(Makalah)
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Masa Awal
Kemerdekaan Sampai Demokrasi Terpimpin yang diampu oleh
Oleh
NIM 1800025 Maula Hasbiya Ajrina NIM 1805133 Dinda Rahmalia Sudiana
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentu kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
nikmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran. Dengan itu, kami
mampu menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Sejarah
Indonesia Masa Awal Kemerdekaan Sampai Demokrasi Terpimpin.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan maupun
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca.
i
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................4
PEMBAHASAN...........................................................................................................4
2.1. Partai Komunis Indonesia (PKI)..............................................................4
BAB III.......................................................................................................................22
PENUTUP..................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................22
3.2 Saran........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................23
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kabinet silih berganti, jatuh bangun oleh para oposisi yang siap sedia
melayangkan mosi tidak percaya apabila kedapatan menyimpang mengindikasikan
kepentingan adalah diatas segala-galanya. Ketegangan demi ketegangan diantara
partai politik membuat presiden Soekarno harus turun tangan untuk memperbaikinya.
Hal ini dibuktikan dengan keputusannya mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal
5 Juli 1959 yang menunjukkan sudah jatuhnya persatuan yang selama ini diimpikan.
Adapun isi dari Dekrit Presiden ini yaitu pembubaran konstituante, pemberlakuan
1
kembali UUD 1945, pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara), dan pembentukan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
Dekrit ini juga sekaligus menjadi penanda bahwa telah terjadi perubahan
rezim politik dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, serta membuat
presiden Soekarno memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Banyak langkah yang
dilakukan olehnya untuk kembali memulihkan keadaan yang selama ini sudah begitu
kacau terutama dalam bidang politik. Demokrasi Terpimpin ditujukan untuk
menciptakan pemerintahan yang terpimpin dan terarah agar pembangunan nasional
dapat terwujudkan secara terarah pula.
1.2.1 Bagaimana kiprah Partai Komunis Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?
1.2.2 Bagaimana kiprah Partai Nasional Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?
1.2.3 Bagaimana kiprah Partai Nahdlatul Ulama pada masa Demokrasi Terpimpin?
1.2.5 Bagaimana kiprah Partai Kristen Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?
1.2.6 Bagaimana kiprah Partai Sosialis Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?
1.3.1 Untuk mengetahui kiprah Partai Komunis Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.
2
1.3.2 Untuk mengetahui kiprah Partai Nasional Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.
1.3.3 Untuk mengetahui kiprah Partai Nahdlatul Ulama pada masa Demokrasi
Terpimpin.
1.3.4 Untuk mengetahui kiprah Partai Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.
1.3.5 Untuk mengetahui kiprah Partai Kristen Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.
1.3.6 Untuk mengetahui kiprah Partai Sosialis Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.
1.3.7 Untuk mengetahui kiprah Partai Murba pada masa Demokrasi Terpimpin
1.4.2 Pembaca atau dosen, sebagai media informasi tentang pemahaman awal
mengenai Partai-Partai Politik di Era Demokrasi Terpimpin.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah Perang Dunia II usai, masyarakat global dihadapkan pada dua blok
kekuatan besar yang saling berlawanan satu sama lain. Amerika Serikat dengan
ideologi liberal kapitalis dan Uni Soviet dengan sosialis komunis membawa pengaruh
yang sangat kuat khususnya pada negara dunia ketiga. Meskipun demikian, Indonesia
yang menganut politik luar negeri bebas aktif dengan tegas menyatakan ketidak
berpihakannya pada salah satu kubu. Namun seiring berjalannya waktu, hal ini justru
malah kedapatan disalahi dan dilanggar yang ditandai dengan kedekatan pemimpin
bangsa (Soekarno) pada blok kiri.
4
lainnya yang ingin menambah kekuatannya dalam konstelasi politik masa Demokrasi
Terpimpin. Selain itu melalui konsep Nasakom ini pula lah yang memberikan ruang
bebas bagi perkembangan paham komunis di Indonesia (Nugroho, 2020, hlm. 2).
5
Kiranya perolehan suara yang banyak ini merupakan salah satu usaha yang
dilakukan oleh PKI dalam merekrut massa buruh tani. Sejak tahun 1950-an PKI
mengadakan penggalangan kekuatan massa di desa-desa. Penggalangan ini diadakan
dengan pertimbangan penduduk pedesaan meliputi 80% dari penduduk Indonesia dan
oleh sebab itu, peran mereka tidak dapat diabaikan. Desa adalah sumber tenaga,
sumber bahan keperluan hidup, serta pangkalan kekuatan revolusi atau pangkalan
tempat bertahan dari serangan kaum kontrarevolusi (Poesponegoro dan Notosusanto,
2008, hlm. 473). PKI memulai infiltrasinya terhadap tubuh Barisan Tani Indonesia
(BTI), ketika dipimpin oleh Sadjarwo dari PNI dengan slogannya yang menarik
perhatian yakni “tanah untuk petani”. PKI kemudian berhasil menjadikan BTI
sepenuhnya menjadi ormas PKI.
6
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), membentuk MKGR (Musyawarah
Kekeluargaan Gotong-Royong), Kosgoro (Koperasi Serba Guna Gotong-Royong),
dna Gakari (Gerakan Karyawan Indonesia).
Berdasarkan kondisi ini beberapa pengamat seperti Feith (dalam Ilmar, 2018,
hlm. 12) menyatakan pada masa Demokrasi Terpimpin terbentuk suatu segitiga
kekuasaan yaitu Soekarno, TNI AD, dan PKI. Soekarno dalam hal ini memang
ditempatkan pada posisi puncak segitiga, tetapi dalam pelaksanaannya konsepsi
Soekarno dan TNI AD adalah dua muka Demokrasi Terpimpin yang dijalankan.
Konsep Nasakom yang digagas Soekarno, menjadikan eksistensi PKI begitu kuat dan
berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia. Dukungan penuh terus diberikan oleh PKI
agar dapat melanggengkan kekuasaannya, sehingga hal inilah yang membuat TNI AD
merasa geram karena perlakuannya yang begitu diistimewakan dan memunculkan
tiga kekuatan yang saling bersaing untuk kepentingannya masing-masing.
Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah salah satu dari 4 partai besar yang
mendominasi suara dalam pemilu tahun 1955 khususnya di Semarang. Pada tanggal 4
Juli 1927 Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia mementingkan
kemerdekaan bagi Indonesia (Wibowo, 2005, hlm. 21). Tujuan didirikannya Partai
Nasional Indonesia adalah untuk kemandirian ekonomi dan politik kepulauan
Indonesia. Ini akan dicapai dengan tidak bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda. Pada akhir tahun 1929, Partai Nasional Indonesia memiliki 10.000 anggota.
Hal ini membuat khawatir pihak pemerintah kolonial pada masa itu, dan Soekarno
serta tujuh pemimpin partai ditangkap pada Desember 1929. Mereka diadili karena
dianggap mengancam ketertiban umum dan pada September 1930 menerima
hukuman satu sampai tiga tahun, di mana Soekarno mendapat hukuman paling lama.
Tanpa pemimpinnya, partai itu lumpuh. Berharap awal yang baru bebas dari stigma
putusan pengadilan terhadapnya, pada kongres partai luar biasa pada 25 April 1931
Partai Nasional Indonesia dibubarkan (Ricklefs, 2008, hlm. 204-206).
7
Partai Nasional Indonesia dihidupkan kembali sebagai gabungan dari Serikat
Rakyat Indonesia (Serindo) yang baru dibentuk dan sejumlah partai kecil pada
tanggal 29 Januari 1946. Kali ini, bersama aktivis dari partai-partai termasuk Parindra
dan Partindo, namun kali ini tanpa Soekarno yang sebagai presiden, berada di atas
politik. Partai ini mendapat dukungan yang cukup besar karena memiliki nama yang
sama dengan partai asal Soekarno dan juga partai yang berumur pendek pada Agustus
1945. Partai ini didukung oleh sebagian besar pejabat administrasi republik yang
pernah menjadi anggota Hindia belanda serta bawahan mereka dan mantan anggota
partai sebelum perang. Dukungan lainnya datang dari kelas menengah Indonesia dan
sayap kiri. Cakupan keanggotaan yang luas inilah yang membuat partai ini agak
“berat”. Kepemimpinan secara politis lebih dekat ke sayap kiripatai. Selama Revolusi
Nasional indonesia, partai ini menentang negoisasi dengan Belanda dan tidak setuju
dengan sikap sosialis dari kabinet Indonesia awal. Kepemimpinannya yang
didominasi oleh tokoh-tokoh dari PNI dan Partindo lama memberikan sikap
“nasionalis radikal” kepada partai tersebut (Kahin, 1952, hlm. 155-156).
8
bergantung pada dukungan PNI-Masyumi: PNI adalah negara pro-kesatuan, tetapi
Hatta dan Masyumi lebih berhati-hati. Sejak April 1950, ada perbedaan yang semakin
besar antara PNI dan Masyumi. Pada bulan Juli, sekelompok anggota PNI yang tidak
puas dengan terpilihnya Sidik Djojosukarto sebagai ketua umum memisahkan diri
dan membentuk Partai Nasional Indonesia Merdeka (PNI Merdeka), kemudian
berganti nama menjadi Partai Rakyat Nasional (PRN). Hal ini membuat kaum
radikal-nasionalis seperti ketua Sidik Djojosukarto memiliki kendali yang lbih besar
atas partai tersebut (Kahin, 1952, hlm. 322-324).
9
NU melakukannya dengan pendekatan mazhab. NU mengakui keempat mazhab,
tetapi dalam praktiknya NU banyak mengambil dari Mazhab Imam Syafi’i. NU
melestarikan tradisi-tradisi keislaman khas Nusantara dan juga mewarisi pemikiran
para ulama Nusantara di zaman dulu.
Politik Nahdlatul Ulama menapaki jalan barunya sebagai partai mandiri sejak
1952. Jalan yang ditempuh tak semudah yang dibayangkan meski membawa nama
besar NU dan banyaknya massa NU. Seperti yang dikemukakan oleh Fealy (2012,
hlm. 135) guna memikat pengikutnya yang masih “berkeliaran” di Masyumi, maka
mereka mengirimi surat pribadi dari PBNU serta mengunjungi para petinggi partai
untuk membujuk mereka untuk kembali ke NU. Strategi lain guna mengatasi
kekurangan anggota terampil di NU, maka mereka merekrut para tenaga profesional
yang bukan anggota. Namun, secara resmi perekrutan anggota tetap dibatasi hanya
dari kalangan tradisionalis yang menjalankan syari’at Islam serta memiliki karakter
yang baik. Pada tahap ini dapat dikatakan bahwa PBNU dalam tahap frustasi.
10
Tahun pertama NU merupakan masa yang penuh dengan cobaan. Persoalan-
persoalan yang hadir dipandang berkaitan dengan posisi NU sebagai partai oposisi
kala itu. Melihat anggapan dan juga hasil yang didapatkan selama tahun pertama
tersebut, maka secara perlahan NU pun menjalin kedekatan dengan PNI dan partai
politik nasionalis lainnya. Kedekatan NU dengan PNI melawan Masyumi ini
membawa dinamika baru dalam kancah perpolitikan Indonesia kala itu.
Pemilu untuk pertama kalinya digelar pada 1955, kampanye dilakukan oleh
setiap parpol guna menarik suara agar dapat duduk dalam kursi pemerintahan secara
legal. NU pun setali tiga uang melakukan kampanye dengan cara yang digunakan NU
untuk berkampanye sangat menekankan politik sebagai sarana untuk menjalankan
ajaran Islam.
Pemilihan umum pertama tersebut digelar pada 1955 dan secara mengejutkan
NU muncul sebagai partai dengan raihan suara terbesar ketiga dengan 18% perolehan
suara dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen, dimana hanya memiliki selisih
4% dari Masyumi yang berada diurutan kedua (Barton dan Felay, 1997, hlm. 2).
Kemenangan terbesar NU diraih di Jawa Timur dengan perolehan suara 3.370.554,
diikuti oleh Jawa tengah, Jawa Barat diposisi kedua dan ketiga (Sujati, 2020, hlm.
116). Cukup diwajarkan jika NU mendapatkan kemenangan yang besar di Jawa
Timur karena merupakan daerah basis pesantren dengan dukungan yang sangat
militan terhadap NU.
11
Dekrit presiden 1959 membawa perubahan terhadap struktur politik di
Indonesia. begitupun dengan NU yang mengalami demoralisasi ketika tatanan
Demokrasi Terpimpin diberlakukan. Kala itu, kepemimpinan NU didominasi oleh
para kiai dan politisi dengan karakter yang sangat berhati-hati serta memiliki
kemauan untuk berkompromi dalam politik. Ketika dekrit presiden diumumkan, NU
memilih bersikap diam untuk melihat reaksi masyarakat. Sebelum akhirnya
memberikan pernyataan resmi menerima dekrit presiden tersebut. Memasuki
pertengahan 1960 PNI, NU dan PKI terlihat menjadi sekutu Soekarto. Kerjasama ini
diprakarsai dengan semboyan NASAKOM. Aliansi ini harus hadir guna mewakili
aspirasi aliran-aliran politik di tengah masyarakata. Representasi nasionalis diwakili
oleh PNI, agama diwakili oleh NU dan komunis diwakili oleh PKI (Puspitasari, 2016,
hlm. 35-36).
12
dalam menjalankan lembaga politik DPRGR yaitu dengan membentuk golongan
Islam dalam DPRGR pada tahun 1960. Pada masa demokrasi terpimpin ini pula, NU
mengukir sebuah prestasi dengan berdirinya IAIN (Institut Agama Islam Negeri)
pada 24 Agustus 1960 dengan kota Yogyakarta sebagai pusatnya.
13
Masyumi mengalami pengurangan anggota ketika Nahdatul Ulama (NU) keluar
dari Masyumi pada 1952. Keluarnya NU dari Masyumi dikarenakan kurang
terakomodasinya keinginan dan kepentingan NU dalam Masyumi. Dari hal ini,
terdapat ketimpangan struktur organisasi Masyumi yang dirasa tidak wajar, selain
karena kurang terwakilnya tokoh-tokoh NU di tingkat pimpinan partai, suara NU pun
sering tidak mendapat tempat dalam keputusan politik Masyumi dan tidak
terpenuhinya tuntutan dari kalangan NU agar kursi menteri agama diserahkan kepada
mereka. Sehingga hal ini lah yang menjadi puncak ketidakpuasan NU terhadap
Masyumi (Siregar, 2013, hlm. 95).
14
Pada 31 Desember 1959, Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 7 Tahun
1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kapertaian. Penpres ini terdiri atas
dua diktum pertama, mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945
tentang anjuran pembentukan partai politik dan kedua, menetapkan Presiden tentang
Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian (Pratiwi, 2016, hlm. 1063).
Pembubaran partai ini disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan ialah partai
yang memberontak. Namun Soekarno meminta untuk menambahkan “sedang” di
depan kata “memberontak”, penambahan kata ini dimaksudkan karena para
pemimpin partai tersebut turut andil dalam pemberontakan. Hal ini dimaksudkan
bahwa sebuah partai dapat dibubarkan apabila partai tersebut bertentangan dengan
asas dan tujuan negara atau programnya atau bermaksud untuk merombak asas dan
tujuan negara (Kusumaningrum, 2019, hlm. 22).
15
diatur oleh para penguasa, khususnya orang Kristen asal Eropa. Sebagian besar gereja
yang terbentuk pada awal abad ke 19 merupakan hasil pekerjaan zending (badan
penginjilan) yang datang dari Belanda, Inggris dan Jerman dengan semangat
kesalehan dan kesucian hidup (pietisme) dan kebangunan rohani (revival). Para
zending tersebut menganggap bahwa kehidupan duniawi itu kotor, sehingga orang
Kristen pribumi tidak dianjurkan untuk terjun ke dunia politik. Satu-satunya badan
zanding yang mendorong warganya untuk terjun di bidang politik praktis yakni
Zending GKN (Zending Der Gereformeerde Kerken In Nederland atau yang berarti
Gereja Gereformeerd Belanda) yang dipimpin oleh seorang polilitikus, Abraham
Kuyper (Aritonang, 2009, 192-193).
16
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah RI mengeluarkan
maklumat untuk mempersilahkan pembentukan partai. Pada November 1945, para
tokoh Kristen berkumpul di Kramat Raya untuk membicarakan pembentukan partai.
Adanya ketidaksepahaman antara kaum protestan dengan katolik, maka kalangan
protestan bersepakat membentuk Partai Kristen Nasional (PKN) yang dipimpin Dr.
W. Z. Johanes. Kemudian pada kongres yang pertama 6-7 Desember 1945 mereka
sepakat untuk mengubahnya menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dengan
dasar Alkitab dan tujuannya untuk mempertahankan RI dalam perdamaian dunia dan
berusaha mencapai keadilan (Aritonang, 2009, hlm. 194).
Orang kristen yang berada dalam pusaran politik melalui Parkindo ini
berusaha mempertahankan hubungan baik dengan presiden sebagai kepala negara
dengan mengundangnya untuk menghadiri acara yang bersifat nasional untuk
menjamin kebebasan beragama. Hubungan dengan Presiden tersebut dijadikan sarana
bagi orang Kristen untuk memberikan dukungan politik presiden yang
mengumumkan revolusi dan meluncurkan Demokrasi Terpimpin serta Manifesto
Politik. Pada Konferensi Pendeta di Solo dijadikan sebagai peresmian indoktrinasi
Manipol Usdek oleh Dewan Penerangan dan Lembaga Pembina Jiwa Revolusi.
Ajaran Manipol Usdek ini dianjurkan untuk disebarkan oleh Pendeta melalui mimbar
gereja. Mereka menganggap bahwa Manipol Usdek ini pararel dengan tujuan dari
pembentukan Parkindo. Sikap para pendeta dan jemaat nya terlihat bahwa mereka
belum siap untuk menghadapi infiltrasi politik ke dalam gereja. Demokrasi Terpimpin
yang mengarahkan pemusatan kekuasaan di tangan satu orang tidak bisa dihindarkan
(Hakh, 2018, hlm. 6).
Partisipasi politik kalangan Kristen bukan hanya sampai disitu saja, pada saat
pemilu 1955 pun Parkindo turut memberikan partisipasinya untuk terlibat dalam
pemilu tersebut. Aspirasi politik Parkindo didukung oleh Dewan Gereja Indonesia
(DGI). Gereja Protestan pun turut mendukung Parkindo. Pemilu yang berlangsung
dua tahap, pemilihan parlemen pada 29 September 1955, dan pemilihan konstituante
15 Desember 1955. Perolehan suara Parkindo tidak cukup besar, hanya sekitar 2,6%
17
(satu juta suara) yang sebagian besar diperoleh dari daerah yang penduduknya
beragama Kristen. Walaupun tidak menang, namun keseriusan perjuangan wakil
mereka ini bahu membahu untuk mempertahankan pancasila dan membendung umat
islam untuk memulihkan Piagam Jakarta (Aritonang, 2009, hlm. 196-197).
Dalam situasi politik tersebut, orang Kristen bersama gereja memiliki empat
tugas, diantaranya pertama gereja dan orang kristen melakukan pencegahan
pendewaan terhadap negara, kedua, gereja messti bersungguh-sungguh untuk menjadi
eklesia dalam mengingatkan kepada seluruh pihak bahwa negara dapat mengatasi
kejahatan, ketiga, hadirnya orang kristen dalam politik untuk melayani seluruh orang
berdasarkan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kesetiaan, keempat, gereja dapat
menyediakan tempat pertemuan untuk golongan politik mengenai kebijaksanaan
negara dalam arti gereja dapat memfasilitasi pertemuan seluruh golongan politik.
Walaupun gereja tidak mengambil bagian dalam politik praktis, namun gereja dapat
menggugah hati nurani masyarakat dan menyatakan kehendak Tuhan yang
berpedoman pada keadilan dan kebenaran sehingga orang Kristen dapat bertanggung
jawab dalam bidang politik (Hakh, 2018, hlm. 8-10).
Pada masa pemilihan umum pertama pada 29 September 1955. PSI hanya
mampu memperoleh 2% suara dalam pemilihan umum tersebut. Sutan Sjahrir
18
menganggap kekalahan tersebut dikarenakan kesadaran politik para pemilih, terlebih
para pemilih mudah dipengaruhi oleh tokoh agama dan pamong praja (Setiawan,
2020, hlm. 7). Selain itu menurut Anwar (2010, hlm. 111), kekalahan PSI juga
diakibatkan oleh pemikiran Sutan Sjahrir yang hanya menjangkau kaum intelektual
dan mengabaikan masyarakat luas.
Sutan Sjahrir dan para petinggi PSI di Jakarta tak dapat mencegah anggotanya
berpartisipasi dalam pemberontakan PRRI-Permesta tersebut. Akibatnya, pada
tanggal 21 Juli 1960, Presiden Soekarno memanggil para petinggi PSI yakni Sutan
Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, dan T.A Murad untuk dimintai
pertanggungjawabannya atas partisipasi PSI dalam pemberontakan PRII-Permesta.
Para petinggi PSI kemudian memberikan pernyataan tertulis kepada Presiden
Soekarno sebagai bantahan partisipasi PSI dalam pemberontakan. Namun, Soekarno
tidak puas dengan jawaban mereka lalu mengesahkan keputusan presiden no. 201
tahun 1960, Keppres ini berisi tuntutan pembubaran PSI. Alasan Soekarno
membubarkan PSI dilatarbelakangi oleh dua hal yakni penerapan Pasal 9 Penpres
no.7 tahun 1959 yang berisi penyederhanaan partai politik di Indonesia dan
19
ketidakmampuan PSI untuk membantah partisipasinya dalam Pemberontakan PRRI-
Permesta (Setiawan, 2020, hlm. 8).
Para petinggi dan anggota partai lalu menerima permintaan Soekarno dan
mempersiapkan pembubaran PSI. Langkah yang dilakukan PSI untuk membubarkan
partainya ialah mengajukan permohonan izin kepada Penguasa Perang Tertinggi
untuk mengadakan kongres pembubaran PSI dengan surat Partai Sosialis Indonesia
No. K.089/1960. Namun izin tersebut ditolak oleh Penguasa Perang Tertinggi dengan
surat No. 0612/PEPERTI/1960 yang berisi penolakan izin PSI untuk mengadakan
kongres pembubaran PSI, hal ini didasarkan pada status PSI yang telah dibubarkan
secara resmi oleh pemerintah RI. Oleh sebab itu, para petinggi PSI kemudian
mengeluarkan pernyataan melalui radiogram kepada cabang-cabang PSI di seluruh
daerah di Indonesia yakni pembubaran PSI dan memerintahkan mantan anggotanya
untuk mematuhi Keppres no.201 tahun 1960 (Setiawan, 2020, hlm. 8).
Partai Murba sendiri pada awal pendiriaannya didirikan oleh Tan Malaka pada 7
November 1948. Pada awal pendiriannya sendiri partai ini menampilkan orientasi
politiknya yang revosioner dalam memperjuangkan gagasan dan cita citanya.
Pemikiran revosioner Tan Malaka jugalah yang membentuk ideologi pada partai ini.
Hal unik lainya dari partai ini sendiri adalah keberadaan partai ini sudah berdiri jauh
sebelum Hatta mendorong terbntuknya partai politik pada November 1945.
Meski keberadaan Tan Malaka sendiri sudah tidak ada dikarenakan menjadi
perlawanannya terhadap pemerintah republik Indonesia. Hal ini tidak menjadikan
partai murba mengalami pembubaran. Hal ini dapat dilihat khususnya pada masa
demokrasi terpimpin dimana partai ini mencapai puncak kejayaannya. Keberadaan
tokoh tokoh penting seperti Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, dan juga Priyono
yang membuat partai ini tetap bertahan.
20
Chaerul Saleh sendiri pada masa demokrasi terpimpin menjabat sebagai ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan juga Priyono menjabat
sebagai menteri Pendidikan dan kebudayaan. Keberadaan posisi partai Murba ini bisa
dikatakan menjadi poros penyeimbang dari tingginya pengaruh PKI dalam kabinet
(Syifa,2021,hlm.6-7).
Dilihat dari jumlah anggota dan cabang yang meliputu tingkat II, partai ini
merupakan partai keempat dari delapan partai yang telah diakui sah berdasarkan
Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960. Jumlah anggota dan cabang partai
Murba disahkan oleh panitia tiga menteri adalah : 1) anggota 208.152; 2) Daerah
tingkat I sebanyak 18; 3) Daerah tingkat II sebanyak 91 (Putra,2009,hlm.77-78).
Partai Murba mendapat serangan telak dari PKI dimana pada saat tersebut
partai Murba bekerja sama dengan militer dan mendirikan Badan Pendukung
Sukarnoisme (BPS) dimana badan ini dituduh oleh Soekarno sebagai badan agen CIA
(Intelejen Amerika Serikat) dan menganggap Sukarnoisme merupakan istilah untuk
membunuh Sukarnoisme itu sendiri. PKI berhasil mempengaruhi Soekarno untuk
membekukan organisasi organisasi yang sebelumnya mendukung badan tersebut
21
hingga akhirnya semua organisasi yang mendukung badan tersebut juga ikut
dibekukan dimana salah satunya Partai Murba yang dibekukan pada September 1965
(Syifa,2021,hlm.7).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
baik materi atau struktur penulisan. Kritik dan saran membangun sangat kami
perlukan untuk menunjang perbaikan penulisan kedepannya. Terimakasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah yang belum
sempurna ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
Buku
23
Poesponegoro, M.D & Notosusanto, N. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Ridwan, N.K. (2020). Ensiklopedia Khittah NU jilid IV. Yogyakarta: Diva Press.
Artikel Jurnal
Aritonang, J. S. (2009). Minat dan Pilihan Politik Orang Kristen Indonesia 1955–
2009 Sebuah Kajian Historis-Teologis. Tudia Philosophica Et Theologica.
9(2), 191-213.
Goncing, N. (2015). Politik Nahdatul Ulama dan Orde Baru. Jurnal Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Indonesia, 1(1), 61-74.
Hakh, S. B. (2018). Peranan Orang Kristen dalam Pusaran Politik di Indonesia (Suatu
Tinjauan Historis -Teologis). Voice of Wesley Jurnal Ilmiah Musik dan
Agama, 2(1), 1-14.
Ilmar, A. (2018). Demokrasi Terpimpin dalam Pemikiran dan Praktik Politik. Jurnal
Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Jakarta, 4(1), 1-18.
Pramudia, F.O., Sinaga, R.M., & Susanto, H. (2019). Dampak Perang Vietnam
Terhadap Perkembangan Komunisme di Indonesia 1957-1966. Journal of
Pesagi: Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 7(2).
24
Pratiwi, S. (2016). Pembubaran Partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi
Terpimpin. AVATARA, 4(3). 1059-1072
Siregar, I.F., (2013). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Partai Masyumi (1945-
1960). Thaqafiyyat, 14(1). 88-103
Sujati, B. (2020). Dinamika Partai Nahdlatul Ulama pada Pemilihan Umum 1955 di
Jawa Barat. Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam. 8(1). 102-
126. doi: 10.24235/tamaddun.v8i1.6138.g2952
Skripsi
Puspitasari, K.N.D. (2016). Peranan Nahdlatul Ulama Dalam Politik Indonesia Pada
Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. (Skripsi). Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Jember.
Internet
25
dukung-demokrasi-terpimpin-tan-malaka-jadi-pahlawan-nasional-
PzMWy/page/1
26