Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Suatu Hal yang Menarik dalam memperbincangkan masalah


euthanasia dengan hak asasi manusia adalah apa yang dilakukan oleh dr.
Jack Kevorkian yang dijuluki "Doctor Death", yang menolong pasien yang
masih diragukan statusnya, sehingga menjadi tandatanya apakah yang
dilakukannya itu benar-benar menolong pasien atau malahan
membunuhnya. Dari 69 pasien yang kematiannya dibantu oleh dr.
Kevorkian antara 1990-1998, hanya 25% yang didiagnosis sebagai
terminally-ill berdasarkan hasil otopsi. Sebanyak 72% dari pasien itu
diduga kuat semakin menurun kondisi kesehatannya, justru karena
dorongan keinginannya untuk mati.

Hal yang juga patut diperhatikan ialah 71% dari pasien yang
"dibantu" oleh dr. Kevorkian ternyata adalah wanita, suatu fakta yang
bertentangan dengan data epidemiologis di berbagai kawasan dunia yang
justru menunjukkan bahwa kaum wanita yang ingin mati karena
penyakitnya jauh lebih sedikit dibanding kaum laki-laki. Sesungguhnya
apa yang dilakukan oleh "Doctor Death" itu menjadi perdebatan dari segi
etika, sosial, dan hukum kedokteran. Pantaskah dokter menentukan
status dan kemudian langsung menolong pasien yang berkeinginan mati
tersebut. Atau Perlukah suatu badan atau dewan yang berwenang
menentukan/memutuskan bahwa seseorang telah sampai pada tahap
terminally-ill dan untuk itu layak ditolong dengan euthanasia.
2

Dalam dunia medis yang serba canggih, ternyata masih


memerlukan tuntutan etika, moral, dan hukum dalam pelaksanaannya.
Hal ini erat sekali kaitannya dengan penerapan hak asasi manusia (HAM)
di lapangan kedokteran. Sejauh mana hak-hak yang dimiliki oleh pasien
(dan juga dokter) dalam kaitan dengan euthanasia, agaknya sudah perlu
dipikirkan sejak sekarang. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para
dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan kasus-kasus \
yang dikatakan sebagai euthanasia itu, dan disitulah tuntunan serta
rambu-rambu etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan.

Bukan saatnya lagi kita masih mengatakan belum waktunya


untuk merumuskan rambu-rambu tadi, karena di era moderen seperti
sekarang ini para dokter akan lebih sering berhadapan dengan kasus-
kasus euthanasia. Ada suatu kontradiktif, manakala kita menilik kembali
human right di mana salah satunya adalah hak untuk hidup, ternyata ada
juga realita yang menuntut adanya hak untuk mati dengan cara
mengajukan tuntutan euthanasia. Fenomena tuntutan euthanasia telah
menimbulkan pro dan kontra, tidak hanya di kalangan masyarakat
Indonesia juga di kalangan masyarakat internasional.

Perdebatan mengenai boleh tidaknya euthanasia yang dulunya


hanya menjadi konsumsi khusus kalangan kedokteran ini, ternyata juga
bersinggungan dengan pranata sosial diantaranya hukum dan agama
serta norma-norma yang menjadi pedoman masyarakat. Eeuthanasia
mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia, lebih-lebih setelah
dilangsungkannya Konperensi Hukum Se-Dunia, yang diselenggarakan
oleh World Peace Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22
dan 23 Agustus 1977. Dalam Konperensi Hukum Se-Dunia tersebut, telah
diadakan Sidang Peradilan Semu (Sidang Tiruan), mengenai "hak
manusia untuk mati" atau the right to die. Yang beperan dalam sidang
3

tersebut adalah tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran dari


berbagai negara di dunia, sehingga mendapatkan perhatian yang sangat
besar. Namun dalam hal ini hak untuk mati tetap tidak diakui.

Euthansia berasal dari kata Yunani Euthanatos, mati dengan baik


tanpa penderitaan. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam
pengetahuan hukum kedokteran mendefenisikan Euthansia sesuai
dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG
(Ikatan Dokter Belanda), yang menyatakan Euthansia adalah dengan
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang
pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan
pasien sendiri. Menurut Kartono Muhammad Euthanasia dapat
dikelompokkan dalam 4 kelompok yaitu:

1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak


memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau
menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung.
2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung
maupun tidak langsung yang mengakibatkan kematian.
3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat
kematian tanpa permintaan atau persetujuan pasien, sering disebut
juga sebagai merey killing.
4. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga,
atau atas keputusan pemerintah.

Membicarakan euthanasia (eu = baik, thanatos = mati, mayat),


sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan
4

nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini
merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena
itulah selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara berpikir
masyarakat telah menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai
hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu
dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah
mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan berarti atas
pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya tidak pernah diikuti oleh
perkembangan dalam bidang hukum dan etika.

Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan


konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang
kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan
iptek kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia,
terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan
telah mati.

Menyinggung masalah kematian, bila dilihat dari aspek cara


terjadinya, dunia ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis
kematian, yaitu: Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu
proses alamiah, Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara
tidak wajar dan Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah


Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan
Jaringan Tubuh Manusia, menyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung dan paru-paru. Konsep mati yang dianut dalam aturan
hukum ini tidak bisa lagi dipertahankan, karena teknologi kedokteran telah
5

memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua berhenti bisa dapat


dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat dipompa untuk
berkembang kempis kembali.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan


pernyataan bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak
berfungsi lagi. Konsep ini dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter
Indonesia. Kreteria yang dianut oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
tersebut berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak pusat
penggerak napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati
maka jantung dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-
alat penopang .

Timbulnya permasalahan hak untuk mati ini disebabkan


penderitaan pasien yang tetap berkelanjutan, walau sekalipun di
temukannya teknologi canggih, namun penderitaan tidak dapat
dihilangkan sama sekali. Penderitaan yang berkelanjutan ini
menyebabkan pasien atau keluarga pasien kadang-kadang tidak mampu
untuk menanggungnya baik moril maupun materil. Oleh karena itu,
mungkin pasien ataupun keluarganya menginginkan agar hidupnya
diakhiri apabila sudah sampai pada klimaks penderitaan yang tidak
tertahankan lagi.

Pengakhiran hidup pasien dapat dilakukan dengan mencabut


segala alat pembantu yang telah dipasang oleh dokter yang merawatnya.
Belanda adalah negara pertama di dunia yang melegalkan eutanasia
pada tahun 2001, diikuti Belgia setahun kemudian. Proses permohonan
eutanasia pun sangat panjang. Pemohon harus mendapatkan konseling
dengan psikolog dalam periode tertentu. Pasien diberikan cukup waktu
untuk berpikir dalam waiting periode. Setelah itu pemohon harus
6

mendapatkan sertifikat dari setidaknya dua orang dokter yang


menyatakan bahwa kondisi pasien sudah tidak bisa tertolong. Setelah
proses itu dilewati baru diajukan ke pengadilan untuk mendapat
keputusan.

Di Swiss, eutanasia masih dipandang ilegal, walaupun di negara


itu terdapat tiga organisasi yang mengurus permohonan tersebut.
Organisasi-organisasi tersebut menyediakan konseling dan obat-obatan
yang dapat mempercepat kematian. Pemerintah Swiss sendiri melarang
penggunaan eutanasia dengan suntikan. Setiap kali ada permohonan
harus diinformasikan ke polisi.

Di Asia, hanya Jepang yang pernah melegalkan voluntary


euthanasia yang disahkan melalui keputusan pengadilan tinggi pada
kasus Yamaguchi di tahun 1962. Walaupun begitu, karena faktor budaya
yang kuat kejadian euthanasia tidak pernah terjadi lagi. Pada tahun 1994,
di Oregon, Amerika Serikat dikeluarkan Death With Dignity Law. Sejak itu
sudah ada 100 orang yang berada dalam tahap lanjut mendapatkan
assisted suicide.

Eutanasia di Amerika tetap ilegal dan terus diperdebatkan. Suatu


hal yang menarik di penghujung tahun 2004, di mana suami Ny. Agian
mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan untuk mengakhiri penderitaan isterinya, namun permohonan itu
ditolak oleh pengadilan. Kasus yang sama muncul lagi terhadap Ny.Siti.
Apakah ini pertanda euthanasia mulai digemari sebagai salah satu cara
mengakhiri penderitaan orang yang disayangi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengisyaratkan


dan mengingatkan kalangan medis bahwa Euthanasia merupakan
perbuatan melanggar hukum dan dapat diancam dengan pidana. Hal ini
7

dapat di lihat dalam Pasal 344 pasal Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP) yaitu: Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selamanya dua belas tahun.
Berdasarkan urain diatas, euthanasia sangat menarik sekali untuk
dibicarakan terutma dalam konteks hak asasi manusia dan hukum pidana.
Hal ini disebabkan perbuatan euthanasia bersinggungan langsung
dengan moral agama dan hukum.

B. PERMASALAHAN

Bardasarkan indentifikasi masalah dan pembatasan masalah di atasa

maka rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana Euthanasia terkait hukum dan hak asasi manusia ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana Euthanasia terkait Hukum

dan Hak Asasi manusia !

D. MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai sebagaimana

tersebut diatas, maka dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan

akan memberikan manfaat sebagai berikut:


8

1. Manfaat Teoritis:

Memberikan sumbangan teoritis berupa khasanah pengetahuan

bidang ilmu hukum, khususnya dalam aspek Euthanasia berkaitan

dengan Hak Asasi Manusia.

2. Manfaat Praktis:

Secara praktis sebagai bahan pemikiran bagi pengambil keputusan

dalam Penegakan hukum Euthanasia pasif. Sumbangan pemikiran

dan bahan informasi bagi para peminat dan peneliti untuk melakukan

penelitian secara lebih mendalam dan lingkup yang lebih luas.


9

BABII

PEMBAHASAN

MASALAH EUTHANASIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI


MANUSIA

Kebangkitan kesadaran akan hak-hak asasi manusia khususnya


dalam bidang kesehatan dan semakin tingginya pengetahuan pasien
terhadap berbagai masalah kesehatan, mengakibatkan dokter tidak dapat
secara leluasa mengobati pasien tanpa memperhatikan keadaan
pasien.Sejarah terjadinya pengobatan telah berjalan berdasarkan tradisi
secara berkesinambungan sejak masa Hippokrates sampai pada
pertengahan abad ke dua puluh. Dokter semula diagung-agungkan identik
dengan dewa penyembuh oleh masyarakat karena kemampuannya
mengetahui hal-hal yang tidak nampak dari luar. Apalagi saat itu
kesembuhan dari suatu penyakit diperoleh setelah "dokter" membaca mantra-
mantra untuk pasiennya, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para
pendeta atau rohaniawan .

Perkembangan ilmiah, teknologi dan sosial menimbulkan dengan


cepat perubahan-perubahan dalam ilmu biologis dan pelayanan kesehatan.
Perkembangan-perkembangan ini merupakan tantangan bagi konsep-konsep
dari kewajiban-kewajiban moral para tenaga kesehatan dan masyarakat yang
berlaku pada saat penderita yang sakit atau mengalami kecacatan.Adapun
yang dimaksud dengan Hak Dasar Manusia atau Hak Asasi Manusia, dalam
kepustakaan sering diartikan identik dengan Hak Asasi Manusia dalam
hukum psotif. Dengan demikian maka Hak Asasi diartikan dalam arti yang
luas, yaitu menyangkut Hak Asasi Sosial.
10

John Locke dalam bukunya Second Treaties of Government


(1960) mengatakan bahwa dalam diri manusia dapat ditemukan asas-asas
yang merupakan hak-hak aslinya. Hak ini merupakan hak dasar dan tidak
dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk negara sekalipun. Pendapat
John Locke tersebut pada dasarnya sama dengan Bill of Rights di Inggris
yang sangat berpengaruh besar di masyarakat beradab.

Semula hak-hak dasar manusia hanya menyangkut diri pribadi,


tetapi kemudian hak-hak dasar tersebut dikembangkan terutama di Amerika
Serikat pada 1776 yang dikenal dengan Declaration of. Independence, yang
menambahkan hak-hak yang menyangkut orang lain, misalnya hak untuk
berserikat dan berkumpul. Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya
dimaksudkan sebagai hak yang dipunyai manusia semata-mata karena ia
manusia. Sebagai manusia ia merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai
martabat yang tinggi.

Ajaran Islam misalnya menyebutkan bahwa Aku akan


menciptakan khalifah di bumi atau sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Karena HAM itu ada dan
melekat kepada setiap manusia, maka hak ini dibutuhkan tidak hanya untuk
melindungi dirinya dan martabat kemanusiaannya tetapi juga sebagai
landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan manusia lainnya,
sebagaimana yang ditulis oleh Jack Donnelly fungsi utama dari HAM itu
adalah untuk memperbaiki hubungan sosial. Dalam konteks hubungan sosial
maka keberlakuan HAM akan senantiasa diimbangi dengan kewajiban asasi
manusia karena ia harus menempatkan manusia lain dalam ruangnya.Bahwa
manusia adalah zoon politicon, makhluk yang bergaul, ia adalah anggota
masyarakat demikian menurut Aristoteles.
11

Dalam rangka mempertahankan hidupnya sebagai makhluk


individu yang secara hakiki bersifat sosial ini, manusia memiliki bermacam-
macam kebutuhan. Di samping membutuhkan bantuan orang lain ia juga
memerlukan harta benda. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia hanya
bisa berjalan apabila dalam masyarakat orang mempunyai hak untuk
mememiliki bahan makanan, pakaian dan perumahan yang diperlukannya.
Apabila pengakuan yang demikian tidak ada maka berlakulah hukum rimba.
Siapa yang kuat akan mampu menguasai benda- benda atau barang-barang
yang dibutuhkannya.Hak yang dipunyai seseorang dalam kelangsungan
hidupnya pada dasarnya dapat dibedakan atas dua jenis bila dipandang
menurut sifatnya, yaitu: Hak yang bersifat asasi, yaitu hak yang harus ada
pada setiap orang untuk dapat hidup wajar sebagai individu sekaligus
sebagai anggota masyarakat sesuai dengan harkat dan martabatnya. Hak
yang tidak bersifat asasi, yaitu hak yang secara wajar boleh dimiliki oleh
seseorang atau suatu pihak karena hubungannya yang khusus dengan orang
lain pada suatu tempat dan waktu yang dianggap tepat.

Hak yang bersifat asasi adalah hak yang dipunyai oleh setiap
orang dan selama orang tersebut tidak menyalahgunakan haknya itu atau
berbuat sesuatu yang merugikan orang lain maka hak tersebut tidak dapat
diganggu gugat. Hak ini senantiasa menyertai kehidupan setiap orang dalam
arti yang sewajarnya dan seharusnya seperti hak untuk berusaha dalam
memenuhi kebutuhan hidup, hak untuk berserikat, berkumpul dan
mengemukakan pendapat. Sedangkan hak yang tidak bersifat asasi adalah
hak yang masih dapat dikesampingkan dari kehidupan seseorang karena
adanya suatu atau beberapa kepentingan yang lebih memaksa.

Apabila dalam hal tidak adanya suatu hak asasi harkat dan
martabat seseorang sebagai manusia itu berkurang, tidaklah demikian halnya
dengan hak yang tidak asasi ini. Tidak adanya satu atau beberapa akan hak
12

ini tidak mengurangi harkat dan martabat seseorang sebagai manusia, selain
mungkin hanya mengurangi kenikmatan hidup yang bersangkutan saja. Hak
dalam golongan ini adalah segala hak yang dapat diperoleh berdasarkan
hukum tetapi masih dapat juga dikesampingkan dalam arti dibatasi melalui
hukum itu sendiri bila ada kepentigan yang lebih memaksa yaitu kepentingan
sosial. Misalnya hak yang ada dalam bidang keagrariaan seperti hak milik
atas tanah memiliki fungsi sosial, hak pakai, hak memunggut hasil hutan dan
lain sebagainya.

Dari kedua pembagian di atas terlihat bahwa hak asasi itu


bersumber langsung dari aspek manusiawi kehidupan setiap orang yang
bersifat abadi dan universil berkenaan dengan harkat dan martabatnya.
Sedangkan hak yang tidak asasi itu bersumber dari aspek kehidupan
hubungan antar pribadi yang bisa berbeda dan dibatasi menurut tempat,
waktu, dan kondisi tertentu.Hak asasi merupakan suatu perangkat asas-asas
yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang
menjalin perilaku manusia di dalam hubungannya dengan sesama manusia
di dalam masyarakat dalam kerangka bernegara.

Nilai-nilai atau konsep ide tentang hak asasi manusia suatu


bangsa yang tercermin lewat nilai-nilai dan asas-asas yang masih bersifat
abstrak dikongkritkan dalam norma positip untuk diimplementasikan. Untuk
itu setiap individu dianggap mengetahui sistem hukum dan politik hukum
pemerintah sehingga dapat mengaplikasikan hak asasi manusia di
tempatnya. Artinya seseorang diharapkan mengetahui haknya, kewajibannya,
tanggung jawabnya dan kebebasannya sehingga mampu melaksanakan
ketentuan yang ada. Karena nilai-nilai hak asasi manusia yang dimiliki dan
berlaku di setiap negara adalah berbeda dalam pelaksanaannya yang
seringkali harus menyesuaikan dengan keadaan setempat dan politik
13

penguasa yang dalam hak asasi manusia itu sendiri dikenal dengan istilah
cultural relativism.

Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, di bawah pimpinan Ny.


Eleanor Roosevelt melalui organisasi kerjasama sosial ekonomi Perserikatan
Bangsa-Bangsa disusunlah rencana piagam Hak Asasi Manusia. Rancangan
tersebut memuat empat macam kebebasan, yaitu: kebebasan berbicara dan
melahirkan pikiran; kebebasan memilih agama; kebebasan dari rasa takut;
dan kebebasan dari rasa kekurangan dan kemiskinan, yang akhirnya pada
tanggal 10 Desember 1948 dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di
Paris diterima dengan baik dan kemudian dikenal sebagai The Universal
Declaration of Human Rights.

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia sebagai satu


standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan
tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan
senantiasa mengingat Pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan mengajar
dan mendidik untuk menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan
kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan
progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan
dan penghormatannya secara universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa
dari Negara-Negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan hukum mereka.

Piagam hak azasi manusia sebagaimana yang dirumuskan


sebagai berikut: Pasal 1All human beings are born free and equal in dignity
and rights. They are endowed with reason and conscience and should act
towards one another in a spirit of brotherhood"(Semua orang dilahirkan
merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka
dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
14

semangat persaudaraan.) Everyone is entitled to all thu rights and freedoms


set forth in this Declarat ion, without distinction of any kind, such as race,
colour, sex, language, religion, political or other op in ion nat ional or social
origin.Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang
berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran
ataupun kedudukan lain.

Di samping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas


dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara
atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka,
yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di
bawah batasan kedaulatan yang lain.

Hak-hak asasi manusia yang dalam perjalanan sejarah manusia


senantiasa diperjuangkan dan diagungkan itu biasanya berupa hak untuk
hidup, seperti kebebasan mengutarakan pendapat, kebebasan beragama,
kebebasan dari ketakutan, kebebasan dari kekurangan dan sebagainya. Hak-
hak asasi tersebut dilindungi oleh dokumen-dokumen international maupun
undang-undang dasar boberapa negara didunia bera-dab, maka adalah wajar
apabila dikaitkasn dengan hak untuk rnenentukan nasib sendiri tersebut
mcmbawa konsekwensi juga pada penentuan nasib sendiri untuk hidup atau
untuk mati. Sehingga muncul pendapat yang mengatakan adalah wajar pula
bila mati juga merupakan hak manusia yang asasi dan oleh karenanya Juga
harus dilindungi hukum.

Hak untuk mati sekarang ini hangat diperjuangkan dan


diagungkan di negara- negara maju, bahkan diperjuangkan sebagai bagian
dari hak- hak asasi manusia sampai ke forum PBB. Dalam beberapa kasus
15

euthanasia di negara-negara Eropa dan Amerika, pengadianpun


mengabulkan hak untuk mati itu, meskipun dengan berbagai pertimbangan
yang menyangkut situasi, kondisi yang Cukup berat. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam kasus-kasus tertentu hak manusia untuk mati mulai
diperhatikan. Secara sadar tapi perlahan-lahan hak untuk mati mendapat
pengakuan, meskipun masih terbatas. Di Indonesia, masalah hak-hak asasi
manusia mendapat perhatian yang besar dari pemerintah maupun rakyatnya.
Berbicara tentang masalah ini, kita tidak dapat terlepas dari Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, karena disana hak-hak asasi manusia baik
secara tersurat maupun tersirat termaktub didalamnya.

Meskipun hak-hak asasi manusia merupakan hak- hak yang


dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari
hakekatnya dan karena itu bersifat pribadi namun hak tersebut tidak
mencakup hak untuk mati. Sebab bagi bangsa Indonesia, masalah kematian
itu berada ditangan Tuhan bukan merupakan hak manusia. Hak asasi
manusia yang merupakan pengejawantahan dari natural right atau hak
kodrat yang melekat pada diri setiap manusia, dalam perkembangannya
sepanjang sejarah sudah menjadi human rights, di mana kata human
menunjuk pada hak esensiil yang merupakan bagian dari hak hidup manusia.

Dikaitkan dengan hak atas perawatan-pemeiiharaan medik, maka


pada dasarnya hukum medik bertumpu pada dua hak dasar, yaitu: hak atas
perawatan-pemeliharaan medik (the right to healthcare); dan hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right to self determination). Dari kedua hak
dasar ini dapat diturunkan hak-hak pasien untuk memperoleh informasi
mengenai kesehatan/penyakitnya, hak untuk memilih rumah sakit, hak untuk
memilih dokter, hak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion),
hak atas privacy dan atas kerahasiaan pribadinya, hak untuk menyetujui atau
menolak pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter, kecuali yang
16

dianggap bertentangan dengan undang-undang, dengan nilai-nilai Pancasila,


seperti tindakan: euthanasia, aborsi (tanpa indikasi medik).

Di lihat dari aspek yuridis Euthanasia bersinggungan langsung


dengan hukum pidana pada saat proses kematian. Berdasarkan hal itu, jika
dilihat dari segi hukum jelaslah bahwa pengaturan euthanasia yang lengkap
sampai saat ini belum ada, padahal masalah euthanasia ini menyangkut
nyawa manusia di mana kasus-kasusnya mulai banyak bermunculan
kepermukaan. Untuk itu penanggulangan masalah euthanasia, perlu diatur
sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan hukum dan moral.

Euthanasia berhubungan erat dengan kepentingan perseorangan


menyangkut perlindungan terhadap nyawa. Buku II dan buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap tindakan pidana. Tindakan euthanasia
yang menyangkut nyawa, diatur .dalam Pasal 344 KUHP, Bab XIX tentang
Kejahatan Terhadap Nyawa, yang mengatur sebagai berikut: Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyataksn atas kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.

Salah satu pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum


guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Khususnya pasal-pasal yang
membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut tentang jiwa manusia.
Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut adalah Pasal 344
KUHP yang terdapat dalam Bab XIX, Buku Kedua. Pencantuman Pasal 344
KUHP menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah menduga
masalah euthanasia pernah dan akan terjadi di Indonesia sekalipun demikian
17

pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindak


pidana.

Hal ini disebabkan perumusan pasal yang menimbulkan kesulitan


dalam pembuktian, yakni adanya kata-kata " atas permintaan sendiri " yang
disertai pula kalimat " yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati " Oleh
karena dalam kenyataannya Pasal 344 KUHP sulit untuk diterapkan sehingga
muncul suara-suara yang mengatakan " sebaiknya redaksi Pasal 344 KUHP
dirumuskan kembali berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang
dan dimasa mendatang, yang disesuaikan dengan perkembangan medis ".
Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau
memudahkan penanganan kasus-kasus euthanasia dengan hukum pidana.
18

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Euthansia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk


memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu
untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini
dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Maka dengan demikan
euthanasia erat sekali kaitannya dengan norma-norma social lainnya, yaitu
norma agama, hak asasi manusia, dan etika kedokteran.

Dari aspek Hak Asasi Manusia, merupakan hak- hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan
karena itu bersifat pribadi namun hak tersebut tidak mencakup hak untuk
mati. Sebab bagi bangsa Indonesia, masalah kematian itu berada ditangan
Tuhan bukan merupakan hak manusia.Dari aspek hukum pidana ,
pengaturan euthanasia berhubungan erat dengan kepentingan perseorangan
menyangkut perlindungan terhadap nyawa seseorang.

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut


KUHP), Buku II dan buku III Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bertujuan
untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan pidana. Salah satu pasal
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum terhadap perbuatan euthanasia
adalah Pasal 344 KUHP.
19

DAFTAR PUSTAKA

Anny Isfandyarie.2005. Malpraktek dan Resiko Medik. Prestasi Pustaka,


Jakarta.

Anny Isfandyarie.2006. Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter


Buku I. Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Abddul Wahid. 2005. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Refika Aditama,


Bandung,

Ahmad Ubbe. 2000. “Laporan Akhir Tim Pengkajian Masalah Hukum


Pelaksanaan Euthanasia”. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum Dan Perundang-Undangan RI. Jakarta.

Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban


Dokter. PT.Rineka Cipta, Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif


Kajian Perbandingan. PT. Citra Aditya bakti, Bandung.

H.Shiddiq al-Jawi,2004. Islam Menghargai Kehidupan. Republika Online.htt,


1 Januari 2012.

Hendrojono Soewono. 2006. Perlindungan Hak-Hak Pasien Dalam Transaksi


Terapeutik Suatu Tinjauan Yuridis Setelah Berlakunya

Munir Fuady. 2005. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter).


PT. Citra Aditya Bakti, bandung.

M.Yusup & Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (Edisi
3). Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
20

Anda mungkin juga menyukai