Anda di halaman 1dari 15

BAHAN BACAAN HOME-LEARNING U.M.

P PSBB COVID-19 DKI JAKARTA


GUGUS DEPAN KI HAJAR DEWANTARA & R.A KARTINI
PANGKALAN SMK CITRA BANGSA 10.02.04.737-738
JUM’AT, 17 APRIL 2020

Tema : Menampilkan Kesenian Budaya


Judul : Dialog Drama Teater Kisah Pangeran Diponegoro
Oleh : Willy Sohlehudin, S.Psi
Waktu : Unlimited
SESI I

Narator: Inilah kisah hidup pangeran Diponegoro, salah seorang tokoh nasional dan pahlawan perjuangan
kemerdekaan rakyat kerajaan Mataram terhadap penjajahan Belanda. Beliau telah mengorbankan dirinya demi
kepentingan rakyatnya, dan demi kehormatan dirinya sendiri, karena beliau secara tegas menolak untuk
bekerjasama dengan Belanda.

(Musik instrumen berjalan, pemeran Diponegoro masuk beserta pemeran Sentot Ali Basha dan para prajurit
Mataram. Diponegoro duduk di meja sambil menulis-nulis, sementara Ali Basha dan para prajurit berdiri di
sampingnya).

Narator: Pangeran Diponegoro terlahir dengan nama Bendoro Pangeran Ontowiryo Haryo Diponegoro pada
tanggal 11 November tahun 1785 Masehi di kerajaan Mataram yang saat ini kita kenal sebagai Daerah Istimewa
Jogjakarta. Beliau adalah pemimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa dari tahun 1825 sampai 1830 Masehi.
Beliau adalah putera mahkota dari kerajaan Mataram. Beliau adalah salah satu bangsawan keraton yang sangat
keras menolak untuk bekerjasama dengan Belanda, bahkan beliau memiliki rencana untuk berperang dan
mengusir Belanda dari Kerajaan Mataram.

Diponegoro: (sambil menggebrak meja) “Belanda itu semakin lama semakin kurang ajar. Lihat surat ini
(menyerahkan sepucuk kertas pada Ali Basha), mereka ingin menggusur tanah pemakaman warga
di Tegalrejo untuk mendirikan kantor dagangnya”.

Ali Basha: “Ini sudah keterlaluan pangeran. Ini sudah tak bisa lagi dibiarkan. Kita harus segera
menyerang Belanda-Belanda itu sekarang juga pangeran, jangan buang-buang waktu”

Para prajurit: “Benar pangeran, benar ... kita serang saat ini juga”

Diponegoro: (sambil memegang pundak Ali Basha) “Tidak, kita jangan ceroboh patih. Kalian juga
jangan ceroboh (sambil menatap para prajurit). Kita harus bersabar untuk menyusun kekuatan.
Kalian tahu kan, persenjataan mereka jauh lebih hebat daripada kita. Jika kita serang sekarang , kita
akan kalah dan mereka akan semakin menjajah rakyat kita”.

Ali Basha: “Kalau begitu, apa perintah pangeran? Kami akan mengikuti apapun perintah pangeran.
Jujur saja pangeran, saya sudah muak dengan kelakuan Belanda selama ini”.

Para prajurit: “Benar pangeran, kami juga dendam dengan Belanda. Kami tetap setia pada pangeran”.

Diponegoro: “Kalian harus waspada dan berhati-hati, banyak pengkhianat disekitar kita. Pangeran
Pakualam II, walaupun dia adalah salah seorang pangeran Mataram, tetapi dia adalah sekutu
Belanda. Bahkan kalian tahu sendiri, adik tiriku Hamengkubuwono III dan ibunya adalah teman
setia Belanda. Aku disini seperti dikepung pengkhianat” (sambil duduk dan memegang kepala)

Ali Basha: (sambil berlutut) “Demi Tuhan, ya pangeran ... kami bukan orang seperti itu. Kami akan setia
mengikuti pangeran bahkan sampai mati pun kami rela, ini sumpah kami”.

Para prajurit: (sambil berlutut) “Ya pangeran, apapun yang pangeran perintahkan akan kami lakukan
semuanya, ini sumpah kami”.

Diponegoro: (sambil berdiri) “Terimakasih para abdiku, aku sangat percaya pada kesetiaan kalian, ayo
berdiri. Mari kita keluar sejenak untuk membicarakan masalah ini sambil makan bersama di
pendopo”

(Seluruh pemeran turun dari panggung)


SESI II

(Masuk pemeran Van Der Capellen, Mercus De Kock, beserta 5 orang tentara Belanda. Mereka berdiri mengelilingi meja
sambil makan dan minum).

Narator: Saat itu pada tahun 1825 Masehi, pulau Jawa dijajah oleh Belanda dibawah kepemimpinan
gubernur jendral Belanda yang bernama Godert Alexander Gerard Phillip van der Capellen di Batavia
dan kepala residen Belanda di Mataram bernama Jendral Hendrik Mercus de Kock. Mereka sedang
mengadakan pesta untuk merayakan keberhasilan mereka mendirikan kantor dagang yang baru di
Mataram.

Capellen: (sambil mengangkat gelas sampanye) “Selamat tuan-tuan atas keberhasilan kita.
Sebentar lagi kita akan menguasai seluruh kerajaan Mataram untuk kejayaan kekaisaran
Perancis dan kerajaan Belanda”.

De Kock: (sambil minum) “Betul sekali tuan Capellen, apalagi kita sudah berhasil mendekati
orang-orang keraton yang mau bekerjasama dengan kita, patih Danurejo yang punya posisi
kuat di Mataram, semakin lama tugas kita semakin mudah”.

BELANDAI: “Tidak lama lagi kita akan dapat menaklukan Mataram. Pasukan bantuan akan
segera datang dari Kaisar Napoleon di Perancis. Senjata mereka hanya tombak dan pedang,
mana bisa melawan senapan kita yang canggih”.

Capellen&De Kock: “Betul ... betul sekali” (sambil tertawa terbahak-bahak)

BELANDAII: “Tetapi tuan Van Der Capellen, bagaimana dengan Diponegoro? Dia adalah
seorang pangeran Mataram yang tidak mau bekerjasama dengan kita. Bahkan dia dan
pasukannya sering sekali melawan prajurit-prajurit kita yang ada di desa”.

De Kock: “Itu betul tuan Van Der Capellen, apalagi dia adalah putra mahkota yang akan
menggantikan raja sekarang. Apabila dia dibiarkan, maka akan sangat berbahaya bagi kita,
apalagi jika Diponegoro sudah menjadi raja di kerajaan Mataram”.

BELANDAIII: “Mungkin saja uang yang dahulu kita berikan pada Diponegoro masih kurang
tuan Mercus De Kock. Bagaimana kalau kita coba lagi dan kita tawarkan dia uang senilai
10.000 Gulden emas, pasti dia mau bekerjasama dengan kita”.

BELANDAIV: “Itu usul yang sangat bagus tuan Capellen dan tuan De Kock. Jika kita berhasil
membujuk Diponegoro untuk bekerjasama dengan kita, maka hasil perkebunan rempah-
rempah yang akan kita dapatkan bisa lebih dari 10.000 Gulden emas tadi”.

BELANDAV: “Kalau begitu jangan lama-lama tuan, kalau bisa sekarang kita datangi
Diponegoro sambil membawa uangnya. Saya yakin dia akan kalah dengan uang tawaran
kita”.

De Kock: “Betul tuan, kita tidak boleh berlama-lama. Lebih cepat lebih baik. Kerajaan ini isinya
koruptor semuanya dan mudah disuap, kecuali si Diponegoro pengganggu ini”.

Capellen: (sambil tepuk tangan) “Usul kalian sangat hebat tuan-tuan prajurit. Baiklah, segera
laksanakan rencana ini. Hai Mercus ... ambillah uang 10.000 Gulden emas di kantor dan
pergilah ke Diponegoro. Saya tidak bisa ikut karena ada keperluan ke Batavia”.

De Kock: “Baik tuan Capellen, akan segera kami kerjakan”. (Seluruh pemeran turun panggung)
Sesi III

Narator: Malam harinya, residen Belanda di Mataram, Mercus De Kock dan beberapa prajurit Belanda
mendatangi keraton Mataram sambil membawa 10.000 Gulden emas yang akan mereka gunakan
untuk membujuk Diponegoro agar bersedia menjadi sekutu Belanda. (Diatas panggung, Diponegoro
sedang menulis-nulis sambil ditemani oleh Sentot Ali Basha dan 2 orang prajuritnya yang berdiri disampingnya.
Tiba-tiba salah seorang prajurit Mataram mendatangi Diponegoro).

Prajurit I: Maaf tuanku gusti pangeran (sambil berlutut), tuan Mercus De Kock dari residen Belanda
ingin bertemu dengan tuanku pangeran Diponegoro, mereka sudah menunggu di pendopo depan
istana”
Ali Basha: (sambil menghunuskan kerisnya) “Kurang ajar, mau apa mereka kesini, pasti mereka ingin
menyerang kita pangeran. Ayo kita lawan mereka semua ... jangan takut”
Diponegoro: (berdiri dari kursinya) “Sudahlah Patih, masukkan senjatamu lagi. Aku tidak ingin ada
pertumpahan darah disini, perjuangan kita belum dimulai”.
(Ali Basha memasukkan kembali kerisnya ke dalam sarung keris)
Diponegoro: (sambil menatap prajurit I) “Baiklah, persilahkan mereka masuk kesini, tetapi tidak boleh
ada yang membawa senjata.
Prajurit I: “Siap laksanakan gusti pangeran” (sambil berdiri dan pergi)
(De Kock dan rombongannya masuk ke dalam bangsal istana tempat pangeran Diponegoro)
De Kock: (sambil tersenyum dan membungkuk memberikan hormat) “Selamat sore tuanku pangeran
Diponegoro. Terimakasih atas kesediaan tuan untuk berbicara bersama kami dari perwakilan
Belanda”.
Diponegoro: “Selamat sore juga tuan residen De Kock. Mari silahkan duduk”. (bersama-sama duduk)
“Ada keperluan apa tuan residen datang ke tempat saya malam-malam begini?”.
De Kock: (sambil tersenyum) “Jadi kami datang kemari untuk membawa hadiah titipan dari gubernur
jendral Van Der Capellen di Batavia. Beliau memerintahkan saya untuk memberikan uang senilai
10.000 Gulden emas ini khusus untuk tuanku pangeran Diponegoro”. (sambil menaruh kantung
uang diatas meja)
Diponegoro: (sambil menatap kantung uang diatas meja) “Untuk apakah uang 10.000 Gulden emas ini
tuan residen Mercus de Kock? Ini jumlah yang sangat banyak sekali”.
De Kock: “Yah, tuan Van Der Capellen berharap agar tuanku pangeran Diponegoro bersedia menjadi
teman setia bagi BELANDA dan kerajaan Belanda, sehingga kita bisa bekerjasama membangun
kerajaan Mataram”.
Ali Basha: (berdiri sambil menghunus kerisnya dan berteriak) “DASAR BELANDA LICIK, kami tidak
butuh hartamu. Yang kami butuhkan adalah agar kalian segera angkat kaki dari kerajaan
Mataram ini!”.
De Kock: “Wah, apa-apaan ini. Kami datang kesini dengan damai dan tanpa membawa senjata, kenapa
patih anda malah mengeluarkan senjata?”
Ali Basha: “Hati-hati tuanku pangeran, ini pasti jebakan mereka untuk memecah-belah kerajaan
Mataram”.
Diponegoro: (sambil memegang tangan Ali Basha) “Patih, sudah kubilang simpan senjatamu itu, kita
jangan beraksi dulu, nanti saja!”. (Ali kembali memasukkan kerisnya lagi). “Mohon maaf tuan
residen De Kock, saya tidak bisa menerima uang haram ini, silahkan anda ambil lagi dan segera
pergi dari sini”.
De Kock: (sambil berdiri dan dengan nada marah) “Saya sudah menawarkan bantuan dan perjanjian
dengan baik-baik, tetapi anda menolaknya. Baiklah pangeran, jika suatu hari nanti terjadi perang
antara kerajaan Mataram dan Belanda, kami dari pihak Belanda tidak akan menanggung segala
akibatnya”.
Diponegoro: (tertawa) “Oh ya? Justru itu yang kami tunggu-tunggu tuan residen. Baik, selamat malam
tuan residen, silahkan keluar”. (seorang prajurit Mataram mengantarkan De Kock dan
rombongannya keluar – semua pemeran keluar dari panggung)
SESI IV

Narator: Belanda merasa terhina dan sangat marah atas perlakuan yang mereka terima. Mereka
merasa terhina karena telah diancam dengan senjata dan diusir keluar dari keraton secara tidak
hormat. Oleh karena itu, Mercus de Kock segera mengirimkan berita penolakan ini kepada Van Der
Capellen di Batavia. Tak lama kemudian, Capellen datang ke Mataram untuk menjumpai De Kock.
(naik keatas panggung pemeran Capellen, De Kock, dan dua orang prajurit Belanda)

De Kock: (sambil menggebrak meja) “Kurang ajar, ini tidak bisa dibiarkan tuan Capellen. Mereka telah
menghina kita orang Belanda kemarin malam. Kami diancam dengan senjata dan diusir seperti
pengemis, kalau boleh saya akan tembak mati mereka semua”.

Capellen: (duduk di meja) “Tenang dulu tuan De Kock, kita harus bersabar, duduklah dulu ... ini adalah
taktik perang mereka, ini jebakan!” (sambil tersenyum)

De Kock: (bingung dan kemudian duduk) “Maksud tuan bagaimana, saya kurang mengerti?”.

Capellen: “Diponegoro sengaja membuat kita emosi dan marah. Mereka ingin kita menyerang duluan.
Kalau sudah begini kan bahaya, nanti teman-teman kita yang ada di Keraton Mataram malah
menyerang kita balik. Jadi, sekutu kita malah hilang semuanya dan kita sudah pasti kalah”.

De Kock: “Wah, pintar juga Diponegoro itu ... kita harus berhati-hati dengan orang gila ini”.

Capellen: “Tapi jangan khawatir tuan De Kock. Kita pakai taktik yang sama seperti Diponegoro”.

De Kock: “Maksudnya bagaimana lagi itu tuan? Saya kurang paham”.

Capellen: “Dahulu gubernur jendral Willem Daendels membuat proyek jalan POSTWEG yang
menghubungkan antara Anyer di Merak sampai Panarukan di Banyuwangi. Proyek ini adalah
proyek kerja paksa. Daendels perintahkan rakyat di seluruh Jawa untuk membuat jalan ini dari
pagi sampai malam. Mereka dipaksa bekerja”.

De Kock: “Lalu? Apa hubungannya dengan menjebak Diponegoro?

Capellen: “Ada sebagian dari rakyat Mataram yang ikut kerja paksa juga, beberapa bahkan ada yang
mati karena kelelahan bekerja, namun beritanya sejauh ini ditutup-tutupi. Kurang lebih yang mati
ada 18.000 orang. Nah, pasti Diponegoro akan sedih dan marah mendengar berita ini, dan dia
akan terpancing emosinya sehingga menyerang kita secara membabi-buta”.

De Kock: (tertawa terbahak-bahak) “Ha ha ha ha ... luar biasa, saya sudah paham dengan maksud tuan
Capellen. Ternyata tuan Capellen jauh lebih cerdas daripada Diponegoro”.

Capellen: “Terlebih lagi, kita pancing kemarahannya lagi dengan mengambil tanah-tanah milik rakyat
di Mataram. Hal ini akan semakin membuat Diponegoro marah. Nah, saat Diponegoro menyerang
kita ... kita bisa minta bantuan teman-teman kita orang Keraton Mataram dengan tuduhan bahwa
Diponegoro yang menyerang kita duluan. Jadi kita bisa menghabisi nyawa Diponegoro dan
sekaligus memecah-belah kerajaan Mataram”

De Kock: “Sungguh luar biasa tuan Capellen, tidak salah jika Kaisar Napoleon menugaskan anda di Jawa
ini”.

Capellen: “Segera perintahkan seluruh prajurit Belanda untuk berjaga-jaga jika Diponegoro
menyerang. Bawa semua senjata dari gudang dan isi penuh peluru-peluru meriam. Kabari saya
secepatnya jika ada berita dari Diponegoro, saya juga akan bersiap-siaga di Batavia”.

De Kock: “Siap laksanakan tuan Capellen”. (semua pemeran turun dari panggung)
SESI V

Narator: Pangeran Diponegoro sangat sedih mendengar berita yang disebarkan oleh residen Belanda
Mataram yaitu tuan Mercus de Kock mengenai korban meninggal yang diakibatkan oleh kerja paksa
semasa jaman gubernur jendral Hermann Willem Daendels. Selain itu pangeran Diponegoro juga
mendengar kabar bahwa tanah adat miliknya yang ada di Tegalrejo akan digunakan Belanda untuk
membuat kantor dagang dan perkebunan kelapa sawit. Pangeran Diponegoro segera mengadakan
rapat kilat untuk membahas penyerangan awal kepada pihak Belanda. (pemeran Diponegoro, Ali
Basha, Kyai Mojo, dan prajurit Mataram masuk panggung. Duduk melingkar pada sebuah meja).

Diponegoro:“Selamat sore saudara-saudara. Hari ini saya kumpulkan kalian semua karena
saya akan segera melancarkan serangan kepada Belanda. Mereka telah mengambil
tanah adat leluhur saya di desa Tegalrejo. Kesabaran saya sudah habis”.
Ali Basha: “Betul sekali pangeran, kita harus segera menyusun strategi untuk melawan
Diponegoro”.
Diponegoro: “Saya perkenalkan teman pejuang kita (berdiri sambil memegang pundak
pemeran kyai Mojo). Beliau ini namanya Kyai Mojo. Beliau akan membantu perjuangan
kita untuk menyediakan pasukan dan persenjataan” (pemeran Kyai Mojo berdiri dan
membungkukkan badan)

Kyai Mojo: “Terimakasih atas kepercayaan pangeran. Betul sekali saudara-saudara, kelakuan
Belanda sudah diluar batas. Kita harus segera mengusir Belanda dari Mataram ini. Saya
akan menyediakan pasukan, persenjataan, dan perbekalan”.

Ali Basha: “Terimakasih Kyai, bantuan Kyai sungguh sangat luar biasa. Kami sangat
berterimakasih”.

Prajurit I: “Mohon maaf gusti pangeran, saya mendapatkan informasi dari paman anda yaitu
Gusti Pangeran Mangkubumi agar pangeran membuat markas di sebuah gua yang telah
disiapkannya. Gua itu terletak di bukit yang sangat aman untuk bersembunyi”.

Prajurit II: “Benar pangeran, gua itu bernama Gua Selarong. Letaknya masih masuk wilayah
kerajaan Mataram, yakni di kadipaten Bantul. Gusti Pangeran Mangkubumi sudah
menyiapkan senjata dan perbekalan disana”.

Kyai Mojo: “Saya juga mendapatkan informasi dari Sunan Pakubuwono VI dan bupati daerah
Gagatan yaitu Raden Tumenggung Prawirodigdoyo. Mereka juga bersedia membantu
perjuangan kita. Mereka menunggu perintah dari pangeran”.

Prajurit IV: “Lapor pangeran, saya telah mencatat seluruh pasukan yang akan bergabung
dengan kita. Seluruhnya ada 112 Kyai, 31 Haji, 15 Syekh, dan 70.000 pasukan terlatih”.

Diponegoro: “Bagus, pasukan kita semakin bertambah. Baiklah, malam ini juga kita akan
segera melakukan perlawanan pertama. Patih Ali Basha dan Kyai Mojo, segera
persiapkan 100 pasukan untuk membawa senjata ke Gua Selarong.

Ali Basha & Kyai Mojo: “Siap laksanakan gusti pangeran” (segera pergi keluar panggung)

Diponegoro: “Kalian semua, persiapkan pasukan kalian. Malam ini kalian kutugaskan untuk
melakukan penyerangan gerilya di desa Tegalrejo. Tangkap beberapa pasukan Belanda,
ikat mereka dan biarkan mereka di jalan. Jangan dibunuh. Supaya Belanda tahu bahwa
mereka tidak bisa seenaknya di Mataram”
Para Prajurit: “Siap laksanakan gusti pangeran” (sambil membungkuk kemudian pergi –
pemeran keluar panggung – Diponegoro masih berada di panggung)
Narator: Sore itu, disusunlah siasat pertama untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Pangeran Diponegoro terpaksa melakukan pertarungan ini secara mendadak dan tanpa
memberitahukan rencananya pada keluarga Keraton Mataram. Hal ini terjadi karena pangeran
Diponegoro menyadari jika didalam keraton banyak pengkhianat yang menjadi teman setia Belanda.
(pemeran Diponegoro turun panggung). ------------------------ Malam harinya, beberapa pasukan
Mataram yang telah diperintahkan oleh pangeran Diponegoro menyusup masuk ke desa Tegalrejo
yang telah dijaga ketat pasukan Belanda. Mereka berhasil menerobos masuk melalui hutan. Tugas
mereka adalah melakukan perlawanan pertama dengan cara menculik beberapa prajurit Belanda.

(7 orang pemeran prajurit Mataram dan 4 orang pemeran prajurit BELANDA masuk panggung. Prajurit
Mataram membungkuk pada semak-semak dari pot bunga)

Prajurit I: (membungkuk, berbicara perlahan)“Hati-hati, jangan sampai ketahuan. Ingat, tugas


ini harus berjalan dengan lancar”.

Prajurit II: (membungkuk, berbicara perlahan) “Kalian berdua sergap dari kiri (sambil
menunjuk prajurit III& IV), kalian berdua sergap dari kanan (sambil menunjuk prajurit
V dan VI), kami bertiga akan sergap dari tengah” (sambil menunjuk prajurit I & VII).

Prajurit III: (membungkuk, berbicara perlahan) “Setuju, ayo kita laksanakan segera. Awas hati-
hati jangan sampai ketahuan”.

Narator: Maka prajurit Mataram segera menyerang secara tiba-tiba. Serentak para prajurit Mataram
menerjang. Prajurit Belanda berusaha melawan, namun mereka mengacungkan pedangnya ke leher
prajurit Belanda sehingga prajurit Belanda itu tidak berdaya dan melepaskan senapannya masing-
masing sambil mengangkat tangan tanda menyerah.

BELANDA I: “Apa-apaan ini? Kalian kurang ajar, kami ini prajurit Belanda yang sedang
bertugas. Kalian berani macam-macam dengan kami. Kalian ini pasti perampok”.

Prajurit IV: “Hei ... DIAM KAMU! (sambil teriak menunjuk BELANDA I) kami tidak peduli. Kalian
semua Belanda adalah penjajah. Sekarang kalian semuanya berlutut ... CEPAT”. (seluruh
prajurit BELANDA berlutut ketakutan)

Prajurit V: “Nah, kalian semua kami tangkap. Senjata kalian kami rampas. Kalian tidak akan
kami bunuh. (sambil mengacungkan pedang)Lalu mereka akan kita apakan?”

Prajurit VI: “Kita ikat mereka dengan tali dan kita taruh di pinggir jalan. Sebagai peringatan
buat Belanda supaya tidak macam-macam dengan kita”.

Prajurit VII: “Ya betul, itu perintah dari gusti pangeran agar kita tidak membunuh mereka. Ayo
kita ikat mereka semuanya. Kita ikat kaki dan tangannya supaya tidak bisa kabur”.

(prajurit Mataram mengikat keempat prajurit Belanda itu dan setelah mereka mengikat kaki
dan tangannya, mereka segera keluar panggung meninggalkan keempat prajurit Belanda yang
terikat di pinggir jalan – pemeran prajurit Mataram keluar panggung).

(pemeran prajurit BELANDA masih terikat di atas panggung sampai SESI VI)
SESI VI

Narator: Pagi harinya, salah seorang prajurit Belanda yang sedang melakukan patroli menemukan
keempat teman mereka yang terikat di pinggir jalan. Prajurit Belanda ini segera menolong temannya
dan melaporkan hal ini kepada residen Mercus de Kock. (pemeran BELANDA ke-V naik panggung dan
melihat teman-temannya yang terikat)

BELANDA V: “Wah, ada apa ini? Kenapa kalian bisa terikat begini?” (sambil membantu
memotong tali yang mengikat menggunakan pisau)

BELANDA I: “Tadi malam kami diserang oleh sekelompok orang yang membawa senjata tajam.
Kami diancam dan senjata kami dirampas”.

BELANDA II: “Betul, kami tidak bisa melawan karena mereka tiba-tiba keluar dari semak-
semak dan mengacungkan pedang ke leher kami”.

BELANDA III: “Lalu salah seorang dari mereka mengatakan bahwa mereka diperintahkan oleh
pangeran. Kira-kira pangeran siapakah itu?”

BELANDA IV: “Kurang ajar, ini pasti ulah pangeran Diponegoro. Ayo segera kita laporkan ini
kepada tuan Mercus”.

BELANDA I, II, III, & IV:“AYO!” (seluruh pemeran prajurit turun panggung)

Narator: Keempat prajurit itu segera pergi melapor kepada Mercus de Kock. Sementara itu tuan
Mercus de Kock sedang berada di kantornya (suasana panggung ada meja dan kursi serta beberapa
perlengkapan alat tulis. Pemeran Mercus de Kock duduk sambil menulis-nulis).

BELANDA I: (mengetuk pintu) “Permisi tuan Mercus. Ada hal penting yang akan kami
sampaikan”

De Kock: “Ya silahkan masuk. Ada keperluan apa?”

BELANDA II: “Lapor tuan, tadi malam keempat prajurit kita yang berpatroli di desa Tegalrejo
telah diserang sekelompok orang bersenjata”.

BELANDA II: “Betul tuan, kami yakin mereka adalah preman-preman suruhan Diponegoro.
Sebab Diponegoro ingin melakukan balas dendam”.

BELANDA III: “Ini tidak bisa dibiarkan tuan, mari kita serang kembali mereka. Kita labrak
keraton Mataram.

BELANDA IV: Ya, kalau perlu kita obrak-abrik isi keraton Mataram. Kita geledah untuk
menangkap Diponegoro”.

BELANDA V: “Ini adalah pelecehan terhadap kekuasaan kita, jangan diam saja tuan Mercus.
Berikan perintah tuan!”

De Kock: “Kurang ajar ... ayo kita segera menuju keraton Mataram, biar Diponegoro tahu rasa”.
(seluruh pemeran turun panggung)

Narator: Sementara itu, selagi Belanda sibuk dengan urusannya, semalam sebelumnya pangeran
Diponegoro dan seluruh pasukannya yang setia telah memindahkan persenjataan, perbekalan, dan
keperluan perang mereka menuju tempat persembunyian mereka di Gua Selarong. (selagi narator
membacakan narasi, pemeran Diponegoro, Ali Basha, Kyai Mojo, dan para prajurit Mataram masuk
panggung dan berputar-putar panggung satu kali dan kemudian keluar lagi dari panggung). --------------
-- Tak lama kemudian, datanglah Mercus de Kock dan serombongan prajurit Belanda untuk melabrak
keraton Mataram. (di atas panggung ada salah satu penjaga sedang bersiaga memegang tombak)
Prajurit Penjaga: “Wah, ada apa tuan residen Mercus pagi-pagi begini sudah datang ramai-
ramai ke keraton Mataram”.
De Kock: “Ah banyak bicara kau ... kami kesini mau menangkap Diponegoro, sebab dia terbukti
telah melakukan perlawanan terhadap Belanda dan bahkan menyerang prajurit Belanda
yang sedang bertugas tadi malam”.
Prajurit Penjaga: “Kalau begitu anda sudah terlambat tuan, gusti pangeran Diponegoro sudah
pergi dari tadi malam beserta rombongan pasukannya”.
De Kock: “Hah? Kemana dia pergi? Cepat katakan!” (sambil menarik kerah baju si prajurit
penjaga)
Prajurit Penjaga: “Ampun tuan ... jangankan anda, kami semua seluruh penghuni keraton
Mataram juga tidak tahu kemana mereka pergi”.
De Kock: “Ah jangan berbohong kamu! Hei prajurit Belanda, segera geledah tempat ini
sekarang juga ... CARI DIPONEGORO HIDUP ATAU MATI!”(prajurit Belanda turun
panggung dan memeriksa kelas-kelas, seolah-olah seperti sedang mencari Diponegoro. 2
menit kemudian satu persatu pemeran prajurit Belanda naik kembali ke panggung)
BELANDA I: “Lapor tuan, sudah kami cari semua tempat dan juga sudah kami geledah
semuanya. Diponegoro tidak ada disini tuan Mercus”.
BELANDA II: “Benar tuan, sepertinya apa yang dia katakan itu benar. Diponegoro sudah kabur
bersama pasukannya”.
BELANDA III:“Lalu bagaimana tuan? Jika Diponegoro tidak tertangkap secepatnya, kita akan
terus diganggu”.
De Kock: “Kita kembali ke markas untuk menyusun strategi melawan Diponegoro. Sebelum
itu, tempelkan poster-poster di seluruh kerajaan Mataram. Barangsiapa yang berhasil
menangkap Diponegoro hidup atau mati akan mendapatkan hadiah 50.000 Gulden
Emas. (pemeran prajurit Belanda turun panggung untuk menempelkan poster
penangkapan Diponegoro di tiang)
De Kock: “Sekarang ayo kita kembali ke markas. Kita susun strategi untuk menangkap si
pengacau Diponegoro supaya tidak membuat rusuh lagi”.
Narator: Maka kembalilah Jendral Mercus de Kock dan seluruh anak buahnya. Namun disaat yang
bersamaan, saat mereka hendak kembali ke markas mereka di desa Tegalrejo, rombongan pasukan
pangeran Diponegoro secara kebetulan berhadapan dengan rombongan Mercus de Kock yang baru
kembali dari keraton tadi. (seluruh pemeran pangeran Diponegoro dan seluruh abdinya keluar dari
lorong, sementara seluruh rombongan pemeran Mercus de Kock baru turun dari panggung)

BELANDA I: “Tuan Mercus, coba lihat disana itu ... itu sepertinya Diponegoro dan pasukannya”
(sambil menunjuk ke arah Diponegoro)
De Kock: “Benar, memang itu dia. Ayo siapkan senjata kalian, kita tangkap dia hari ini juga”.
(sambil berlari hingga berada di depan Diponegoro dan pasukannya)
De Kock: “Hei Diponegoro (sambil berteriak) Kamu ditangkap atas nama pemerintah Hindia
Belanda karena berbuat kacau di Mataram”.
Diponegoro:“Tidak akan pernah sudi aku ditangkap oleh penjajah seperti kalian, ayo sini kalau
berani”. (pemeran Diponegoro, Ali Basha, Kyai Mojo, dan prajurit Mataram mengeluarkan
senjatanya masing-masing)
De Kock: “Wah, kamu mau melawan ya ... prajurit Belanda, kita tangkap mereka ... SERBU”.
Ali Basha: (sambil teriak dan mengangkat keris) “Lawan mereka ... MAJU!”
(terjadi suasana pertempuran, pasukan BELANDA terdesak oleh pasukan Mataram yang sudah siap
dengan senjatanya masing-masing. Maka setelah terjadi kurang lebih 2 menit adegan pertempuran,
Mercus de Kock dan pasukannya kalah lalu lari diiringi sorak-sorai pasukan Diponegoro)
SESI VII

(pemeran Mercus de Kock segera berganti baju, memakai baju seragam yang dikenakan oleh pemeran
Van Der Capellen, sementara baju yang awal dipakai De Kock dialihkan pada pemeran Kolonel Cleerens)

Narator: Melihat kekalahan ini, seluruh pasukan Belanda segera berunding. Saat itu gubernur jendral
Van Der Capellen telah kembali ke Belanda sehingga posisi gubernur jendral di Jawa dipegang
langsung oleh Hendrik Mercus de Kock dan residen Mataram dipegang oleh Kolonel Cleerens. Tanggal
26 Maret tahun 1830 Masehi, Mercus de Kock mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk
mengadakan rapat membahas masalah perang Jawa.

De Kock: “Selamat siang saudara-saudara, hari ini saya sengaja mengumpulkan anda semua
untuk membahas masalah Diponegoro. Saya sudah mengerahkan segala kekuatan yang
ada, namun dia sulit sekali untuk ditangkap”.

Cleerens: “Betul tuan Mercus, Diponegoro tidak berani melakukan perang terbuka dan hanya
berani berperang secara bergerilya di hutan-hutan”.

Hakim Mathijsen:“Saya sarankan agar kita langsung menghancurkan keraton Mataram


sampai hancur lebur, sehingga dapat memancing Diponegoro keluar”.

De Kock: “Tidak ... saya tidak setuju dengan cara itu. Ini malah membuat suasana menjadi
kacau. Nanti teman-teman kita di keraton akan ikut melawan kita”.

BELANDA I: “Bagaimana kalau kita sebar hadiah sayembara yang lebih banyak lagi. Pasti
rakyat Mataram yang miskin akan tertarik dengan uang hadiah”.

BELANDA II: “Itu tidak mungkin, rakyat Mataram justru mendukung Diponegoro. Bahkan
mereka juga ikut berperang secara diam-diam”.

BELANDA III: “Itu betul tuan-tuan. Rakyat Mataram pada siang hari bekerja sebagai petani
biasa, namun pada malam hari mereka ikut bergerilya bersama Diponegoro”.

BELANDA IV: “Sebaiknya kita tidak usah memakai cara berperang, korban dari pihak kita
sangat banyak. Saya mencatat ada 8.000 prajurit Belanda gugur.

BELANDA V: “Saya punya usul, Bagaimana kalau kita jebak saja Diponegoro di suatu tempat.
Begitu dia lengah langsung kita tangkap.

De Kock: “Usul itu sangat bagus. Baiklah, saya akan berpura-pura mengajak Diponegoro untuk
mengadakan perundingan gencatan senjata. Kita ambil tempat di Magelang, yang
jaraknya cukup jauh dari keraton Mataram”.
Cleerens: “Betul tuan, suruh mereka supaya tidak membawa senjata saat berunding”.

Hakim Mathijsen: (sambil tertawa) “Strategi ini sangat bagus sekali tuan Mercus, anda
memang jenius. Kapan kita laksanakan rencana ini?”

De Kock: “Lusa, tanggal 28 Maret kita akan adakan pertemuan itu di Magelang. Kita pura-pura
tidak membawa senjata, kita sembunyikan senjata kita. Begitu Diponegoro dan
pasukannya lengah, langsung kita tangkap”.

BELANDA V: (sambil tertawa) “Ha ha ha ha ... ini rencana yang sangat bagus tuan-tuan. Mari
kita minum untuk mempersiapkan rencana besar kita ini” (sambil mengangkat gelas)

Seluruh Pemeran:“Ayo bersulang ...” (sambil tertawa mengangkat gelas dan minum – kurang
lebih selama 1 menit)

(seluruh pemeran turun panggung).


SESI VIII

Narator: Gubernur jendral Mercus de Kock segera mengutus Kolonel Cleerens untuk mengantarkan
surat undangan kepada Diponegoro agar dia bersama Ali Bashabersedia untuk datang dalam
perundingan damai yang diadakan di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830 Masehi. Sementara itu
Kyai Mojo telah ditangkap oleh Belanda saat mengadakan perlawanan di Bantul. (pemeran Diponegoro
dan Ali Basha naik ke panggung, duduk bersama di kursi dalam satu meja – lalu tak lama pemeran
prajurit Mataram I naik ke panggung sambil membawa sepucuk surat)

Prajurit Mataram I: (sambil berlutut) “Maaf gusti pangeran, ini ada surat dari pemerintah Belanda
untuk tuan”. (sambil menyerahkan surat)

Diponegoro: (mengambil surat itu) “Surat apa ini? Saya baca dahulu” (membaca surat tersebut kurang
lebih adegan 10 detik saja). “Oh ... ternyata ini surat undangan dari residen Mataram yang baru
agar kita mau berunding damai bersama mereka di Magelang besok tanggal 28 Maret 1830”.

Prajurit Mataram I: “Benar gusti, residen Belanda di Mataram yang baru bernama Kolonel Cleerens.
Mercus de Kock telah diangkat menjadi gubernur jendral menggantikan Van Der Capellen”.

Ali Basha: “Perundingan apa itu pangeran? Hati-hati mungkin saja ini jebakan Belanda. Kyai Mojo
sudah ditangkap Belanda karena dijebak juga pangeran”.

Diponegoro: “Ini perundingan agar kita dan pihak Belanda segera mengadakan gencatan senjata, demi
kepentingan bersama. Mencegah adanya korban jiwa akibat perang”.

Prajurit Mataram I: “Saya kira ada baiknya juga, sebab perang ini merenggut nyawa dari pihak kita
sangat banyak. Ada 200.000 lebih pasukan kita yang tewas melawan Belanda”.

Diponegoro: “Di surat ini tertulis agar kita datang ke Magelang tanpa membawa senjata dan tidak
boleh membawa banyak pasukan, sebab ini adalah perundingan damai. Bagaimana menurut
kalian?”

Prajurit Mataram I: “Jika ini benar perundingan untuk damai, kita ikuti saja tuan pangeran”.

Ali Basha: “Pangeran, firasat saya tidak enak. Sepertinya ini benar-benar jebakan Belanda. Lebih baik
kita tolak saja pangeran”.

Diponegoro: (menoleh pada Ali Basha) “Patih, ini adalah cara yang terbaik untuk menghindari perang.
Banyak yang mati karena perang ini. Untuk kali ini saya percaya dengan niat baik dari
Belanda”.

Ali Basha: “Apakah pangeran tidak curiga? Jarak Magelang dari keraton cukup jauh, dan kita tidak
boleh membawa senjata. Barangkali ditengah jalan kita dicegat dan diserang”.

Diponegoro: “Sudahlah patih, saya rasa ini adalah cara yang terbaik untuk menghindari perang dengan
Belanda. Besok pagi-pagi siapkan 50 orang pengawal tanpa senjata, saya akan pergi ke
Magelang memenuhi undangan Kolonel Cleerens. Patih Ali Basha, anda juga harus ikut”.

Prajurit Mataram I: “Betul itu patih. Jika pangeran sudah memutuskan, maka kita harus mematuhinya.
Tidak baik melawan perintah pangeran”.

Ali Basha: “Baiklah pangeran, apapun perintah pangeran akan kami ikuti”.

Diponegoro: (menatap prajurit Mataram I) “Bersiaplah, besok kita akan pergi ke Magelang”.

Prajurit Mataram I: (membungkuk) “Siap laksanakan gusti pangeran” (lalu keluar panggung)

Diponegoro: “Mari kita pergi menyiapkan segala keperluan kita untuk pergi ke Magelang”

Ali Basha: “Siap laksanakan gusti pangeran”. (seluruh pemeran keluar panggung)
SESI IX

(diatas panggung disiapkan meja perundingan dengan 2 kursi berhadapan, selagi narator membacakan
narasinya, seluruh pemeran masuk panggung. Para pemeran pihak Diponegoro <Diponegoro, Ali Basha, & para
prajurit>dari sebelah kanan, sementara pihak Belanda <Cleerens & prajurit Belanda>dari sebelah kiri, senjata
untuk Belanda disembunyikan di bawah kursi dari Cleerens)

Narator: Pada tanggal 28 Maret tahun 1830, pangeran Diponegoro mendatangi Magelang untuk
merundingkan gencatan senjata dan perdamaian dengan pihak Belanda dibawah komando Kolonel
Cleerens. Pangeran Diponegoro datang tanpa membawa senjata sama sekali, sesuai dengan tuntutan
Belanda pada isi surat undangan. (pemeran Diponegoro dan Cleerens duduk berhadapan, sementara
yang lainnya berdiri di masing-masing pihak)

Cleerens: (sambil tersenyum) “Selamat datang tuan pangeran Diponegoro, terimakasih karena
anda sudah datang memenuhi undangan kami ini”.

Diponegoro: “Kita langsung pada pokok pembicaraan saja tuan Cleerens. Jadi apa keinginan
Belanda pada perundingan ini?”

Cleerens: “Kami menginginkan gencatan senjata, sebab korban meninggal dari kami sebanyak
8.000 pasukan Belanda. Oleh karena itu kita harus sepakat untuk melakukan
gencatan senjata”.

Diponegoro: “Baik, saya setuju jika kita melakukan gencatan senjata ... bagus”.

Cleerens: “Kami tidak akan menyerang anda dan pasukan anda lagi. Namun syaratnya anda
dan pasukan anda harus menyerahkan semua senjata yang anda punya kepada kami
dan membayar pajak kepada Belanda ... ini suratnya silahkan ditandatangani”.
(sambil menyerahkan sepucuk kertas pada Diponegoro)

Diponegoro: (sambil marah) “APA? tidak tuan Cleerens, saya tidak bisa mengikuti permintaan
anda. Ini adalah penghinaan bagi kami semua”.

Cleerens: “Tapi nanti anda akan kami angkat sebagai raja Mataram yang baru. Anda akan
menjadi raja yang kaya dan berkuasa. Namun anda harus mengikuti segala perintah
kami orang Belanda”.

Diponegoro: (marah sambil menggebrak meja) “Sampai mati saya tidak sudi menjadi budak
dari Belanda ... tidak akan pernah!”

Cleerens: (marah sambil berteriak) “Hei Diponegoro ... sampai kapan anda akan melawan kami
orang Belanda? Anda tidak punya apa-apa, anda sudah pasti kalah”.

Diponegoro: “Siapa bilang kami akan kalah? Kami tidak akan pernah menyerah melawan
kalian orang Belanda!”

Cleerens: “Dasar keras kepala, mau sok jagoan ya kamu? Prajurit, tangkap mereka semua!”

(para prajurit Belanda segera mengambil senjata yang disembunyikan dibawah kursi, sementara
Cleerens memegang pistol. Semua senapan Belanda mengarah pada pihak Diponegoro. Pihak
Diponegoro mengangkat tangannya tanda menyerah)

Cleerens: (sambil tertawa) “Ha ha ha ha, ayo berlutut kalian semua ... akhirnya tertangkap juga
kau Diponegoro. Rencana kami berhasil. Setelah 5 tahun kamu berbuat kacau disini,
akhirnya tertangkap juga. Ikat mereka dan bawa keluar dari sini”

(para prajurit Belanda <sambil tertawa puas> mengikat tangan semua pemeran di pihak Diponegoro –
seluruh pemeran keluar panggung)
SESI X

(diatas panggung disiapkan satu buah meja dan satu buah kursi. Saat narator membacakan narasinya,
seluruh pemeran masuk ke panggung. Seluruh pemeran pihak Diponegoro <Diponegoro, Ali Basha, &
para prajurit Mataram> masuk panggung dengan tangan yang masih terikat. Prajurit Belanda
menyeret para pemeran pihak Diponegoro dan menyuruh duduk di lantai sementara pihak Belanda
semuanya berdiri mendengarkan keputusan hakim. Pemeran hakim Mathijsen duduk di kursi
menghadap seluruh pemeran lainnya)

Narator: Pangeran Diponegoro dan pengikutnya telah tertangkap dan diadili. Tanggal 11 April 1830,
pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dibawa ke Batavia untuk menjalani persidangan yang
dipimpin oleh hakim Belanda. Gubernur jendral Mercus de Kock dan Kolonel Cleerens juga hadir.

De Kock: (sambil membungkuk) “Hormat yang mulia hakim, saya berhasil menangkap
Diponegoro dan gerombolan pasukannya. Mereka telah membuat kekacauan di
Mataram selama 5 tahun ini”.

Cleerens: (sambil membungkuk)“Betul yang mulia hakim, bahkan korban meninggal di pihak
kami prajurit Belanda sebanyak 8.000 orang”.

Diponegoro: “Ya, ... memang benar. Saya telah membuat kacau di Mataram selama 5 tahun.
Tujuan saya agar kalian orang Belanda pergi dari kerajaan Mataram, kalian adalah
penjajah terkutuk yang harus dilenyapkan”.

Hakim Mathijsen: (mengetuk palu)“Baiklah ... berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang
ada, tuan Diponegoro dan pasukannya telah terbukti melakukan pemberontakan dan
kekacauan di Mataram. Oleh sebab itu sesuai dengan hukum kekaisaran Perancis dan
kerajaan Belanda, pengadilan ini memutuskan bahwa ... Sentot Ali Basha dan para
prajurit Mataram ini telah terbukti membantu Diponegoro untuk melakukan
pemberontakan, maka dengan ini saya hukum kalian semuanya dengan hukuman
ditembak mati”. (hakim mengetuk palu 3 kali) - (para prajurit Belanda menyeret Ali
Basha dan para prajurit Mataram keluar dari panggung)

Hakim Mathijsen: “Lalu anda tuan Diponegoro ... berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang
ada, anda terbukti telah melakukan pemberontakan dan menjadi otak dari seluruh
kekacauan yang ada di Mataram selama 5 tahun ini. Menurut hukum kekaisaran
Perancis dan kerajaan Belanda harusnya anda ini ikut dihukum mati juga. Namun,
karena anda masih keturunan raja Mataram dan masih seorang pangeran Mataram,
maka hukuman anda diganti. Anda akan dibuang ke Manado menuju benteng
Amsterdam, di bagian utara pulau Celebes sampai hari tua anda. Anda akan
berangkat tanggal 3 Mei 1830. Sekian pengadilan atas Diponegoro ini saya tutup”.
(hakim mengetuk palu 3 kali. De Kock dan Cleerens membungkukkan badan
menghormati hakim. Hakim keluar duluan dari panggung. Menyusul kemudian De Kock
dan Cleerens menyeret Diponegoro keluar panggung)

Narator: Demikianlah kisah perjuangan pangeran Diponegoro yang senantiasa gigih memperjuangkan
kebebasan rakyatnya agar terlepas dari belenggu pejajahan Belanda. Walaupun beliau telah dijebak dengan
siasat licik dari pihak Belanda, namun semangat beliau tidak pernah pudar dan terus menyuarakan perjuangan
kemerdekaan melalui tulisan surat-surat yang Ia kirimkan dari tanah pembuangan bagi rakyatnya di kerajaan
Mataram. Akhirnya pada tanggal 8 Januari 1855 Masehi , dalam sebuah benteng Belanda yang kokoh bernama
Benteng Rotterdam di Makassar, pangeran Diponegoro tutup usia dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Pemeran & Pelaku Drama

 Narator = ........................................................................
 Pangeran Diponegoro = ........................................................................
 Sentot Ali Basha = ........................................................................
 Kyai Mojo = ........................................................................
 Prajurit Mataram I = ........................................................................
 Prajurit Mataram II = ........................................................................
 Prajurit Mataram III = ........................................................................
 Prajurit Mataram IV = ........................................................................
 Prajurit Mataram V = ........................................................................
 Prajurit Mataram VI = ........................................................................
 Prajurit Mataram VII = ........................................................................
 Penjaga Pintu = ........................................................................
 Van Der Capellen = ........................................................................
 Mercus de Kock = ........................................................................
 Belanda I = ........................................................................
 Belanda II = ........................................................................
 Belanda III = ........................................................................
 Belanda IV = ........................................................................
 Belanda V = ........................................................................
 Kolonel Cleerens = ........................................................................
 Hakim Mathijsen = ........................................................................

Anda mungkin juga menyukai