Anda di halaman 1dari 7

ISLAM DAN IPTEK

Ada satu istilah penting yang terkait dengan ilmu, yaitu teknologi, sehingga seringkali
dipakai istilah ilmu pengetahuan dan teknologi (disingkat Iptek). Dalam Kamus Besar Bahasa,
teknologi diartikan sebagai “metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan
terapan; keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi
kelengkapan dan kenyamanan hidup manusia.” Berdasarkan pengertian ini dapat dipahami
bahwa teknologi adalah ilmu terapan yang menekankan pada penerapan sains untuk
memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia.
Perkembangan teknologi sekarang ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari semangat
dan perkembangan tradisi keilmuan yang berlangsung di dunia Barat, hal mana justru tidak terjadi
di dunia Islam. Bahkan dibanding dengan bangsa lain, seperti Cina, Jepang, Korea, Thailand,
dan Singapura, Dunia Islam masih ketinggalan dalam bidang teknologi.
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan besar di kalangan umat Islam “limaza
taakhkhara al-Islam wa taqaddama ghairuhum” (mengapa umat Islam tertinggal sementara
bangsa lain maju)? Pertanyaan ini sangat wajar karena memang dalam banyak hal, umat Islam
terbilang berada di barisan belakang, mulai dari supremasi hukum, hingga masalah
penguasaan teknologi.
Menurut Nurcholish Madjid, kelebihan masyarakat Islam tempo dulu yang lebih menonjol
sebetulnya adalah bidang teknologi. Dengan kata lain, Islam adalah potensi besar untuk
mengembangkan iptek. Meskipun belum sampai pada tingkat kecanggihan seperti sekarang ini,
namun teknologi Islam klasik adalah cikal-bakal dan bibit yang mudah tumbuh dan berkembang
dalam zaman modern ini, sekurang-kurangnya dalam etos semangatnya. Yaitu etos semangat
bahwa ilmu pengetahuan baru dapat bermanfaat jika ia secara nyata mempunyai dampak
perbaikan dan peningkatan hidup manusia di dunia ini, selain nilai etis spiritualnya (yang
banyak ditekankan dalam Al-Quran) yang akan ikut membawa kepada kebahagiaan di akhirat
nanti.
Disebabkan oleh pondasi Islam yang melandasi ilmu pengetahuan dan teknologi
modern ini, maka sampai saat ini banyak sekali istilah-istilah teknis dalam iptek modern di Barat
yang berasal dari bahasa Islam, khususnya bahasa Arab. Lebih luas lagi, pengaruh Islam pada
Barat bukan saja pada bidang Iptek, tetapi juga dalam bidang peradaban pada umumnya.
Dalam bidang Iptek, pengaruh tersebut dapat dilihat dalam penggunaan istilah-istilah
teknis, seperti alchemy (dari al-kimya, ilmu kimia), alcohol (dari al-kuhul, alkohol), alcove (dari
al-qubbah, kubah), algebra (dari al-jabr wa al- musawah, aljabar), algorism (dari al-Khawarizmi,
karena sarjana Islam ini yang menemukannya), saffron (dari za’faran, sejenis zat pewarna), zero
(dari shifr, nol, nihil), dan sebagainya. Adapun istilah Inggris pinjaman bahasa Arab atau Persia,
seperti: admiral (dari al-amir al-bahr, pemimpin pelayaran), azure (dari al-lazaward, lazuardi),
coffee (dari qahwah, kopi), sofa (dari shuffah, sofa), dan sebagainya.
Perkembangan teknologi Barat sekarang ini tidak dapat dipungkiri merupakan hutang
besar terhadap dunia Islam. Tetapi, amat disayangkan nilai-nilai spiritual yang ada dalam
teknologi sebagaimana yang dikembangkan ilmuwan Islam klasik terbuang setelah Iptek beralih
ke dunia Barat. Memang, harus pula diakui bahwa dunia Barat sangat berhasil dalam
mengembangkan teknologi sebagaimana yang terlihat sekarang ini, dan mungkin tak
terbayangkan pada masa yang akan datang.
Perkembangan teknologi belakangan ini sedemikian pesat, lebih cepat dari apa yang
bisa dipikirkan. Di bidang telekomunikasi dan transportasi, teknologi berkembang begitu
canggih, teknologi sudah menguasai hampir seluruh lini kehidupan manusia. Ini mengingatkan
kita pada sebuah lagu qasidah modern dari Nasyida Ria tentang tahun 2000. Dikatakan bahwa
tahun 2000 adalah tahun harapan, yang penuh tantangan dan penuh rintangan. Orang bekerja
dengan mesin, berjalan dan berlari menggunakan mesin. Bukankah ada orang memasak
dengan rice-cooker, mengepel dengan mesin pel, dan tidur dengan AC, minimal kipas angin?
Meskipun lagu itu sudah terbilang lama dan ketinggalan, tetapi pesan moralnya sangat terasa.
Saat ini orang demikian tergantung dengan teknologi. Dengan teknologi, semua pekerjaan
menjadi sangat mudah karena ditangani secara lebih cepat dan akurat oleh mesin-mesin.
Namun demikian, dampak negatif dari teknologi juga tidak kalah besarnya karena kehadirannya
mengakibatkan pengangguran besar lantaran pekerjaan yang selama ini dikerjakan secara
manual dengan tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin komputer yang lebih canggih.
Selain itu, masalah lainnya adalah bahwa teknologi yang manggantikan kerja manusia adalah
benda mati yang tidak bermoral dan berperasaan. Dia bekerja menurut program yang telah
ditentukan. Perang yang menggunakan teknologi canggih tidak mampu memilih mana
orang sipil dan mana militer, seperti bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
Demikian pula, teknologi berdampak pada masalah lingkungan, dan banyak lagi masalah lain
yang ditimbulkan oleh dampak dari teknologi.
Banyak ilmuwan dan agamawan yang merasa resah dengan perkembangan ini. Sehingga
usaha-usaha untuk mengurangi dan mengatasi dampak lingkungan terus dilakukan. Namun,
penanggulangan dampak lingkungan dengan menggunakan teknologi, malah melahirkan
dampak lainnya. Inilah masalah teknologi yang tidak dibarengi dengan spiritualitas.
Nilai-nilai spritualitas Islam dalam mengawal iptek menjadi sangat penting dewasa ini.
Dan umat Muslim terdahulu telah berhasil menunjukkan kepada dunia bagaimana teknologi yang
beradab, yang mengabdi hanya kepada Allah SWT. Oleh karena itu ilmu apapun yang didalami
dan ditekuni, hendaknya ilmu itu memiliki nilai-nilai spiritualitas dan didekatkan dengan kajian
dan unsur-unsur agama. Seperti ilmu biologi sekuler yang menyebutkan bahwa alam ini
memiliki hukum evolusi, tetapi meniadakan unsur campur tangan Allah SWT didalamnya.
Mengislamkan ilmu berarti memasukkan Allah SWT dan kekuasaan-Nya dalam setiap bidang
dan pembahasan ilmu.

PARADIGMA HUBUNGAN AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN.


Hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan kajian filsafat
ilmu yang bernama “epistemologi” atau teori tentang ilmu pengetahuan. Dalam Islam,
pembicaraan mengenai hubungan agama (Islam) dan ilmu pengetahuan menjadi salah satu
agenda utama dalam “Islamisasi” ilmu pengetahuan. Mengapa ilmu perlu di-Islamisasi-kan?
Jawaban untuk ini paling tidak berkisar pada tiga hal.
Pertama, Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seperti
yang telah disinggung di atas bahwa baik iman, ilmu, dan amal merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Bahkan ilmu itu sendiri merupakan perintah agama untuk mencarinya,
sekalipun hingga ke negeri Cina.
Kedua, pada kenyataannya, di Barat telah terjadi pemisahan yang sangat ekstrem
antara ilmu dan agama sebagai akibat dari adanya sekularisasi segala bidang, termasuk pada
sekularisasi ilmu dan agama.
Ketiga, akibat sekularisasi yang terjadi di dunia Barat berpengaruh luas pada kesadaran
mengenai konsep ilmu yang sekuler yang kenyataannya tidak dapat dihindari mewarnai seluruh
kesadaran umat manusia mengenai konsep ilmu, termasuk oleh dunia Islam.
Munculnya pemisahan (sekularisasi) antara ilmu dan agama merupakan akibat
pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa yang disebabkan oleh sikap radikal
kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak
mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan
ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum
agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh
penindasan dan kekejaman dari pihak gereja. Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah
hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Copernicus yang menyatakan bahwa
pusat tata surya adalah matahari dan bukannya bumi sebagaimana yang diyakini oleh pihak
gereja. Sebagai akibatnya, Copernicus dibakar hidup-hidup karena pandangannya dianggap
sesat. Demikian pula hal serupa terjadi pada Galileo Galilei atas aspek pemikirannya yang
dianggap menentang gereja. Beruntung Galileo menarik kembali kata-katanya setelah dipaksa
oleh pihak gereja, sehingga hukuman mati yang dikenakan kepada Copernicus tidak jadi
ditimpakan kepadanya.
Sebagai akibat perlakuan pihak gereja terhadap para ilmuan atau temuan-temuan ilmiah
tersebut, maka muncullah gerakan renaissance atau kebangkitan ilmu pengetahuan yang
berbarengan dengan pemisahan diri ilmuan dengan agamawan (gereja) atau ilmu dan agama.
Gerakan renaissance tersebut berakibat positif bagi perkembangan ilmu serta kebebasan untuk
melakukan penyelidikan ilmiah tanpa intervensi dari pihak gereja, sehingga banyak temuan-
temuan ilmiah yang dapat meningkatkan peradaban manusia terutama di negeri Barat.
Sayangnya, sekularisasi ilmu itu memiliki cacat bawaan yang sangat buruk yaitu hilangnya visi
keilahiannya sehingga ilmu menjadi liar dan tidak terkendali. Oleh sebab itu, kesadaran bahwa
tidak ada pemisahan antara agama dan ilmu dalam Islam di satu sisi, dan terjadinya sekularisasi
ilmu di dunia Barat, berikut efek negatifnya itulah yang memaksa para intelektual Muslim untuk
merumuskan kembali integrasi ilmu dengan agama.
Sebenarnya usaha serupa juga telah dilakukan di dunia Barat oleh mereka yang
memiliki kesadaran akan bahaya ilmu tanpa dibarengi agama (dan filsafat). Albert Einstein,
ilmuan jenius dan ternama itu memperingatkan hal
ini dengan mengatakan “Religion without science is blind, science without religion is lame“
(Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh).
Dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang
zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan perkembangannya.
Dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai kemajuan dan kesejahteraan
hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi kelangsungan
hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini menjadi semta-mata tujuan
orang menguasai dan memanfaatkan sains atau ilmu pengetahuan?
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil aplikasi sains jelas
memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara luas. Dengan bantuan sains
manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran.
Banyak orang yang kemudian malah percaya bahwa sains adalah segala-galanya yang dapat
memecahkan segala persoalan hidup, sehingga orang tidak lagi percaya pada hal-hal yang
spiritual yang dibawa dan diajarkan melalui agama.
Wacana mengenai integrasi agama dan ilmu dalam Islam dapat dilakukan dengan cara
“Islamisasi” ilmu atau “pengilmuan” Islam. Istilah yang pertama dipopulerkan oleh Ismail Raji al-
Faruqi (cendikiawan Muslim yang tinggal dan mengajar di Amerika), sedangkan yang kedua
dipopulerkan oleh Kuntowijoyo, budayawan dan cendikiawan Muslim dari Indonesia.
Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-
metode dari luar (Barat) dengan cara mengembalikan pengetahuan itu pada pusatnya, yaitu
tauhid. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri,
umat Islam akan selalu berada dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan maksudnya pengetahuan
harus menuju kepada kebenaran yang satu. Oleh karena itu, langkah-langkah yang harus
dilakukan menurut al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Khudori Soleh.
a. Kesatuan (Keesaan) Tuhan, bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, yang menciptakan dan
memelihara alam semesta. Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, bahwa sebuah
pengetahuan bukan untuk menerangkan realitas yang terpisah dari Realitas Absolut
(Tuhan), melainkan melihatnya sebagai bagian yang integral dari eksistensi Tuhan. Dengan
demikian ilmu dalam posisi ini memiliki nilai-nilai keilahian atau ketauhidan.
b. Kesatuan ciptaan, bahwa semua yang ada dalam semesta ini, baik yang fisik materil
maupun yang non-fisik atau non-materil, adalah kesatuan yang integral. Kesemuanya
diciptakan dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah), guna
mencapai tujuan akhir tertinggi, yaitu Tuhan.
c. Kesatuan kebenaran dan pengetahuan. Bahwa semua realitas memiliki sumber yang sama,
yakni berasal dari Tuhan, dan oleh karena itu maka kebenaran itu harusnya tidak lebih dari
satu. Apa yang disampaikan oleh Allah SWT melalui wahyu tidak bertentangan dengan
realitas yang dapat dicapai melalui akal, karena Dia-lah yang menciptakan keduanya;
wahyu dan akal.
d. Kesatuan hidup. Menurut al-Faruqi, kehendak Tuhan terdiri dari dua macam; (1) Berupa
hukum alam (sunnatullah) dengan segala aturannya yang memungkinkannya untuk diteliti
dan diamati, yaitu materi; (2) Berupa hukum moral yang harus dipatuhi, yaitu agama. Kedua
hukum ini berjalan seiring-seirama, sehingga tidak ada pemisahan antara yang bersifat
spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani
e. Kesatuan manusia. Tata sosial Islam, menurut al-Faruqi, adalah universal, mencakup seluruh
umat manusia tanpa terkecuali. Sehingga Islam mengecam sikap etnosentrisme, karena hal
ini akan mendorong ekslusifisme yang dapat menimbulkan konflik antar kelompok.
Tujuan dari Islamisasi ilmu ini adalah untuk merespon ilmu pengetahuan modern (Barat)
yang sekularistik dan Islam yang terlalu religius, dan disatukan dalam model yang utuh dan
integral tanpa ada pemisahan antara keduanya. Caranya adalah dengan melakukan langkah-
langkah berikut:
1. Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern.
2. Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam.
3. Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu
pengetahuan modern.
4. Pencarian jalan bagi sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu
pengetahuan modern.
5. Peluncuran pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan
kehendak Ilahiyah

Di dalam Islam, ilmu menjadi dasar untuk mengkaji dan mencari rahasia dan kebesaran
Tuhan, untuk mengagungkan Zat Tuhan. Ilmu digunakan untuk sebesar-besarnya
kemaslahatan dan kesejahteraan umat, memberikan kemanfaatan kepada kebutuhan dan
segala aspek kehidupan manusia. Ilmu digunakan untuk menjaga
dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Oleh karena itu kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekonologi (IPTEK) harus diiringi dengan kemantapan iman dan takwa
(IMTAQ). Oleh karena itu Islam melarang mempelajari ilmu yang memberikan kamudharatan
dan dapat merusak kehidupan manusia, merusak iman, merusak alam dan merusak tatanan
kehidupan dan hubungan antara manusia dengan Allah SWT, dengan sesamanya dan dengan
alam lingkungannya, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan lain-lain. Imam Al-Ghazali berkata:
“Barang siapa berilmu, membimbing manusia dan memanfaatkan ilmunya untuk orang lain, (1)
bagaikan matahari, selain menerangi dirinya juga menerangi orang lain, dan (2) bagaikan
minyak kasturi, yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang yang berpapasan
dengannya”

Anda mungkin juga menyukai