Anda di halaman 1dari 30

PARTAI-PARTAI POLITIK DI ERA DEMOKRASI TERPIMPIN

(Makalah)

disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Masa Awal
Kemerdekaan Sampai Demokrasi Terpimpin yang diampu oleh

Prof. Dr. Didin Saripudin, M.Si

Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.Si

Oleh

NIM 1800025 Maula Hasbiya Ajrina NIM 1805133 Dinda Rahmalia Sudiana

NIM 1800159 Zalfa Rizka Safitri NIM 1805328 Akbar Maulana

NIM 1800451 Kevin Daniel NIM 1806393 Anwar Firdaus Mutawally

NIM 1803961 Vira Anindhita Winata

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentu kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
nikmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran. Dengan itu, kami
mampu menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Sejarah
Indonesia Masa Awal Kemerdekaan Sampai Demokrasi Terpimpin.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan maupun
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca.

Kami mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah


mendukung penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah
Sejarah Indonesia Masa Awal Kemerdekaan Sampai Demokrasi Terpimpin
yang diampu oleh bapak Prof. Dr. Didin Saripudin, M.Si dan bapak Drs. H. Ayi Budi
Santosa, M.Si.

Bandung, Mei 2021

i
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................2

1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................3

BAB II...........................................................................................................................4
PEMBAHASAN...........................................................................................................4
2.1. Partai Komunis Indonesia (PKI)..............................................................4

2.2. Partai Nasionalis Indonesia (PNI)...........................................................7

2.3. Partai Nadhlatul Ulama (NU)..................................................................9

2.4. Partai Masyumi......................................................................................13

2.5. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)................................................15

2.6. Partai Sosialis Indonesia (PSI)..............................................................18

2.7 Partai Murba...........................................................................................20

BAB III.......................................................................................................................22
PENUTUP..................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................22
3.2 Saran........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................23

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak lantas


menjadikannya terlepas dari permasalahan. Ketika berhasil menumpas semua musuh-
musuh asing yang berupaya masuk dan mengacaukan kedaulatan bangsa, kini muncul
permasalahan baru yang harus kembali dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya. Bukan
lagi berurusan dengan negara-negara kolonis, melainkan dengan bangsa sendiri yang
mempunyai segudang kepentingan, kebutuhan, keinginan, tujuan yang amat sangat
beragam dan harus di sepahamkan untuk mencapai Indonesia yang merdeka
seutuhnya.

Kehidupan baru kembali ditata sedemikian rupa, mulai dari pendidikan,


ekonomi, sosial, budaya, hingga politik. Seperti diketahui bersama bahwa peta
perjalanan politik di Indonesia mengalami pasang surut. Perjalanan terjal harus
dihadapi sebab begitu banyak masukan, tekanan yang begitu kuat dari berbagai pihak.
Salah satu pergolakan rezim politik yang saat itu harus dihadapi yaitu perubahan dari
Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Selama ini Demokrasi Liberal
yang diterapkan hanyalah membawa perpecahan demi perpecahan yang justru
semakin merenggangkan jalinan persaudaraan antar rakyat. Justru ini menjadi salah
satu ancaman serius yang apabila tidak ditangani dengan segera bisa berakibat fatal.

Kabinet silih berganti, jatuh bangun oleh para oposisi yang siap sedia
melayangkan mosi tidak percaya apabila kedapatan menyimpang mengindikasikan
kepentingan adalah diatas segala-galanya. Ketegangan demi ketegangan diantara
partai politik membuat presiden Soekarno harus turun tangan untuk memperbaikinya.
Hal ini dibuktikan dengan keputusannya mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal
5 Juli 1959 yang menunjukkan sudah jatuhnya persatuan yang selama ini diimpikan.
Adapun isi dari Dekrit Presiden ini yaitu pembubaran konstituante, pemberlakuan

1
kembali UUD 1945, pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara), dan pembentukan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).

Dekrit ini juga sekaligus menjadi penanda bahwa telah terjadi perubahan
rezim politik dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, serta membuat
presiden Soekarno memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Banyak langkah yang
dilakukan olehnya untuk kembali memulihkan keadaan yang selama ini sudah begitu
kacau terutama dalam bidang politik. Demokrasi Terpimpin ditujukan untuk
menciptakan pemerintahan yang terpimpin dan terarah agar pembangunan nasional
dapat terwujudkan secara terarah pula.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih


lanjut mengenai perjalanan partai-partai politik yang ada pada masa Demokrasi
Terpimpin.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana kiprah Partai Komunis Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?

1.2.2 Bagaimana kiprah Partai Nasional Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?

1.2.3 Bagaimana kiprah Partai Nahdlatul Ulama pada masa Demokrasi Terpimpin?

1.2.4 Bagaimana kiprah Partai Masyumi pada masa Demokrasi Terpimpin?

1.2.5 Bagaimana kiprah Partai Kristen Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?

1.2.6 Bagaimana kiprah Partai Sosialis Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?

1.2.7 Bagaimana kiprah Partai Murba pada masa Demokrasi Terpimpin ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui kiprah Partai Komunis Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.

2
1.3.2 Untuk mengetahui kiprah Partai Nasional Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.

1.3.3 Untuk mengetahui kiprah Partai Nahdlatul Ulama pada masa Demokrasi
Terpimpin.

1.3.4 Untuk mengetahui kiprah Partai Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.

1.3.5 Untuk mengetahui kiprah Partai Kristen Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.

1.3.6 Untuk mengetahui kiprah Partai Sosialis Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.

1.3.7 Untuk mengetahui kiprah Partai Murba pada masa Demokrasi Terpimpin

1.4 Manfaat Penelitian

Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara


teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna untuk menambah
pengetahuan tentang Partai-Partai Politik di Era Demokrasi Terpimpin. Secara praktis
makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:

1.4.1 Penyusun, sebagai wahana penambahan pengetahuan dan konsep keilmuan


khususnya mengenai Partai-Partai Politik di Era Demokrasi Terpimpin.

1.4.2 Pembaca atau dosen, sebagai media informasi tentang pemahaman awal
mengenai Partai-Partai Politik di Era Demokrasi Terpimpin.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Partai Komunis Indonesia (PKI)

Setelah Perang Dunia II usai, masyarakat global dihadapkan pada dua blok
kekuatan besar yang saling berlawanan satu sama lain. Amerika Serikat dengan
ideologi liberal kapitalis dan Uni Soviet dengan sosialis komunis membawa pengaruh
yang sangat kuat khususnya pada negara dunia ketiga. Meskipun demikian, Indonesia
yang menganut politik luar negeri bebas aktif dengan tegas menyatakan ketidak
berpihakannya pada salah satu kubu. Namun seiring berjalannya waktu, hal ini justru
malah kedapatan disalahi dan dilanggar yang ditandai dengan kedekatan pemimpin
bangsa (Soekarno) pada blok kiri.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Demokrasi Terpimpin lahir


dengan maksud dan tujuan untuk menyatukan kembali semua elemen-elemen penting
yang telah terpecah belah ketika Demokrasi Liberal diberlakukan. Kebijakan yang
diterapkan pasa masa Demokrasi Terpimpin ini adalah pembubaran partai politik
yang dianggap subversif, penyederhanaan kepartaian, pembentukan badan-badan
usaha milik negara, perombakan hak kepemilikan tanah dan lain sebagainya (Ilmar,
2018, hlm. 12).

Berbicara mengenai pembubaran partai politik dan penyederhanaan


kepartaian, maka bisa dikatakan selama sistem pemerintahan ini diterapkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) adalah partai yang banyak mendapat keuntungan sekaligus
menjadi partai dengan jumlah massa terbesar. Hal ini tentu merupakan akibat dari
paham yang digagas oleh Soekarno yaitu Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme). Nasakom inilah yang kemudian menutup kekuatan-kekuatan politik

4
lainnya yang ingin menambah kekuatannya dalam konstelasi politik masa Demokrasi
Terpimpin. Selain itu melalui konsep Nasakom ini pula lah yang memberikan ruang
bebas bagi perkembangan paham komunis di Indonesia (Nugroho, 2020, hlm. 2).

Kedekatan Soekarno dengan blok kiri mewujudkannya dengan membentuk


poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang dalam melawan segala bentuk
kolonialisme. Selain itu, faktor lain yang membuat Partai Komunis Indonesia (PKI)
mendapatkan posisi penting dalam perpolitikan adalah dengan adanya hubungan
diplomasi yang kuat antara Indonesia dengan Vietnam. Perjalanan politik PKI mulai
mengalami peningkatan seiring dengan gagalnya politik luar negeri Amerika Serikat
di kawasan Asia Tenggara. Ketika bergulirnya Perang Vietnam tepatnya pada tahun
1959, hubungan pemerintah RI dengan Pemerintah Republik Demokratis Vietnam
juga terjalin dengan baik, pengalaman mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan
di negaranya menjadikan mereka teguh bersikap anti imperialisme. Kondisi ini secara
tidak langsung menjadi keuntungan bagi kaum komunis Indonesia khususnya PKI
untuk memperkuat posisi politiknya (Pramudia, Sinaga, dan Susanto, 2019, hlm.-).

Pada tahun 1959 Ho Chi Minh mengadakan kunjungannya ke Indonesia,


Menurut Daniel S Lev (dalam Pramudia, Sinaga, dan Susanto, 2019, hlm.-)
mengungkapkan bahwa Ho Chi Min menyarankan Soekarno agar anggota PKI
banyak dilibatkan dalam pemerintahan terutama mengisi jabatan strategis di
parlemen. Sehingga berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa langkah PKI untuk lebih
berkuasa semakin besar. Usaha presiden Soekarno memasukkan PKI dalam kabinet
terjadi pada Maret 1962, setelah D.N. Aidit selaku ketua PKI dan M.H. Lukman
selaku wakilnya mendapat posisi penting yaitu menteri kabinet. Aidit ditugasi sebagai
Wakil Ketua III MPRS dan M.H. Lukman sebagai Wakil Ketua III DPR-GR, serta
diikutsertakan dalam Badan Musyawarah Pimpinan Negara yang baru saja dibentuk.
Adapun yang menjadi alasan Soekarno mengikutsertakan PKI adalah karena PKI
memiliki 6 juta suara hasil pemilu dan menduduki nomor empat (Nugroho, 2020,
hlm. 8).

5
Kiranya perolehan suara yang banyak ini merupakan salah satu usaha yang
dilakukan oleh PKI dalam merekrut massa buruh tani. Sejak tahun 1950-an PKI
mengadakan penggalangan kekuatan massa di desa-desa. Penggalangan ini diadakan
dengan pertimbangan penduduk pedesaan meliputi 80% dari penduduk Indonesia dan
oleh sebab itu, peran mereka tidak dapat diabaikan. Desa adalah sumber tenaga,
sumber bahan keperluan hidup, serta pangkalan kekuatan revolusi atau pangkalan
tempat bertahan dari serangan kaum kontrarevolusi (Poesponegoro dan Notosusanto,
2008, hlm. 473). PKI memulai infiltrasinya terhadap tubuh Barisan Tani Indonesia
(BTI), ketika dipimpin oleh Sadjarwo dari PNI dengan slogannya yang menarik
perhatian yakni “tanah untuk petani”. PKI kemudian berhasil menjadikan BTI
sepenuhnya menjadi ormas PKI.

Dalam usaha menarik hati massa angkatan muda di desa-desa, PKI


menggunakan ormas-ormas seperti Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), di samping BTI yang mendapat
keuntungan dengan dikeluarkan undang-undang baru seperti Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Bagi Hasil (UUBH). PKI dan BTI menjadikan
kedua undang-undang itu sebagai fokusnya. Mereka berkata kepada para petani
bahwa kedua undang-undang tersebut tidak akan terealisasikan apabila massa
angakatan muda di desa-desa tidak memilih tokoh-tokoh PKI sebagai pemuka
kampung dan lurah (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008, hlm. 474).

PKI yang kian mendapat perlindungan dari Soekarno, membuat TNI AD


merasa khawatir dan geram, sehingga membuat mereka banyak melakukan aksi untuk
menandinginya seperti, TNI AD melarang mogok kerja yang dilakukan oleh
organisasi yang berada di bawah naungan PKI, seperti SOBSI (Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia), TNI AD juga melakukan pembubaran Kongres Nasional
VI PKI pada tahun 1959 namun hal ini dicegah oleh presiden Soekarno (Winata dan
Purwaningsih dalam Nugroho, 2020, hlm. 9). Upaya lainnya adalah dengan
mendirikan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) pada 20 Oktober
1964, membentuk Persit (Persatuan Istri Tentara) dengan maksud untuk meredam

6
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), membentuk MKGR (Musyawarah
Kekeluargaan Gotong-Royong), Kosgoro (Koperasi Serba Guna Gotong-Royong),
dna Gakari (Gerakan Karyawan Indonesia).

Berdasarkan kondisi ini beberapa pengamat seperti Feith (dalam Ilmar, 2018,
hlm. 12) menyatakan pada masa Demokrasi Terpimpin terbentuk suatu segitiga
kekuasaan yaitu Soekarno, TNI AD, dan PKI. Soekarno dalam hal ini memang
ditempatkan pada posisi puncak segitiga, tetapi dalam pelaksanaannya konsepsi
Soekarno dan TNI AD adalah dua muka Demokrasi Terpimpin yang dijalankan.
Konsep Nasakom yang digagas Soekarno, menjadikan eksistensi PKI begitu kuat dan
berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia. Dukungan penuh terus diberikan oleh PKI
agar dapat melanggengkan kekuasaannya, sehingga hal inilah yang membuat TNI AD
merasa geram karena perlakuannya yang begitu diistimewakan dan memunculkan
tiga kekuatan yang saling bersaing untuk kepentingannya masing-masing.

2.2. Partai Nasionalis Indonesia (PNI)

Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah salah satu dari 4 partai besar yang
mendominasi suara dalam pemilu tahun 1955 khususnya di Semarang. Pada tanggal 4
Juli 1927 Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia mementingkan
kemerdekaan bagi Indonesia (Wibowo, 2005, hlm. 21). Tujuan didirikannya Partai
Nasional Indonesia adalah untuk kemandirian ekonomi dan politik kepulauan
Indonesia. Ini akan dicapai dengan tidak bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda. Pada akhir tahun 1929, Partai Nasional Indonesia memiliki 10.000 anggota.
Hal ini membuat khawatir pihak pemerintah kolonial pada masa itu, dan Soekarno
serta tujuh pemimpin partai ditangkap pada Desember 1929. Mereka diadili karena
dianggap mengancam ketertiban umum dan pada September 1930 menerima
hukuman satu sampai tiga tahun, di mana Soekarno mendapat hukuman paling lama.
Tanpa pemimpinnya, partai itu lumpuh. Berharap awal yang baru bebas dari stigma
putusan pengadilan terhadapnya, pada kongres partai luar biasa pada 25 April 1931
Partai Nasional Indonesia dibubarkan (Ricklefs, 2008, hlm. 204-206).

7
Partai Nasional Indonesia dihidupkan kembali sebagai gabungan dari Serikat
Rakyat Indonesia (Serindo) yang baru dibentuk dan sejumlah partai kecil pada
tanggal 29 Januari 1946. Kali ini, bersama aktivis dari partai-partai termasuk Parindra
dan Partindo, namun kali ini tanpa Soekarno yang sebagai presiden, berada di atas
politik. Partai ini mendapat dukungan yang cukup besar karena memiliki nama yang
sama dengan partai asal Soekarno dan juga partai yang berumur pendek pada Agustus
1945. Partai ini didukung oleh sebagian besar pejabat administrasi republik yang
pernah menjadi anggota Hindia belanda serta bawahan mereka dan mantan anggota
partai sebelum perang. Dukungan lainnya datang dari kelas menengah Indonesia dan
sayap kiri. Cakupan keanggotaan yang luas inilah yang membuat partai ini agak
“berat”. Kepemimpinan secara politis lebih dekat ke sayap kiripatai. Selama Revolusi
Nasional indonesia, partai ini menentang negoisasi dengan Belanda dan tidak setuju
dengan sikap sosialis dari kabinet Indonesia awal. Kepemimpinannya yang
didominasi oleh tokoh-tokoh dari PNI dan Partindo lama memberikan sikap
“nasionalis radikal” kepada partai tersebut (Kahin, 1952, hlm. 155-156).

Partai Nasional Indonesia diberi sepuluh kursi karena dukungannya di antara


para pengurus daerah, ketika Badan Kerja KNIP yang menjalankan tugas sehari-hari
KNIP secara penuh bertambah jumlahnya menjadi 25 anggota. Sebuah reorganisasi
KNIP berikutnya pada bulan Juli 1946 melihat PNI diberikan 45 dari 200 kursi.
Anggota PNI kemudian diangkat ke empat posisi di Kabinet Sjahrir Ketiga, termasuk
menteri kehakiman dan wakil menteri keuangan (Kahin, 1952, hlm. 193-195).

Selama tahun 1948, sayap kanan PNI semakin dikesampingkan dalam


menentukan kebijakan partai dan pengelompokkan kiri-tengah menjadi dominan.
Pidato di kongres tahunan ketiga partai pada juni 1948 menekankan cita-cita sosialis.
Akibatnya pada November 1948 kelompok sayap kanan yang juga mendukung
kebijakan perundingan Perdana Menteri Hatta dengan Belanda yang membuat mereka
berselisih dengan mayoritas anggota, berpisah dan membentuk Partai Persatuan
Indonesia Raya (PIR). Setelah pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada
tahun 1949, PNI memiliki dua kursi di kabinet dari Indonesia Serikat. Hatta

8
bergantung pada dukungan PNI-Masyumi: PNI adalah negara pro-kesatuan, tetapi
Hatta dan Masyumi lebih berhati-hati. Sejak April 1950, ada perbedaan yang semakin
besar antara PNI dan Masyumi. Pada bulan Juli, sekelompok anggota PNI yang tidak
puas dengan terpilihnya Sidik Djojosukarto sebagai ketua umum memisahkan diri
dan membentuk Partai Nasional Indonesia Merdeka (PNI Merdeka), kemudian
berganti nama menjadi Partai Rakyat Nasional (PRN). Hal ini membuat kaum
radikal-nasionalis seperti ketua Sidik Djojosukarto memiliki kendali yang lbih besar
atas partai tersebut (Kahin, 1952, hlm. 322-324).

2.3. Partai Nadhlatul Ulama (NU)

Lahirnya Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari munculnya gerakan


nasionalisme berlandaskan agama yaitu ditandai dengan berdirinya Sarekat Islam.
Berdirinya SI ini menjadi salah satu hal yang mengilhami berdirinya NU. Pada 31
Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya dihasilkan sebuah kesepakatan untuk
mendirikan suatu organisasi keagaamaan Nadlatul Ulama. Kesepakatan itu dibentuk
dari tokoh-tokoh pesantren (read: kiai) berkaitan dengan langkah bersama guna
mempertahankan kepentingan mereka serta bentuk islam tradisional yang mereka
praktikan. Nahdlatul Ulama didirikan untuk mewakili dan memperkokoh islam
tradisional di Hindia-Belanda. Bahkan pada 1940-an NU berkembang pesat, dan
menjadi organisasi islam terbesar di Hindia Belanda. Merupakan suatu prestasi bagi
NU karena sebelumya, belum ada organisasi yang dipimpin oleh para ulama yang
menarik massa begitu besar.

Sejatinya, ajaran serta representasi kultur Nahdlatul Ulama telah berkembang


sejak lama di Indonesia. Lahirnya NU pun tidak dapat dilepaskan dari faktor realitas
keislaman dan relitas ke-Indonesiaan. Nahdlatul Ulama diibaratkan sebagai islam ala
Indonesia dengan ke-khasannya tersendiri sejak berkembangnya pengaruh Islam di
Nusantara (Goncing, 2015, hlm. 63). NU sendiri berpegang pada paham Ahlul
Sunnah wal Jamaah. Ahlul Sunnah wal Jamaah. Ridwan (2020, hlm. 15)
mengemukakan bahwa dalam merepresentasikan paham Ahlul Sunnah wal Jamaah

9
NU melakukannya dengan pendekatan mazhab. NU mengakui keempat mazhab,
tetapi dalam praktiknya NU banyak mengambil dari Mazhab Imam Syafi’i. NU
melestarikan tradisi-tradisi keislaman khas Nusantara dan juga mewarisi pemikiran
para ulama Nusantara di zaman dulu.

Politik NU menapaki jalan baru saat pendudukan Jepang. Bersama dengan


Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya, NU bergabung dalam sebuah
organisasi Islam reformis yaitu Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia) yang
dibentuk oleh Jepang pada 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI. (Haris, 2012,
hlm. 143). Kiprah Masyumi tidak hanya berhenti hingga proklamasi kemerdekaan
Indonesia. pada November 1945 berdasarkan hasil muktamar Islam Indonesia di
Yogyakarta, ditetapkan bahwa Masyumi merupakan satu-satunya partai bagi umat
islam Indonesia. Keterlibatan NU dalam Masyumi hanya bertahan hingga 1952.
Goncing (2015, hlm. 64) Pada 31 Juli 1942 secara resmi Nahdlatul Ulama
menyatakan diri keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri.
Perbedaan pendapat menyangkut struktur partai, peran ulama dalam politik hingga
pembagian kekuasaan merupakan sebagian kecil krisis yang terjadi dalam Masyumi
yang akhirnya membuat NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi

Politik Nahdlatul Ulama menapaki jalan barunya sebagai partai mandiri sejak
1952. Jalan yang ditempuh tak semudah yang dibayangkan meski membawa nama
besar NU dan banyaknya massa NU. Seperti yang dikemukakan oleh Fealy (2012,
hlm. 135) guna memikat pengikutnya yang masih “berkeliaran” di Masyumi, maka
mereka mengirimi surat pribadi dari PBNU serta mengunjungi para petinggi partai
untuk membujuk mereka untuk kembali ke NU. Strategi lain guna mengatasi
kekurangan anggota terampil di NU, maka mereka merekrut para tenaga profesional
yang bukan anggota. Namun, secara resmi perekrutan anggota tetap dibatasi hanya
dari kalangan tradisionalis yang menjalankan syari’at Islam serta memiliki karakter
yang baik. Pada tahap ini dapat dikatakan bahwa PBNU dalam tahap frustasi.

10
Tahun pertama NU merupakan masa yang penuh dengan cobaan. Persoalan-
persoalan yang hadir dipandang berkaitan dengan posisi NU sebagai partai oposisi
kala itu. Melihat anggapan dan juga hasil yang didapatkan selama tahun pertama
tersebut, maka secara perlahan NU pun menjalin kedekatan dengan PNI dan partai
politik nasionalis lainnya. Kedekatan NU dengan PNI melawan Masyumi ini
membawa dinamika baru dalam kancah perpolitikan Indonesia kala itu.

Lebih lanjut lagi, guna memperluas jaringan dan menambah pendukungnya


NU membentuk divisi baru dengan bekerja sama dengan organisasi lain dalam
rentang waktu 1953 hingga 1955 yaitu organisasi veteran, ikatan bekas pejuang Islam
(ikabepi) dan Sarbumusi. Namun sayang, meski memiliki jumlah anggota yang besar
organisasi ini kurang berfungsi efektif ditingkat nasional, semuanya berantakan dan
kekurangan dana. Keuntungan jangka panjang NU didapatkan dari organisasi putera
dan puteri pelajar yang didirikan pada awal 1954 (Fealy, 2012, hlm. 137-138).

Pemilu untuk pertama kalinya digelar pada 1955, kampanye dilakukan oleh
setiap parpol guna menarik suara agar dapat duduk dalam kursi pemerintahan secara
legal. NU pun setali tiga uang melakukan kampanye dengan cara yang digunakan NU
untuk berkampanye sangat menekankan politik sebagai sarana untuk menjalankan
ajaran Islam.

Pemilihan umum pertama tersebut digelar pada 1955 dan secara mengejutkan
NU muncul sebagai partai dengan raihan suara terbesar ketiga dengan 18% perolehan
suara dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen, dimana hanya memiliki selisih
4% dari Masyumi yang berada diurutan kedua (Barton dan Felay, 1997, hlm. 2).
Kemenangan terbesar NU diraih di Jawa Timur dengan perolehan suara 3.370.554,
diikuti oleh Jawa tengah, Jawa Barat diposisi kedua dan ketiga (Sujati, 2020, hlm.
116). Cukup diwajarkan jika NU mendapatkan kemenangan yang besar di Jawa
Timur karena merupakan daerah basis pesantren dengan dukungan yang sangat
militan terhadap NU.

11
Dekrit presiden 1959 membawa perubahan terhadap struktur politik di
Indonesia. begitupun dengan NU yang mengalami demoralisasi ketika tatanan
Demokrasi Terpimpin diberlakukan. Kala itu, kepemimpinan NU didominasi oleh
para kiai dan politisi dengan karakter yang sangat berhati-hati serta memiliki
kemauan untuk berkompromi dalam politik. Ketika dekrit presiden diumumkan, NU
memilih bersikap diam untuk melihat reaksi masyarakat. Sebelum akhirnya
memberikan pernyataan resmi menerima dekrit presiden tersebut. Memasuki
pertengahan 1960 PNI, NU dan PKI terlihat menjadi sekutu Soekarto. Kerjasama ini
diprakarsai dengan semboyan NASAKOM. Aliansi ini harus hadir guna mewakili
aspirasi aliran-aliran politik di tengah masyarakata. Representasi nasionalis diwakili
oleh PNI, agama diwakili oleh NU dan komunis diwakili oleh PKI (Puspitasari, 2016,
hlm. 35-36).

Bagi Nahdatul Ulama, demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa


Indonesia kala itu ialah demokrasis terpimpin. NU bersifat luwes untuk menerima
sistem demokrasi terpimpin Sifat luwes dan kooperatif NU membuat Soekarno
memberikan imbalan terhadap NU atas segala dukungannya selama ini dengan
memberikan jabatan menteri agama ke tangan NU. Keterlibatan NU dalam kabinet
Soekarno sebenarnya tidak banyak mempengaruhi kebijakan aktual, tetapi posisi ini
membantu NU guna membangun dan menyediakan sistem patronase bagi para
pendukungnya di berbagai provinsi.

Hubungan NU dengan TNI Angkatan Darat pun berjalan dengan baik.


Keduanya memiliki kesamaan cita-cita dalam kurun waktu Demokrasi Terpimpin
yaitu membendung sekecil mungkin pengaruh PKI. Selain itu, hubungan NU dengan
partai politik lain terlebih PNI makin erat pada masa demokrasi terpimpin. Keduanya
didominasi oleh nilai-nilai budaya jawa dan juga menghormati Soekarno sebagai
presiden. Namun disisi lain, NU memiliki kewaspadaan terhadap PNI dan PKI.
Karena keduanya berusaha untuk menarik anggota NU dengan mendirikan organisasi
Islam dalam partai tersebut (Puspitasari, 2016, hlm. 58-59). Sikap NU dengan partai
Islam lainnya seperti PSII dan Perti tetaplah berjalan baik, kerjasama mereka terjalin

12
dalam menjalankan lembaga politik DPRGR yaitu dengan membentuk golongan
Islam dalam DPRGR pada tahun 1960. Pada masa demokrasi terpimpin ini pula, NU
mengukir sebuah prestasi dengan berdirinya IAIN (Institut Agama Islam Negeri)
pada 24 Agustus 1960 dengan kota Yogyakarta sebagai pusatnya.

2.4. Partai Masyumi

Masyumi atau Majlis Syuro Muslimin Indonesia di dirikan pada 3


November 1945 berdasarkan anjuran pemerintah untuk membentuk partai-
partai politik. sebelum menjadi partai di Indonesia yang telah merdeka,
mulanya Masyumi merupakan sebuah organisasi Islam pada masa pendudukan
Jepang di Indonesia (Rahman, hlm. 161). Masyumi resmi menjadi partai polirik
di Indonesia merupakan hasil keputusan kongres Muslimin Indonesia di
Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah. Pembentukan partai ini dibangun atas
inisiatif tokoh gerakan sosial agama Islam dan politik pada masa pergerakan
seperti Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim,
Muhammad Natsir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman
Wirosandjojo, Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu
Hanifah. Awalnya, Masyumi memiliki partai pendukung yakni
Muhammadiyah, NU, Perserikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam,
namun seiring dengan perkembangannya terdapat tiga kelompok dalam partai
Masyumi yakni konservatif, moderat, dan sosialis religius. Kelompok pertama,
konservatif yang terdiri atas pemimpin agama Islam, kelompok kedua yang
terdiri atas Mohammad Nasir, Syarifudin dan Muhammad Roem, dan kelompok
sosialis religius terdiri atas Dr. Soekiman, Yusuf Wibisono, dan Abu Hanifah
(Ishak, 2009, hlm. 16).

13
Masyumi mengalami pengurangan anggota ketika Nahdatul Ulama (NU) keluar
dari Masyumi pada 1952. Keluarnya NU dari Masyumi dikarenakan kurang
terakomodasinya keinginan dan kepentingan NU dalam Masyumi. Dari hal ini,
terdapat ketimpangan struktur organisasi Masyumi yang dirasa tidak wajar, selain
karena kurang terwakilnya tokoh-tokoh NU di tingkat pimpinan partai, suara NU pun
sering tidak mendapat tempat dalam keputusan politik Masyumi dan tidak
terpenuhinya tuntutan dari kalangan NU agar kursi menteri agama diserahkan kepada
mereka. Sehingga hal ini lah yang menjadi puncak ketidakpuasan NU terhadap
Masyumi (Siregar, 2013, hlm. 95).

Seiring dengan Demokrasi Terpimpin yang dimulai dengan keluarnya Dekrit


Presiden 1959. Moh. Hatta yang mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden
Indonesia menimbulkan adanya perpecahan antar dua kubu partai antara lain
Masyumi dan PSI yang condong berpihak kepada Moh Hatta, sedangkan PNI, PKI,
dan lain-lain yang condong berpihak kepada Soekarno. Dengan mundurnya Hatta dari
jabatannya membuat Soekarno menjadi pemegang utama kekuasaan di Indonesia
dengan gagasan Demokrasi Terpimpinnya yang menunjukkan bahwa Indonesia mulai
menuju kediktatoran. Pada masa ini pula, tepatnya pada tahun 1960 terjadi konflik
parleman dengan Soekarno yang menentang keras mengenai Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang dianjurkan Yusuf Wibisono sebagai
tokoh DPP Partai Masyumi yang memiliki pendirian bahwa pengeluaran-pengeluaran
yang disusun RAPBN yaitu penerimaan yang direncanakan sama besarnya dengan
pengeluaran yakni sebesar 44 milyar rupiah dan untuk mengatasi kekurangan
penerimaan ini maka akan diambil dengan menaikkan pajak. Hal ini bertentangan
dengan fraksi lain yang membatasi sekitar 36-38 milyar rupiah dengan tidak
menaikkan pajak. Oleh karena itu, Masyumi dan PSI berperan sebagai provokator
pemboikotan RAPBN. Di mana kedua partai ini menonjolkan sikap permusuhan
kepada Soekarno dengan melawan apapun yang pemerintah kehendaki (Pratiwi,
2016, hlm. 1063).

14
Pada 31 Desember 1959, Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 7 Tahun
1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kapertaian. Penpres ini terdiri atas
dua diktum pertama, mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945
tentang anjuran pembentukan partai politik dan kedua, menetapkan Presiden tentang
Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian (Pratiwi, 2016, hlm. 1063).
Pembubaran partai ini disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan ialah partai
yang memberontak. Namun Soekarno meminta untuk menambahkan “sedang” di
depan kata “memberontak”, penambahan kata ini dimaksudkan karena para
pemimpin partai tersebut turut andil dalam pemberontakan. Hal ini dimaksudkan
bahwa sebuah partai dapat dibubarkan apabila partai tersebut bertentangan dengan
asas dan tujuan negara atau programnya atau bermaksud untuk merombak asas dan
tujuan negara (Kusumaningrum, 2019, hlm. 22).

Berdasarkan rumusan tersebut, maka Masyumi dan PSI menjadi kandidat


terkuat sebagai partai yang akan dibubarkan. Pada 17 Agustus 1960, pimpinan
Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang berisi ketentuan bahwa
Masyumi harus dibubarkan dalam waktu tiga puluh hari terhitung sejak 17 Agustus
1960. Apabia tidak terpeuhi, maka Masyumi akan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Sehingga muncul dua pilihan yang harus diambil oleh Ketua Masyumi, yakni bubar
atau tercoreng sebagai pertai terlarang yang nantinya anggota Masyumi akan
mengalami posisi sulit dan berbahaya. Oleh karena itu, Masyumi lebih memilih untuk
bubar pada 1960 (Kusumaningrum, 2019, hlm. 24).

2.5. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)

Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, partisipasi politik umat Kristen sudah


ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia (Karim dalam Nasution, 2010, hlm. 1).
Sejak kemunculan Gereja di Indonesia, kiprah orang Kristen dalam politik sudah ada
namun belum tampak secara langsung karena pada saat itu kiprah politik dipegang
oleh bangsa-bangsa Penjajah seperti Portugis, Spanyol dan Belanda. Gereja tersebut

15
diatur oleh para penguasa, khususnya orang Kristen asal Eropa. Sebagian besar gereja
yang terbentuk pada awal abad ke 19 merupakan hasil pekerjaan zending (badan
penginjilan) yang datang dari Belanda, Inggris dan Jerman dengan semangat
kesalehan dan kesucian hidup (pietisme) dan kebangunan rohani (revival). Para
zending tersebut menganggap bahwa kehidupan duniawi itu kotor, sehingga orang
Kristen pribumi tidak dianjurkan untuk terjun ke dunia politik. Satu-satunya badan
zanding yang mendorong warganya untuk terjun di bidang politik praktis yakni
Zending GKN (Zending Der Gereformeerde Kerken In Nederland atau yang berarti
Gereja Gereformeerd Belanda) yang dipimpin oleh seorang polilitikus, Abraham
Kuyper (Aritonang, 2009, 192-193).

Masyarakat pribumi mulai timbul kesadaran untuk berkiprah di duni apoliti


sejak abad ke 19. Mereka berasal dari gereja Z-GKN yang berasal dari Jawa Tengah,
mulanya mereka membentuk organisasi lokal Rencono Budiyo tahun 1898, kemudian
berubah menjadi Mardi Pracoyo pada 1912. Sejak tahun 1918 Mardi Pracoyo
ditingkatkan untuk menjadi organisasi politik dengan nama Perserikatan Kaum
Christen (PKC). Gerakannya yang masih bersifat lokal membuat PKC kurang
berkembang dan direvitalisasi. Sikapnya yang loyal kepada pemerintahan kolonial
membuat PKC diberi dukungan masyarakat Kristen pribumi dengan semangat
kebangsaan untuk kemerdekaan meskipun masih sangat terbatas (Aritonang, 2009,
hlm. 193).

Orang Kristen dari berbagai suku membentuk partai politik berjiwa


kebangsaan pada tahun 1930 yang diberinama Partai Masehi Indonesia (PMI).
Kemudian lambat laun partai ini berubah menjadi Partai Kaum Masehi Indonesia
(PKMI). Sikapnya yang loyal dan kooperatid terhadap pemerintah kolonial membuat
para politikus Kristen seperti Arnold Mononutu, Alexander Maramis, Amir
Sjarifuddin, A.J. Patty, dan Sam Ratulangi lebih suka bergabung dengan partai
nasionalis sekuler, walaupun tidak anti terhadap partai Kristen (Aritonang, 2009, hlm.
193). Sikap loyalnya kepada pemerintahan kolonial Belanda membuat PKMI tidak
bisa berkiprah secara legal pada zaman pendudukan Jepang.

16
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah RI mengeluarkan
maklumat untuk mempersilahkan pembentukan partai. Pada November 1945, para
tokoh Kristen berkumpul di Kramat Raya untuk membicarakan pembentukan partai.
Adanya ketidaksepahaman antara kaum protestan dengan katolik, maka kalangan
protestan bersepakat membentuk Partai Kristen Nasional (PKN) yang dipimpin Dr.
W. Z. Johanes. Kemudian pada kongres yang pertama 6-7 Desember 1945 mereka
sepakat untuk mengubahnya menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dengan
dasar Alkitab dan tujuannya untuk mempertahankan RI dalam perdamaian dunia dan
berusaha mencapai keadilan (Aritonang, 2009, hlm. 194).

Orang kristen yang berada dalam pusaran politik melalui Parkindo ini
berusaha mempertahankan hubungan baik dengan presiden sebagai kepala negara
dengan mengundangnya untuk menghadiri acara yang bersifat nasional untuk
menjamin kebebasan beragama. Hubungan dengan Presiden tersebut dijadikan sarana
bagi orang Kristen untuk memberikan dukungan politik presiden yang
mengumumkan revolusi dan meluncurkan Demokrasi Terpimpin serta Manifesto
Politik. Pada Konferensi Pendeta di Solo dijadikan sebagai peresmian indoktrinasi
Manipol Usdek oleh Dewan Penerangan dan Lembaga Pembina Jiwa Revolusi.
Ajaran Manipol Usdek ini dianjurkan untuk disebarkan oleh Pendeta melalui mimbar
gereja. Mereka menganggap bahwa Manipol Usdek ini pararel dengan tujuan dari
pembentukan Parkindo. Sikap para pendeta dan jemaat nya terlihat bahwa mereka
belum siap untuk menghadapi infiltrasi politik ke dalam gereja. Demokrasi Terpimpin
yang mengarahkan pemusatan kekuasaan di tangan satu orang tidak bisa dihindarkan
(Hakh, 2018, hlm. 6).

Partisipasi politik kalangan Kristen bukan hanya sampai disitu saja, pada saat
pemilu 1955 pun Parkindo turut memberikan partisipasinya untuk terlibat dalam
pemilu tersebut. Aspirasi politik Parkindo didukung oleh Dewan Gereja Indonesia
(DGI). Gereja Protestan pun turut mendukung Parkindo. Pemilu yang berlangsung
dua tahap, pemilihan parlemen pada 29 September 1955, dan pemilihan konstituante
15 Desember 1955. Perolehan suara Parkindo tidak cukup besar, hanya sekitar 2,6%

17
(satu juta suara) yang sebagian besar diperoleh dari daerah yang penduduknya
beragama Kristen. Walaupun tidak menang, namun keseriusan perjuangan wakil
mereka ini bahu membahu untuk mempertahankan pancasila dan membendung umat
islam untuk memulihkan Piagam Jakarta (Aritonang, 2009, hlm. 196-197).

Dalam situasi politik tersebut, orang Kristen bersama gereja memiliki empat
tugas, diantaranya pertama gereja dan orang kristen melakukan pencegahan
pendewaan terhadap negara, kedua, gereja messti bersungguh-sungguh untuk menjadi
eklesia dalam mengingatkan kepada seluruh pihak bahwa negara dapat mengatasi
kejahatan, ketiga, hadirnya orang kristen dalam politik untuk melayani seluruh orang
berdasarkan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kesetiaan, keempat, gereja dapat
menyediakan tempat pertemuan untuk golongan politik mengenai kebijaksanaan
negara dalam arti gereja dapat memfasilitasi pertemuan seluruh golongan politik.
Walaupun gereja tidak mengambil bagian dalam politik praktis, namun gereja dapat
menggugah hati nurani masyarakat dan menyatakan kehendak Tuhan yang
berpedoman pada keadilan dan kebenaran sehingga orang Kristen dapat bertanggung
jawab dalam bidang politik (Hakh, 2018, hlm. 8-10).

2.6. Partai Sosialis Indonesia (PSI)

Pembentukan Partai Sosialis Indonesia bermula dari gabungan dua partai


sosialis di Indonesia yakni Partai Rakyat Sosialis (Paras) bentukan Sutan Sjahrir dan
Partai Sosialis Indonesia (Parsi) bentukan Amir Syarifudin yang sama-sama berdiri
pada tahun 1945, kedua partai tersebut kemudian bersatu menjadi Partai Sosialis (PS).
Namun hubungan antar anggota PS semakin merenggang pasca Amir Syarifudin
memilih keluar dari partai tersebut dan bergabung dengan Musso dalam Front
Demokrasi Rakyat (FDR). Oleh sebab itu, Sutan Sjahrir kemudian mendirikan partai
baru bernama Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 12 Februari 1948 (Argenti, 2017,
hlm. 7).

Pada masa pemilihan umum pertama pada 29 September 1955. PSI hanya
mampu memperoleh 2% suara dalam pemilihan umum tersebut. Sutan Sjahrir

18
menganggap kekalahan tersebut dikarenakan kesadaran politik para pemilih, terlebih
para pemilih mudah dipengaruhi oleh tokoh agama dan pamong praja (Setiawan,
2020, hlm. 7). Selain itu menurut Anwar (2010, hlm. 111), kekalahan PSI juga
diakibatkan oleh pemikiran Sutan Sjahrir yang hanya menjangkau kaum intelektual
dan mengabaikan masyarakat luas.

Hubungan antara pemerintah RI dengan PSI merenggang setelah dibentuknya


kabinet Djuanda pada April 1957. Beberapa kader PSI kecewa dengan pengangkatan
Djuanda Kartasasmita yang bukan dari golongan partai. Kekecewaan ini kemudian
menyebabkan tuntutan PSI untuk membubarkan kabinet Djuanda pada Januari 1958.
Permintaan ini ditolak oleh Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nadhlatul
Ulama (NU). Akibatnya, salah satu petinggi PSI yakni Sumitro Djojohadikusumo
kemudian melakukan tuntutan pembubaran bersama perwira militer dan para
pemimpin Masyumi (Natsir dan Sjafruddin) di kota Padang pada 10 Februari 1958.
Pertemuan ini kemudian menghasilkan gerakan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI). Gerakan PRRI berubah menjadi pemberontakan setelah bergabung
dengan gerakan lainnya bernama Permesta pada 17 Februari 1958. Pemberontakan ini
dapat dihentikan pada tanggal 4 Mei 1958 (Setiawan, 2020, hlm. 7-8).

Sutan Sjahrir dan para petinggi PSI di Jakarta tak dapat mencegah anggotanya
berpartisipasi dalam pemberontakan PRRI-Permesta tersebut. Akibatnya, pada
tanggal 21 Juli 1960, Presiden Soekarno memanggil para petinggi PSI yakni Sutan
Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, dan T.A Murad untuk dimintai
pertanggungjawabannya atas partisipasi PSI dalam pemberontakan PRII-Permesta.
Para petinggi PSI kemudian memberikan pernyataan tertulis kepada Presiden
Soekarno sebagai bantahan partisipasi PSI dalam pemberontakan. Namun, Soekarno
tidak puas dengan jawaban mereka lalu mengesahkan keputusan presiden no. 201
tahun 1960, Keppres ini berisi tuntutan pembubaran PSI. Alasan Soekarno
membubarkan PSI dilatarbelakangi oleh dua hal yakni penerapan Pasal 9 Penpres
no.7 tahun 1959 yang berisi penyederhanaan partai politik di Indonesia dan

19
ketidakmampuan PSI untuk membantah partisipasinya dalam Pemberontakan PRRI-
Permesta (Setiawan, 2020, hlm. 8).

Para petinggi dan anggota partai lalu menerima permintaan Soekarno dan
mempersiapkan pembubaran PSI. Langkah yang dilakukan PSI untuk membubarkan
partainya ialah mengajukan permohonan izin kepada Penguasa Perang Tertinggi
untuk mengadakan kongres pembubaran PSI dengan surat Partai Sosialis Indonesia
No. K.089/1960. Namun izin tersebut ditolak oleh Penguasa Perang Tertinggi dengan
surat No. 0612/PEPERTI/1960 yang berisi penolakan izin PSI untuk mengadakan
kongres pembubaran PSI, hal ini didasarkan pada status PSI yang telah dibubarkan
secara resmi oleh pemerintah RI. Oleh sebab itu, para petinggi PSI kemudian
mengeluarkan pernyataan melalui radiogram kepada cabang-cabang PSI di seluruh
daerah di Indonesia yakni pembubaran PSI dan memerintahkan mantan anggotanya
untuk mematuhi Keppres no.201 tahun 1960 (Setiawan, 2020, hlm. 8).

2.7 Partai Murba

Partai Murba sendiri pada awal pendiriaannya didirikan oleh Tan Malaka pada 7
November 1948. Pada awal pendiriannya sendiri partai ini menampilkan orientasi
politiknya yang revosioner dalam memperjuangkan gagasan dan cita citanya.
Pemikiran revosioner Tan Malaka jugalah yang membentuk ideologi pada partai ini.
Hal unik lainya dari partai ini sendiri adalah keberadaan partai ini sudah berdiri jauh
sebelum Hatta mendorong terbntuknya partai politik pada November 1945.

Meski keberadaan Tan Malaka sendiri sudah tidak ada dikarenakan menjadi
perlawanannya terhadap pemerintah republik Indonesia. Hal ini tidak menjadikan
partai murba mengalami pembubaran. Hal ini dapat dilihat khususnya pada masa
demokrasi terpimpin dimana partai ini mencapai puncak kejayaannya. Keberadaan
tokoh tokoh penting seperti Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, dan juga Priyono
yang membuat partai ini tetap bertahan.

20
Chaerul Saleh sendiri pada masa demokrasi terpimpin menjabat sebagai ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan juga Priyono menjabat
sebagai menteri Pendidikan dan kebudayaan. Keberadaan posisi partai Murba ini bisa
dikatakan menjadi poros penyeimbang dari tingginya pengaruh PKI dalam kabinet
(Syifa,2021,hlm.6-7).

Partai Murba sendiri mendapat pengakuan sebagai partai yang memenuhi


syarat yang ditentukan dalam Penpres No.7/1959 dan Penpres No.13/1960. Tujuan
ddirikannya kembali partai Murba ini adalah untuk mempertahankan dan
memperkokoh tegaknya kemerdekaan sepenuhnya bagi rakyat dan republik dimana
hal ini sesuai dengan dasar dan tujuan proklamasi 17 Agustus 1945 untuk menuju
masyarakat sosialis.

Dilihat dari jumlah anggota dan cabang yang meliputu tingkat II, partai ini
merupakan partai keempat dari delapan partai yang telah diakui sah berdasarkan
Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960. Jumlah anggota dan cabang partai
Murba disahkan oleh panitia tiga menteri adalah : 1) anggota 208.152; 2) Daerah
tingkat I sebanyak 18; 3) Daerah tingkat II sebanyak 91 (Putra,2009,hlm.77-78).

Keberadaan Partai Murba ini pada masa demokrasi terpimpin sempat


mengalami persaingan politik dengan partai PKI. Dimana saat tersebut Presiden
Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional sedangkan di PKI
Soekarno mengangkat Alimin sebagai Pahlawan Nasional juga. Dari hal tersebut
dapat dilihat pengaruh Soekarno sangat kuat pada masa Demokrasi Terpimpin.
Persaingan kedua partai inipun mencapai puncaknya pada tahun 1965 (Isnaeni,2015).

Partai Murba mendapat serangan telak dari PKI dimana pada saat tersebut
partai Murba bekerja sama dengan militer dan mendirikan Badan Pendukung
Sukarnoisme (BPS) dimana badan ini dituduh oleh Soekarno sebagai badan agen CIA
(Intelejen Amerika Serikat) dan menganggap Sukarnoisme merupakan istilah untuk
membunuh Sukarnoisme itu sendiri. PKI berhasil mempengaruhi Soekarno untuk
membekukan organisasi organisasi yang sebelumnya mendukung badan tersebut

21
hingga akhirnya semua organisasi yang mendukung badan tersebut juga ikut
dibekukan dimana salah satunya Partai Murba yang dibekukan pada September 1965
(Syifa,2021,hlm.7).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
baik materi atau struktur penulisan. Kritik dan saran membangun sangat kami
perlukan untuk menunjang perbaikan penulisan kedepannya. Terimakasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah yang belum
sempurna ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, R. (2010). Sutan Sjahrir: demokrat sejati, pejuang kemanusiaan. Jakarta:


Kompas.

Barton, G. dan Fealy, G. (1997). Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul


Ulama-Negara. Yogyakarta: LKIS PELANGI AKSARA.

Fealy, G. (2012). Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967 (Vol. 1). Yogyakarta:


LKIS PELANGI AKSARA.

Kahin, G. M. (1952). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. New York: Cornell


University Press.

Kusumaningrum, A. (2019). Masa Demokrasi Terpimpin. Singkawang: Maraga


Borneo Tarigas

23
Poesponegoro, M.D & Notosusanto, N. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.

Ridwan, N.K. (2020). Ensiklopedia Khittah NU jilid IV. Yogyakarta: Diva Press.

Artikel Jurnal

Argenti, G. (2017). Kiprah Politik Partai Sosialis Indonesia. Jurnal Politikom


Indonesiana, 2(1), 1-14.

Aritonang, J. S. (2009). Minat dan Pilihan Politik Orang Kristen Indonesia 1955–
2009 Sebuah Kajian Historis-Teologis. Tudia Philosophica Et Theologica.
9(2), 191-213.

Goncing, N. (2015). Politik Nahdatul Ulama dan Orde Baru. Jurnal Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Indonesia, 1(1), 61-74.

Hakh, S. B. (2018). Peranan Orang Kristen dalam Pusaran Politik di Indonesia (Suatu
Tinjauan Historis -Teologis). Voice of Wesley Jurnal Ilmiah Musik dan
Agama, 2(1), 1-14.

Haris, M. (2012). Potret Partisipasi Politik NU di Indonesia dalam Lintasan


Sejarah. JRP (Jurnal Review Politik), 2(2), 135-152.

Ilmar, A. (2018). Demokrasi Terpimpin dalam Pemikiran dan Praktik Politik. Jurnal
Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Jakarta, 4(1), 1-18.

Nugroho, A.A. (2020). Segitiga Kekuasaan Masa Demokrasi Terpimpin.

Pramudia, F.O., Sinaga, R.M., & Susanto, H. (2019). Dampak Perang Vietnam
Terhadap Perkembangan Komunisme di Indonesia 1957-1966. Journal of
Pesagi: Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 7(2).

24
Pratiwi, S. (2016). Pembubaran Partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi
Terpimpin. AVATARA, 4(3). 1059-1072

Setiawan, H. (2020). Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan


Indonesia Tahun 1927-1962. Avatara, 9(1).

Siregar, I.F., (2013). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Partai Masyumi (1945-
1960). Thaqafiyyat, 14(1). 88-103

Sujati, B. (2020). Dinamika Partai Nahdlatul Ulama pada Pemilihan Umum 1955 di
Jawa Barat. Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam. 8(1). 102-
126. doi: 10.24235/tamaddun.v8i1.6138.g2952

Skripsi

Ishak, N. (2009). Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960. (Skripsi).


Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Puspitasari, K.N.D. (2016). Peranan Nahdlatul Ulama Dalam Politik Indonesia Pada
Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. (Skripsi). Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Jember.

Nasution, M. I. (2010). Partisipasi Poltik Umat Kristen Indonesia; Studi Kasus


Partai Damai Sejahtera. (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Syifa,H.A.A.(2021).Partai Murba : Dalam Dinamika Revolusi dan Politik Indonesia


(1948-1965).(Skripsi).Universitas Negeri Jakarta.

Putra,A.P.(2009). Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia Tahun 1960.


(Skripsi).Universitas Sebelas Maret.

Internet

Isnaeni,H.F.(2015). Murba Dukung Demokrasi Terpimpin, Tan Malaka Jadi


Pahlawan Nasional. Diakses dari : https://historia.id/politik/articles/murba-

25
dukung-demokrasi-terpimpin-tan-malaka-jadi-pahlawan-nasional-
PzMWy/page/1

26

Anda mungkin juga menyukai