Anda di halaman 1dari 7

BAB I

Deskripsi Komunitas dan Latar Belakang

Komunitas yang akan diberikan intervensi adalah suatu kelompok dengan latar
belakang pendidikan Sekolah Menengah Atas yang suka berkumpul dan menamai kelompok
mereka dengan After School. After School sudah terbentuk sejak tahun 2010 dan saat ini
memiliki anggota kurang lebih 150 orang. Kelompok ini biasa juga dipanggil Geng AS.
Anggota geng AS sendiri beranggotakan baik pria maupun wanita dan beragam baik dari
kelas 10, 11, 12, bahkan alumni dari sekolah tersebut masih menjadi anggota geng AS, geng
ini juga tidak membedakan penjurusan dalam sekolah yang biasa dilakukan anak-anak pada
umumnya, anggota geng AS sendiri ada juga yang berjurusan IPA dan IPS.

Sejarah terbentuknya geng AS ini adalah awalnya mereka hanya teman sekelas yang
ketika jam pulang sekolah selesai pergi bersama-sama ke samping sekolah yang bernama
PAPI. Lama-kelamaan karena seringnya berkumpul, mereka merasa dekat dan berinisiatif
untuk memberi nama gengnya After School. Karena mereka biasa berkumpul setelah pulang
sekolah. Anggota awal geng ini hanya 20 orang saja, tak disangka geng ini sekarang
berkembang menjadi beranggotakan 150 orang. Kegiatan yang umumnya dilakukan geng ini
saat awal terbentuk adalah berjalan-jalan, namun mereka membawa pilox untuk menandai
wilayah yang pernah mereka datangi. Pilox tersebut digunakan untuk mencoret dinding
dengan nama geng, warna pilox yang digunakan adalah selalu merah. Mereka biasanya
mencoret-coret di bawah fly over dan toko-toko. Dengan tulisan “AS”, mereka memilih
tempat yang umumnya bisa dilihat banyak orang. Selain itu, hal yang biasa dilakukan oleh
AS adalah bertikai dengan geng lain. Umumnya mereka bertikai karena memang keinginan
untuk berlaku agresi, misalkan sedang bosan mereka akan mencari orang untuk diajak ribut.
Biasanya ketika sedang berkelahi, mereka membawa benda tajam seperti gir motor dan alat-
alat yang mereka temui di tempat kejadian perkelahian seperti batu dan kayu balok. Sampai
sekarang saat dilakukan penggalian data mengenai aktivitas yang dilakukan Geng AS,
mereka menyebutkan hal yang serupa seperti pemaparan diatas, namun intensitas untuk
bertengkar dengan geng lain berkurang.Dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini sudah seperti
tradisi yang turun menurun terjadi di Geng AS. Kegiatan anggota geng AS yang mencoret-
coret ruang publik dan toko-toko orang adalah suatu perilaku yang dikategorikan sebagai
vandalisme.
Vandalisme adalah Menurut Obiagwu (1992:292) vandalisme adalah tindakan
perusakan bahan pustaka dengan menulisi, mencorat-coret, memberi tanda khusus,
membasahi, membakar, dan lain-lain (Barcell & Marlini, 2013). Menurut kamus besar bahasa
indonesia atau KBBI, vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya
seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dsb) atau (2) perusakan dan penghancuran
secara kasar dan ganas. Dari pemaparan kegiatan Geng AS tersebut yang melakukan kegiatan
vandalisme dan agresi, perlu dilakukannnya intervensi untuk geng tersebut. Mengingat geng
ini terus beregenerasi, perlu adanya tindakan preventif untuk mencegah perilaku agresif dan
vandalisme ini.
BAB II

Hasil Assessment

Menilik dari cerita kasus diatas, vandalisme merupakan masalah yang sangat pelik
terjadi di ibukota ini. Perkembangan sarana publik dan bertumbuhnya fasilitas yang kian hari
kian bertambah (terutama daerah kolong jembatan layang non-tol), membuat tindak
vandalisme kian merebak dan tentu saja meresahkan warga ibukota yang menginginkan
kotanya menjadi lestari, bersih, dan indah dipandang.

Berdasarkan hasil pemaparan komunitas AS diatas, maka dari pihak peneliti menarik
kesimpulan bahwa para anggota AS melakukan tindak vandalisme adalah untuk
menunjukkan kepada orang lain (publik) mengenai eksistensi kelompok mereka. Mereka
berusaha supaya komunitas mereka diakui dan pastinya berharap agar memiliki wilayah
(teritorial) tertentu. Hal ini dilakukan agar orang lain di luar kelompok dapat mengerti bahwa
tindakan mereka (vandalisme) dengan mencorat-coret dinding adalah sebuah peringatan agar
orang yang di luar kelompok tidak berbuat macam-macam (mungkin agar tidak mencari gara-
gara bagi anggota komunitas). Dalam kajian psikologi sosial kita mengenal istilah
Groupthink, dimana suatu komunitas/grup berusaha mencari jati diri dengan melakukan
tindakan-tindakan untuk menarik perhatian khalayak umum. Metode yang akan diberikan
untuk komunitas seperti ini (yang terbilang masih anak sekolah), adalah dengan psikoedukasi.

Psikoedukasi yang dimaksudkan disini adalah bagaimana menanamkan kepada anak-


anak dalam komunitas tersebut pentingnya menjaga kekompakan dan eksistensi
kelompok/grup dengan hal-hal yang positif. Selain menguntungkan kelompok/komunitasnya,
langkah ini adalah langkah efektif yang baik untuk menanamkan pula kepada para anak
remaja (khususnya anak sekolah) untuk menjaga sarana dan fasilitas umum. Psikoedukasi
bukan hal yang mudah dilakukan dan tentunya tidak hanya melibatkan peneliti sebagai
pelaku tunggal dalam assessment yang berujung pada treatment (intervensi). Perlu adanya
kerjasama antara pihak-pihak lain, misalnya saja pihak sekolah/guru yang mulai
menanamkan dengan keras akan pentingya mencintai kota kelahiran sendiri, karena kota
kelahiran yang bersih mencerminkan pribadi warga masyarakat yang sehat (biasanya ada
dalam mata studi PLKJ).
BAB III

Pelaksanaan Intervensi

3.1 Tujuan

Tujuan dari diadakan intervensi ini adalah agar komunitas yang di beri intervensi ini
mengurangi dan secara perlahan menghilangkan perilaku vandalisme yang mereka lakukan,
seperti mencoret-coret fasilitas umum dan tempat rekreasi umum. Menurut KBBI,
Vandalisme adalah (1) perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang
berharga lainnya (keindahan alam dsb) atau (2) perusakan dan penghancuran secara kasar dan
ganas.

3.2 Peserta/Sasaran

Peserta dari sesi intervensi ini adalah anggota geng After School yang berjumlah
kurang lebih 150 anggota dan kemungkinan masih terus akan bertambah, karena geng ini
terus beregenerasi. Diharapkan hal yang sudah dibekali akan menular ke anggota geng
lainnya atau yang akan bergabung.

3.3 Pihak-pihak yang dilibatkan atau narasumber

Pihak yang terlibat dalam intervensi ini adalah pihak sekolah, warga lingkungan
sekitar, polisi dan narasumber. Narasumber yang diperlukan disini adalah seorang psikolog.
Pihak sekolah harus dilibatkan agar selalu mengimbau anak didiknya perbuatan tidak terpuji
tersebut, dan apabila mungkin menyelipkannya kedalam kurikulum pelajaran. Warga
lingkungan diperlukan untuk menyatakan aspirasi terhadap terganggunya masyarakat
terhadap aksi vandalisme dan menghimbau anak-anak geng bahwa mereka adalah bagian dari
wilayah tersebut jadi harus punya rasa memiliki. Polisi dihadirkan guna memberi tahu anak-
anak bahwa ada sanksi hukum terkait vandalisme, sehingga anak-anak geng akan lebih
merasa enggan untuk melakukan aksi vandalisme. Dan narasumber disini adalah seorang
psikolog untuk membawakan materi terkait vandalisme.

3.4 Target Perubahan

Perubahan yang diharapkan dari intervensi ini adalah agar anak-anak geng After
school mempunyai rasa memiliki terhadap lingkungan sekitar tempatnya tinggal dan merubah
secara perlahan perilaku yang suka mencoret-coret, tawuran, dan merusak sarana dan
prasarana publik.

3.5 Metode yang digunakan

Metode yang digunakan pada sesi intervensi ini melibatkan psikoedukasi dengan
materi yang telah disiapakan dan dilengkapi poster juga leaflet.

3.6 Materi yang akan di berikan

Psikoedukasi dengan power point dan games. Materinya adalah mengenai sejarah
vandalisme, arti vandalisme, bentuk-bentuk vandalisme, bahaya vandalisme bagi pelaku dan
masyrakat, dampak vandalisme, refleksi diri dan cara mencegah aksi vandalisme dengan
menimbulkan rasa memiliki. Games pendukung yang diberikan adalah sebagai berikut;

1. Anak diminta untuk membuat sebuah miniatur rumah/perumahan lengkap dengan


beberapa fasilitas publik.

2. Mulanya pihak peneliti akan memberitahukan bahwa siapa saja yang dapat membuat
miniatur ruma dengan indah akan mendapatkan hadiah menarik (sistem kompetisi).

3. Setelah jadi, maka salah seorang peneliti akan melakukan tindakan “perusakan” kecil
akan hasil karya anak tersebut, misalya dengan merobek bagian tertentu atau mencoret
miniatur rumah yang telah dibuat susah payah tersebut dengan spido.

4. Peneliti akan menyisakan satu orang anak yang hasil karyanya tidak dirusak dan
kemudian memilihnya menjadi juara 1 untuk kemudian diberikan hadiahnya.

5. Peserta lain (yang mungkin merasa kecewa) akan mengajukan protes kepada peneliti
karena peneliti dianggap curang, sebab peneliti menghancurkan hasil karya miliknya
sementara peserta yang menang tersebut tidak diutak-utik sama sekali.

6. Dari sini, peneliti akan mulai menjelaskan konsep sederhana dari hubungan sebab-akibat
akan vandalisme; bisa dengan peringatan misalnya, “coba kamu lihat, kamu saja sangat
marah apabila hasil karya kamu saya rusak ... Tidakkah orang lain yang memiliki
rumah/sarana yang juga kamu rusak dengan tindakan vandalisme kamu akan melakukan
hal yang sama?”
7. Saat anak (peserta) merenung, maka games ini dinyatakan berhasil; dengan ditambahkan
beberapa penjelasan akan etika warga negara.
Bab IV

Evaluasi Pelaksanaan Intervensi

4.1. Metode Evaluasi Dari Intervensi

Dengan berdasarkan observasi akan terlaksananya intervensi, maka tahap evaluasi


harus dicatat untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dari program yang kita buat
tersebut. Evaluasi berupa wawancara secara terbuka (sejenis seminar/simposium) kepada
seluruh anggota komunitas agar komunitas tersebut mengerti bagaimana pendapat
anggotanya masing-masing akan adanya tindakan vandalisme yang mereka lakukan.

4.2. Target Perubahan

Yang menjadi sasaran peneliti adalah perilaku vandalisme dari komunitas tersebut,
jadi target peneliti adalah mengurangi (atau bahkan menghilangkan) perilaku vandalisme
dengan tindakan mencorat-coret dinding. Pada intinya, yang harus kami rubah terlebih dahulu
adalah mindset (pola pikir) komunitas akan keyakinan mereka bahwa “perlu menciptakan
sebuah persepsi masyarakat yang luar biasa terhadap eksistensi komunitas melalui tindakan
yang frontal-destruktif”. Mindset ini harus diganti dengan keyakinan akan terciptanya
persepsi masyarakat yang luar biasa terhadap eksistensi mereka namun dengan hal-hal yang
positif. Dari total 150 anak, diharapkan bahwa separuhnya mulai memahami konsep
perubahan yang ditawarkan oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai