Perbedaan dan Persamaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara
A. Perbedaannya antara lain:
1. Obyek Gugatan. Dalam Hukum Acara Perdata obyek gugatan antara lain adalah adanya perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, sedangkan dalam Hukum Acara Peradilan TUN obyek gugatan adalah Keputusan TUN 2. Subyek Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata, subjek gugatan terdiri dari orang atau badan hukum (baik badan hukum privat maupun publik) melawan orang atau badan hukum (baik badan hukum privat maupun publik) dalam posisi yang seimbang. Sedangkan dalam Hukum Acara Peradilan TUN, subyek gugatan adalah orang pribadi atau badan hukum perdata sebagai Penggugat melawan Pejabat TUN sebagai Tergugat. 3. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan Dalam hukum Acara Perdata, tenggang waktu mengajukan gugatan relative lebih lama dari pada dalam Hukum Acara Peradilan TUN yang hanya menentukan 90 hari (vide Pasal 53). 4. Tahapan Proses Berperkara Beberapa tahapan proses berperkara dalam Hukum Acara Peradilan yang tidak ada dalam Hukum Acara Perdata adalah Dismissal Proses (vide Pasal 62), dan Pemeriksaan Persiapan (vide Pasal 63) 5. Tuntutan (Petitum) Dalam Hukum Acara Perdata, tuntutan bisa berupa mohon pelaksanaan/pembatalan perjanjian, ganti rugi, pembayaran uang paksa dan lain-lain. Dalam Hukum Acara Peradilan TUN, tuntutan yang dapat diminta antara lain adalah pembatalan suatu keputusan TUN, atau agar badan atau Pejabat TUN menerbitkan Keputusan yang dimohon, disertai dengan ganti rugi materiil minimal Rp. 250.000,-. Dan maksimal Rp. 5.000.000,- 6. Gugat balik (rekonvensi) Dalam Hukum Acara Peradilan TUN tidak dikenal gugat balik (rekonvensi) 7. Peranan Pengadilan Tinggi Dalam Hukum Acara Perdata, peranan Pengadilan Tinggi selaku sebagai Pengadilan tingkat banding. Dalam Hukum Acara Peradilan TUN, untuk kasus-kasus yang harus melalui prosedur Bandung Administratif maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berfungsi sebagai Pengadilan Tingkat Pertama. A. Persamaannya antara lain : 1. Pengajuan Gugatan Pengajuan gugatan menurut HAPTUN diatur dalam Pasal 54 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur alam Pasal 118 HIR (HerzeinIndonesisReglement). Berdasarkan pasal-pasal tersebut baik hukum acara TUN maupun hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau tempat tinggal tergugat. Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu tergugat. 2. Isi Gugatan Persyaratan mengenai isi gugatan menurut hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv (reglement op deburgelijkeRechtsvordering). Berdasarkan pasal-pasal tersebut persyaratan mengenai isi gugatan pada pokoknya harus memuat: pertama, identitas para pihak (penggugat dan tergugat); kedua, dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan (fundamentumpetendi) yang bisanya terdiri dari dua bagian yaitu: bagian-bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya, ketiga, petititumatau tuntutan ialah apa yang oleh penggugat atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. 3. Pendaftaran Perkara. Pendaftaran perkara menurut hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 HIR. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang baiksecara kompetensi absolute maupun relative. Dalam mengajukan gugatn, penggugat diwajibkan membayar uang muka biaya perkara. 4. Penetapan Hari Sidang Penetapan hari sidang menurut HAPTUN diatur dalam pasal 59 ayat (3) dan pasal 64 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 122 HIR. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka setelah surat gugatan ddaftarkan dalam buku register perkara dan telah dianggap cukup lengkap, pengadilan menetukan hari sidang di pengadilan. Dalam menentukan hari sidang ini, hakim harus mempertimbangkan jarak antara tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat persidangan. Dalam hukum acara TUN, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah gugatan dicatat, hakim menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak unutuk hadir. 5. Pemanggilan Para Pihak Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR, Pasal 390 ayat (10, dan Pasal 126 HIR. Berdasarkan pasal-pasl tersebut, pemanggilan para pihak dilakukan setelah gugatan dianggap sempurna dan sudah dicatat. Dalam hukum acara TUN, jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6(enam) hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirimkan dengan surat tercatat. Apabila salah satu pihak berada atau berkedudukan di luar negeri, maka ketua pengadilan melakukan pemanggilan meneruskan surat penetapan hari sidang dan salinan gugatan kepada Departemen Luar Negeri, selanjutnya departemen Luar Negeri meneruskan kepada perwakilan RI di wilayah tempat yang bersangkutanberkedudukan. Dalam jangka waktu 7(tujuh) hari setelah pemanggilan itu petugas Perwakilan RI tersebut wajib memberikan laporan kepada pengadilan. 6. Pemberian Kuasa Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka apabila dikehendaki, para pihak dapat diwakilkan atau didampingi oleh seorang kuasa beberapa kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis sengan membuat surat kuasa khusus. Dengan pemberian surat kuasa ini, sipenerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persianganbiisa dilakukan secara lisan. 7. Hakim Majelis Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN). Namun, dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur pemeriksaandengan hakim tunggal (unun judex). Dalam hukum acara PTUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1). Dalam hukum acra perdata baik terhadap perkara deklatoir maupun kontradiktoir pemeriksaan dengan hakim tunggal ini tetap sah. 8. Persidangan Terbuka Untuk Umum Sidang pemeriksaan perkara dipengadilan pada asasnya terbuka untyk umum, dengan demikian setiang orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 19 dan pasal 20 UU No 4 Tahun 2004. Dalam hukum acara PTUN ketentuan ini diatur dalam Pasal 70 ayat (1) UU PTUN, sedangkan dalam hukum acara perdata diatur dlam Pasal 179 ayat (1) HIR Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Kecuali, hakim memandang bahwa perkara tersebut menyangkut ketertiban umum, keselamatan negara, atau alasan-alasan penting lainnya yang dimuat dalam berita acara, maka hakim dapat menyatakan persidangan tertutup untuk umum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 70 ayat (2) UU PTUN dan Pasal 29 Reglement op deRechtelijke Organisatie (RO). 9. Mendengar Kedua Belah Pihak Dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 disebut bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Denhan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas kedua belah pihak haruslah diberlakukan sama, yang memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan salah satu pihak saja (audi et alteram partem). Asas tersebut bukan termasuk pengajuaan alat bukti karena ada kalanya para pihak atau saksi adalah bisu, tuli, tidak dapat menulis, atau tidak dapat berbahasa Indonesia. Dalam hal yang demikian ini, maka untuk kelancaran pemeriksaan perkara dalam jalannya persidangan hakim dapat mengangkat orangorang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan atau juru ahli bahasa. Dalam HAPTUN, penentuan ini diatur dalam pasal 92 dan 93 UU PTUN. 10. Pembuktian Baik hukum acara PTUN maupun hukum acra perdata samasama menganut asas bahwa beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya karna yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapatkan kesempatan pertama untuk membuktiknnya. Sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikannya adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat (pasal 100 s/d pasal 107 UU PTUN, dan pasal 163 dan pasal 164 HIR). 11. Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Pelaksanaan outusan pengadilan dilkukan setelah adanya putusan. Dan putusan pngadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 115 UU PTUN), yangpelaksaaannya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengdilinya dalam tingkat pertama (pasal 116 UU PTUN, pasal 195 HIR). Apabila pihak yang dikalahkan tidak mau secara sukarela memnuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama (pasal 116 UUPTUN, pasal 196 dan pasal 197 HIR).