Anda di halaman 1dari 5

Nama: Tria M Yasin

NIM : 192042055

Kelas : HES 3B

MK: Hukum Acara Peradilan TUN

Perbedaan dan Persamaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara


Peradilan Tata Usaha Negara

A. Perbedaannya antara lain:


1. Obyek Gugatan.
Dalam Hukum Acara Perdata obyek gugatan antara lain adalah
adanya perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, sedangkan
dalam Hukum Acara Peradilan TUN obyek gugatan adalah
Keputusan TUN
2. Subyek Gugatan
Dalam Hukum Acara Perdata, subjek gugatan terdiri dari orang
atau badan hukum (baik badan hukum privat maupun publik)
melawan orang atau badan hukum (baik badan hukum privat
maupun publik) dalam posisi yang seimbang. Sedangkan dalam
Hukum Acara Peradilan TUN, subyek gugatan adalah orang
pribadi atau badan hukum perdata sebagai Penggugat melawan
Pejabat TUN sebagai Tergugat.
3. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Dalam hukum Acara Perdata, tenggang waktu mengajukan gugatan
relative lebih lama dari pada dalam Hukum Acara Peradilan TUN
yang hanya menentukan 90 hari (vide Pasal 53).
4. Tahapan Proses Berperkara
Beberapa tahapan proses berperkara dalam Hukum Acara Peradilan
yang tidak ada dalam Hukum Acara Perdata adalah Dismissal
Proses (vide Pasal 62), dan Pemeriksaan Persiapan (vide Pasal 63)
5. Tuntutan (Petitum)
Dalam Hukum Acara Perdata, tuntutan bisa berupa mohon
pelaksanaan/pembatalan perjanjian, ganti rugi, pembayaran uang
paksa dan lain-lain. Dalam Hukum Acara Peradilan TUN, tuntutan
yang dapat diminta antara lain adalah pembatalan suatu keputusan
TUN, atau agar badan atau Pejabat TUN menerbitkan Keputusan
yang dimohon, disertai dengan ganti rugi materiil minimal Rp.
250.000,-. Dan maksimal Rp. 5.000.000,-
6. Gugat balik (rekonvensi)
Dalam Hukum Acara Peradilan TUN tidak dikenal gugat balik
(rekonvensi)
7. Peranan Pengadilan Tinggi
Dalam Hukum Acara Perdata, peranan Pengadilan Tinggi selaku
sebagai Pengadilan tingkat banding. Dalam Hukum Acara
Peradilan TUN, untuk kasus-kasus yang harus melalui prosedur
Bandung Administratif maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara berfungsi sebagai Pengadilan Tingkat Pertama.
A. Persamaannya antara lain :
1. Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan menurut HAPTUN diatur dalam Pasal 54 UU
PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur alam Pasal
118 HIR (HerzeinIndonesisReglement).
Berdasarkan pasal-pasal tersebut baik hukum acara TUN maupun
hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa gugatan
diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan atau tempat tinggal tergugat. Apabila tergugat lebih
dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum
pengadilan, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu tergugat.
2. Isi Gugatan
Persyaratan mengenai isi gugatan menurut hukum acara PTUN
diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara
perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv (reglement op
deburgelijkeRechtsvordering).
Berdasarkan pasal-pasal tersebut persyaratan mengenai isi gugatan
pada pokoknya harus memuat: pertama, identitas para pihak
(penggugat dan tergugat); kedua, dalil-dalil kongkrit tentang
adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan
daripada tuntutan (fundamentumpetendi) yang bisanya terdiri dari
dua bagian yaitu: bagian-bagian yang menguraikan tentang
kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang menguraikan
tentang hukumnya, ketiga, petititumatau tuntutan ialah apa yang
oleh penggugat atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim.
3. Pendaftaran Perkara.
Pendaftaran perkara menurut hukum acara PTUN diatur dalam
Pasal 59 UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur
dalam pasal 121 HIR.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka gugatan diajukan ke
pengadilan yang berwenang baiksecara kompetensi absolute
maupun relative. Dalam mengajukan gugatn, penggugat
diwajibkan membayar uang muka biaya perkara.
4. Penetapan Hari Sidang
Penetapan hari sidang menurut HAPTUN diatur dalam pasal 59
ayat (3) dan pasal 64 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara
perdata diatur dalam pasal 122 HIR.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka setelah surat gugatan
ddaftarkan dalam buku register perkara dan telah dianggap cukup
lengkap, pengadilan menetukan hari sidang di pengadilan. Dalam
menentukan hari sidang ini, hakim harus mempertimbangkan jarak
antara tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan
pengadilan tempat persidangan.
Dalam hukum acara TUN, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah gugatan dicatat, hakim menentukan hari, jam, tempat
persidangan, dan pemanggilan para pihak unutuk hadir.
5. Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam
Pasal 65 dan Pasal 66 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara
perdata diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR, Pasal 390 ayat (10,
dan Pasal 126 HIR.
Berdasarkan pasal-pasl tersebut, pemanggilan para pihak dilakukan
setelah gugatan dianggap sempurna dan sudah dicatat.
Dalam hukum acara TUN, jangka waktu antara pemanggilan dan
hari sidang tidak boleh kurang dari 6(enam) hari, kecuali dalam hal
sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan
dikirimkan dengan surat tercatat. Apabila salah satu pihak berada
atau berkedudukan di luar negeri, maka ketua pengadilan
melakukan pemanggilan meneruskan surat penetapan hari sidang
dan salinan gugatan kepada Departemen Luar Negeri, selanjutnya
departemen Luar Negeri meneruskan kepada perwakilan RI di
wilayah tempat yang bersangkutanberkedudukan. Dalam jangka
waktu 7(tujuh) hari setelah pemanggilan itu petugas Perwakilan RI
tersebut wajib memberikan laporan kepada pengadilan.
6. Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara
PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, sedangkan menurut
hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka apabila dikehendaki, para
pihak dapat diwakilkan atau didampingi oleh seorang kuasa
beberapa kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum
perkara diperiksa harus secara tertulis sengan membuat surat kuasa
khusus. Dengan pemberian surat kuasa ini, sipenerima kuasa bisa
melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya
pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa.
Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persianganbiisa
dilakukan secara lisan.
7. Hakim Majelis
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara
perdata dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang
terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang
lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).
Namun, dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh
prosedur pemeriksaandengan hakim tunggal (unun judex). Dalam
hukum acara PTUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan
dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1). Dalam hukum acra perdata
baik terhadap perkara deklatoir maupun kontradiktoir pemeriksaan
dengan hakim tunggal ini tetap sah.
8. Persidangan Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara dipengadilan pada asasnya terbuka
untyk umum, dengan demikian setiang orang dapat untuk hadir dan
mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Ketentuan
ini dapat dilihat dalam pasal 19 dan pasal 20 UU No 4 Tahun 2004.
Dalam hukum acara PTUN ketentuan ini diatur dalam Pasal 70
ayat (1) UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur
dlam Pasal 179 ayat (1) HIR
Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan
terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya
putusan itu menurut hukum. Kecuali, hakim memandang bahwa
perkara tersebut menyangkut ketertiban umum, keselamatan
negara, atau alasan-alasan penting lainnya yang dimuat dalam
berita acara, maka hakim dapat menyatakan persidangan tertutup
untuk umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 70 ayat (2)
UU PTUN dan Pasal 29 Reglement op deRechtelijke Organisatie
(RO).
9. Mendengar Kedua Belah Pihak
Dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 disebut bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan
orang. Denhan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas
kedua belah pihak haruslah diberlakukan sama, yang memihak, dan
kedua belah pihak didengar dengan adil. Hakim tidak
diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan
keterangan salah satu pihak saja (audi et alteram partem).
Asas tersebut bukan termasuk pengajuaan alat bukti karena ada
kalanya para pihak atau saksi adalah bisu, tuli, tidak dapat menulis,
atau tidak dapat berbahasa Indonesia. Dalam hal yang demikian
ini, maka untuk kelancaran pemeriksaan perkara dalam jalannya
persidangan hakim dapat mengangkat orangorang sebagai juru
bahasa, juru tulis, dan atau juru ahli bahasa. Dalam HAPTUN,
penentuan ini diatur dalam pasal 92 dan 93 UU PTUN.
10. Pembuktian
Baik hukum acara PTUN maupun hukum acra perdata samasama
menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah
pihak, hanya karna yang mengajukan gugatan adalah penggugat,
maka penggugatlah yang mendapatkan kesempatan pertama untuk
membuktiknnya. Sedangkan kewajiban tergugat untuk
membuktikannya adalah dalam rangka membantah bukti yang
diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat
(pasal 100 s/d pasal 107 UU PTUN, dan pasal 163 dan pasal 164
HIR).
11. Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Pelaksanaan outusan pengadilan dilkukan setelah adanya putusan.
Dan putusan pngadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(pasal 115 UU PTUN), yangpelaksaaannya dilakukan atas perintah
ketua pengadilan yang mengdilinya dalam tingkat pertama (pasal
116 UU PTUN, pasal 195 HIR).
Apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara sukarela memnuhi
isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat
mengajukan permohonan pelaksaan putusan kepada pengadilan
yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama (pasal 116
UUPTUN, pasal 196 dan pasal 197 HIR).

Anda mungkin juga menyukai