

Menurut R.A. Kosnan “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda
dalam jiwa muda dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk
keadaan sekitarnya.” (1984:25). Oleh karena itu anak-anak perlu diperhatikan
secara baik dan sungguh-sungguh terkhusus dalam memahami karakter anak yang
pertama yaitu dari lingkungan keluarga sesuai dengan UU RI No.35 Tahun 2014
pasal 1 yang menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
yang teridiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya,
atau ibu dan anakanya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga.

3.2 Sastra dan Genrenya

A. Definisi Sastra
Menurut Lukens (1999:10) Sastra menawarkan dua hal utama, yaitu
kesenangan dan pemahaman. Pertama, sastra hadir untuk memberikan hiburan
yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak
pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan
yang penuh daya suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan
merasa terikat karenannya, ‘mempermainkan’ emosi pembaca sehingga ikut larut

26
ke dalam arus cerita. Semua itu dikemas dalam bahasa yang juga tidak kalah
menarik.
Lukens (1999:4) menegaskan bahwa tujuan memberikan hiburan, tujuan
menyenangkan dan memuaskan pembaca tidak peduli pembaca dewasa ataupun
anak-anak, adalah hal yang esensial dalam sastra. Sastra sendiri mengandung
eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan.

B. Genre Sastra Anak


Genre dapat dipahami sebagai suatu macam atau tipe kesastraan yang
memiliki seperangkat karakteristik umum (Lukens, 1999:13). Atau, menurut
Mitchell (2003:5-6) genre menunjuk pada pengertian tipe atau kategori
pengelompokkan karya sastra yang biasanya berdasarkan gaya, bentuk, atau isi.
Misalnya, dalam genre yang disebut fiksi di dalamnya terdapat elemen struktural,
seperti alur cerita, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Saxby mengemukakan bahwa jika citraan dan atau metafora kehidupan
yang dikisahkan itu berada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkanaspek
emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan
diekspresikan dalam bnetuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan
dipahami oleh pembaca anak-anak, buku atau teks tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai sastra anak.
Secara garis besar, Lukens mengelompokkan genre sastra ke dalam enam
macam, yaitu sebagai berikut:

1. Realisme

Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang dikisahkan itu
mungkin saja ada dan terjadi walaupun tidak harus bahwa ia memang benar-benar
ada dan terjadi. Ada beberapa cerita yang dapat dikategorikan ke dalam realisme
dan pembicaraannya dapat tumpang tindih yaitu cerita realistik (bercerita tentang
masalah-masalah social dengan menampilkan tokoh utama protagonist sebagai

27
pelaku cerita), realisme binatang (cerita binatang yang bersifat nonfiksi. Misalnya
berkaitan dengan bentuk fisik, habitat, cara dan siklus hidup, dan lain-lain),
realisme historis (mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa lampau) dan
cerita olahraga (cerita yang berkaitan dengan berbagai hal tentang dunia
olahraga).

2. Fiksi formula

Genre ini sengaja disebut sebagai fiksi formula karena memiliki pola-pola
tertentu yang membedakannya dengan jenis yang lain. Jenis sastra anak yang
dapat dikategorikan ke dalam fiksi formula adalah cerita misteri dan detektif,
cerita romantis, dan novel serial.

3. Fantasi

Fantasi dapat dipahami sebagai the willing suspension of disbelief (Coeridge,


via Lukens, 1999:20), cerita yang menawarkan sesuatu yang sulit diterima.
Fantasi sering juga disebut sebagai cerita fantasi (literary fantasy) dan perlu
dibedakan dengan cerita rakyat fantasi yang tak pernah dikenali siapa penulisnya
yang mencoba menghadirkan sebuah dunia lain di samping dunia realitas. Jenis
sastra anak yang dapat dikelompokkan ke dalam fantasi ini adalah cerita fantasi,
fantasi tingkat tinggi, dan fiksi sains.

4. Sastra tradisional

Istilah ‘tradisional’ dalam kesastraan menunjukkan bahwa bentuk itu berasal


dari cerit yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa
penciptanya, dan dikisahkan secara turun-temurun secara lisan. Jenis cerita yang
dikelompokkan ke dalam genre ini adalah fabel (cerita binatang yang
dimaksudkan sebagai personifikasi karakter manusia), dongeng rakyat, mitologi,
legenda, dan epos (cerita kepahlawanan).

5. Puisi

28
Sebuah bentuk sastra disebut puisi jika didalamnya terdapat pendayagunaan
berbagai unsur bahasa untuk mencapai efek keindahan. Genre pusi anak dapat
berwujud puisi-puisi lirik tembang-tembang tradisional, atau lirik tembang-
tembang niniabobo sebagaimana yang diucapkan atau dinyanayikan si ibu
sewaktu akan menidurkan anak, membujuk agar anak tidak rewel, atau membuat
anak senang adalah salah satu jenis dari puisi anak.

6. Nonfiksi

Bacaan nonfiksi yang sastra ditulis secara atistik sehingga jika dibaca oleh
anak, anak akan memperoleh pemahaman dan sekaligus kesenangan. Ia akan
membangkitkan pada diri anak perasaan keindahan yang berwujud efek
emosisonal dan intelektual. Untuk kepentingan praktis, bacaan nonfiksi dapat
dikategorikan ke dalam subgenre buku informasi dan biografi.

3.3 Sastra dalam Sikap dan Karakter Anak

Secara spesifik, Ratna (dalam Panjaitan, 2008) menyebutkan ada tiga unsur
yang harus dilakukan dalam model pendidikan karakter. Pertama, Knowing the
good. Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-
hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal
itu selama ini anak tahunya mana yang baik dan buruk, namun anak tidak tahu
alasannya. Kedua, feeling the good. Konsep ini mencoba membangkitkan rasa
cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Disini anak dilatih untuk merasakan
efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Ketiga, Acting the good. Pada tahap
ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Ketiga faktor tersebut harus dilatih secara
terus-menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun adalah habit of
the mind, habit of the heart, dan habit of the hands.

Sastra memiliki peranan penting dalam kehidupan anak sebab sastra dapat
mempengaruhi pembentukan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari sikap dan

29
tingkah laku anak. Jika belajar dari berbagai teks kesastraan lewat kegiatan
membaca, memahami, merenungkan, kita akan menemukan fakta bahwa berbagai
konsep tentang kehidupan yang berkarakter, bermartabat, yang memenuhi
idealism bertingkah laku, hampir semuanya dalam bentuk-bentuk sikap dan
tingkah laku. Ia dapat berupa cara bersikap, cara berpikir, cara berasa, dan cara
berperilaku verbal dan nonverbal. Konsep-konsep abstrak sebagaimana yang
dibicarakan dalam buku diejawantahkan dalam sikap dan perilaku tokoh cerita.

Sikap dan perilaku yang dimaksud tentu saja sesuai dengan karakter yang
disandangkan dan wujud sikap dan perilaku yang juga bergantung pada
pengembangan alur. Jadi, belajar kehidupan lewat teks-teks kesastraan tidak
ubahnya belajar langsung terhadap perikehidupan masyarakat, orang per orang,
anak ke anak, pun teman ke temannya. Hal ini, yaitu sastra lewat tokoh ceritanya
mampu menuntun anak, menjadikan anak mengikuti tokoh panutan (protagonis,
berjiwa penolong, pahlawan, dan lain sebagainya) yang mampu memotivasi anak
agar menjadi atau mengikuti jejak tokoh tersebut dalam berbuat kebaikan dan
kabiajikan sejak kecil. Karena sastra selalu berbicara tentang kehidupan, sastra
seklaigus juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu.

3.4 Budaya Literasi Terhadap Pola Pikir

Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan kemampuan menulis


atau dapat disebut dengan melek aksara atau keberaksaraan. Menumbuhkan budaya
literasi pada anak memerlukan kerja keras dan kesunguhan terutama dari pihak
keluarga sebagai golongan masyarakat terkecil dan terdekat bagi anak. Orang tua dapat
melakukan kebiasaan-kebiasaan membaca kepada anak-anak agar anak-anak terbiasa
tanpa adanya tekanan atau paksaan.
Setiap anak harus dibiasakan memiliki kebiasaan yang baik dan positif
bagi tumbuh kembangnya dan juga pembentukan karakternya. Kebiasaan dalam
berpikir mampu diasah lewat membaca buku bacaan sesuai dengan usia anak.

30
Keluarga dapat menerapkan budaya literasi kepada anak dirumah sejak dini.
Kemudian sekolah sebagai lingkungan kedua bagi sang anak. Adapun bacaan
yang dapat dibaca oleh anak dan diajarkan ialah karya sastra baik berupa
dongeng, cerita rakyat, fiksi atau nonfiksi dan juga puisi. Sastra memiliki peranan
penting karena mampu mengolah daya pikir, imajinasi sehingga mampu
membentuk karakter anak.
Budaya literasi akan mempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi sistem
ide atau gagasan yang dimiliki oleh manusia terutama pada anak. Hasil dari budaya
literasi tersebut akan menjadikan anak berpikir lebih maju, kreatif, inisiatif dan kritis.

31
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Anak dari perspektif apapun adalah tetap merupakan seorang anak, titipan yang
harus kita jaga dan lindungi. Dalam masa tumbuh kembangnya, anak membutuhkan
kasih sayang, perhatian, pembelajaran dan contoh yang baik dari pihak internal dan
eksternal, serta pandangan yang luas dan menyenangkan karena seorang anak masih
belum tahu banyak hal tentang dunia. Anak tentu masih membutuhkan arahan dari
orang tua dan masih menjadi tanggung jawab orang tua sampai ia tumbuh dewasa.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah salah satu lembaga


HAM yang berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak
di Indonesia. Dalam hal ini, KPAI tidak bekerja sendiri dalam menangani dan
mengatasi persoalan kasus anak, tetapi KPAI juga bekerjasama dengan lembaga
mitra, stakeholders, pemerintah, masyarakat, aktivis, untuk bergabung bersama-sama
mewujudkan ‘Indonesia Ramah Anak’ sesuai dengan visi-nya.

4.2 Saran

Berkaitan dengan hal sistem dan menyangkut keamanan sebagaimana pernah


dirasakan oleh penulis maka penting untuk terus memperbarui sistem teknologi dan
keamanan instansi agar setiap kinerja staff dapat terlaksana dengan baik dan
maksimal. Kemudian untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dapat
merevitalisasi ruang perpustakaan yang sudah ada agar lebih nyaman, bersih dan
tertata rapi.

32
DAFTAR PUSTAKA

Laporan Akhir Tahun “Peningkatan Efektifitas Kinerja Pengawasan Penyelenggaraan


Perlindungan Anak” oleh KPAI Tahun 2017.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Nurgiyantoro Burhan. 2004. Sastra Anak: Persoalan Genre. Jurnal Humaniora. 16(2):
107-122.

Nurgiyantoro Burhan. 2005. Tahapan Perkembangan Anak dan Pemilihan Bacaan


Sastra Anak. Cakrawala Pendidikan. (2)

http://www.kpai.go.id/

33
LAMPIRAN

34
35
36
DOKUMENTASI

37
38
IKLAN PERLINDUNGAN ANAK

39

Anda mungkin juga menyukai