Anda di halaman 1dari 11

Pengkajian Budaya

1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang pengkajian keperawatan kepada pasien
berbasis budaya dengan menggunakan model matahari terbit, kelebihan dan
kelemahan teori model matahari terbit/Leininger theory Sun Rise Model
2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian pengkajian budaya
b. Mampu menjelaskan tujuh komponen pengkajian menurut model matahari
terbit
c. Mampu menjelaskan kelebihan dan kelemahan konsep model matahari terbit

B. Penyajian
1. Uraian Materi Pengkajian Budaya
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit
(sunrise model) seperti yang terlihat pada gambar 1. Geisser (1991) menyataka
n bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan
berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle,
1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Madeleine M. Leininger
Culture Care Diversity and

Leininger's Sunrise Model


a) The Sunrise Model ( Model matahari terbit)
Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Matahari terbit sebagai lambang/ symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk
memulai pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan
keistimewaan struktur sosial untuk mempertimbangkan arah yang membuka
pikiran yang mana ini dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau
menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada keperawatan profesional dan
sistem perawat an kesehatan secara umum. Anak panah berarti mempengaruhi
tetapi tidak menjadi penyebab atau garis hubungan. Garis putus-putus pada
model ini mengindikasikan sistem terbuka.Model ini
menggambarkan bahwa tubuh manusia
tidak terpisahkan/ tidak dapat dipisahkan dari budaya mereka.

Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan
tidak tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh
Leininger adalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh
perawatan profesional lainya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa
menilai cara hidup klien atau nilai-nilai yang akan dipersepsikan sebagai
suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan tidak selalu sesuai
dengan apa yang menjadi pandangan klien. Model ini merupakan suatu alat
yang produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan
perawatan yang sejalan dengan kebudaya n serta penelitian ilmiah.
b) Proses Keperawatan

1) Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger
and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen
yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :

a) Faktor teknologi (tecnological factors)


Teknolo kesehatan untuk memilih atau
gi
memungkinkan

individu
mendapa penawaran masala dalam pelayanan
t h
menyelesaikan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien
tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
b) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan
yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi
yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya,
bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji
oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan
kebiasaan agama yan g berdampak positif terhadap kesehatan.
c) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and
social factors) Perawat pada tahap ini harus mengkaji
faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat
tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga,
pengambilan keputusan dalam keluarga, dan
hubungan klien dengan kepala keluarga.
d) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditet
apkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-
norma
budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan
terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor
ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga,
bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang
dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari
dan kebiasaan membersihkan diri.
e) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah )
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam segala
asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang
berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh
menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
e) Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera
sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya :
pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh
keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya kantor
dari atau patungan antar anggota keluarga.
f) Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin
tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh
buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi
kesehatannya. Hal ya ng perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat
pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar
secara aktif mandir i tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak
terulang kembali.

2) Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar
belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau
dikurangi melalui intervensi
keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa
keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi
sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan
sistem nilai yang diyakini.
3) Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural
adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan.
Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat.
4) Pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar
belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman
yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle,
1995) yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya
klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien
bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya
klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
a) Cultural care preservation/maintenance
(1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
proses melahirkan dan perawatan bayi.
(2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
(3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b) Cultural care accomodation/negotiation
(1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien.
(2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
(3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan
klien dan standar etik
c) Cultual care repartening/reconstruction
(1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya.
(2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari
budaya kelompok
(3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
(4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan
yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua

(5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan


Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya
masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya
akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak
memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya
sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas
keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat
terapeutik.
5) Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan
atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan
dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui
evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
Praktik keperawatan memberikan perawatan yang holistik. Pendekatan
holistik ini meliputi perawatan fisik, psikologi , emosional, dan
kebutuhan rohani pasien. Penting untuk menekankan bahwa perawat harus
mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan tersebut agar dapat
memberikan perawatan individual, yang telah ditetapkan sebagai hak
pasien dan merupakan ciri praktek keperawatan profesional (Locsin,
2001). Dalam rangka untuk memberikan perawatan holistik, perawat juga
harus harus mempertimbangkan perbedaan budaya dalam membuat rencana
keperawatan.
Dengan demikian, perawat harus mempunyai kompetensi budaya dalam
praktek sehari-hari mereka agar pasien merasa dikenal dan diperhatikan
sebagai individu dalam suatu sistem kesehatan yang sangat kompleks dan
beragam secara budaya. Pekerja sosial menggambarkan kompetensi budaya
sebagai suatu proses terus-menerus berusaha untuk
menyadari, menghargai keragaman, dan
meningkatkan pengetahuan tentang pengaruh budaya (Bonecutter &
Gleeson, 1997). Dan perawat telah mengadopsi konsep ini. Perawat
menggambarkan kompetensi budaya adalah kemampuan untuk memahami
perbedaan budaya dalam rangka untuk memberikan layanan berkualitas
kepada pasien denga n berbagai keanekaragaman budaya (Leininger, 2002).
Perawat yang mempunya i kompetensi budaya mempunyai kepekaan
terhadap isu-isu yang berkaitan dengan
Dengan memiliki pengetahuan tentang perspektif budaya pasien
memungkinkan perawat untuk memberikan perawatan yang tepat dan
efektif. Sebagai contoh, pada kasus pasien yang menolak untuk diberikan
tranfusi darah dengan alasan agama, perawat yang mempunyai kompetensi
budaya akan memahami dan mengatasi masalah pasien tersebut dengan
masalah keanekaragaman budaya.
Perawat mungkin menghadapi pasien dari berbagai budaya dalam
praktek
sehari-hari dan tidak mungkin perawat dapat memahami seluruh
keanekaragaman budaya. Namun, perawat dapat memperoleh pengetahuan
dan skill dalam komunikasi transkultural untuk membantu memfasilitasi
perawatan individual yang didasarkan pada praktek-praktek budaya.
Perawat yang terampil
dalam komunikasi transkultural akan lebih siap untuk memberikan
perawatan yang kompeten secara budaya untuk pasien mereka.
Hasil penelitian kualitatif menunjukkan bahwa masalah komunikasi adalah
alasan utama perawat tidak dapat memberikan perawatan yang kompeten
dala m budaya (Boi, 2000, Cioffi, 2003). Perawat menyampaikan bahwa
mereka tidak nyaman dengan pasien dari budaya lain selain mereka sendiri
karena hambatan bahasa. Lebih penting lagi, para perawat menjelaskan
bahwa mereka tidak dapat memahami isyarat-isyarat lain yang digunakan
oleh para pasien untuk berkomunikasi. Perawat menyampaikan memerlukan
pendidikan dan pelatihan untuk memahami arti isyarat-isyarat komunikasi
nonverbal tertentu yang digunakan oleh kebudayaan yang berbeda,
misalnya kontak mata, sentuhan, diam, ruang dan jarak serta keyakinan
terhadap kesehatan.
Kontak mata adalah alat komunikasi yang penting, juga merupakan
variabel yang paling berbeda diantara banyak budaya (Canadian Nurses
Association, 2000). Perawat Amerika diajarkan untuk mempertahankan
kontak mata ketika berbicara dengan pasien mereka. Berbeda dengan
orang-orang Arab, yang menganggap kontak mata langsung tidak sopan
dan agresif. Demikian pula, penduduk asli Amerika Utara juga
menganggap kontak mata langsung hal yang tidak benar dalam
budaya mereka, menatap lantai selama
percakapan menunjukkan bahwa mereka mendengarkan dengan hati-hati
dengan pembicara. Hispanik menggunakan kontak mata hanya bila
dianggap tepat. Hal ini didasarkan pada usia, jenis kelamin, kedudukan
sosial, status ekonomi, dan posisi kekuasaan. Misalnya, tetua Hispanik
berbicara dengan anak-anak
menggunakan kontak mata, tapi dianggap tidak pantas
bagi anak-anak
Hispanik untuk melihat secara langsung pada tetua mereka
ketika
Dalam lingkungan perawatan kesehatan, pasien Hispanik
berbicara.
berharap bahwa
perawat dan penyedia layanan kesehatan lainnya langsung memberikan
kontak mata saat berinteraksi dengan mereka, tetapi tidak diharapkan bahwa
pasien Hispanik membalas dengan kontak mata langsung ketika menerima
perawatan medis dan keperawatan. Ini hanya beberapa contoh untuk
menunjukkan bahwa orang-orang dari berbagai budaya kontak mata
memandang berbeda. Sangat penting bahwa perawat harus sadar bahwa
beberapa makna yang dapat disertakan pada kontak mata langsung agar
dapat berkomunikasi secara efektif dengan pasien.
Namun demikian berikut adalah kelebihan dan kekurangan Teori
Transkultural dari Leininger :
a) Kelebihan :
(1) Teori ini bersifat komprehensif dan holistik yang dapat
memberikan pengetahuan kepada perawat dalam pemberian asuhan
dengan latar belakang budaya yang berbeda.
(2) Teori ini sangat berguna pada setiap kondisi
perawatan untuk
memaksimalkan pelaksanaan model- teori lainnya (teori Orem,
model King, Roy, dll).
(3) Penggunakan teori ini dapat mengatasi hambatan faktor budaya
yang akan berdampak terhadap pasien, staf keperawatan dan terhadap
rumah sakit.
4) Penggunanan teori transcultural dapat membantu perawat untuk
membuat keputusan yang kompeten dalam memberikan asuhan
keperawatan.
(5) Teori ini banyak digunakan sebagai acuan dalam penelitian dan
pengembangan praktek keperawatan .

b) Kelemahan :
(1) Teori transcultural bersifat sangat luas sehingga tidak bisa berdiri
sendiri dan hanya digunakan sebagai pendamping dari berbagai maca
m konseptual model lainnya.
2) Teori transcultural ini tidak mempunyai intervensi spesifik dalam
mengatasi masalah keperawatan sehingga perlu dipadukan dengan
model teori lainnya.
Akhirnya, menurut Leininger, tujuan studi praktek pelayanan kesehatan
transkultural adalah meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia
dalam kaitan dengan kesehatannya. Dengan mengidentifikasi praktek
kesehatan dalam berbagai budaya (kultur) baik dimasa lalu maupun zaman
sekarang, akan terkumpul persamaan-persamaan, sehingga kombinasi
pengetahuan tentang pola praktek transkultural dengan kemajuan
teknologi dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan
dan kesehatan orang banyak dari berbagai kultur.

3. Daftar Pustaka
Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),"Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan", Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Sudiharto,(2007) "Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Transkultural", Edisi I, EGC, Jakarta
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories,
Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai