Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH UAS HUKUM PIDANA (Salah Satu Bentuk Pidana di Indonesia

sebagai Alat untuk Menanggulangi Kejahatan)

PIDANA DENDA DALAM LINGKUP PEMIDANAAN INDONESIA SERTA


PROSPEK RUMUSANNYA DALAM RANCANGAN KUHP

DISUSUN OLEH:

Hans Raynadhi

201910110311 (338)

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020

1
DAFTAR IS

DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB 1................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................4
BAB 2................................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
1. Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Indonesia.........................................5
2. Prospek Realisasi Penerapan Pidana Denda di Indonesia......................................7
3. Kekurangan Serta Kelebihan dari Penerapan Pidana Denda....................................
BAB 3................................................................................................................................8
PENUTUP.........................................................................................................................8
A. Kesimpulan.............................................................................................................8
B. Saran.......................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................9

2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pidana denda merupakan salah satu pidana pokok yang tertera dalam Pasal 110
KUHP yang digunakan sebagai pidana tunggal atau alternatif di dalam Buku II dan Buku III
KUHP yang dalam proses perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yang
antara lain seperti menurunnya nilai tukar mata uang yang tentunya menimbulkan adanya
keengganan para pihak penegak hukum untuk menerapkan dan menjalankan pidana denda.
Selain itu juga, perihal dimana pidana penjara masih menjadi prioritas dalam penetapan serta
penjatuhan hukum pidana di dalam relevansinya dengan tujuan pemidanaan, terkhusus
pencapaian efek jera terhadap pelaku serta diharapkan mencapai aspek pencegahan dalam
masyarakat umum. Padahal dalam kenyataannya perkembangan dan kemajuan konsepsi
mutakhir dalam hukum pidana yang paling nampak ialah perkembangan berkaitan aspek
sanksi alternatif (alternative sanction) dari pidana hilang kemerdekaan ke arah pidana denda,
terkhusus kepada tindak pidana yang ringan ataupun tindak pidana yang terancam dengan
pidana penjara di bawah satu tahun. Yang menjadi problematika kemudian ialah apakah
pidana denda sebagai alternatif pidana hilang kemerdekaan selama ini dimaksudkan sebagai
tujuan alternatif (alternative goals) atau hukuman alternatif (alternative punishment).
Berdasarkan beberapa hal tersebut, pidana denda belum memiliki fungsi serta peran yang
optimal dalam penerapannya karena para penegak hukum cenderung lebih memilih pidana
penjara dibandingkan pidana denda.
Selain itu, regulasi aturan perundang-undangan yang ada sekarang ini masih kurang
dalam memberikan dorongan terhadap pelaksanaan penjatuhan hukuman denda sebagai
pengganti ataupun alternatif pidana penjara atau pidana kurungan. Dan sebaliknya, aspek
kemampuan masyarakat juga mengakibatkan belum berfungsi dan berperannya pidana denda
yang terbilang cukup tinggi. Begitu pula halnya pidana denda yang ditentukan sebagai
ancaman kumulatif yang akan menyebabkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana
alternatif atau pidana tunggal pun belum memiliki posisi yang wajar dan memadai dalam
kerangka sistem pemidanaan terkhusus terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara dalam jangka pendek atau singkat serta tindak pidana yang bermotifkan atau
berkaitan dengan harta benda atau kekayaan.
Diketahui bahwa eksistensi "Undang-Undang pidana khusus" di dalam rangka politik
kriminal ialah keperluan yang sanagt sukar untuk dapat dihindari, maka perlu dipertegas dan
diingat kembali bahwa pembentukannya (Undang-Undang pidana khusus) haruslah terdapat
limitatif ataupun pembatasan, yang di mana hanya ditujukan untuk hal-hal yang memang
tidak dapat disertakan dalam kodifikasi hukum dalam KUHP, karena adanya "Undang-
Undang pidana khusus" tersebut kemudian memberikan kesan terhadap tatanan hukum
pidana yang terpecah-belah. Selain itu adanya penyimpangan-penyimpangan yang tidak
memperhatikan asas-asas landasan hukum pidana yang tercantum dalam ketentuan umum
hukum pidana tentunya berpotensi berakibat politik kriminal dari negara menjadi tidak efektif
karena adanya perselisihan dan penyimpangan dalam berjalannya proses penegakkan hukum.
Fenomena kebijakan legislatif berkaitan dengan sanksi pidana denda yang memiliki korelasi
dengan hukum penitensier dapat dikaji secara lebih mendalam karena secara substansinya
perkara yang memiliki hubungan dengan hukum penitensier merupakan aspek penting dalam

3
pemidanaan terutama dalam mengkaji perumusan kebebasan yang diberikan kepada hakim
yang kemudian dalam menentukan jenis-jenis pidananya, besarnya jumlah pidana denda dan
juga pelaksanaan dari sanksi pidana denda itu sendiri.
Jika ditinjau dari segi sistem pemidanaan, adanya kebijakan legislatif sejalan dengan
fungai yang diembannya memiliki peran yang sangat vital, dikarenakan dalam hal itulah yang
kemudian akan ditentukan sistem sanksi pidana dan pemidanaan yang nantinya akan menjadi
landasan untuk mendasari serta memudahkan penerapannya bahkan pelaksanaannya dalam
rangka operasional pidana (denda) secara inconcreto dalam aspek kesatuan sistem pidana
denda.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Indonesia?
2. Bagaimana Prospek Realisasi Penerapan Pidana Denda di Indonesia?
3. Adakah Kekurangan ataupun Kelebihan dari Penerapan Pidana Denda?
C. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi kewajiban tugas makalah Ujian Akhir Semester genap mata kuliah Hukum
Pidana yang diampu oleh Bu Ratri selaku dosen Hukum Pidana saya.
2. Mengetahui dasar dan landasan penerapan pidana-pidana yang terdapat di Indonesia
terkhusus pada pidana denda.
3. Mengukur kedalaman eksistensi dari penerapan dan pemberlakuan pidana denda di
Indonesia.
4. Menganalisis adanya kelebihan serta kekurangan dalam aspek penerapan pidana
denda .

4
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Indonesia
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya di dalam ketentuan Pasal
10 KUHP, pidana denda menempati posisi sebagai kelompok pidana pokok di urutan terakhir
atau ke-empat, rincian urutan pidana denda yakni setelah pidana mati, pidana penjara dan
juga pidana kurungan. Dalam konsep draft ataupun Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Nasional pada Tahun 2008, pidana denda
juga termasuk dalam kelompok pidana pokok urutan ke-empat yang di mana susunan
urutannya berdasarkan Pasal 65 (RUU-KUHP) ayat (1) ialah sebagai berikut:
Pidana Pokok terdiri dari :
a. Pidana Penjara
b. Pidana Tutupan
c. Pidana Pengawasan
d. Pidana Denda
e. Pidana Kerja Sosial.
Yang kemudian dalam ketentuan ayat (2) dinyatakan bahwa urutan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perihal dalam menentukan ringannya pidana. Dalam
penentuan penjatuhan pidana, Hakim tentunya memiliki peranan yang sangat penting. Setelah
meninjau dan mengetahui tujuan dari pemidanaan, Hakim berkewajiban mempertimbangkan
keadaan-keadaan yang ada di sekitar pelaku tindak pidana, hal apa serta bagaimana pengaruh
dari perbuatan pidana yang telah diperbuat, pengaruh penjatuhan pidana bagi pelaku pidana
di masa yang akan datang, pengaruh tindak pidana korban dan juga masih banyak lagi
kondisi lain yang perlu menerima perhatian lebih serta adanya pertimbangan Hakim perihal
dalam penjatuhan pidana. Semua aspek tersebut merupakan suatu landasan dan pedoman
dalam pemidanaan, pemidanaan seperti yang telah dijelaskan diawal ialah suatu proses yang
dimana Hakim dalam penerapan pidana penjara di samping mesti mempertimbangkan tujuan
serta pedoman pemidanaan, juga harus memperhatikan keadaan-keadaan yang sekiranya
memiliki potensi menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara),
seperti halnya faktor usia pelaku tindak pidana, perbuatan tindak pidana apa yang dilakukan
pertama kali, aspek kerugian terhadap korbannya, dan juga telah adakah ganti rugi
terhadapnya dan lain sebagainya. Meninjau dari banyaknya aspek dan faktor yang menjadi
titik perhatian serta pertimbangan daripada Hakim dalam melakukan proses pemidanaan dan
penerapan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), sekiranya keberadaan ataupun
penerapan daripada pidana perampasan kemerdekaan dalam lingkup pemidanaan di Indonesia
sudah tidak perlu untuk diragukan lagi. Dalam realisasi praktiknya di bidang Pengadilan,
ternyata pidana perampasan kemerdekaan yakni pidana penjara dan juga pidana kurungan
masih tetap menjadi pilihan utama dari para Hakim.
Terdapat suatu ketentuan yang menyatakan bahwa perihal dalam seseorang melakukan tindak
pidana yang hanya diancam dengan penjatuhan pidana penjara, namun jika Hakim kemudian
berasumsi tidak diperlukan untuk penjatuhan pidana penjara sesudah memperhatikan dan
juga mempertimbangkan beberapa hal yang menjadi tujuan pemidanaan, landasan hal-hal
yang menjadi tujuan pemidanaan, landasan dan pedoman pemidanaan serta pedoman dalam

5
penerapan pidana penjara, maka dari hal ini Hakim kemudian dapat menjatuhkan pidana
denda. Yang di mana dalam hal ini penjatuhan pidana denda merupakan sikap yang timbul
berdasarkan pertimbangan yang cermat, objektif dan juga praktis daripada Hakim
dibandingkan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) atau juga dikarenakan
adanya perhitungan aspek keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan dari pidana denda
terhadap pidana perampasan kemerdekaan. Sehingga dalam hal ini pidana denda kemudian
dapat dijatuhkan atau diancamkan, dan juga seringkali menjadi alternatif dengan pidana
kurungan terhadap hampir seluruh “pelanggaran” (overtredingen) yang tertera dalam buku III
KUHP. Pidana denda itu dijatuhkan atau diancamkan sebagai alternatif dengan pidana
penjara, demikian pula halnya terhadap bagian terbesar tindakan kejahatan yang dilakukan
tanpa adanya unsur kesengajaan di dalamnya yang di mana alternatif lainnya ialah dengan
penjatuhan pidana kurungan, selain itu pidana denda pun terbilang sangat jarang dijatuhkan
terhadap tindak kejahatan yang lain.
Berkaitan dengan pidana denda oleh pembentuk ataupun perancang Undang-Undang tidak
ditetapkan atau ditentukan adanya suatu pembatasan maksimum yang berlaku umum, karena
dalam setiap pasal dalam KUHP yang berkaitan ditetapkan batas maksimum yang berlaku
secara khusus pidana denda yang kemudian dapat ditentukan dan ditetapkan oleh peran
Hakim. Karena besaran ataupun jumlah pidana denda baik dalam KUHP dan juga ketentuan
pidana lainnya yang ditetapkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 ialah tidak lagi relevan
dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berkaitan dengan ancaman pidana denda itu
sekarang malah menjadi relatif ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada masa
kini, oleh karena itu besaran atau jumlah pidana denda perlu untuk ditingkatkan atau
diperbesar jumlahnya. Oleh karena itu telah diberlakukan ketentuan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)
menyatakan bahwa: “Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1),
maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17
Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti
Undang undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipat-gandakan menjadi lima
belas kali”. Sehingga, denda tertinggi yang disebutkan dalam KUHP ketentuan Pasal 403
yaitu Rp. 1.000,- sekarang menjadi Rp. 15.000,-. Ayat (2) menyatakan bahwa : “Ketentuan
dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda dalam ketentuan-ketentuan tindak
pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi”.
Konteksnya berbeda ketika halnya batas maksimum umum pidana denda yang tidak diatur
secara khusus, dengan perihal KUHP yang telah menetapkan suatu batasan minimum yang
berlaku secara umum dalam pidana denda yakni 25 sen pada Pasal 20 ayat (1). Mengingat
relevansinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1960 maka batasan minimum yang umum denda itu sekarang menjadi berkisar: 15 x 25 sen =
Rp. 3, 75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen).
Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya, yang di
mana jika objek dari pidana penjara dan pidana kurungan ialah perihal kemerdekaan
seseorang dan objek dari pidana mati ialah jiwa seseorang, maka objek dalam lingkup pidana
denda ialah harta benda kekayaan dari terpidana. Posisinya sebagai salah satu jenis tertentu
dari pidana pokok, pidana denda ini kemudian tidak dimaksudkan untuk sekedar tujuan yang

6
sifatnya berkaitan dengan keuangan atau ekonomi, serta sering kali disalah-artikan tujuannya
seperti untuk menambah pemasukan negara, padahal di dalam penerapannya mestinya kita
kaitkan dalam hal untuk meningkatkan peran serta tujuan daripada pemidanaan itu sendiri
guna efektifnya penegakkan hukum pidana di Indonesia. Sebagaimana opini daripada ahli
hukum yang menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu suatu pidana denda yang berat ialah
lebih baik kadar hukumnya serta lebih bermanfaat pula di sisi yang lain dibandingkan suatu
pidana penjara dalam jangka waktu yang relatif singkat atau pendek.
2. Prospek Realisasi Penerapan Pidana Denda di Indonesia
Dalam peninjauan tolak ukur efektivitas dari penerapan pidana denda mutlak mesti
diperlukan adanya aspek keseimbangan antara pidana denda dengan pidana penggantinya,
perihal ketika seorang terpidana kemudian misalnya tidak mampu atau tidak dapat membayar
denda sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pidana denda yang telah
ditetapkan atau ditentukan terhadap perkaranya. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) pidana penggantinya atau alternatifnya ialah pidana
kurungan, dengan terlaksananya asas keseimbangan dalam aspek pidana denda ini maka tentu
saja kemudian dalam proses eksekusi atau penegakkan hukum pidana akan menjadi relatif
lebih mudah yang di mana ketika terpidana tidak dapat dikenakan atau dieksekusi dengan
pidana denda, maka akan dikenakan pidana pengganti atau pidana alternatifnya, oleh karena
itu dengan demikian maka dalam penerapannya tidak akan terjadi yang namanya “tunggakan
kronis”.
Memang dari beberapa perspektif, efektivitas daripada penerapan pidana denda dirasa kurang
efektif jika harus dibandingkan dengan pidana penjara, terkhusus jika ditinjau sisi efek
jeranya dari sang terpidana. Hal tersebut tentunya diakibatkan oleh pidana denda yang dapat
ditebus atau dibayarkan oleh orang lain selain terpidana itu sendiri, berbeda halnya berkaitan
dengan pidana penjara yang tidak dapat bahkan tidak mungkin diwakilkan oleh orang lain
selain terpidana itu sendiri yang menjalani hukuman pidana penjaranya. Selain itu, terpidana
juga dapat memperoleh uang atau dana dari mana saja dalam membayar atau melunasi pidana
dendanya itu. Dalam konsep Rancangan KUHP rumusannya telah menyatakan bahwa
alternatif atau pengganti dari pada pidana denda yang tidak dapat dilunasi atau dibayar.
Bila dicermati lebih lanjut lagi terkait Rancangan KUHP kelak sebagai alternatif ataupun
pengganti pidana denda ialah pidana pengawasan atau pelayanan masyarakat, pembayaran
atau pelunasan denda perlu dipertegas kembali potensi eksekusinya. Pidana pengganti sanksi
denda baru diterapkan jika keadaan atau kondisi dari pada terpidana ini sama sekali tidak
memiliki harta benda kekayaan apapun untuk dilelang atau ditransaksikan yakni dapat berupa
pidana pengawasan ataupun pelayanan masyarakat dalam bentuk kerja sosial. Tapi tentunya
masih dibutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi berkaitan apakah sebenarnya pidana
pengawasan ini atau pidana pelayanan masyarakat kemudian sebagai alternatif penjatuhan
pidana denda dapat berjalan secara efektif dan mampu memberikan efek jera terhadap pelaku
pidana atau terpidana.
Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh para eksekutor pidana (Jaksa) banyak
mengeluhkan berkaitan dengan kendala ataupun kesulitan perihal menagih sanksi denda
terhadap terpidana, perlu peninjauan kembali pada putusan Hakim yang berupa putusan
verstek denda (putusan di luar kehadiran terdakwa), hendaknya tidak dalam bentuk pidana
denda lagi melainkan dalam bentuk pidana kurungan.

7
Hal demikian menjadi aspek perbandingan terhadap upaya penanggulangan kendala ataupun
kesulitan dalam perihal eksekusi penjatuhan pidana denda. Potensi hal tersebut kemungkinan
besar dapat terjadi, maka dari itu pidana alternatif atau pengganti pidana denda konteksnya
bukanlah jalur sarana pengumpulan dana sehingga problematikanya bukan berkaitan jumlah
ataupun kuantitas pidana denda yang dijatuhkan, melainkan menjadi tolak ukur sejauh mana
peran serta tujuan pemidanaan tersebut dapat terlaksana dengan berjalannya penjatuhan
pidana denda itu sendiri. Oleh karena itu alternatif ataupun pengganti pidana denda tetap
menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan secara lebih lanjut tetapi tidak terlepas dari
pada titik utama tujuan pemidanaan dengan pelaksanaan pidana denda. Dalam hal
mengefektifkan pidana denda maka ketentuannya dalam KUHP perlu dipertegas dan
dipersulit di mana akan memperkecil kemungkinan terpidana untuk terhindar dari
konsekuensi pidana denda tersebut sehingga penerapan alternatif atau pengganti pidana denda
seperti pidana kurungan sepenuhnya menjadi jalan akhir penerapan pidana denda. Selebihnya
lagi jika ditinjau berdasarkan Rancangan KUHP yang kelak berpotensi atau memungkinkan
alternatif pengganti denda ialah pidana pengawasan atau bahkan pelayanan masyarakat
sosial.
Perumusan pidana denda dalam konsep Rancangan KUHP 2008 yang disusun oleh Tim RUU
Hukum Pidana terdapat dalam Buku I mengenai Ketentuan Umum Bagian Kedua Paragraf 5
sampai dengan 9, pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85.
Pidana denda pun dapat diperspektifkan sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan.
Sebagai sarana dalam politik kriminal, pidana denda ini keefektifannya juga dapat
disandingkan dengan pidana pencabutan kemerdekaan, dengan berlandaskan pada pokok
pemikiran ini maka sebisa mungkin seharusnya sanksi denda yang telah dijatuhkan dan
ditetapkan terhadap seorang terpidana itu untuk dibayar dan dilunasi yang ketentuannya pun
juga terdapat tenggang waktunya bagi terpidana, jika keadaannya kemudian mengizinkan,
sanksi denda yang tidak atau belum dibayar tersebut kemudian dapat diambil dari harta
kekayaaan ataupun pendapatan terpidana sebagai penggantinya untuk melunasi pidana denda
yang dijatuhkan terhadapnya. Pemahaman makna “apabila keadaan mengizinkan” dapat
diartikan bila keadaan dari terpidana sebenarnya mampu untuk membayar atau melunasi
denda pidananya akan tetapi tidak berkenan untuk membayar atau melunasi sanksi pidana
denda. Jika kemudian upaya penggantian itu juga tidak memungkinkan, maka tentu pidana
penjara alternatif atau pengganti akan dijatuhkan terhadapnya.
Ketentuan serta ketetapan agar terpidana sebisa mungkin untuk membayar atau melunasi
dendanya penting untuk dimaknai bahwa terhadap terpidana itu diberikan adanya peluang
dan kesempatan oleh Hakim untuk mengangsur atau menyicil dendanya. Selain itu, dalam
penjatuhan ataupun penetapan pidana denda menjadi kewajiban terhadap para pihak penegak
hukum pidana atau eksekutor untuk memperhatikan serta mempertimbangkan berkaitan
aspek kondisi dan kemampuan terpidana, perlu dicermati hal apa saja yang berpotensi dapat
dibelanjakan atau ditransaksikan oleh terpidana yang berkaitan dengan keadaan pribadi dan
kemasyarakatan sosialnya.
Tujuan utama dari penerapan kategori pidana denda ialah dimaksudkan untuk memperoleh
bentuk serta gambaran yang jelas mengenai limitatif maksimum denda yang telah tercantum
dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana berkaitan berbagai tindak pidana
(terdapat enam kategori) serta memudahkan dalam melakukan adanya perubahan dan

8
perbaikan, jika seandainya kelak terjadi perubahan kondisi dalam lingkup keadaan ekonomi
dan moneter di negara Indonesia.
3. Kekurangan Serta Kelebihan dari Penerapan Pidana Denda
Kekurangan
Kekurangan ataupun kelemahan pidana denda terkandung secara inheren atau berkaitan erat
dalam pidana denda itu sendiri. Kelemahan-kelemahannya ialah bahwa pidana denda ini pada
kenyataannya memang dapat ditanggung, dibayarkan atau dilunasi oleh pihak ketiga selain
dari pada pihak terpidana itu sendiri yang menanggungnya seperti ketiga (majikan, suami
atau istri, orang tua, teman atau kenalan baik dan yang lainnya). Oleh karena itu, pidana
denda yang dijatuhkan terhadap terpidana kemudian menjadi tidak dirasakan secara langsung
oleh terpidana itu sendiri sehingga akan mempengaruhi pada efek jera yang relatif tidak akan
mempengaruhi terpidana, terlebih lagi semisal terpidana yang dijatuhi pidana denda ini
merupakan seseorang yang memiliki banyak harta kekayaan serta banyak aset berharga lain
yang tentunya dengan membayar sejumlah denda yang ditetapkan bukanlah menjadi suatu hal
yang berarti bagi terpidana tersebut, dengan demikian tujuan ataupun peran penjatuhan
pidana atau pemidanaan tersebut menjadi kurang berguna karena tidak ada dampak yang
signifikan mampu memberikan efek jera terhadap terpidana.
Hal yang demikianlah yang menjadikan fungsi serta peran pemidanaan dalam aspek membina
pelaku tindak pidana agar menjadi individu dalam masyarakat yang berguna serta mendidik
pelaku tindak pidana dalam mempertanggung-jawabkan tindakannya tentunya menjadi sukar
untuk tercapai. Hal itu juga meningkatkan potensi adanya kemungkinan pelaku tindak pidana
akan mengulangi perbuatan salahnya, dikarenakan nantinya timbul pemikiran dalam
benaknya terpidana tersebut bahwa penjatuhan pemidanaan yang diterapkan terbilang relatif
ringan sebagai hukuman. Selain itu juga, dalam mempertanggung-jawabkan tindak pidananya
tidak sepenuhnya ditanggung oleh dirinya sendiri karena denda dapat dilunasi oleh orang
lain, dan jika keadaannya pembayaran denda tidak mampu untuk dipenuhi karena terpidana
tidak memiliki uang ataupun harta kekayaan bukan tidak mungkin pula pelaku tindak pidana
tersebut akan menghalalkan segala cara untuk melunasi atau menebus pidana dendanya
melalui tindak pidana yang lainnya, dengan kata lain satu tindak pidana menggiring pada
suatu tindak pidana yang lain dan kondisi ini dapat berlanjut secara terus menerus.
Kelemahan lain seperti halnya pidana denda ini juga tentunya dapat memberikan beban atau
pengaruh menanggung tanggungan terpidana secara tidak langsung yakni seperti pihak ketiga
yang terpaksa turut merasakan beban pidana dari terpidana, semisal uang atau dana yang
dialokasikan untuk melunasi sanksi pidana denda yang dijatuhkan terhadap seorang kepala
rumah tangga tentunya akan mengurangi atau menekan anggaran dalam kehidupan rumah
tangga dalam anggota keluarga terpidana yang bersangkutan. Selain itu juga bahwa pidana
denda ini lebih berpihak atau menguntungkan orang-orang yang tergolong mampu, karena
bagi mereka yang tidak mampu jumlah besaran denda pidana ini akan tetap menjadi suatu
problematika yang membebani dan menyulitkan sehingga orang-orang golongan tidak
mampu cenderung memperoleh jenis pidana yang lain seperti pidana perampasan
kemerdekaan. Kendala lain juga berkaitan adanya kesulitan dalam pelaksanaan penagihan
dana denda oleh Jaksa selaku eksekutor terkhusus kepada para terpidana yang tidak dalam
tahanan atau tidak berada dalam penjara.

9
Di satu pihak dapat dilakukan upaya paksa dalam bentuk peraturan perundang-undangan
dengan tujuan terpidana dapat membayar atau melunasi denda dengan memberikan
wewenang kepada Jaksa selaku eksekutor untuk melelang barang yang disita, dan jika
semisal tidak ada aset harta atau barang yang dapat disita barulah diterapkan pidana
pengganti denda.
Kelebihan
Selain adanya kekurangan ataupun kelemahan dari penerapan pidana denda, tentunya juga
terdapat kelebihan dari pidana denda, seperti dengan adanya penjatuhan pidana denda ini
maka terpidana akan tetap terjaga privasi ataupun anonimitasnya, karena setiap terpidana
dirasakan memerlukan adanya suatu hak privasi untuk menyembunyikan identitas mereka
atau tetap anonim/tidak dikenal karena hal tersebut akan menjaga hak-hak dari terpidana akan
tetap terjaga dan dihormati oleh orang lain dalam kehidupan masyarakat.
Kelebihan lainnya ialah pidana denda ini pada realitanya tidak menimbulkan adanya stigma
atau cap negatif terhadap terpidana, yang berbeda halnya dengan timbulnya stigma buruk
terhadap terpidana pidana perampasan kemerdekaan seperti pidana penjara. Selain itu juga,
dengan adanya pelaksanaan penjatuhan pidana denda ini diharapkan sedikit banyaknya akan
memberikan pemasukan bagi negara dengan tujuan menjaga eksistensi penegakkan hukum
dan proses pelaksanaan hukum dapat tetap berjalan dengan optimal tanpa terkendala adanya
problematika berkaitan alokasi dana atau keuangan.

10

Anda mungkin juga menyukai