Anda di halaman 1dari 4

Salah satu tugas dalam profesi keguruan adalah melakukan penilaian terhadap setiap kegiatan

yang terselenggara dalam proses pembelajaran. Hal ini berpangkal dari suatu fakta yang bersifat
kondrati tentang keingintahuan dari setiap manusia mengenai wujud dari hasil aktivitas yang
telah diselenggarakannya, baik yang berdimensi kuantitas maupun yang mengarah pada aspek
kualitas. Dengan demikian, penilaian dalam proses pembelajaran merupakan sebuah komponen
yang tidak dapat disangsikan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain bahwa kegiatan penilaian
adalah sebuah bagian yang integral dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Aktivitas penilaian memiliki signifikansi dengan proses pendidikan, khususnya yang berkenaan
dengan kegiatan pembelajaran. Tanpa ada komitmen dan kemampuan yang relevan dengan
proses penilaian itu, maka pendidikan yang diharapkan untuk memanusiakan manusia
memungkinkan dapat beralih fungsi menjadi sebuah prosedur yang menafikan aspirasi dan
kreatifitas peserta didik. Oleh karena itu, guru selaku pelaksana pendidikan dan pengajaran di
sekolah dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuannya agar sejalan dengan
kemajuan yang ada dalam masyarakatnya. Pembaharuan yang harus dilakukan guru tidak saja
yang bersifat intern, seperti tuntutan profesionalitas selaku pengemban profesi keguruan. Tetapi
juga pembaharuan yang bersifat ekstren, seperti memiliki gerak yang dinamis dalam
masyarakatnya. Dengan demikian seorang guru adalah inovator di dalam lembaganya juga
motivator bagi masyarakatnya.

Penilaian merupakan tuntutan kemampuan yang bersifat intern dalam profesi keguruan, yakni
kemampuan seorang guru untuk mengukur dan menilai sejauh mana ia telah mampu
memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.

Kiranya perlu dicatat bahwa dalam usaha pencapaian tujuan selalu terdapat jurang pemisah
(gap) antara tujuan dan hasil yang dicapai. Karena itu, usaha-usaha yang serius harus dilakukan
untuk :

1.Menentukan tujuan yang realistis dan pragmatis.

2.Menentukan standard kualitas pekerjaan yang diharapkan.

3.Meneliti sampai pada tingkat apa standard yang telah ditentukan itu dapat
dicapai.

4.Mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, baik penyesuaian


rencana, pelaksanaan maupun cara memotivasi serta pengawasan. Penyesuaian
dapat pula ditujukan terhadap tujuan yang telah ditentukan sebelumnya
(Siagian, 1981 : 141).

Kriteria di atas merupakan komponen-komponen yang perlu mendapatkan perhatian dalam


setiap aktivitas proses penilaian. Artinya bahwa setiap kegiatan penilaian harus selalu tertuju
pada ketentuan-ketentuan tersebut.

Dalam pendidikan, orang mengadakan evaluasi (penilaian) dapat memenuhi dua tujuan, yaitu :
(a)Untuk mengetahui kemajuan anak, atau orang yang didik setelah si terdidik
tadi menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.

(b)Untuk mengetahui tingkat efesiensi metode-metode pendidikan yang


dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu (Buchari, 1983 : 7).

Berpangkal dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penilaian dalam lembaga-
lembaga pendidikan formal pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai
jarak antara situasi yang ada dengan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh data yang akan
memberikan gambaran tentang harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan pembelajaran
seperti yang ditetapkan sebelumnya. Tanpa ada kegiatan penilaian tidak akan mungkin seorang
guru dapat mengembangkan atau memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan karena
tidak tersedianya informasi yang akurat tentang kelebihan/keuntungan maupun
kekurangan/kelemahan dari berbagai praktik-praktik yang telah dilakukannya di dalam proses
pembelajaran itu sendiri. Demikian pula bahwa dengan kegiatan penilaian akan diperoleh data
tentang sejauhmana penguasaan peserta didik terhadap bahan yang telah tersaji dalam interaksi
belajar mengajar dan sekaligus juga dapat diketahui efektifitas dan efesiensi program pengajaran
yang telah dilakukan.

Penilaian dalam proses belajar bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Karena tujuan
pendidikan pada umumnya bersifat kompleks, maka penilaiannya pun tidak mungkin sederhana.
Dalam menilai tujuan yang hendak dicapai perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut.

a.Hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengertian.

b.Hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan.

c.Hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan.

d.Hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam


kegiatan sehari-hari (Rusyan, 1989 : 2010 – 2011).

Apabila diperhatikan beberapa aspek yang perlu dicermati dalam proses penilaian sebagai
bidang garapan guru di sekolah, maka dapat dinyatakan pula bahwa pada hakekatnya kegiatan
penilaian itu harus berorientasi pada ketiga aspek tujuan pendidikan, yakni aspek kongnitif,
afektif dan psikomotor.

Di dalam perkembangan lembaga-lembaga pendidikan formal, di mana sampai saat ini masih
harus diakui bahwa terdapat ketimpangan yang sangat mendasar yang dilakukan oleh para guru
di sekolah tentang pelaksanaan penilaian, dimana guru-guru pada umumnya tidak memahami
kualitas tes atau alat yang disusunnya.

Umumnya guru-guru yang melaksanakan tugas-tugas keguruan, pada setiap jenjang pendidikan
dapat dikatakan memiliki berbagai keterbatasan kemampuan, baik yang disebabkan katena
faktor intern dari guru-guru yang bersangkutan maupun yang disebabkan oleh keterbatasan
fasilitas untuk berbuat secara optimal sesuai dengan tuntutan dari perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak sedikit para ahli pendidikan yang memiliki asumsi
bahwa guru-guru di lapangan masih belum mampu mengoptimalkan antara potensi yang
dimilikinya dengan kenyataan-kenyataan yang semestinya dikerjakan. Salah satu di antaranya,
sebagaimana dipaparkan di bawah ini.

Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, praktik penilaian pendidikan yang
berkembang sampai saat ini masih banyak mengalami kendala, hal ini bersumber
dari ketidakmampuan akademis dari guru yang bersangkutan untuk melaksanakan
proses penilaian di bidang tersebut. Dengan kata lain, guru kurang memahami
penilaian secara mendalam. Kebanyakan guru tidak memiliki latar belakang
pendidikan formal secara khusus dalam penilaian pendidikan. Di sebagian perguruan
tinggi atau lembaga penghasil tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kajian
tentang penilaian pendidikan hanya diperoleh melalui beberapa mata kuliah saja
atau bahkan satu mata kuliah saja. Sehingga bukanlah hal yang mengejutkan jika
sebagian guru menggunakan tes yang sama dari tahun ke tahun. Sebagian guru
bahkan berendapat bahwa mereka memberikan tes sebagaimana tes yang mereka
terima. Hal ini dapat dibenarkan sepanjang guru menggunakan tes yang benar-benar
baku dan dilakukan dengan cara yang baku pula. Namun terkadang guru
menggunakan tes yang tidak dapat dijamin standarisasinya, dan tes yang cenderung
sama digunakan dari tahun ke tahun(Supranata, 2004 : 70).

Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik
secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Makna dari kedua cara penilaian
tentang kemajuan belajar tersebut, seperti terurai berikut ini.

Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus-


menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Sedangkan penilaian
secara struktural-objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka atau nilai
yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa. Sungguhpun masih
banyak kekurangan dan kelemahan, penilaian cara yang kedua (struktural-objektif)
telah biasa digunakan oleh para guru. Namun penilaian cara yang pertama
(iluminatif-observatif) masih belum biasa digunakan guru disebabkan kemampuan
dan kesadaran akan pentingnya penilaian tersebut belum membudaya (Sudjana,
1989 : 21 – 22).

Dengan pendapat tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya
kemampuan akademik dari para guru di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal merupakan
suatu kendala yang pasti untuk menuju pada kualitas pembelajaran yang relevan. Di samping itu,
masih ada kecenderungan-kecenderungan negatifpada diri guru.

Tidak ada usaha yang lebih baik selain usaha untuk meningkatkan mutu tes atau non-tes yang
disusunnya.

Namun hal ini tidak dilaksanakan karena kecenderungan seseorang untuk


beranggapan bahwa yang menjadi hasil karyanya adalah yang terbaik atau setidak-
tidaknya sudah cukup. Guru yang sudah banyak pengalaman, mengajar dan
menyusun soal-soal tes/non-tes, juga masih sukar menyadari bahwa tesnya masih
belum sempurna (Arikunto, 1987 : 199).

Gejala-gejala yang digambarkan di atas, pada dasarnya meliputi hampir semua pengemban
profesi guru, sehingga pada akhirnya berdampak langsung pada semua mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah, terutama dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang berorientasi pada
ranah kognitif, afektif dan psikomotor.

Bertitik tolak dari fakta-fakta teori yang ada, maka perlu adanya suatu kegiatan penalaran yang
dapat menjelaskan secara sistematis tentang kemampuan guru mata pelajaran dalam penilaian
ranah kognitif, afektif dan psikomotor, baik yang dilakukan oleh guru itu sendiri maupun pihak
lainnya.

https://www.kompasiana.com/ahmadturmuzi/kegiatan-penilaian-proses-
pembelajaran_550af8bc8133111178b1e3f7

Anda mungkin juga menyukai