Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MASALAH PERPOLITIKAN SEJAK AWAL


PEMERINTAHAN BAPAK JOKOWI

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH SISTEM POLITIK


DOSEN PENGAMPUH RAIHAN A.HANASI S.IP.,M.AP

DISUSUN OLEH :
Dhea Ananda suci (941420083)
Vinantie Aulia (941420063)
Rahmatya Muhsin (941420039)
Ismiyati Yusuf (941420095)
Stevani Laude (941420055)

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN


PRODI ILMU ADMINISRASI PUBLIK
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat


dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “HAM dan PAPUA” Shalawat dan Salam tak lupa pula
kita hanturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam terang-
benderang.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas pada mata kuliah Sistem politik di Indonesia . Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan dalam
memahami konsep dari Konsep Permintaan itu sendiri bagi para
pembaca dan juga pembuat makalah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu RAIHAN A
HANASI.S.IP.,M.AP selaku dosen Mata Kuliah Sistem politik di
Indonesia yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat di butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

Gorontalo, Januari 2021

Kelompok III

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 2
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4
2.1 Masalah Hak Asasi Manusia ....................................................................................... 4
2.2 Masalah Papua sejak Melepas NKRI .......................................................................... 5
2.3 Pemecahan Masalah ................................................................................................... 7
2.4 Ham Bidang Sipil Dan Politik Di Papua ...................................................................... 8
2.5 Ham Yang Menjadi Perhatian Internasional Saat Ini ................................................... 8
2.6 Ham Bidang Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya Di Papua ......................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 12
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 12
3.2 Saran ........................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 14

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembicaraan mengenai Papua akan selalu diasosiasikan dengan kekerasan, kebodohan,
ketelanjangan, kemiskinan, ketertinggalan, dan keterisolasian. Lalu, siapakah yang harus
bertanggung jawab atas keterbelakangan mereka? Pada saat ini ada kecenderungan di
masyarakat Papua bahwa upaya integrasi yang dibangun dengan jerih payah sejak 50-an
tahun silam ternyata hanya sekedar integrasi Sumber Daya Alam (Integrated of Natural
Resources), sementara manusianya diabaikan, merana di atas kelimpahan tanah sendiri. Hal
ini bertolak belakang dengan keinginan Ir. Soekarno yang ingin memerdekakan manusia
Papua agar mereka menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Tulisan ini ingin menyampaikan
sudut pandang persoalan Papua secara komprehensif. Meskipun saat ini kebijakan otonomi
khusus yang telah diberikan kepada rakyat Papua setidaknya memberi harapan baru di tengah
labilitas integrasi politik di Papua yang telah menua, namun tragedi demi tragedi yang
dihadapi rakyat Papua semakin mempertegas penderitaan yang dihadapi rakyat Papua.
Otonomi sebuah parsel sprititualitas simbolik bagi umat nasrani di Papua tetapi juga
diwujudnyatakan secara substansial.
Dampaknya saat ini sesungguhnya Papua menjadi sebuah negeri yang terluka dalam
nestapa akibat penetrasi kapitalisme yang diikuti oleh penetrasi sipil dan Hegemoni Negara.
Disharmoni Jakarta-Papua yang berlangsung selama lebih dari 50 tahun belum kunjung usai
karena pemerintah belum mampu melaksanakan secara sungguh-sungguh empat intensi dasar
konflik yang beberapa tahun lalu telah dirumuskan melalui Papua Road Map oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Meskipun LIPI telah merumuskan empat akar persoalan di
Papua, namun hanya dua persoalan utama yang memicu konflik di Papua yaitu: trauma
sejarah disertai tragedi kemanusiaan yang menjadi memori buruk bagi orang Papua atau
menurut LIPI; peninjauan kembali terhadap realitas sejarah Papua dan penyelesaian disparitas
ekonomi dan Sosial dan Budaya.

2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah adalah berikut :
1. Apa saja masalah hak asasi manusia?
2. Apa saja masalah papua sejak melepas NKRI?
3. Apa saja HAM bidang sipil dan politik di Papua?
4. Mengapa HAM yang menjadi perhatian internasional saat ini?
5. Apa saja pelanggaran HAM di bidang ekonomi social dan budaya di Papua?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun Yang Menjadi Tujuan Penelitian adalah Sebagai Berikut :
1. Untuk mengetahui masalah hak asasi manusia.
2. Untuk mengetahui masalah papua sejak melepas NKRI.
3. Untuk mengetahui HAM bidang sipil dan politik di Papua.
4. Untuk mengetahui HAM yang menjadi perhatian internasional saat ini.
5. Untuk mengetahui pelanggaran HAM di bidang ekonomi social dan budaya di
Papua.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah sistem politik Indonesia yang di ampuh oleh Ibu
Raihan A Hanasi, S.IP., M.AP
2. Untuk menyampaikan informasi kepada pembaca agar lebih memahami dan mampu
menjelaskan masalah tentang politik sejak awal pemerintahan bapak Jokowi

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Masalah Hak Asasi Manusia


Kantor urusan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
menyoroti kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM menjelang momen yang diyakini sejumlah
kalangan sebagai hari kemerdekaan Papua pada 1 Desember. PBB meminta pemerintah
Indonesia mencegah kekerasan lebih lanjut di Papua dan Papua Barat. Sementara itu, pejabat
di Kantor Staf Presiden mengatakan penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua tidak
maksimal karena terbentur masa pandemi Covid-19, yang disebut peneliti sebagai alasan
yang "tidak masuk akal" Pegiat HAM Papua menilai kasus kekerasan di Papua dan Papua
Barat terus terjadi lantaran tidak adanya penerapan pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi seperti yang diamanatkan Undang Undang Otonomi Khusus. Pendeta
Yeremia tewas ditembak di Papua, keluarga tuntut pelakunya diadli di peradilan HAM.
Anggota TNI diduga terlibat membunuh pendeta di Papua, kata Komnas HAM
Penembakan pengurus gereja di Papua disebut bisa 'timbulkan antipati warga terhadap
pemerintah Indonesia' Di tengah kondisi demikian, kelompok separatis Persatuan Gerakan
Pembebasan Papua Barat (ULMWP) mengumumkan Pemerintahan Sementara Papua Barat.
Pimpinan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda,
mendeklarasikan diri menjadi presiden sementara Papua Barat mulai 1 Desember 2020,
seraya menolak segala aturan dan kebijakan dari pemerintah Indonesia."Pengumuman ini
menandai perlawanan intensif terhadap koloni Indonesia di Papua Barat sejak 1963," kata
Benny Wenda dalam siaran persnya, Selasa (1/12). Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia terkait Papua, Rosita Dewi, menilai prakarsa pemerintahan sementara ini tak akan
memperoleh dukungan di Papua karena Benny Wenda berada di luar negeri. "Akan sulit
untuk mendapatkan dukungan masif ketika deklarasinya di luar," katanya.
Menurut Rosita saat ini kelompok prokemerdekaan di Papua terpecah, melakukan aksi
politik sendiri "Benny Wenda sebagai ketua ULMWP tidak diakui secara penuh di Papua.
Jadi tidak tidak mendapat dukungan penuh, apalagi gerakan yang bersenjata, seperti OPM itu
jelas tidak mendukung keberadaanya gerakan ini," katanya. TPNPB-OPM bantah klaim tiga
kelompok bersenjata di Papua Barat telah bersatu Kota Oxford beri penghargaan untuk
aktivis pro-kemerdekaan Papua, pemerintah RI mengecam Benny Wenda Sejak 2002, Benny
Wenda mendapat suaka politik di Inggris dan membuka kantor gerakan Papua merdeka di
Oxford pada 2013.

4
2.2 Masalah Papua sejak Melepas NKRI
Pada September 2017, ULMWP pimpinan Benny Wenda mengklaim telah
menyerahkan petisi tentang referendum kepada Komite Dekolonisasi PBB. Petisi itu diklaim
didukung oleh sekitar 1,8 juta warga Papua. "Setelah invasi Indonesia secara ilegal, mereka
mencabut Papua tahun 1963. Jadi rakyat sudah sampaikan kepada Indonesia dan kepada
dunia jumlah yang sudah menyatakan keluar dari bingkai NKRI sehingga kita harus
sampaikan suara mereka ke Komisi 24," jelas Benny Wenda ketika itu dalam wawancara
telepon dari New York dengan BBC Indonesia. Dua hari kemudian, Duta Besar Venezuela—
yang juga menjabat ketua Komite Khusus Dekolonisasi—Rafael Ramirez mengatakan tidak
pernah menerima petisi tentang Papua.
Pada 2019 lalu, Kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi
Papua Merdeka (TPNPB-OPM) membantah klaim Benny Wenda bahwa dia telah
menyatukan tiga kelompok bersenjata, termasuk TPNBP/OPM. Kemudian pada Januari 2019
silam, Wakil juru bicara Badan PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Ravina
Shamdasani, menepis klaim Benny Wenda bahwa dia melakoni pertemuan yang diatur secara
khusus dengan Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet.
1 Desember diperingati sejumlah kalangan sebagai hari kemerdekaan Papua Apa kata
Kantor HAM untuk PBB? Kantor HAM PBB melalui juru bicaranya, Ravina Shamdasani,
menyoroti sejumlah kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat dalam
beberapa bulan terakhir. "Kami terusik dengan meningkatnya kekerasan selama beberapa
pekan dan bulan terakhir di Papua dan Papua Barat, serta meningkatnya risiko kembalinya
ketegangan dan kekerasan," kata Ravina dalam pernyataan kepada media, Senin (30/11)
Pernyataan ini dikeluarkan sehari menjelang 1 Desember, yang dianggap sebagai hari
kemerdekaan Papua oleh sejumlah kalangan. Kasus-kasus yang disoroti antara lain korban
penembakan remaja 17 tahun yang jenazahnya ditemukan di Gunung Limbaga, Distrik
Gome, Papua Barat pada 22 November lalu. Kemudian, rangkaian pembunuhan di mana
enam orang tewas termasuk aktivis, pekerja gereja dan warga pendatang pada September dan
Oktober 2020. Tujuh tapol asal Papua divonis penjara: 'Kami demo tolak rasisme, kenapa
dijadikan seperti teroris?' Cerita mahasiswa Papua di luar negeri soal rasisme: 'Saya ditanya,
di sana masih makan manusia?' 'Hinaan rasis' yang dialami mahasiswi Papua: Semangat
membanggakan Papua 'lebih besar' dari cercaan unjuk rasa sempat diwarnai pemukulan
anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) oleh massa Aliansi Surabaya Melawan
Separatisme (ASMS) yang menyebabkan 19 orang terluka. Unjuk rasa sempat diwarnai

5
pemukulan anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) oleh massa Aliansi Surabaya Melawan
Separatisme (ASMS) yang menyebabkan 19 orang terluka. Korban tewas juga berasal dari
aparat keamanan. "Setidaknya dua anggota keamanan tewas dalam bentrokan," kata Ravina.
Ravina juga mengutip hasil penyelidikan Komnas HAM terkait pembunuhan Pendeta
Yeremia Zanambani di Intan Jaya, yang "mungkin telah dibunuh oleh anggota pasukan
keamanan", dan bahwa pembunuhannya hanyalah salah satu "dari serangkaian kekerasan
yang terjadi di wilayah itu sepanjang tahun ini." Selain kasus pembunuhan, kantor urusan
HAM PBB juga menerima laporan tentang penangkapan aktivis dan pegiat HAM. Setidaknya
84 orang, termasuk Wensislaus Fatuban, pegiat sekaligus penasihan HAM Majelis Rakyat
Papua (MRP) dan tujuh anggota staf MRP, ditangkap dan ditahan pada 17 November oleh
kepolisian di Kabupaten Merauke. Tersangka makar Papua jadi 34 orang: 'Obral' pasal makar
di Papua Doa bersama aspirasi kemerdekaan Papua dibayangi penembakan di tempat terpisah
Peringati 1 Desember Papua, organisasi proPapua merdeka: Hampir 600 orang ditangkap di
berbagai kota Mereka ditangkap menjelang rapat dengar pendapat yang diselenggarakan
MRP mengenai implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus di provinsi Papua dan Papua
Barat. Fatuban dan sejumlah anggota lainnya kemudian dibebaskan pada 18 November.
"Kekerasan dan kasus penangkapan baru-baru ini adalah bagian dari tren yang kami
amati sejak Desember 2018, menyusul terbunuhnya 19 orang yang bekerja di Jalan Tol
Trans-Papua di Kabupaten Nduga oleh oknum bersenjata Papua," kata Ravina. Aksi
kekerasan ini berlanjut pada Agustus 2019 saat protes anti-rasisme berakhir dengan
kekerasan yang meluas di Papua dan di tempat lain setelah penahanan dan perlakuan
diskriminatif terhadap mahasiswa Papua di Jawa. Demo papua
"Pasukan militer dan keamanan telah diperkuat di wilayah tersebut dan telah ada
laporan berulang tentang pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang berlebihan,
penangkapan dan pelecehan dan intimidasi terus menerus terhadap pengunjuk rasa dan
pembela hak asasi manusia," kata Ravina yang mengatakan prihatin terhadap keterlibatan
aparat keamanan dalam kasus kekerasan. Atas laporan tersebut, PBB menyerukan Pemerintah
Indonesia menegakkan hak-hak masyarakat atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan
berserikat secara damai, sejalan dengan kewajiban internasionalnya, terutama menjelang 1
Desember—di mana sering terjadi unjuk rasa, ketegangan dan penangkapan.
"Kami juga meminta pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan menyeluruh,
independen dan tidak memihak pada semua kasus kekerasan, khususnya pembunuhan, dan
untuk semua pelaku—terlepas dari afiliasi mereka—untuk dimintai pertanggungjawaban,"
kata Ravina Selain itu, PBB juga meminta pemerintah ruang dialog "yang bermakna dan

6
inklusif" dengan masyarakat Papua dan Papua Barat untuk menangani persoalan ekonomi,
sosial dan politik yang tak berkesudahan.

2.3 Pemecahan Masalah


Di sisi lain, pemerintah Indonesia mengklaim sudah memberikan perhatian terhadap
persoalan HAM di Papua dan Papua Barat. Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres)
No.9/2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua
Barat.Di dalam Inpres ini disebutkan langkah-langkah pemerintah dalam menangani
persoalan HAM, termasuk membuka ruang dialog. "Ini sebenarnya tahun yang betul-betul
Pak presiden fokus dengan Papua," kata Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Kedeputian V
bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM, Laus Deo Calvin Rumayom,
kepada BBC News Indonesia, Senin (30/11). Namun, langkah-langkah penanganan HAM ini,
kata Laus, terkendala masa pandemi Covid-19. "Ada beberapa pelanggaran HAM berat itu
sudah jadi catatan pemerintah untuk dikerjakan, namun di era Covid itu banyak hal yang
memang tertunda," katanya
Presiden Joko Widodo menyalami sejumlah eks tapol politik asal Papua dalam
pemberian grasi 9 Mei 2015 di Jayapura, Papua Sejauh ini, lanjut Laus, kasus-kasus
pelanggaran HAM sudah masuk ke dalam daftar kepolisian Papua untuk dipetakan menjadi
kasus pelanggaran HAM berat, sedang dan biasa. Pemerintah pusat meminta kasus-kasus ini
dikawal bersama elemen dari daerah. "Harus dikawal gubernur, bupati, DPRD dan MRP
penting sekali mengawal proses-proses yang sebelumnya, sudah dilakukan ada yang sudah
berhasil dan belum berhasil," kata Laus. Pada 2016 silam, Pemerintah Indonesia melalui
Menkopolhukam dan jajarannya berjanji menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM
di Papua, termasuk kasus Biak Numfor 1998 dan peristiwa Paniai 2014

Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus tersebut melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan
Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua,
pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua. "Kita harapkan pandemi cepat berakhir sehingga
agenda-agenda yang sempat tertunda ini bisa menjadi kita melakukan menyelesaikan semua
persoalan yang disampaikan," lanjut Laus. Peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Rosita Dewi, menilai masa pandemi tak bisa dijadikan alasan untuk
menunda penuntasan kasus pelanggaran HAM. "Karena ini sudah ada dari sebelum pandemi
kasus-kasus HAM ini, dan sudah diumumkan pada masanya (Menkopolhukam) Pak Wiranto.
Jadi agak kurang masuk akal kalau masalah HAM yang lalu penanganannya dikatakan
terkendala oleh pandemi," kata Rosita, Senin (30/11). Rosita juga merujuk kasus

7
pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani yang bisa ditelusuri di masa pandemi, meskipun
hasil investigasinya 'yang tidak konkret'. "Pandemi ini memang bisa menjadi hambatan, tapi
seharusnya tidak kemudian menghentikan prosesnya," katanya.

2.4 Ham Bidang Sipil Dan Politik Di Papua


Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2005. Dengan meratifikasi konvensi PBB tersebut
secara otomatis Indonesia mempunyai kewajiban untuk mendorong kemajuan dan penegakan
Hak Asasi Manusia untuk selanjutnya Komnas HAM RI akan melaporkan secara periodik
baik melalui forum multilateral seperti Sidang Dewan HAM PBB, serta Universal Periodic
Review yang dievaluasi secara 4 tahun sekali. Pelanggaran HAK bidang sipil dan politik di
Papua tentu mendapat perhatian sebagaimana pelanggaran HAM yang terjadi di bagian lain
di Indonesia. Selanjutnya akan disampaikan beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Papua dan mendapat perhatian baik oleh Komnas HAM, berbagai akitivis HAM,
serta lembaga internasional.
Konflik politik di Papua tidak begitu saja jatuh dari langit namun berakar dari peristiwa
sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme
yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda. Meskipun kita berpandangan bahwa sejak 1969
melalui Pepera, integrasi politik atas wilayah sudah selesai, namun sebagian kalangan di
Papua dan beberapa elemen internasional menganggap, hingga kini masih belum usai. Hal ini
disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga
konfrontasi dipenuhi dengan sikap koperatif antar penguasa.

2.5 Ham Yang Menjadi Perhatian Internasional Saat Ini


a. Kasus Wasior dan Wamena
Pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu di Papua khususnya peritiwa Wamena
berjumlah 115 orang tewas dan Peristiwa Wasior 71 orang telah ditindak lanjuti oleh
Komnas HAM dengan melakukan penyelidikan melalui Tim Adhoc. Hasil penyelidikan
telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung namun sampai saat ini belum dapat ditindak
lanjuti oleh Kejaksaan Agung. Peristiwa Wamena dan Peristiwa Wasior merupakan
salah satu pemicu timbulnya rasa traumatik atau ingatan akan penderitaan atau memori
buruk yang sampai saat ini masih dituntut penyelesaiannya oleh korban. Peristiwa
Wasior dan Wamena berbeda dengan pelanggaran HAM berat lainnya karena terjadi
setelah tahun 2000 dimana Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang peradilan
HAM dibentuk sehingga peradilannya tanpa harus melalui peradilan HAM adhoc

8
sehingga jika pemerintah berniat menyelesaikan masalah Papua maka penyelesaian
pelanggaran HAM Wasior dan Wamena merupakan salah satu aspek penting yang perlu
mendapat perhatian.
b. Daerah Tertutup bagi Wartawan Asing dan Pengekangan Kebebasan Pers
Sampai saat ini Provinsi Papua masih menjadi daerah yang kebebasannya masih
dikontrol oleh negara. Provinsi Papua masih menjadi daerah yang belum terbuka (blank
spot) dari akses informasi khususnya media asing, atau jurnalistik asing sehingga
berbagai peristiwa terkait hak asasi manusia yang terjadi di Papua belum dapat dipotret
secara objektif dan luas di seluruh dunia. Penekanan demi penekanan juga kerap
dihadapi oleh wartawan lokal sendiri yang bertugas di Papua khususnya media yang
mengadvokasi hak asasi rakyat dan media yang menyuarakan aspirasi mendapat
tantangan oleh pemerintah daerah. Sebutan Media OPM kepada Tabloid Jubi dan
Aprilia Wayar, Wartawati Jubi pada tanggal 17 Agustus 2013 oleh Gubernur Papua
membuka tabir tersebut.
c. Pembungkaman Kebebasan Ekspresi
Akhir-akhir ini kebebasan ekpresi telah dikontrol oleh pemerintah khususnya di
Provinsi Papua dan Papua Barat. Beberapa bulan terkahir ini puluhan aktivis yang
ditangkap atau dihadang sebelum atau saat melakukan demontrasi. Surat ijin
berdemontrasi yang dikeluarkan oleh kepolisian sebagaimana lazimnya di Indonesia
tidak belalu untuk Papua, sebagian besar demonstran yang menuntut keadilan di Papua
ditangkap karena kepolisian tidak mengeluarkan ijin demonstrasi sehingga para aktivis
di Papua meskipun tidak mendapat ijin dari kepolisian namun mereka tetap melakukan
demonstrasi sebagai kelompok Civil Society yang menyuarakan aspirasi. Dalam bulan
ini9 Apolos Sewa Ketua Dewan Adat Maybrat ditangkap dan diinterograsi oleh
Kapolres Sorong, demikian pula tanggal 16 September sejumlah 16 anggota KNPB
ditangkap oleh aparat kepolisian di Papua, demikian pula di Merauke masyarakat yang
menolak kehadiran proyek MIFE dikawasan hunian suku Malind Anim beri stigma
sebagai anggota OPM.
d. Masalah Tahanan Politik di Papua
Sampai saat ini sebanyak 36 tahanan politik Papua yang ada di berbagai lembaga
pemasyarakatan. Mereka dikenakan pasal makar atau kelompok yang diduga
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indoensia. Dari berbagai pantauan
yang dilakuan oleh lembagalembaga NGO dan juga komnas HAM, ternyata kehidupan
para tahanan politik di lembaga pemasyarakatan baik di Abepura, Nabire, Sorong

9
Manokwari, Wamena dan beberapa kabupaten lainnya sangat memprihatinkan. Ruang
Tahanan mereka sangat memprihatinkan. Kenyamanan, kesehatan dan jaminan
kebutuhan kurang layak, akibatnya ada yang meninggal dalam tahanan atau di lembaga
pemasyarakatan karena perawatan kesehatan yang kurang memadai dan juga karena
adanya tekanan fisik maupun psikis. Hal ini telah menjadi perhatian komnas HAM agar
para tahanan politik diperlakukan secara manusiawi dan juga komnas telah
memperjuangkan suatu amnesti para tahanan politik tanpa bersyarat kepada presiden
sebagai bagian dari solusi damai di Papua.

2.6 Ham Bidang Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya Di Papua


Sumber Daya Alam Papua Yang Berlimpah

Menurut data Bappeda Papua pada tahun 2009, Sumber Daya Alam (SDA) di Papua
saat ini terdapat sebanyak 2,5 miliar ton kandungan cadangan bahan tambang emas dan
tembaga (konsesi Freeport saja), dan Tambang Tangguh juga memiliki cadangan gas 14,4
triliun kaki kubik dari enam lapangan atau sebanyak 24 TSCF dari total nasional 108 TSCF.
Sebanyak 540 juta meter kubik potensi lestari kayu komersial, dan 9 juta hektar hutan
konversi perkebunan skala besar, selain itu dengan panjang pantai 2 ribu mill dan luas
perairan 228 ribu kilometer persegi dan Papua memiliki potensi perikanan 1,3 juta ton per
tahun.

Provinsi Papua dan Papua Barat Termiskin di Indonesia

Di Provinsi Papua, dari 2 juta lebih penduduk yang ada saat ini, hampir setengah
penduduk Papua yaitu 40,78% hidup dengan status Rumah Tangga Miskin (RTM).
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2010 menunjukkan Provinsi
Papua merupakan provinsi termiskin nomor 2 di Indonesia yakni 34,88% setelah Papua Barat
Provinsi Papua Barat 35,71% pada tahun 2009. Sedangkan bila dibandingkan dengan
provinsi-provinsi yang sumber daya alamnya lebih rendah dari Papua justru angka
kemiskinan lebih baik, misalnya Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 23,03%, Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB) 21,55%, Provinsi Bangka Belitung 18,94%. Padahal saat ini
Papua dan Papua Barat adalah Provinsi dengan kewenangan Otonomi Khusus (UU 21 Tahun
2001) dengan dana pembangunan perkapita tertinggi di Indonesia. Total dana Otonomi
Khusus 2002-2009 sebesar 9,353 triliun dan infrastruktur 2007-2009 dengan dana 2,5 triliun.
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah Provinsi Papua
adalah Indeks Keparahan Kemiskinan (IKK) di Provinsi Papua yang juga paling tinggi di

10
Indonesia yaitu sebesar 2.99% dan Indeks keparahan kemiskinan pada Maret 2009 sebesar
3,57. Bila dibandingkan dengan Provinsi Lainnya maupun juga secara nasional, Indeks
Keparahan Kemiskinan hanya 0.68% sampai dengan 1% saja.

Tingkat Inflasi dan Biaya Hidup Tertinggi

Tinggi-rendahnya tingkat inflasi dapat mempengaruhi stabilitas harga barang dan jasa di
suatu daerah. Stabilitas harga di Provinsi Papua dan Papua Barat selain disebabkan karena
peningkatan inflasi tiap tahun, juga diakibatkan karena jarak tempuh distribusi barang dan
jasa dari pusat-pusat produksi ke kedua Provinsi yang sangat jauh sehingga memakan
besarnya biaya transportasi.

Provinsi Papua dan Papua Barat, harga semen 1 sak di Jayapura Rp70.000; Wamena
Rp500.000; Puncak Jaya Rp1.200.000; Maybrat Rp150.000. Harga beras bermerek berisi 25
kilogram Rp750.000-Rp.800.000 per karung di Puncak Jaya, Maybrat Rp250.000 sedangkan
di Jakarta beras yang bermerek dan bermutu tinggi seperti Pandanwangi atau Rojolele untuk
25 kilogram hanya Rp80.000,- per karung. Di Pegunungan Bintang, harga minyak bensin
untuk 1 liter mencapai Rp40.000, sedangkan saat ini harga nasional hanya Rp4.500,-.
Melambungnya harga barang di daerah pedalaman Papua selain karena adanya inflasi yang
tinggi, juga karena moda transportasi untuk melayani penduduk pedalaman Papua hanya
dilalui melalui jaringan transportasi udara. Sementara itu, pemerintah Provinsi Papua dan
Papua Barat belum mampu melakukan upaya pengendalian jalur distribusi barang dari pusat
produksi sampai di konsumen di wilayah Papua. Padahal pedalaman Papua memiliki
kepadatan penduduk yang cukup tinggi yang berarti merupakan konsumen terbesar di Papua.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kita harus mengakui bahwa sampai saat ini Papua masih berada dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1969 meskipun melalui proses integrasi yang
dipahami oleh sebagian masyarakat Papua sebagai sebuh proses yang cacat moral dan
hukum. Sejak Papua berintegrasi proses pembangunan integrasi politik dilakukan dengan
pendekatan keamanan dibandingkan pendekatan kesejahteraan. Pendekatan Keamanan sangat
mempengaruhi labilitas integrasi karena justru berbagai pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana digambarkan di atas timbul sebagai tragedi dan trauma kemanusiaan
berlangsung sampai dengan saat ini. Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia seringkali
menjadi perhatian berbagai komunitas yang peduli terhadap hak asasi manusia termasuk
lembaga atau negara lain.
Komisi hak asasi manusia sejak tahun 2000 secara serius mendokumentasikan atau
memotret kondisi riil pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah saya
gambarkan di atas. Belum tuntasnya kasus pelanggaran HAM Wasior dan Wamena melalui
Peradilan HAM, berbagai pelanggaran HAM pada masa Daerah Operasi Militer menjadi
perhatian Komnas HAM karena Indonesia sebagai negara dibawah naungan PBB dengan
dasar sebagai negara pihak yang menandatangi berbagai konvensi PBB lainnya maka
berkewajiban melaporkan pelanggaran HAM di Indoensia kepada negara-negara lain di
Forum PBB. Dan untuk pelanggaran HAM di Papua, Pemerintah belum melakukan upaya
perbaikan secara konkrit untuk terciptanya iklim kondusif bagi kemajuan Hak Asasi Manusia
di tanah Papua.
Komnas Hak Asasi Manusia menawarkan solusi damai bagi tanah Papua melalui dialog
antara Jakarta dan masyarakat Papua seperti diinginkan oleh sebagian tokoh intelektual Papua
untuk membicarakan 4 variabel persoalan yang dikemukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Sebagaimana sebagian besar soal telah di jelaskan di atas. Dialog Jakarta
Papua juga tidak membicarakan masalah Kemerdekaan Papua dan integrasi yang Masyarakat
Papua lebih mendukung dialog dengan tujuan terciptanya tanah Papua yang damai tanpa
kekerasan, tanpa pelanggaran HAM dan tanpa kejahatan, tanpa rintihan, ratapan, tangisan,
kesedihan. Dialog yang dilaksanakan tentu berpedoman pada prinsip-prinsip universal seperti

12
cinta kasih (compassion), kebebasan (freedom), keadilan (justice), dan kebenaran (intruth)
bagi terciptanya dialog yang damai (peaceful dialogue).

3.2 Saran
1. Dialog Jakarta – Papua yaitu untuk menuntut hak keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat Papua dan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM baik masa
lalu maupun masa yang akan datang.
2. Perlu ada pengadilan HAM di Provinsi Papua karena jarak antara Jakarta dan Papua
cukup jauh.

13
DAFTAR PUSTAKA

Amirudin dan Aderito Jesus De Soares, Perjuangan Amugme, Antara Freeport dan Militer,
ELSAM, Jakarta, 2003.
Hasil pengamatan lapangan Tim Komnas HAM di Biak Barat, 26 November 2008.

Robin Osborne, Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat, Elsam, Jakarta, 2001, hal.142-155.
Muridjan S. Widjojo, Non State Actors and the Cycle of Violence in Papua, LIPI, 2006.

14

Anda mungkin juga menyukai