Anda di halaman 1dari 20

MITRA DAKWAH

Sebelum kita membahas tentang apa sebenarnya yang


dimaksud dengan mitra dakwah alangkah baiknya kita bahas
dulu tentang apa sebenarnya dakwah itu dan apa saja unsur-
unsur dakwah bagi seorang da’i.

Secara etimologi kata dakwah sebagai bentuk masdar dari


kata ‫دعا‬ (fi’il madzi) dan ‫يدعو‬ (fi’il mudhari) yang artinya
adalah memanggil (to call), mengundang to invite), mrngajak
(to summer), menyeru (to propo), mendorong (to urge) dan
memohon (to pray). (Siti Muriah, 2000: 1).

Mendakwahkan sesuatu keyakinan artinya


mempropagandakan suatu keyakinan. Dakwah Islamiyah
artinya menyampikan seruan Islam mengajak dan memanggil
umat manusia, agar menerima dan mempercayai keyakinan
dan pandangan hidup Islam. Berdakwah artinya
mempropagandakan suatu keyakinan, menyerukan suatu
pandangan hidup, Iman dan Agama. Islam adalah Agama
Dakwah yang mempertahankan kebebasan berdakwah itu
secata konsekuen. (M. Isa Anshary, 1979: 17)

1
Kegiatan dakwah adalah kegiatan komunikasi, artinya
bahwa dalam berdakwah terdapat kesamaan unsur-unsur
yang patut menjadi perhatian komunitas da’i, diantara unsur-
unsur pembentuk dakwah adalah:

a. Da’i (komunikator);
b. Materi dakwah (Message);
c. Sarana dakwah (medium). (M. Munir, 2003: 159).

Sebagai seorang da’i sangat perlu untuk mengenal


berbagai macam karakter para penerima dakwah agar dakwah
yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penerima
dakwah. Tujuan dari seorang da’i perlu untuk mengenal mitra
dakwahnya tidak lain adalah mengubah perilaku mitra dakwah
agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam
dataran kenyataan kehidupan sehari-hari, baik yang
bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga, maupun
sosial masyarakat. (Didin hafiuddin, 1998: 78).

Abu al-Fath al-Bayanuni (1993:169) mengatakan, mitra


dakwah adalah siapapun yang menjadi sasaran dakwah. Mula-
mula kita harus mengelompokkan mitra dakwah dari sudut
keimanan sebelum membuat ciri-ciri psiko-sosiologisnya.

2
Setelah itu kita membuat prioritas dan standarnya dalam
penerimaan atau penolakan dakwah.

A. Mitra Dakwah Perspektif Teologis


Ada dua pembahasan teologis terkait dengan mitra
dakwah, yaitu sejauh mana dakwah telah menjangkau
mereka dan bagimana klasifikasi keimanan mereka setelah
menerima dakwah.
Masalah pertama pernah menjadi polemik dalam
sejarah Islam saat umat Islam dihadapkan pada
munculnya pemikiran teologis dalam kaitannya dengan
kepentingan politik. Sedangkan yang menjadi pokok
persoalan bagi seorang pembawa dakwah harus bisa
menentukan cara yang tepat dan efektif dalam
menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu
keadaan dan suasana tertentu.
Oleh karena itu sebelum da’i menyampaikan
dakwahnya ia harus mengetahui keberagaman mitra
dakwah. Dari sudut ideologi, mereka ada yang atheis,
musyrik, Yahudi, Nasrani dan munafik. Ada juga yang
muslim tapi masih membutuhkan bimbingan atau umat
Islam yang masihmelakukan maksiat. Mereka juga

3
berbeda dari segi intelektualitas, status sosial, kesehatan,
pendidikan dan sebagainya. (Said Bin Ali Bin Wahif Al
Qahthani, 1994: 100)
Setelah keadaan da’wah diketahui dengan jelas
oleh da’i maka ia harus memilih tentang materi dakwah
yang akan disampaikan kepada obyek dakwah. Materi
dakwah atau pesan-pesan dakwah dapat dilakukan
dengan berbagai cara yang sesuai dengan kaidah ajaran
Islam, baik dengan cara lisan, tulisan, seni budaya dan
sebagainya.(Forum Dosen Jurusan Dakwah STAIN
Surakarta, 2006: 107). Materi dakwah hendaklah
disesuaikan dengan kepentingan penerima dakwah.
1. Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta
kebenaran. dan dapat berpikir secara kritis, cepat
dapat menangkap persoalan. Mereka ini harus
dipanggil dengan hikmat, yakni dengan dalil-dalil dan
hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal
mereka;
2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum
dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat
menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
Mereka ini dipanggil dengan “mau’idzah hasanah”
4
dengan anjuran dan didikan yang baik dengan jalan
yang mudah dipahami;
3. Ada yang kecerdasannya diantara dua golongan
tersebut diatas, belum dapat dicapai dengan hikmat,
tetapi tidak akan sesuai pula, bila dilayani seperti
golongan awam mereka suka membahas sesuatu
tetapi hanya dalam batas-batas tertentu, tidak
sanggup mendalam benar. Maka demikian itu
dipanggil dengan “mujahadah billati hia ahsan” yakni
dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya
berfikir secara sehat, dan satu nama lainnya dengan
cara yang lebih baik.
Dari sisi sejauh mana dakwah yang diterima,
Bassamal-Shabagh (t.t:86) membagi mitra dakwah ke
dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok yang pernah menerima dakwah. Kelompok
ini terdiri dari tiga kelompok juga, yaitu:
a. Menerima dengan sepenuh hati (mukmin);
b. Menolak dakwah (kafir), dan
c. Pura-pura menerima dakwah (munafik).
2. Kelompok yang belum pernah menerima dakwah.
Kelompok ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
5
a. Orang-orang sebelum diutusnya Nabi Muhammad
SAW;
b. Orang-orang setelah diutusnya Nabi Muhammad
SAW.
3. Kelompok yang mengenal Islam dari informasi yang
salah sekaligus menyesatkan.
Ulama Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah menamakan
umat manusia yang hidup antara masa Nabi ‘Isa SAW
dengan sebutan umat vakum kenabian. Mereka tidak
mengenal dakwah. Mereka tidak berdosa dan selamt dari
siksa Allah. Pendapat tersebut berdasarkan pada surat al-
Isra’ ayat 15:

       


        
       

Barang siapa yang berbuat sesusi dengan hidayah


(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri, dan barang siapa
yang sesat, maka sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan

6
kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus
seorang Rasul.
Begitu pula orang yang belum pernah mengenal
dakwah Islam setelah diutusnya Nabi Muhammmad SAW.
Juga bebas dari dosa. Demikian menurut pendapat Ahl as-
Sunnah wa al-Jama’ah. Gambaran lain dari umat yang
belum menerima dakwah setelah diutusnya Rasulullah
SAW. adalah masyarakat yang terisolasi. Hingga saat ini
banyak suku-suku yang terpencil hidup dengan tradisi
sendiri. Umumnya, tradisi yang dipertahankan adalah
kepercayaan dan pemujaan terhadap alam. Tidak sedikit
orang modern yang pernah menemui mereka, bahkan
teknologi komunikasi dan informasi juga diperkenalkan
kepada mereka. Karenanya, masyarakat terasing ini dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu mereka yang telah
diperkenalkan Islam baik secara langsung maupun tidak
langsung, dan mereka yang sama sekali belum
diperkenalkan dengan Islam.

Pada masyarakat terasing, bisa jadi informasi


tentang Islam, akan tetapi bersumber dari orang
nonmuslim yang sengaja menjelekkan Islam. Dibelahan
7
dunia ini, informasi tentang Islam yang salah telah
diterima oleh sebagian besar umat nonmuslim. Akibatnya,
timbul sikap antipati terhadap Islam atau tidak
memperdulikannya (apatis).
Status masyarakat yang belum menerima dakwah
Islam atau telah menerimanya dengan informasi yang
salah termasuk masalah yang masih diperdebatkan para
ulama. Di atas mimbar Ibnu ‘Abbas r.a. memberikan
ceramah dengan mengutip sabda Rasulullah SAW.:
“kondisi umat ini senantiasa terlihat lemah selama mereka
terus mendiskusikan (status keimanan) anak-anak, kaum
musyrik dan takdir!”.
Ibnu Katsir (1997, III: 31-36) telah menguraikan
beberapa hadis dan menyimpulkan bahwa orang-orang
yang statusnya kontroversial tersebut, anak orang
nonmuslim yang meninggal dunia sebelum masa baligh,
orang gila, orang tuli, orang tua yang telah pikun, seta
orang yang telah meninggal dunia di masa antara Nabi ‘Isa
as. dan Nabi Muhammad SAW.. pada garis besarnya ada
empat pendapat ulama tentang status mereka, yaitu
ulama yang menilai mereka masuk surga, ulama yang
menganggap mereka masuk neraka, ulama yang tidak
8
membahasnya dan ulama yang meyakini mereka akan
diuji di akhirat kelak.
B. Mitra Dakwah Perspektif Sosiologis
Mitra dakwah sangat luas cakupannya. Ia dapat
dipandang dan dikelompokkan dari berbagai sudut sesuai
disiplin ilmu social yang digunakan. Dari kacamata sosial-
ekonomi, mitra dakwah dapat digolongkan berdasarkan
ketenagakerjaan, pekerjaan, penghasilan, dan penguasaan
sumber ekononomi.
Adanya perbedaan jenis sosiologi dengan ciri-
cirinya tersendiri dapat diterangkan sebagai berikut.
Pertama, terdapat perbedaan visi atau realitas
masayarakat, teristimewa mengenai kekuatan tertentu
yang dianggap memainkan peranan dominan atas
kehidupan masyarakat. Kedua, akibat dari perbedaan sisi
itu digunakan pula metode dan pendekatan yang berbeda
juga untuk mempelajari masayarakat. Sudah barang tentu
tiap-tiap aliran memakai metode yang dianggap paling
kena untuk mengungkapkan keistimewaan realitas
masyarakat itu. Dengan demikian kesimpulan-kesimpulan
yang dihasilkan mengandung tekanan-tekanan tersendiri

9
yang diwarnai dengan visi dan sikap-sikap yang
menguasainya.
Dalam kajian obyek dakwah atau mitra dakwah
manusia dapat dibahas melalui dua sudut pandang, yaitu:
manusia secara individu berdiri sendiri dan manusia yang
berkelompok. Manusia secara individu dapat
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan), berdasarkan tingkatan usia (bayi, anak-anak,
remaja, dewasa dan tua), berdasarkan kondisi psikologis.
(manusia normal dan tidak normal ) dan lain sebagainya.
Menurut Max Webber, ada lima golongan manusia yang
dibagi secara berkelompok (masyarakat) dan dapat
dikelompokkan berdasarkan (dalam Jalaludin dan
Ramayulis, 1993: 130-131):
1. Golongan petani. Mereka lebih religious. Hal-hal yang
diperhatikan dalam menyampaikan pesan dakwah
kepada mereka adalah dengan cara yang sederhana
dan menghindarkan hal-hal yang berbau abstrak;
2. Golongan pengrajin dan pedagang kecil. Sifat
agamanya dilandasi pada perhitungan ekonomi dan
rasional. Mereka menyukai doa-doa yang
memperlancar rezeki serta etika agama tentang
10
bisnis. Mereka akan menolak keagamaan yang tidak
rasional;
3. Golongan karyawan. Mereka cenderung mencari
untung dan kenyamanan (opportunistic utilitarian).
Makin tinggi kedudukan seorang, ketaatan agamanya
semakin cenderung berbentuk formalis;
4. Golongan kaum buruh. Mereka lebih menyuarakan
teologi pembebasan. Mereka mengecam segala
bentuk penindasan, ketidak adilan dan semacamnya;
5. Golongan elit dan hartawan. Kecenderungan
beragama mereka adalah santai. Mereka haus akan
kehormatan, sehingga menyukai pujian agama atas
kekayaan mereka. Mereka setuju dengan doktrin
Qadariyah, karena menghargai tindakan individu,
kekayaan mereka adalah adalah hasil kerja mereka.
Karena masih menikmati kekayaannya, mereka
mudah menunda ketaatan beragama untuk hari
tua.Bagi dakwah, penggolongan dari aspek ekonomi
berpengaruh pada strategi dakwah yang diterapkan.

Dari sudut sosio-antropologis, mitra dakwah dapat


dibedakan dari status sosial, bentuk kelompok, dan sistem

11
budaya. Mula-mula kita memandang mitra dakwah
sebagai individu dan kelompok. Sebagai individu, ia
adalah anggota kelompok sosial yang memilki status
sosial. Setiap individu memiliki banyak status. Ia bisa
menjadi pemimpin suatu kelompok, tetapi ia juga bisa
menjadi anggota dikelompok lain. Status mitra dakwah
harus menjadi perhatian bagi pendakwah, karena strategi
dakwah yang dihadapi memiliki status yang berbeda.

Mitra dakwah sebagai kelompok sosial juga


dibedakan menjadi kelompok yang teratur dan tidak
teratur. Dalam kelompok teratur, ada hubungan yang
sangat erat antar-anggotanya (kelompok primer, struktur
mekanis, homogeny, paguyuban, pedesaan) dan adapual
hubungan yang kurang akrab (kelompok sekunder,
struktur organis, heterogen, patembayan, perkotaan).
Sedangkan dalam kelompok yang tidak teratur tedapat
tiga bentuk, yaitu kerumunan, public dan massa.

Menurut Wahidin Saputra (dalam Pengantar Ilmu


Dakwah, 2011: 66 ) mitra dakwah dapat dikelompokkan
berdasarkan:

12
1. Perilaku keagamaan
2. Perilaku keislaman
3. Perilaku teknologis

C. Prioritas Mitra Dakwah

Secara ideal, mitra dakwah dari lingkungan


keluarga harus didahulukan sebelum berdakwah kepada
masyarakat luas. Hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. yang mengajak istrinya untuk mengikuti agama Allah
SAW terlebih dahulu sebelum mengajak masyarakat
umum. Akan tetapi, tidak semua anggota keluarga cepat
merespon positif terhadap ajakan kita sebagaimana
Khadijah. Kadang kala perlawanan terhadap dakwah itu
justru datang dari anggota keluarga itu sendiri.
Sebagaimana yang telah di alami oleh Nabi Nuh as. yang
berhadapan dengan anaknya sendiri.

Antipati dari keluarga tidak menghalangi kita


mencari prioritas mitra dakwah yang lain. Kesedihan
pendak’wah karena antipasti keluarga yang dicintai
memang manusiawi. Akan tetapi, kecintaan kepada
dakwah harus di atas segala-galanya.
13
Keluarga dapat di bagi menjadi dua macam, yaitu
keluarga dekat (inti) dan keluarga jauh. Namun dalam
islam, ada tiga bentuk keluarga, yaitu:

1. Anggota keluarga yang menjadi tanggungan nafkah


serta haram untuk menikahinya, aitu ayah, ibu, dan
anak kandung.
2. Anggota keluarga yang tidak menjadi tanggungan
nafkah, namun haram dinikah, antara lain: keponakan,
paman, dan bibi.
3. Anggota keluarga yang memilki hubungan nasab yang
dekat,tetapi boleh dinikah dan tidak menjadi tanggung
jawab pemberian nafkah, semacam saudara sepupu.

Jika dipandang dari posisinya, anggota keluarga


dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu posisi anggota
diatas (orang tua), posisi anggota dibawah (anak), dan
posisi anggota yang setara (saudara). Dalam menghadapi
anggota yang lebih tua, otoritas kita lebih kecil. Ketika
menghadapi anak cucu, kita memiliki kewenangan yang
lebih besar. Kewenangan kita bisa sama jika kita
menghadapi saudara yang posisinya setara dengan kita.

14
Posisi di atas disinggung Al Qur’an dalam surat al-
mujadilah ayat 22:

      


      
     
      
      
       
         
    

kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada


Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak,
atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun
keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang
telah menanamkan keimanan dalam hati mereka
dan menguatkan mereka dengan pertolongan[1462]
yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya
mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah
ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa
puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka
15
Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang
beruntung.

Al-Qur’an memerintahkan kita agar


memprioritaskan berdakwah kepada keluarga setelah
berdakwah kepada diri sendiri. Allah SWT. Berfirman
dalam surat at tahrim ayat 6 dan asy syu’ara’ ayat 214:

Prioritas pertama dan utama dalam berdakwah


adalah membenahi diri kita dan keluarga kita. Dakwah
kepada diri sendiri berarti melakukan perenungan diri,
muhasabah (intropeksi diri) dan intens berkomunikasi
secara intrapersonal atau bisa di sebut dakwah nafsiyah.

Dalam intern keluarga, urutan dakwah yang


strategis adalah yang berpola:

1. Horisontal-Vertikal. Dengan menggunakan langkah


berdakwah kepada suami atau istri terlebih dahulu
dan kemudian dilanjutkan vertikal ke bawah
berdakwah kepada anak-anaknya;

16
2. Vertikal-Horisontal. Kemudian menuju vertikal ke atas
dengan berdakwah kepada orang tua dan seterusnya
ke saudara kandung.

Keluarga adalah prioritas dakwah setelah dirinya


sendiri. Setelah itu, kerabat yang paling dekat, teman
akrab, para tetangga, dan masyarakat dimana ia tinggal.

Setelah kita bicarakan prioritas mitra dakwah


dalm keluarga dari mitra dakwah lainnya, sekarang mitra
dakwah manakah yang kita prioritaskan jika ada beberapa
kelompok yang ada di tengah masyarakat yang sama-sama
membutuhkan dakwah? Berdasarkan beberapa kaidah
ushul fiqh, maka prioritas tersebut dapat berpegang pada
prinsip-prinsip berikut:

1. Ushuliyah wa Furu’iyah
Mitra dakwah yang membutuhkan informasi primer
keislaman (ushuliyah) harus didahulukan dari pada
yang hanya membutuhkan informasi sekunder
(furu’iyah)
2. Al-Mamat wa al-Hayat
17
Mitra dakwah yang sudah tua atau sekiranya ajalnya
sudah terbilang dekat harus lebih dipprioritaskan
terlebih dahulu daripada yang masih sehat.
3. Al-Amir wa Al-Wazir
Pemimpin tertinggi (al-amir) harus didahulukan
daripada bawahan (al-wazir) yang prioritasnya lebih
rendah.
4. Mukallaf wa Ghairu Mukallaf
Berdakwah kepada orang yang sudah terbebani
kewajiban agama (mukallaf) harus didahulukan
daripada anak-anak yang belum mempunyai
kewajiban (ghairu mukallaf).
5. Muallaf wa Ghairu muallaf
Orang yang baru masuk islam ataupun orang yang
berkeinginan untuk masuk islam (muallaf) harus
diprioritaskan terlebih dahulu daripada yang sudah
masuk islam (ghairu muallaf).

18
DAFTAR PUSTAKA

Al Qahthani, Said bin Ali bin Wahif. Al Hikmatu fid Da’wah


Ilallah Ta’ala. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Anshary, M. Isa. Mujahid Da’wah Pembimbing Muballigh


Islam. Bandung: CV. Diponegoro, 1979.

Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah. Surabaya: Kencana, 2009.

Forum Dosen STAIN Surakarta. Jelajah Dakwah Klasik-


Kontemporer.Yogyakarta: Gama Media, 2006.

Gulen, Fethullah. Dakwah. Jakarta: Republika, 2011.


19
Hafihuddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani Press,
1998.

Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jakarta: Yayasan Kanisius,


1983.

Munir, M.. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009.

Muriah, Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta:


Mitra Pustaka, 2000.

Nada, Abdul ‘Aziz bin Fathi As-Sayyid. Ensiklopedia Etika Islam.


Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2005.

Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2011.

20

Anda mungkin juga menyukai