G3P1A1 Hamil Aterm dengan Pre-eklamsi Berat (PEB) dan Riwayat Sectio
Caesarea 1 Kali Belum Inpartu Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala +
Anemia Berat
Disusun Oleh:
Syaikhah Fathinah Ridwan, S.Ked.
H1AP20026
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstertri dan Ginekologi RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu, Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Julianty Kusuma, Sp.OG sebagai pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual
kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
1.7 Laporan Follow-up Pre-operasi ................................................................ 9
iv
2.3.5 Patofisiologi .................................................................................... 43
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vii
viii
BAB I. LAPORAN KASUS
1.1 Anamnesis
1.1.1 Identitas
Nama : Ny. IS
No. MR : 778702
Usia : 32 Tahun
Suku Bangsa : Bengkulu
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Halmahera, RT 06, RW.03, Surabaya, Kota Bengkulu
MRS : 21 Maret 2021, pukul 22.45 WIB
Usia
No Umur Jenis BBL PB
♀/♂ Tempat Penolong Anak
. Kehamilan Persalinan (gr) (cm)
Sekarang
1 Abortus 5 bulan - - - - - -
2. ♀ 36 minggu Sectio Rumah Dokter 3,900 2 tahun 7
1
Caesar Sakit bulan
3. Hamil ini
2
1.1.9 Anamnesis Khusus
Keluhan Utama:
Mau melahirkan cukup bulan dengan tekanan darah tinggi dan riwayat
sectio caesarea 1 kali.
3
Hidung : Simetris, tidak ada deviasi, tidak ada sekret, tidak ada tanda-
tanda perdarahan
Telinga : Tidak ada sekret dan tidak ada nyeri tekan di mastoid dan
tragus.
Mulut : Bibir sedikit sianosis, mukosa bibir tidak kering, tidak ada
stomatitis, dan tidak ada ulkus.
Thorax
- Pulmo : I : Dinding dada simetris saat statis dan dinamis, tidak ada
retraksi dinding dada
Anterior
P : Stem fremitus simetris kanan dan kiri
4
Batas kiri: SIC V linea midklavicula sinistra
- His (-)
- A: DJJ 145 x/menit
- TBJ 3.720 gram
Superior
Ekstremitas : Akral hangat, CRT > 2 detik, edema (+/+), pitting edema (+/+)
Inferior
5
(-), DJJ : 145 x/menit, TBJ 3.720 gram
Pemeriksaan
Dalam
: Portio lunak, posterior, eff 0 %, Ø kuncup, kepala HI,
• Vaginal
Toucher ketuban belum dapat dinilai.
Rapid Covid-19
• Ig M Non reaktif Non reaktif
• Ig G Reaktif Non reaktif
6
Tabel 1.2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Parameter yang diperiksa Hasil Nilai Rujukan
Urinalisa
Makroskopis
Warna Kuning Kuning Muda-Tua
Kejernihan Jernih Jernih
Kimia
Protein Urin Positif 2 Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Urobilinogen Positif 2 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Mikroskopik
Epitel Positif Positif
Leukosit 1-3 1-5
Eritrosit 2-4 0-1
Silinder Positif Negatif
Kristal Positif Negatif
Bakteri Positif Negatif
Jamur Positif Negatif
7
Pemeriksaan USG 8 Februari 2021 Pemeriksaan USG 9 Maret 2021
Indeks gestosis :
0 1 2 3
1.4 Diagnosis
Diagnosis masuk:
G3P1A1 hamil aterm dengan PEB dan riwayat SC 1 kali belum inpartu
janin tunggal hidup presentasi kepala + anemia berat.
1.5 Penatalaksanaan
Tatalakasana yang diberikan sebagai berikut.
- Observasi keadaan umum, tanda vital ibu, his, DJJ, dan tanda inpartu
8
- Cek labor darah rutin, ureum kreatinin, dan kimia darah
- Swab PCR Covid-19
- Transfusi PRC
- IVFD RL gtt xx/menit
- R/ partus per-abdominalis
1.6 Prognosis
- Ibu : Dubia ad bonam
- Janin : Dubia ad bonam
Suhu : 36,5oC.
P/
Pemeriksaan fisik:
‒ Observasi TVI, His, DJJ, dan
Konjungtiva palpebra pucat (+/+).
tanda inpartu.
Pitting edema (+/+). ‒ Cek labor DR, UR, KD.
‒ IVFD RL gtt xx/menit.
St. Obstetri
9
Pemeriksaan Luar: ‒ R/ partus perabdominalis.
TFU 3 jbpx (37 cm) , memanjang,
punggung kiri, kepala u 5/5, His (-),
DJJ 140x/menit, TBJ 3.720 gram.
Pemeriksaan Dalam:
Hematokrit : 19 vol%.
Leukosit : 5800/uL.
Trombosit : 233000/uL.
Ureum : 11 mg/dl.
Ig G Covid-19 : Reaktif.
10
Follow Up
Senin, 22 Maret 2021
Pukul 08.00 WIB
O/ S/ Mau melahirkan cukup bulan
dengan darah tinggi dan riwayat
St. Present
SC 1 kali.
Keadaan umum : Sakit sedang.
Suhu : 36,5oC.
P/
St. Obstetri
Pemeriksaan Luar: ‒ Observasi TVI, His, DJJ, dan
Pemeriksaan Laboratorium
Follow up
Selasa, 23 Maret 2021,
Pukul 07.00 WIB
11
O/ S/ Mau melahirkan cukup bulan
dengan darah tinggi dan riwayat
St. Present
SC 1 kali.
Keadaan umum : Sakit sedang.
Suhu : 36,5oC.
P/
St. Obstetri
Pemeriksaan Luar: ‒ Observasi TVI, His, DJJ, dan
12
P/ Instruksi post operasi
St. Present
Keadaan umum : Sakit sedang. A/ P2A1 post SSTP a.i PEB dan
bekas SC 1x + anemia berat dengan
Kesadaran : Compos mentis
neonatus perempuan 3.900 gram
Tekanan darah : 145/85 mmHg. APGAR Score 8/9 FT AGA.
Nadi : 80 kali/menit.
Pernapasan : 20 kali/menit.
Suhu : 36,5oC.
Pemeriksaan fisik: P/
13
Pemeriksaan Luar: ‒ Ceftriaxone 2x1gr iv.
TFU 2 jbpst , kontraksi baik, ‒ Metamizole 3x1gr iv.
perdarahan pervaginam tak aktif, ‒ Amlodipine 1x10 mg po.
lokhia (+) rubra, luka bekas operasi ‒ Transfusi PRC 1x 250 cc
tertutup verban, tenang dan tidak
tampak darah, edema pada putting (-),
ASI (-), putting inverted (-).
Laboratorium:
Urobilinogen : Positif 2
Leukosit : 1-3
Eritrosit : 2-4
14
Pernapasan : 20 kali/menit.
Suhu : 36,5oC. P/
Laboratorium.
15
pasien boleh pulang dengan obat
St. Obstetri
pulang:
Pemeriksaan Luar:
‒ Ciprofloxacin 2x500mg po.
Abdomen datar, lemas, simetris,
‒ Amlodipine 1x10mg po.
perdarahan pervaginam tak aktif,
‒ Asam mefenamat 3x500mg po
lokhia (+) rubra, luka bekas operasi
tertutup verban, vulva dan vagina
tenang dan tidak tampak darah, edema
pada putting (-), ASI (+), putting
inverted (-).
16
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklamsia
2.1.1 Defini Preeklamsia
Preeklamsia adalah hipertensi yang terjadi pada usia kehamilan setelah 20
minggu yang dikuti dengan proteinuria yang signifikan (> 0,3 g / 24 jam ), adanya
sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri abdominal atau hasil tes laboratorium
abnormal, khususnya trombosit rendah dan /atau fungsi hati yang abnormal.1
American College of Obstetrics and Gynecology (ACOG) mendefinisikan
preeklamsia sebagai adanya hipertensi dan proteinuria yang terjadi setelah 20
minggu kehamilan pada pasien yang sebelumnya mengalami normotensi. Namun,
pada sebagian besar wanita ditemukan manifestasi sistemik dari preeklamsia,
seperti penurunan trombosit atau peningkatan enzim hati sebelum terdeteksinya
proteinuria. Kriteria ini dikonfirmasi dalam pembaruan pedoman praktik ACOG
sebagai berikut:2
17
Hipertensi yang diinduksi kehamilan seperti preeklamsia adalah salah satu
penyebab utama kematian ibu hamil di dunia [5, 6]. Dari 830 kematian ibu setiap
harinya, tercatat 550 terjadi di Sub-Sahara Afrika dan 180 di Asia Selatan,
sedangkan hanya ada 5 kasus di negara maju. Tingginya risiko wanita hamil di
negara berkembang meninggal akibat preeklamsia berhubungan dengan faktor
terkait ibu yang sekitar 33 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita hamil
yang tinggal di negara maju.
18
Preeklamsia lebih sering terjadi pada wanita primigravida dan nulipara.
Risiko preeklamsia juga meningkat sebanding dengan besarnya interval
jarak antar kehamilan.
Menurut Pedoman National Institute for Health and Care Excellence
(NICE) 2019 mengklasifikasikan seorang wanita berisiko tinggi mengalami
preeklamsia jika ada riwayat penyakit hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau
penyakit ibu termasuk penyakit ginjal kronis, penyakit autoimun, diabetes, atau
hipertensi kronis, sedangkan wanita yg berada dikelompok berisiko sedang jika
mereka merupakan nulipara, berusia ≥40 tahun, memiliki massa indeks tubuh
(BMI) ≥ 35 kg /m dan riwayat keluarga dengan preeklamsia. 4
19
• Penyakit ginjal • Usia ≥ 35 tahun
• Penyakit autoimun (SLE, APS) • Interval kehamilan > 10 tahun
20
Gambar 2.3. Patogenesis Preeklamsia
Arteri Spiralis pada Keadaan Normal dan Preeklamsia. A. Implantasi plasenta normal pada
trimester ketiga memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus dari vilus jangkar. Trofoblas ini
menginvasi desidua dan meluas ke dalam dinding arteriola spiralis untuk menggantikan
endotelium dan dinding otot. Remodeling ini menyebabkan terbentuknya pembuluh darah yang
melebar dan memiliki tahanan rendah. B. Plasenta pada kehamilan preelkamtik atau dengan
restriksi pertumbuhan janin memperlihatkan implantasi yang cacat. Hal tersebut ditandai demgan
invasi tidak sempurna dinding arteriola spiralis oleh trofoblas ekstravilus, dan menyebabkan
terbentuknya pembuluh darah berdiameter sempit dengan resistensi yang tinggi. 3
21
Gambar 2.4 Klasifikasi Preeklamsia6
Namun terdapat juga klasifikasi preeklamsi dari American College Obstetry
and Gynecology (ACOG) sebagai berikut:7
22
persistent right upper quadrant
or epigastric pain unresponsive
to medication and not
accounted for by alternative
diagnoses, or both
7. Thrombocytopenia
8. Renal insufficiency
23
hipertensi dapat diikuti salah satu kreatinin serum dari sebelumnya
dibawah ini: pada kondisi dimana tidak ada
3. Trombositopenia : Trombosit < kelainan ginjal lainnya
100.000 / mikroliter 4. Gangguan Liver :Peningkatan
4. Gangguan ginjal : Kreatinin serum konsentrasi transaminase serum 2
diatas 1,1 mg/dL, atau didapatkan kali normal dan atau adanya Nyeri
peningkatan kadar kreatinin serum epigastrik persisten/ regio kanan
dari sebelumnya pada kondisi atas abdomen(akibat teregangnya
dimana tidak ada kelainan ginjal kapsula Glisson)
lainnya 5. Edema paru
5. Gangguan Liver :Peningkatan 6. Gejala Neurologis : Stroke, nyeri
konsentrasi transaminase serum 2 kepala, gangguan visus
kali normal dan atau adanya Nyeri 7. Gangguan sirkulasi Uteroplasenta
epigastrik persisten/ regio kanan : oligohidramnion, Fetal Growth
atas abdomen(akibat teregangnya Restriction (FGR) atau didapatkan
kapsula Glisson) adanya absent or reversed and
6. Edema paru diastolic velocity (ARDV)
7. Gejala Neurologis : Stroke, nyeri
kepala, gangguan visus
8. Gangguan sirkulasi Uteroplasenta :
oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan
adanya absent or reversed and
diastolic velocity (ARDV)
24
Gambar 2.5 Kriteria Diagnosis Preeklamsia berdsarkan ACOG
25
Dianjurkan juga untuk rawat inap dan pertimbangkan untuk segera melalukan
persalinan.
Pedoman yang dikeluarkan oleh The NICE (National Institute for Health
and Care Excellence) and NHS (National Health Services) merekomendasikan
pemberian nifedipine, 30–60 mg secara oral sebagai terapi lini pertama dan
alpha-methyldopa 250 mg (2–3 tablets/day) sebagai terapi lini kedua untuk
preeklamsia derajat ringan-sedang. Pada preeklamsia derajat berat labetalol
menjadi pilihan terapi lini pertama atau hydralazine secara intravena sebagai
terapi lini kedua. 5
26
belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah
menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh
darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat
juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan
dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam
neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetil kolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsang tidak terjadi
(terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium)
Regimen pada penderita preeklampsia diawali dengan loading dose 8 gr
40% IM bokong kanan dan kiri diikuti dosis pemeliharaan 4 gr 40% tiap 6 jam
bergantian salah satu bokong. Pada preeklamsia pemberian regimen MgSO4 dapat
juga diawali dengan loading dose 4 gram MgSO4 intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit, diikuti maintenance dose diberikan infus 6 gram dalam larutan
Ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. selanjutnya maintenance dose
diberikan 4 gram i.m. tiap 4-6 jam.1 Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda-
tanda intoksikasi seperti depresi pernapasan, setelah 24 jam pascapersalinan atau
24 jam setelah kejang berakhir.
Syarat-syarat pemberian MgSO4 :
27
2. Pemberian Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru
janin, menurunkan insiden RDS, mencegah perdarahan intraventrikular, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bila usia
kehamilan kurang dari 35 minggu. Obat yang diberikan adalah deksametason atau
betametason. Pemberian siklus tunggal kostikosteroid adalah ; deksametason 4 x 6
mg i.m dengan jarak pemberian 12 jam, betametason 2 x 12 mg i.m dengan jarak
pemberian 24 jam.1
3. Obat Antihipertensi
a. Nifedipine
Nifedipine dosis 30–60 mg dengan sediaan slow-release dapat digunakan
sebagai pengobatan lini pertama pada gejala preeklamsia ringan karena dipercaya
aman, efektif dan tidak bersifat teratogenic pada ibu hamil. Namun,dalam
penanganan preeklamsia gejala berat, nifedipine digunakan sebagai pengobatan
lini kedua dengan dosis 10-20 mg dalam sediaan immediate-release. 5 Nifedipine
merupakan calcium channel blocker yang bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel.
Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker dapat
mengurangi afterload, sedangkan efeknya ditemukan minimal pada sirkulasi vena.
Nifedipin juga bersifat natriuretik yang dapat meningkatkan produksi urin
sehingga menurunkan tekanan darah. Dosis pemberian maksimum 120 mg dalam
24 jam.1
b. Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat
antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi
kronis. Metildopa mempunyai safety margin luas (paling aman). Walaupun
metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri.
Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh.
28
Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi,
hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis."
Metildopa biasanya digunakan sebagai terapi lini kedua pada preeklamsia
ringan yang dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali sehari, dengan
dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat
masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal.
Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam
sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui
plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.10
c. Labetalol
Labetalol menurunkan tekanan darah dengan cara memblokir reseptor β- dan
α-adrenergik. Labetalol juga dapat menjaga aliran darah uteroplasenta tetap baik
jika dibandingkan dengan golongan β bloker lainnya. Apabila dibandingkan
dengan metildopa dan nifedipine, labetalol memiliki onset kerja yang lebih cepat
dan terbukti aman digunakan pada kehamilan. Labetalol diberikan melelaui jalur
intravena untuk kasus emergensi akut hipertensi. 10
d. Hydrazaline
Hydralazine termasuk kelompok direct vasodilator yang bisa diberikan oral,
intramuskular, atau intravena (IV). Hydralazine telah digunakan pada semua
trimester kehamilan dan tidak bersifat teratogenik, efek sampingnya adalah
trombositopenia, penurunan aliran darah ke uterus dan hipotensi. Hydralazin oral
dapat digunakan untuk hipertensi kronis pada trimester kedua dan ketiga.
Hydralazine IV direkomendasikan untuk hipertensi emergensi pada kehamilan,
Terdapat satu studi RCT membandingkan efektifitas dan keamanan antara
labetalol IV dan hydralazine IV untuk hipertensi berat pada kehamilan. Penelitian
ini melibatkan 152 subyek dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 76,
kelompok satu diberikan labetalol IV, kelompok lainnya hydralazine IV.
Disimpulkan bahwa labetalol dan hydralazine efektif menurunkan hipertensi berat
pada kehamilan. Labetalol lebih cepat menurunkan tekanan darah daripada
hydralazine. Efek samping keduanya hampir sama.10,11
29
Gambar 2. 8 Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa Gejala Berat
30
Gambar 2.9 Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat
31
2.1.8 Komplikasi Preeklamsia
Komplikasi yang terjadi pada preeklamsia dapat berupa komplikasi
terhadap janin dan ibu. Komplikasi yang terjadi pada janin dapat berupa hambatan
pertumbuhan janin hingga kematian janin. Terjadinya vasospasme difus atau
multifokal dapat menyebabkan iskemia ibu, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi banyak organ, terutama otak, ginjal, dan hati. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya vasospasme adalah penurunan prostasiklin (vasodilator
yang diturunkan dari endotel), peningkatan endotelin (vasokonstriktor yang
diturunkan dari endotel), dan peningkatan Flt-1 yang dapat larut (reseptor
sirkulasi untuk faktor pertumbuhan endotel vaskular). Ibu yang mengalami
preeklamsia memiliki risiko untuk mengalami solusio plasenta pada kehamilan
saat ini dan kehamilan selanjutnya. Hal ini kemungkinan terkait dengan
insufisiensi uteroplasenta.
Sistem koagulasi yang diaktifkan, kemungkinan akibat dari disfungsi sel
endotel, yang mengarah ke aktivasi trombosit sehingga menimbulkan Sindroma
HELLP. Sindroma HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertai hemolisis,
peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia (Hemolysis,
Elevated Liver enzyme, Low Platelets count). Tanda dan gejala tidak khas seperti
malaise, nyeri kepala, mual, muntah. Tanda hemolisis intravaskular khususnya
kenaikan LDH, AST, dan bilirubin indirek. disfungsi sel hepatosit hepar yaitu
kenaikan ALT, AST, LDH. Trombositopenia yaitu trombosit ≤ 150.000/ml.
Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi mississippi berdasarkan
trombosit darah:
e. Klas 1: Trombosit ≤ 50.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST dan/atau ALT ≥ 40
IU/l
f. Klas 2: Trombosit > 50.000/ml ≤ 100.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST
dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
g. Klas 3: Trombosit > 100.000/ml ≤ 150.000/ml, LDH ≥ 600 IU/l, AST
dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
32
2.1.9 Prognosis Preeklamsia
Pada sebuah penelitian dikatakan pasien preeklamsia dengan usia dibawah
24 tahun secara signifikan lebih berisiko untuk mengalami eklamsia, sedangkan
pasien dengan usia > 34 tahun secara signifikan juga ditemukan lebih berisiko
mengalami gagal ginjal akut dan edema paru. Perkembangan keparahan dari
preeklamsia pada kehamilan usia muda (<34 minggu) diikuti dengan peningkatan
risiko mortalitas serta morbiditas ibu dan janin. Pada penelitian ini juga
didapatkan hasil pasien preeklamsia dengan usia kehamilan <34 minggu
mempuyai prognosis lebih buruk apabila dibandikan dengan usia kehamilan ≥ 34
minggu. 12
Prognosis preeklamsia ditemukan lebih baik pada kelompok pasien yang
mengkonsumsi magnesium sulfat, melakukan persalinan tepat waktu, dan berada
di fasilitas pelayanan kesehatan yang baik. Pemberian magnesium sulfat pada
preeklamsia berat dapat mencegah terjadinya eklamsia dan kerusakan organ
lainnya. Ibu hamil yang melakukan antenatal care secara rutin akan lebih cepat
mengetahui diagnosis preeklamsia dan tatalaksana yg diberikan akan lebih efektif,
sehingga prognosisnya lebih baik. Kadar hemoglobin rendah pada pasien dengan
preeklamsia biasanya disebabkan oleh komplikasi dari solusio plasenta dan
HELLP sindrom yang akan membuat prognosis pasien menjadi buruk.13
33
2.2.2 Indikasi Sectio Caesarea
Beberapa indikasi dilakukan tindakan sectio caesarea yaitu antara lain
sebagai berikut :
a. Faktor Janin
Faktor janin merupakan tindakan operasi sesar yang dilakukan karena
kondisi janin tidak memungkinkan untuk dilakukan persalinan normal,
contohnya bayi yang terlalu besar dengan perkiraan berat lahir 4.000 gram. atau
lebih. Kondisi tersebut jika dilakukan persalinan normal dapat
membahayakan keselamatan ibu dan janinnya. Pada posisi sungsang berat
janin lebih dari 3600 gram sudah dianggap besar sehingga perlu dilakukan
kelahiran dengan operasi sesar.18
b. Presentasi bokong
Sekitar 3-5 % atau 3 dari 100 bayi lahir dalam posisi sungsang. Keadaan
janin sungsang terrjadi apabila letak janin didalam rahim memanjang dengan
kepala berada dibagian atas rahim, sementara bokong berada dibagian bawah
rongga rahim. Risiko bayi lahir sungsang pada persalinan alami diperkirakan
4 kali lebih besar dibandingkan lahir dengan letak kepala yang normal. Oleh
karena itu biasanya langkah terakhir untuk mengantisipasi hal terburuk
karena persalinan yang tertahan akibat janin sungsang adalah operasi.19
c. Letak Lintang
Kelainan lain yangsering terjadi adalah letak lintang atau miring (oblique).
Letak yang demikian menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan
lahir. Letak miring yang dimaksud yaitu letak kepala pada posisi yang satu
sedangkan bokong pada sisi yang lain. Pada umumnya bokong akan berada
sedikit lebih tinggi daripada kepala janin, sementara bahu berada pada bagian
atas panggul. Konon punggung dapat berada didepan, belakang, atas maupun
bawah. Kelainan letak lintang ini hanya terjadi sebanyak 1%. Kelainin ini
biasanya ditemukan pada perut ibu yang menggantung atau karena adanya
kelainan bentuk rahim. Penanganan untuk kelainan letak lintang ini juga
sifatnya sangat individual . Apabila dokter memutuskan untuk melakukan
tindakan operasi, sebelumnya harus memperhitungkan sejumlah faktor
34
keselamatan ibu dan bayi.19
d. Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan, memungkinkan dokter untuk
memutuskan dilakukaknnya operasi. Seperti diketahui, sebelum lahir, janin
mendapat oksigen dari ibunya melalui ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi
gangguan pada ari-ari akibat ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang
rahim, serta gangguan pada tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh
bayi maka jatah oksigen yang disalurkan ke bayi pun menjadi berkurang.
berakibat janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini bisa
menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang
meninggal dalam rahim.20
e. Bayi Kembar
Pada konsidi Bayi kembar akan di lahirkan secara operasi sesar, kelahiran
kembar ini memiliki resiko terjadinya komplikasi yang lebih tinggi dari pada
kelahiran satu bayi. Misalnya, lahir prematur atau lebih cepat dari waktunya.
Sering kali terjadi preeklampsi pada ibu yang hamil kembar karena stres.
Selain itu karena bayi kembar pun dapat mengalami sungsang sehingga sulit
untuk melahirkan normal.11
35
menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-
ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
36
garis tengah uterus. Indikasi penggunaannya meliputi gestasi dini dengan
perkembangan buruk pada segmen bawah, akses ke segmen bawah yang
terhalang oleh pelekatan fibroid uterus dan jika ada karsinoma servik19.
Segmen atas pada persalinan sectio caesarea merupakan pembedahan melalui
sayatan vertikal pada dinding perut (abdomen) yang lebih dikenal dengan
classical incision atau sayatan klasik. Jenis ini memungkinkan ruangan yang
lebih besar untuk jalan keluar bayi. Operasi section caesarea jenis ini jarang
digunakan untuk tenaga kedokteran karena lebih beresiko pada kelahiran.
Seringkali diperlukan luka insisi yang lebih lebar karena bayi sering
dilahirkan dengan bokong dahulu
c. Seksio Sesarea Ekstraperitoneal
Suatu teknik yang dilakukan tanpa insisi peritoneum melainkan
dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah
atau ke garis-garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen
bawah.
d. Seksio Sesarea disertai Histerektomi
Pengangkatan uterus setelah tindakan seksio sesarea oleh karena
atonia uteri yang tidak dapat teratasi, pada keadaan uterus miomatousus
besar dan banyak, atau keadaan ruptur uteri yang tidak dapat diatasi.
2.2.4 Komplikasi
a. Infeksi puerperal (nifas)
Infeksi ini berupa ringan dan berat, kenaikan suhu beberapa hari
termasuk dalam kategori ringan, sedangkan suhu yang lebih tinggi, disertai
dehidrasi dan perut sedikit kembung termasuk sedang. kenaikan suhu yang
lebih tinggi disertai dengan peritonitis , sepsis dan ileus paralitik termasuk
dalam kategori berat. Infeksi disebabkan oleh adanya kuman atau bakteri
sumber penyebab infeksi pada daerah luka. Infeksi menyebabkan peningkatan
inflamasi dan nekrosis yang menghambat penyembuhan luka.21
b. Perdarahan
Perdarahan disebabkan karena banyak pembuluh darah yang terputus dan
37
terbuka, atonia uteri, perdarahan pada plasental bed. Perdarahan primer
sebagai akibat kegagalan mencapai homeostatis karena insisi rahim atau
akibat atonia uteri yang dapat terjadi setelah pemanjangan masa
persalinan.Sepsis setelah terjadi pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini
lebih besar bila sectio caesaria dilaksanakan selama persalinan atau bila
terdapat infeksi dalam rahim.Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan
kandung kemih bila reperitonialisis terlalu tinggi. Cidera pada sekeliling
struktur usus besar, kandung kemih yang lebar dan ureter. Hematuri singkat
dapat terjadi akibat terlalu antusias dalam menggunakan regaktor di daerah
dinding kandung kemih.19
c. Komplikasi yang timbul pada eklampsia
Komplikasi tergantung derajat pre eklampsia atau eklampsia antara lain
Antonia uteri, Sindom HELLP (Hemolysis, Elevated Livr Enzimes, Low
Platelet Count), ablasi retina, KID (Koagulasi Intravaskuler Diseminata),
Gagal gijal, Perdarahan otak, edema paru, gagal jantung, hingga syok dan
kematian. Komplikasi pada janin berhubungan dengan akut atau kronisnya
insufisiensi uteroplasenta, misalnya pertumbuhan janin terlambat dan
prematuritas.22
d. Hipotermi
Perawatan pasien pasca bedah dapat menjadi kompleks akibat perubahan
fisiologis yang mungkin terjadi, diantaranya komplikasi perdarahan, irama
jantung tidak teratur, gangguan pernafasan, sirkulasi, pengontrolan suhu
(hipotermi), serta fungsi-fungsi vital lainnya seperti fungsi neurologis,
integritas kulit dan kondisi luka, fungsi genito-urinaria, gastrointestinal,
keseimbangan cairan dan elektrolit serta rasa nyaman.20 Beberapa kejadian
menggingil (hipotermia) yang tidak diinginkan mungkin dialami pasien
akibat suhu yang rendah di ruang operasi, infus dengan cairan yang dingin,
inhalasi gas-gas yang dingin, kavitas atau luka terbuka pada tubuh, aktivitas
otot yang menurun, usia yang lanjut, atau agent obat- obatan yang.22
38
2.2.5 Penatalaksanaan
Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan pada ibu post
Sectio caesarea antara lain :
a. Resusitasi cairan : Untuk pedoman umum, pemberian larutan RL,
terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama
berikutnya, meskipun demikian, jika output urine jauh dibawah 30
ml/jam, pasien harus segera dievaluasi kembali.
b. Mobilisasi : Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi, Miring kanan
dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi, Latihan
pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar. Hari kedua post operasi, penderita dapat
didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah
menjadi posisi setengah duduk (semifowler). Selanjutnya selama
berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama
sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
sampai hari ke-5 pasca operasi.
c. Kateterisasi : Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan
tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan
menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih
lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
d. Pemberian obat-obatan
− Antibiotik.
− Analgetik
− Obat-obatan lain.
2.3 Anemia
2.3.1 Definisi
Anemia pada kehamilan merupakan masalah kesehatan masyarakat
terutama di negara berkembang dan dikaitkan dengan dampak yang buruk pada
kehamilan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia pada
39
kehamilan sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) kurang dari 11 g / dl. Secara
lebih rinci anemia pada kehamilan diklasifikasikan sebagai derajat ringan (10-10,9
g/dl), sedang (Hb 7-9,9g / dl), berat (Hb <7 g / dl) dan sangat berat (<4 g/dl).
Menurut The Centers for Disease Control and Prevention anemia dikatakan
sebagai konsentrasi hemoglobin <11 g / dl pada trimester pertama dan < 10.5 g/dl
trimester kedua dan trimester ketiga sedangkan anemia pascapartum didefinisikan
sebagai konsentrasi hemoglobin <10 g / dl.14,15
Anemia adalah suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin lebih rendah dari biasanya. Hemoglobin dibutuhkan untuk membawa
oksigen dan jika konsentrasi yang dimiliki terlalu sedikit, akan terjadi penurunan
kapasitas darah untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh. Dalam memproduksi
sel-sel darah merah di sumsum tulang dibutuhkan zat besi, vitamin B12 & asam
folat untuk proses eritropoiesis. Jika terdapat kekurangan satu atau lebih
komponen tersebut maka akan terjadi peningkatan kehilangan sel darah merah,
sehingga akan menimbulkan gejala anemia. Pasien dengan Hb kurang dari 11g/
dl hingga 11,5 g/ dl pada awal kehamilan akan dirawat dengan diagnosis
anemia.16
2.3.2 Epidemiologi
Menurut WHO, anemia dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat
yang signifikan jika pada studi populasi ditemukan prevalensi anemia sebesar
5,0% atau lebih tinggi.17 Data global menunjukkan bahwa 56% ibu hamil di
negara berpenghasilan rendah dan sedang mengalami anemia.18 Prevalensi anemia
tertinggi ditemukan diantara wanita hamil di Sub-Sahara Afrika (SSA) (57%),
diikuti oleh wanita hamildi Asia Tenggara (48%), dan prevalensi terendah
(24,1%) ditemukan di antara wanita hamil di Amerika Selatan.17Survei Demografi
dan Kesehatan Tanzania melaporkan adanya sedikit penurunan pada prevalensi
anemia pada wanita hamil dari 58% pada tahun 2004 menjadi 53% pada 2010.19
Di negara tropis, kejadian anemia dalam kehamilan sekitar 40-80% dan di
negara maju, berkisar antara 10-20%.20 Prevalensi anemia pada ibu hamil di
Indonesia masih cukup tinggi dengan angka 48,9 % pada tahun 2018. Data yang
40
berasal dari RISKESDAS ini menunjukkan peningkatan apabila dibanding tahun
2013 yaitu sebanyak 37,1%. 21
2.3.3 Etiologi
Adanya perubahan fisiologis normal pada kehamilan akan mempengaruhi
hematokrit dan parameter tertentu lainnya, seperti hemoglobin, retikulosit, ferritin
plasma, dan kapasitas pengikatan zat besi tak jenuh.16,22 Jenis anemia yang paling
umum dijumpai adalah anemia defisiensi besi dan anemia megaloblastik
defisiensi folat. Anemia ini lebih sering terjadi pada wanita yang memiliki pola
makan tidak memadai dan yang tidak menerima suplemen zat besi dan folat
prenatal.
2.3.4 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anemia, tetapi yang paling
umum adalah defisiensi zat besi yang diasumsikan menjadi 50% penyebab kasus
anemia pada kehamilan.23 Faktor lainnya yang dapat menjadi penyebab anemia
pada kehamilan sebagai berikut22,24:
1. Umur ibu hamil
Anemia pada kehamilan berhubungan signifikan dengan umur ibu hamil.
Semakin muda dan semakin tua umur seorang ibu yang sedang hamil akan
berpengaruh terhadap kebutuhan gizi yang diperlukan. Kurangnya
pemenuhan zat-zat gizi selama hamil terutama pada usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun akan meningkatkan resiko terjadinya
anemia.
2. Usia Kehamilan
Umur kehamilan dihitung menggunakan Rumus Naegele, yaitu jangka
waktu dari Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) sampai hari dilakukan
perhitungan umur kehamilan. Umur kehamilan dinyatakan dalam minggu,
kemudian dapat dikategorikan menjadi:
a. Trimester I : 0-12 minggu
b. Trimester II : 13-27 minggu
c. Trimester III : 28-40 minggu
41
Ibu hamil pada trimester pertama dua kali lebih mungkin untuk mengalami
anemia dibandingkan pada trimester kedua. Demikian pula ibu hamil di
trimester ketiga hampir tiga kali lipat cenderung mengalami anemia
dibandingkan pada trimester kedua. Anemia pada trimester pertama bisa
disebabkan karena kehilangan nafsu makan, morning sickness, dan
dimulainya hemodilusi pada kehamilan 8 minggu. Sementara di trimester
ke-3 bisa disebabkan karena kebutuhan nutrisi tinggi untuk pertumbuhan
janin dan berbagi zat besi dalam darah ke janin yang akan mengurangi
cadangan zat besi ibu.
3. Paritas
Menunjukkan bahwa ibu dengan paritas dua atau lebih, berisiko 2,3 kali
lebih besar mengalami anemia daripada ibu dengan paritas kurang dari
dua. Hal ini dapat dijelaskan karena wanita yang memiliki paritas tinggi
umumnya dapat meningkatkan kerentanan untuk perdarahan dan deplesi
gizi ibu. Dalam kehamilan yang sehat, perubahan hormonal menyebabkan
peningkatan volume plasma yang menyebabkan penurunan kadar
hemoglobin namun tidak turun di bawah tingkat tertentu (misalnya 11,0 g /
dl). Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, setiap kehamilan
meningkatkan risiko perdarahan sebelum, selama, dan setelah
melahirkan.Paritas yng lebih tinggi memperparah risiko perdarahan. Di
sisi lain, seorang wanita dengan paritas tinggi memiliki ukuran jumlah
anak yang besar yang berarti tingginya tingkat berbagi makanan yang
tersedia dan sumber daya keluarga lainnya dapat mengganggu asupan
makanan wanita hamil.
4. Pendidikan
Wanita yang memiliki pendidikan menengah atau lebih tinggi memiliki
risiko lebih kecil untuk mengalami anemia dibandingkan wanita dengan
tingkat pendidikan rendah. Pendidikan telah dilaporkan dapat mengurangi
risiko anemia dalam beberapa penelitian. Wanita hamil yang
berpendidikan memiliki pola pikir yang lebih baik dalam mengkonsumsi
makanan dan memperhatikan asupan gizi disaat masa kehamilan.
42
5. Status ekonomi dan gizi
Status gizi dan sosial ekonomi merupakan faktor yang signifikan
berhubungan dengan anemia pada ibu hamil yang mempengaruhi
kemampuan keluarga untuk mengakses pelayanan kesehatan yang
bermutu termasuk mengakses pelayanan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan. Sosial ekonomi juga mempengaruhi
kemampuan keluarga untuk memenuhi konsumsi gizi keluarga
termasuk daya beli makanan hewani untuk mencegah dan mengatasi
anemia ibu hamil, konsumsi buah yang kurang, dan kepatuhan minum
tablet FE.
6. Riwayat Antenatal Care (ANC)
Wanita hamil yang rutin melakukan ANC akan diberikan suplemen zat
besi untuk mencegah risiko anemia. Selain zat besi, wanita hamil juga
akan diberikan obat cacing dan profilaksis malaria untuk mencegah
anemia yang bisa disebabkan oleh nyamuk atau cacing.
2.3.5 Patofisiologi
Pada usia kehamilan 6 minggu tejadi peningkatan volume plasma sekitar
1.250 ml atau 48 % dari jumlah normal disaat tidak hamil. Peningkatan ini, tidak
sejalan dengan peningkatan pada massa sel darah merah yang hanya berkisar 250
ml atau 18% di usia kehamilan aterm. Ketidakseimbangan antara
kecepatan penambahan volume plasma dan penambahan eritrosit ke dalam
sirkulasi ibu biasanya memuncak pada usia kehamilan trimester kedua dan
memicu terjadinya hipervolemi serta pengenceran darah.25
Pengenceran darah dianggap sebagai respon penyesuaian secara fisiologi
dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita hamil. Pengenceran ini
meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil,
karena sebagai akibat hipervolemia tersebut, keluaran jantung (cardiac output )
juga meningkat. Kerja jantung ini lebih ringan apabila viskositas darah rendah.
Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan darah tidak naik. Selain itu,
kadar eritropoetin ginjal mengalami peningkatan yang terjadi secara bersamaan
dengan hipervolemi sehingga terjadi peningkatan produksi sel darah merah
43
sebanyak. Namun, hal ini hanya akan mengkompensasi sebagian dari volume
plasma yang meningkat jauh lebih besar sehingga akan mengakibatkan
hemodilusi dan penurunan konsentrasi hemoglobin.26
2.3.6 Klasifikasi
Pemeriksaan hemoglobin secara rutin selama kehamilan merupakan
kegiatan yang umumnya dilakukan untuk mendeteksi anemia. Menurut WHO,
anemia selama kehamilan diidentifikasi oleh kadar hemoglobin kurang dari 11,0g
/ dL dan dapat dibagi menjadi tiga tingkat keparahan, sebagai berikut:
1. Anemia ringan : kadar Hb 9 sampai 10,9 g / dL
2. Anemia sedang : kadar Hb 7 sampai 8,9 g / dL
3. Anemia berat : kadar Hb kurang dari 7g / dL
Sedangkan Klasifikasi menurut Depkes RI (2000) hanya dibagi menjadi
dua,yaitu:
1. Tidak anemia : ≥ 11 gr%
2. Anemia : < 11 gr%
Selain itu terdapat juga klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut
Wulandari27, sebagai berikut:
a. Anemia defiensi besi
Pada anemia ini, MCV, MCH, dan MHCH dari sel darah merah adalah
normal. Biasa disebabkan oleh kehilangan darah yang akut, anemia defisiensi
besi, fisiologis kehamilan (dilusi sebabkan oenurunan hemoglobin), hemolisis,
anemia multifaktorial, anemia pada penyakit atau inflamasi kronik dan penyakit
ginjal kronik.
b. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia akibat kerusakan sintesis DNA yang
mengakibatkan tidak sempurnanya sel darah merah yang terbentuk. Anemia ini
disebabkan karena kurangnya asam folat, umumnya terkait dengan anemia
defisiensi zat besi, jarang dijumpai kasus anemia megaloblastik .
c. Anemia hipoplastik
44
Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sumsum tulang kurang
mampu membuat sel-sel darah baru. Penyebab terjadinya anemia hipoplastik
sampai sekarang belum diketahui secara jelas, kecuali yang disebabkan oleh
sepsis, sinar rontgen, racun atau obat-obatan, dalam hal terakhir anemia dianggap
hanya sebagai komplikasi kehamilan.
d. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik disebabkan karena penghancuran sel darah merah
berlangsung lebih cepat dari pembuatannya. Wanita dengan anemia hemolitik
sukar menjadi hamil, sebab apabila ia hamil maka anemianya akan menjadi lebih
berat. Sebaliknya mungkin kehamilan dapat menyebabkan krisis hemolitik pada
wanita yang sebelumnya tidak mengalami anemia.
2.3.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Manifestasi klinis dari anemia umumnya sesuai dengan derajat keparahan.
.Anemia derajat ringan terkadang sulit dideteksi melalui anamnesis akibat keluhan
yang bersifat asimptomatik. Namun, anemia derajat sedang-berat akan muncul
gejala seperti, kelelahan, pusing, lesu, pandangan kabur dan jantung yang
berdebar. 28
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan perubahan pada mukosa kulit,
konjungtiva terlihat pucat, sianosis pada bibir, mukosa mulut berwarna pucat,
kuku sendok, glositis, stomatitis, timbul edema akibat hipoproteinemia dan
capillary refill time (CRT) > 2 detik. 29
c. Pemeriksaan penunjang
Komponen terpenting dalam mendiagnosis anemia adalah uji
laboratorium. Hasil laboratorium akan menunjukkan penurunan hemoglobin (Hb),
konsentrasi serum Fe, serum transferin, dan kadar serum feritin serta peningkatan
kapasitas pengikatan besi total. Pada trimester pertama akan ditemukan
konsentrasi ferritin serum <30 μg / L bersama dengan konsentrasi Hb <11 g / dL.
Selama trimester kedua kadar hemoglobin akan berada pada kisaran <10.5 g / dL
dan <11 g / dL selama trimester ketiga.3029
45
Gambar 3.11 Pemeriksaan laboratorium anemia
2.3.8 Prognosis
Prognosis dari anemia pada preeklampsia dapat dinilai dari dua aspek, yaitu:31
a. Aspek ibu
• Jika terdeteksi dini & pengobatan yang tepat dimulai, anemia
segera membaik
• Kemungkinan besar kambuh pada kehamilan berikutnya,
• Menyumbang sekitar 2% kematian ibu dalam perkembangan
negara.
b. Aspek janin
• Bayi yang lahir cukup bulan dari ibunya yang menderita anemia
berat tidak akan menjadi anemia saat lahir. Tetapi bayi hanya akan
46
menerima sedikit cadangan besi. Jadi anemia akan berkembang
pada periode neonatal
• Persalinan prematur
• Berat lahir rendah
• Kematian janin dalam kandungan
47
BAB III. PEMBAHASAN
48
bagian besar bulat dan keras yang menandakan presentasi kepala. Pada leopold 4
didapatkan bahwa bagian terbawah janin belum memasuki PAP.
Diagnosis Anemia berat didasari oleh pemeriksaan hemoglobin (Hb)
dengan hasil konsentrasi 6,2 g/dl. Berdasarkan definisi dari World Health
Organization anemia pada kehamilan didiagnosis sebagai konsentrasi hemoglobin
(Hb) kurang dari 11 g / dl. Secara lebih rinci anemia pada kehamilan
diklasifikasikan sebagai ringan / sedang (Hb 7-10,9 g / dl) dan berat (Hb <7 g /
dl).
3.2 Apakah penatalaksanan pada pasien ini sudah tepat?
Secara umum, algoritma penatalaksana pada kasus ini kurang tepat akibat
tidak diberikannya antihipertensi (nifedipine) dan anti kejang (MgSO4). Pasien
pada kasus ini masuk ke rumah sakit dengan tekanan darah 165/95 mmHg disertai
gejala neurologis berupa nyeri kepala. Kedua tanda dan gejala tersebut sudah
masuk ke dalam kriteria preeklamsia berat. Antihipertensi digunakan untuk
menormalkan tekanan darah sehingga mencegah terjadinya komplikasi penyakit
lain sedangkan anti kejang digunakan untuk mencegah terjadinya kejang sehingga
bisa meminimalkan terjadinya eklamsia (preeklamsia yang disertai kejang)
Prognosis terburuk yang sangat ditakuti pada preeklamsia berat adalah terjadinya
kejang atau eklamsia itu sendiri, oleh karenanya setiap ditemukan PEB wajib
diberikan anti kejang, baik dengan kombinasi antihipertensi maupun hanya anti
kejang saja berupa MgSO4. Pemberian nifedipine dengan kombinasi MgSO4
diberikan kepada semua pasien yang terdiagnosis PEB namun dengan dosis awal
dan maintenance yang menyesuaikan dengan evaluasi penurunan tekanan darah
maupun kondisi klinis dan penunjang lainnya yang diberikan di kamar bersalin.
Cek labor darah rutin, rapid test dan Swab Covid-19 dilakukan untuk
persiapan sectio caesarea. Pemberian IVFD RL XX gtt/menit bertujuan
mempertahankan cairan tubuh ibu. Sectio caesarea dilakukan karena persalinan
pervaginam tidak memungkinkan dilaksanakan berdasarkan adanya riwayat sectio
caesarea sebelumnya dan berdasarkan indeks Vaginal Birth After Caesarea
(VBAC) pelvic skor pada pasien ini didapatkan nilai 3 sehingga kemungkinan
keberhasilan janin dilahirkan secara pervaginam hanya 59-60%.
49
Pemberian transfusi Packed Red Cells (PRC) didasari hasil pemeriksaan
Hemoglobin (Hb) yang menunjukkan konsentrasi 6,2 g/dl dan hematokrit (Ht) 19
%. Konsentrasi hemoglobin dan hematokrit tersebut masuk ke dalam kriteria
anemia derajat berat sehingga diperlukan tranfusi PRC untuk mencapai
peningkatan yang cepat dalam pasokan oksigen ke jaringan, bila kepekatan Hb
rendah dan/atau kemampuan membawa oksigen berkurang, yaitu mekanisme
kompensasi fisiologis tidak memadai. Pada pemberian transfusi darah untuk
menaikkan tingkat Hb sebanyak 1 gr/dL diperlukan PRC 4 mL/ kgBB atau satu 1
unit.
Setelah SSTP dilakukan, pasien diberikan IVFD RL XX gtt/menit , injeksi
ceftriaxone 2x1 gram IV, injeksi metamizole 3x1 gram IV, amlodipine 1x 10 mg
per oral dan cek Hb post op. Pemberian ceftriaxone bertujuan sebagai antibiotik
profilaksis infeksi post SSTP. Pemberian metamizole sebagai obat anti inflamasi
nonsteroid (NSAID) yang berfungsi sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri
pasca operasi. Pemeriksaan Hb post SSTP bertujuan untuk mengetahui apakah
pasien mengalami anemia dan membutuhkan transfusi darah. Pada pasien ini Hb
post SSTP tercatat 7.4 g/dl, sehingga dimasukkan kembali tranfusi 1 kantong
PRC. Amlodipine merupakan obat antihipertensi golongan Calcium Channel
Blocker (CCB), obat digunakan sebagai lini pertama untuk mengatasi hipertensi
pada preeklamsia berat. Obat ini bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel.
Selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat
natriuretik juga dapat meningkatkan produksi urin sehingga dapat menurunkan
tekanan darah.
50
BAB IV. KESIMPULAN
51
6. Manajemen Ekspektatif pada kasus ini tidak diperlukan lagi karena usia
kehamilan pasien apabila dihitung dari HPHT sudah menunjukkan 38-39
minggu sehingga sudah boleh dilakukan terminasi kehamilan.
7. Pengambilan keputusan dalam melakukan sectio caesarea didasarkan pada
skor VBAC dan skor bishop. Pada pasien ini skor VBAC didapatkan 3
sehingga kemungkinan keberhasilan janin dilahirkan secara pervaginam
hanya 59-60, sedangkan skor bishop hanya 2 yang menandakan
keberhasilan apabila dilakukan induksi dan persalinan pervaginam kecil.
52
DAFTAR PUSTAKA
3. Ukah, U., B Payne, AM Cote, Z. H., Dadelszen, P. von & I. Risk factors
and predictors of pre-eclampsia. The Figo textbook of pregnancy
hypertension vol. 60 (2008).
53
Pettker, MD; and Hyagriv Simhan, M. Clinical Management Guidelines for
Obstetrician – Gynecologists Gestational Hypertension and Preeclampsia.
Am. Coll. Obstet. Gynecol. 135, 237–260 (2020).
12. Benfateh, M. et al. Risk factors and poor prognostic factors of preeclampsia
in Ibn Rochd university hospital of Casablanca: About 401 preeclamptic
cases. Pan Afr. Med. J. 31, 1–8 (2018).
13. Saxena, N., Bava, A. & Nandanwar, Y. Maternal and perinatal outcome in
severe preeclampsia and eclampsia. Int. J. Reprod. Contraception, Obstet.
Gynecol. 5, 2171–2176 (2016).
54
21. Kemenkes RI. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehat.
Republik Indones. 21–22 (2018).
29. Api, O., Breyman, C., Çetiner, M., Demir, C. & Ecder, T. and treatment of
iron deficiency anemia during pregnancy and the postpartum period: I.
deficiency anemia working group consensus report. Diagnosis and
treatment of iron deficiency anemia during pregnancy and the postpartum
period: Iron deficiency anemia working group consensus report. Iron Defic.
anemia Dur. pregnancy 12, 173–181 (2015).
31. Maureen Malee, PhD, M. Anemia in Pregnancy. Am. Coll. Obstet. Gynecol.
112, 201–207 (2008).
55