Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

KONJUNGTIVITIS VERNALIS

Disusun Oleh :
Jessica de Queljoe - 112019026

PEMBIMBING :
dr. Moch. Soewandi, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
HALIM PERDANA KUSUSMA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
PERIODE 15 Maret 2021 – 17 April 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul:


Konjungtivitis Vernal

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik


Ilmu Penyakit Mata RSAU Dr Esnawan Antariksa
Periode 15 Maret – 17 April 2021

Disusun oleh :
Jessica de Queljoe
112019026

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Mochamad Soewandi, Sp. M selaku dokter
pembimbing Departemen Mata RSAU Dr. Esnawan Antariksa.

Jakarta, April 2021


Pembimbing

Dr. Mochamad Soewandi, Sp.M


1. Anatomi, Histologi, Pendarahan, Limfatik, dan Persyarafan Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan mukosa (selaput lender) yang melapisi


palpebral bagian dalam dan sklera. Konjungtiva dibagi menjadi konjungtiva bulbi,
palpebral, dan forniks.1

Konjungtiva bulbi melapisi bagian depan berupa lapisan tipis, transparan dan
pembuluh darahnya tampak. Konjungtiva palpebral melapisi bagian dalam palpebral
dan melekat erat pada tarsus sehingga tidak dapat digerakkan. Konjungtiva forniks
terletak diantara konjungtiva bulbi dan palpebral dan berada pada foniks. Bagian foniks
longgar sehingga apabila terdapat eksudat yang banyak akan tertimbun di bawah
jaringan, kelopak mata kemudian menggembung dan menutup. 1

Gambar 1. Anatomi Mata

Pada konjungtiva juga terdapat bangunan plika semilunaris yang terdapat pada
kantus internus (medius) dan karunkula yang merupakan jaringan epidermoid, yang
juga terdapat pada kantus internus. Lapisan-lapisan konjungtiva dari luar ke dalam
tersusun atas epitel, stroma, dan endotel. 1

Epitel konjungtiva, yang dari luar ke dalam terdiri atas epitel superfisial dan
basal. Pada lapisan superfisial terdapat sel goblet yang menghasilkan musin yang
merupakan lapisan terdalam air mata. Epitel basal yang terletak di dekat limbus
mengandung pigmen. Di bagian basal sel berbentuk kuboid, makin ke permukaan
berbentuk pipih polyhedral. Pada pajanan yang kronik dan kering konjungtiva bias
mengalami keratinisasi seperti kulit. Misalnya pada pasien koma yang amtanya tidak
bias menutup, sehingga terkena paparan udara, panas, atau cahaya, dan menimbulkan
suatu keadaan yang disebut mata kering. Pada kasus ini dokter harus memberikan salep
mata yang bias menaga agar konjungtiva dan kornea tidak kering. 1
Gambar 2. Lapisan Konjungtiva

Stroma konjungtiva dari luar ke dalam terdidi atas lapisan adenoid dan lapisan
fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid sedangkan lapisan fibrosa terdiri
dari jaringan ikat. Jaringan ini padat di atas tarsus dan longgar di tempat lainnya.
Lapisan adenoid baru tumbuh setelah usia 3 bulan, itulah sebabnya reaksi konjungtiva
lebih sering papilar daripada folikular. 1

Stroma mengandung 2 jenis kelenjar, yaitu yang memproduksi musin dan yang
merupakan kelenjar lakrimal tambahan. Kelenjar yang memproduksi musin terdiri atas
sel goblet yang terletak di lapisan epitel, terpadat di bagian inferonasal; kripte Henle
yang terletak di sepertiga atas konjungtiva palpebral superior dan sepertiga bawah
konjungtiva palpebral inferior; serta kelenjar Manz yang berada di sekeliling limbus,
tepi kornea dan batas kornea konjungtiva. Musin gunanya untuk menempelkan air mata
pada kornea dan konjungtiva, jadi kalau musinnya rusak, bias terjadi mata kering. Pada
inflamasi kronis terjadi peningkatan jumlah sel goblet, secara klinis ada keluhan kalau
bangun tidur mata terasa lengket. 1

Kelenjar lakrimal tambahan terdiri atas kelenjar Krause dan Wolfring. Kelenjar
Krause dan kelenjar Wolfring menyerupai kelenjar air mata. Kelenjar Krause terutama
terdapat pada forniks superior dan kelenjar Wolfring terdapat pada tepi atas tarsus
palpebral superior. Pembuluh darah yang ke konjungtiva berasal dari arteri siliaris
anterior dan arteri palpebralis. Saraf konjungtiva berasal dari N. Oftalmikus. 1
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisialdan profundus
dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebral membentuk pleksus limfatikus yang
kaya. 2

2. Mekanisme Perlindungan Mata

Mata tersusun dari jaringan penyokong yang salah satu fungsinya adalah melawan
infeksi secara mekanik. Orbita, kelopak mata, bulu mata, kelenjar lakrimal dan kelenjar
meibom berperan dalam produksi, penyaluran dan drainase air mata. Jaringan ikat di sekitar
mata dan tulang orbita berfungsi sebagai bantalan yang melindungi mukosa okular. Kelopak
mata berkedip 10-15 kali per menit untuk proses pertukaran dan produksi air mata, serta
mengurangi waktu kontak mikroba dan iritan ke permukaan mata.3
Mata memiliki jaringan limfoid, kelenjar lakrimal dan saluran lakrimal yang berperan
dalam sistem imunitas didapat. Makromolekul yang terkandung dalam air mata memiliki efek
antimikroba seperti lisozim, laktoferin, IgA, dan sitokin lainnya.3
Epitel konjungtiva yang tidak terinfeksi menghasilkan CD8 sitotoksik dan sel
langerhans, sedangkan substansia propia konjungtiva memiliki sel T CD4 dan CD8, sel
natural killer, sel mast, limfosit B, makrofag dan sel polimorfonuklear. Pembuluh darah dan
limfe berperan sebagai media transpor komponen imunitas dari dan ke mata. Pada inflamasi,
berbagai mediator menyebabkan dilatasi vaskular, peningkatan permeabilitas dan diapedesis
sel inflamasi dari pembuluh darah yang mengakibatkan mata menjadi merah.3

3. Definisi Konjungtivits

Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang


menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut maupun kronis. Penyebab
konjuntivitis antara lain bakteri, klamidia, alergi, viral toksik, berkaitan dengan penyakit
sistemik. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai
konjungtivitis berat dengan banyak secret purulent kental.(4,5)
Gambar 3. Perbandingan antara mata normal dengan mata pada konjungtivitis

4. Epidemiologi Konjungtivitis

Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis kelamin
dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi konjungtivitis,
penyakit ini diperkirakan sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum.(4) Perbedaan
tingkat infeksi terjadi pada pola lingkungan dan perilaku. Insidensi konjungtivitis di
Indonesia berkisar antara 2-75% dan saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua dari 10
penyakit mata utama.(6) Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk Indonesia dari semua
golongan umur pernah menderita konjungtivitis. Pada penelitian di Philadelphia, 62% dari
kasus konjungtivitis penyebabnya adalah virus terutama adenovirus . Di Indonesia dari
135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus konjungtivitis dan gangguan lain pada
konjungtiva sebesar 73% dengan total kasus 99.195 kasus dengan jumlah 46.380 kasus pada
laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan. Konjungtivitis termasuk ke dalam 10 besar
penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009.(7,8)

Data yang sama juga didapatkan di wilayah Jambi pada tahun 2011 yaitu,
konjungtivitis termasuk ke dalam 10 penyakit terbesar di Poliklinik Mata RSUD Raden
Mattaher Jambi dan menempati urutan ke tiga setelah kelainan refraksi dan katarak.(9)

5. Etiologi Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena


lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor
lingkungan lain yang mengganggu. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh allergi, virus,
bakteri, maupun akibat kontak dengan benda asing yang mengakibatkan timbul keluhan
mulai dengan mata merah, gatal, produksi air mata yang meningkat hingga perubahan
anatomi pada konjungtiva. (5)

Paling sering disebabkan oleh virus, dan sangat menular. Banyak sebab lain
konjungtivitis, antara lain klamidia, parasite (jarang terjadi, namun bila terjadi sifatnya
kronis), autoimunitas, zat kimia, idiopatik, dan sebagai penyulit dari penyakit lain.(1)

Penyebab bacterial untuk yang hiperakut atau purulent adalah Neisseria


gonorrhoe dan N. Meningidits. Untuk yang perjalanannya akut dengan secret
mukopurulen, penyebabnya adalah pneumokokus dan haemophillus aegypticus. Untuk
yang subakut penyebabnya H. influenza. Adapun konjungtivitis bacterial kronik,
termasuk blefarokonjungtivitis, umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
Moraxella lacunata. Bentuk yang jarang (akut, subakut, kronik), disebabkan oleh
streptococci, coliforms, Moraxella cattarhalis, Proteus spp, Corynebacterium
diphteriae, dan Mycobacterium tuberculosis.(1)

Suatu konjungtivitis nonpurulen dengan hyperemia dan infiltrasi minimal, sering


merupakan penyerta penyakit-penyakit rickettsial sistemik yang jarang misalnya tifus,
tifus Murine, Scrub typhus, Rocky mountain spotted fever, demam mediteran, dan
demam Q. Adapun jamur jarang menyebabkan konjungtivitis. Candida spp dapat
menyebabkan suatu konjungtivitis eksudatif yang kronik. Reaksi granulomatosa bias
terjadi akibat infeksi jamur oleh spesies-spesies Rhinosporidium seeberi, Coccidoides
immitis, dan Sporothrix schenckii.(1)

6. Klasifikasi Konjungtivitis

Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi empat, yaitu


konjungtivitis yang diakibatkan karena bakteri, virus, allergen dan jamur.(10)

a. Konjungtivitis Bakteri

Virus dan bakteri merupakan penyebab infeksi menular yang paling umum.(26)
Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan Haemophillus. Gejala
konjungtivitis, yaitu mukosa purulen, edema kelopak, kemosis konjungtiva, kadang-
kadang disertai keratitis dan blefaritis. Konjungtivitis bakteri ini mudah menular dari
satu mata ke mata sebelahnya dan dengan mudah menular ke orang lain melalui benda
yang dapat menyebarkan kuman. Konjungtivitis bakteri dapat diobati dengan antibiotik
tunggal seperti neospirin, basitrasin, gentamisin, kloramfenikol, tobramisin, eritromisin,
dan sulfa selama 2-3 hari.10

Gambar 4. Konjungtivitis Bakteri

b. Konjungtivitis Virus

Konjungtivitis viral merupakan penyakit mata merah yang paling sering dijumpai di
masyarakat dan praktik dokter sehari-hari. Pada populasi dewasa, 80% kasus konjungtivitis
akut disebabkan oleh virus.(11,3) Konjungtivitis virus biasanya diakibatkan karena demam
faringokonjungtiva dan memberikan gejala seperti demam, faringitis, secret berair dan
sedikit, folikel pada konjungtiva yang mengenai satu atau kedua mata. Konjungtivitis jenis ini
biasanya disebabkan adenovirus tipe 3,4, dan 7 dan penyebab yang lain, yaitu organisme
Coxsackie dan Pikornavirus namun sangat jarang. Konjungtivitis ini mudah menular terutama
anak-anak yang disebarkan melalui kolam renang. Masa inkubasi konjungtivitis virus 5-12
hari, yang menularkan selama 12 hari, dan bersifat epidemic. (10)
Gejala klinis konjungtivitis dapat menyerupai penyakit mata lain sehingga penting
untuk membedakan konjungtivitis dengan penyakit lain yang berpotensi mengganggu
penglihatan.(11,12,13)
Infeksi virus biasanya menyerang satu mata lalu ke mata lain beberapa hari kemudian
disertai pembesaran kelenjar limfe dan edema palpebra. Ketajaman penglihatan secara
intermiten dapat terganggu karena sekret mata. Jenis sekret mata dan gejala okular dapat
memberi petunjuk penyebab konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri konjungtivitis
viral dan sekret mata kental berwarna kuning kehijauan biasanya disebabkan oleh bakteri.
Konjungtivitis viral jarang disertai fotofobia, sedangkan rasa gatal pada mata biasanya
berhubungan dengan konjungtivitis alergi.(14,15)
Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun pemberian
kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal bermanfaat untuk meredakan
gejala. Terapi antiviral tidak diperlukan kecuali untuk konjungtivitis herpetik, yaitu asiklovir
oral 400mg/hari untuk virus herpes simpleks dan 800mg/hari untuk herpes zoster selama 7-10
hari.(15,16) Antibiotik dapat dipertimbangkan jika konjungtivitis tidak sembuh setelah 10 hari
dan diduga terdapat superinfeksi bakteri.(15,17) Penggunaan deksametason 0,1% topikal
membantu mengurangi peradangan konjungtiva.(29,39)

Gambar 5. Konjungtivitis Viral


c. Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk alergi pada mata yang paling sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun.
Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal,
silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya yaitu terdapat papil besar pada
konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit
alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang
memerlukan pengobatan. Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu
konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup,
keratokonjungtivitis vernal, keratokoknjungtivitis atopic dan konjungtivitis papilar raksasa.
Pengobatan konjungtivitis alergi yaitu dengan menghindarkan penyebab pencetus penyakit
dan memberikan astringen, sodium kromolin, steroid topical dosis rendah kemudian
ditambahkan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Pada kasus yang berat dapat
diberikan antihistamin dan steroid sistemik.(5,10)
Gambar 6. Konjungtivitis Alergi

d. Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan oleh Candida albicans dan merupakan


infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih yang dapat
timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang terganggu. Selain
candida sp, penyakit ini juga bisa disebabkan oleh Sporothtrix schenckii, Rhinosporidium
serberi, dan Coccidioides immitis walaupun jarang.(5)

7. Patofisiologi Konjungtivitis
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan invasi. Adhesi
adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang dimediasi oleh protein
permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya mikroorganisme untuk menembus
pertahanan sistem imun. Hampir semua mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat
kerusakan epitel kecuali beberapa bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan Shigella spp.
Pada infeksi virus, adhesi sekaligus memfasilitasi proses invasi melalui interaksi molekul
virus dengan sel hospes seperti interaksi kapsul adenovirus dengan integrin sel hospes yang
menyebabkan proses endositosis virus oleh sel. Mikroorganisme juga dapat bertahan
melewati sistem pertahanan tubuh dan bereplikasi seperti pada infeksi HSV, virus varisela
serta herpes zoster namun sebagian besar infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh sistem imun
tubuh.(3)
Konjungtiva merupakan organ yang terpapar banyak mikroorganisme dan faktor
lingkungan lain yang mengganggu. Beberapa mekanisme melindungi permukaan mata dari
substansi luar. Pada film air mata, unsur berairnya mengencerkan materi infeksi, mucus
menangkap debris dan kerja memompa dari pelpebra secara tetap menghanyutkan air mata ke
duktus lakrimalis dan air mata mengandung substansi antimikroba termaskl lisozim. Adanya
agen perusak, menyebabkan cedera pada epitel konjungtiva yang diikuti edema epitel,
kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau granuloma. Mungkin pula terdapat edema
pada stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapisan limfoid stroma (pembentukan
folikel). Sel-sel radang bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel kepermukaan. Sel-
sel kemudian bergabung dengan fibrin dan mucus dari sel goblet, membentuk eksudat
konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebra saat bangun tidur.(14)
Konjungtivitis sering terjadi bersama atau sesudah infeksi saluran napas dan
umumnya terdapat riwayat kontak dengan pasien konjungtivitis viral. Penyebaran virus
umumnya terjadi melalui tangan, peralatan mandi yang digunakan bersama, bantal kepala
yang digunakan bersama atau kontak dengan alat pemeriksaan mata yang terkontaminasi.(3,5)

8. Manifestasi Klinik

Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada


konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi.(5)

Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi tergores
atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia. Sensasi benda sing
dan sensasi tergores atau terbakar sering dihubungkan dengan edema dan hipertrofi
papilla yang biasanya menyertai hyperemia, konjungtiva. Jika ada rasa sakit, kornea
agaknya juga terkena. Tanda-tanda penting konjungtivitis adalah hyperemia, mata
berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, fokikel, pseudomembran dan
membrane, granuloma, dan adenopati pre-aurikular.(5)

Gambar 7. Perbedaan Konjungtivitis Bakteri, Viral, Alergi


9. Tatalaksana
• Non Farmakologi
Memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan
kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali memegang
mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah
untuk membersihkan mata yang sakit.
• Farmakologi
Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun pemberian
kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal bermanfaat untuk meredakan
gejala. Terapi antiviral tidak diperlukan kecuali untuk konjungtivitis herpetik yaitu
asiklovir oral 400mg/hari untuk virus herpes simpleks dan 800mg/hari untuk herpes
zoster selama 7-10 hari.(15,16)
Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan karena tidak mencegah infeksi
sekunder dan dapat memperburuk gejala klinis akibat reaksi alergi dan reaksi toksik serta
tertundanya kemungkinan diagnosis penyakit mata lain. Cara pemakaian obat tetes mata
perlu diperhatikan untuk mencegah risiko penyebaran infeksi ke mata yang sehat. Selain
itu, pemakaian antibiotik yang tidak perlu berdampak terhadap peningkatan resistensi
antibiotik juga perlu dipertimbangkan.(15,16) Walaupun akan sembuh sendiri,
penatalaksanaan konjungtivitis virus dapat dibantu dengan pemberian air mata buatan
(tetes mata) dan kompres dingin. Antibiotik dapat dipertimbangkan jika konjungtivitis
tidak sembuh setelah 10 hari dan diduga terdapat superinfeksi bakteri.(15) Penggunaan
deksametason 0,1% topikal membantu mengurangi peradangan konjungtiva.(19,21)
Dalam pengobatan medika mentosa, perlu diperhatikan setiap keadaan untung dan
rugi yang dapat terjadi. Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat digunakan irigasi
saline steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10% - 20% tetes mata. Dosisnya
tergantung pada kuantitas eksudat serta beratnya gejala. Dalam hal ini, larutan 10% lebih
dapat ditoleransi daripada larutan 20%. Larutan alkaline seperti sodium karbonat
monohidrat dapat membantu melarutkan atau mengencerkan musin, sekalipun tidak
efektif sepenuhnya.(5)
Pada konjungtivitis vernal yang berat, bisa diberikan steroid topical prednisolone
fosfat 1%, 6- 8 kali sehari selama satu minggu. Kemudian dilanjutkan dengan reduksi
dosis sampai dosis terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Pada kasus yang lebih
parah, bisa juga digunakan steroid sistemik seperti prednisolon asetet, prednisolone
fosfat atau deksametason fosfat 2- 3 tablet 4 kali sehari selama 1-2 minggu. Satu hal
yang perlu diingat dalam kaitan dengan pemakaian preparat steroid adalah gunakan dosis
serendah mungkin dan sesingkat mungkin. (4,5)
Selain pemberian steroid, antihistamin baik local maupun sistemik dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan lain karena kemampuannya untuk mengurangi rasa
gatal yang dialami pasien. Apabila dikombinasi dengan vasokonstriktor, dapat
memberikan control yang memadai pada kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi
dosis. Bahkan menangguhkan pemberian kortikosteroid topical. Satu hal yang tidak
disukai dari pemakaian antihistamin adalah efek samping yang menimbulkan kantuk.
Pada anak-anak, hal ini dapat juga mengganggu aktivitas sehari- hari.(4,5)
Emedastine adalah antihistamin paling poten yang tersedia di pasaran dengan kemampuan
mencegah sekresi sitokin. Sementara olopatadine merupakan antihistamin yang berfungsi
sebagai inhibitor degranulasi sel mast konjungtiva. Sodium kromolin 4% terbukti
bermanfaat karena kemampuannya sebagai pengganti steroid bila pasien sudah dapat
dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi kebutuhan akan pemakaian steroid.
Sodium kromolin berperan sebagai stabilisator sel mast, mencegah terlepasnya beberapa
mediator yang dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat
pengikatan IgE terhadap sel maupun interaksi sel IgE dengan antigen spesifik. Titik
tangkapnya, diduga sodium kromolin memblok kanal kalsium pada membrane sel serta
menghambat pelepasan histamine dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi.(4,5)

Gambar 8. Alogaritma Penanganan Konjungtivitis


10. Definisi Konjungtivitis Vernal

Konjungtivitis vernalis adalah konjungtiva akibat reaksi hipersensitifitas (tipe I0


yang mengenai kedua mata dan bersifat rekuren.4

Konjungtivitis vernalis dikenal juga sebagai “spring catarrh”, “seasonal


conjungtivitis,” atau “warm weather conjungtivitis,” adalah penyakit bilateral yang
jarang yang disebabkan oleh alergi.5

11. Epidemiologi Konjungtivitis Vernal

Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang
tinggi.(24) Konjungtivitis vernal merupakan salah satu bentuk konjungtivitis allergi yang
berulang khas musiman, bersifat bilateral, sering pada orang dengan riwayat alergi pada
keluarga, sering ditemukan pada anak laki yang berusia kurang dari 10 tahun, diperkirakan
diseluruh dunia insiden konjungtivitis vernal berkisar antara 0,1 % – 0,5 % dan cenderung
lebih tinggi di negara berkembang.(5,22,23)
Konjungtivitis vernalis dikenal juga sebagai “konjungtivitis musiman” atau
“konjungtivitis musim kemarau” biasanya berlangsung dalam tahun-tahun prapubertas.
Kurun waktu pada konjungtivitis vernal rata-rata berkisar 5-10 tahun. Penyakit ini tergolong
penyakit pada anak, jarang terjadi pada pasien usia di bawah 3 tahun atau di atas 25 tahun.
Dari 1000 kasus yang tercatat di literatur, 750 kasus terjadi pada pasien dengan usia 5 tahun
sampai 20 tahun. Umumnya terdapat riwayat keluarga yang bersifat alergi atopik (turunan).
Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa 65% penderita konjungtivitis vernal memiliki satu
atau lebih sanak keluarga yang memiliki penyakit turunan misalnya asma, demam rumput,
iritasi kulit turunan, atau alergi selaput lendir hidung yang permanen. Penyakit-penyakit
turunan ini umumnya ditemukan pada pasien itu sendiri. Semua penelitian tentang penyakit
ini melaporkan bahwa biasanya kondisi akan memburuk pada musim semi dan musim panas
di belahan bumi utara, seperti sehingga dinamakan “konjungtivitis vernal” atau “musim
semi”.(5,10)
Di belahan bumi selatan penyakit ini lebih menyerang pada musim gugur dan musim
dingin. Akan tetapi, banyak pasien mengalami gejala sepanjang tahun, mungkin disebabkan
berbagai sumber alergi yang silih berganti sepanjang tahun. Terdapat beberapa negara yang
sering mengalami penyakit ini pada iklim panas, misalnya di Italia, Yunani, Israel, dan
sebagian Amerika Selatan. Sedangkan iklim dingin, misalnya Amerika Serikat, Swedia,
Rusia dan Jerman.(5,10)
12. Etiologi Konjungtivitis Vernal

Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen dibandingkan dengan


kulit.(20)
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh : (4)
1. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
2. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara
3. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang

13. Klasifikasi Konjungtivitis Vernal


Terdapat dua tipe konjungtivitis vernal, yaitu tipe palpebral dan tipe limbal.
• Tipe Palpebral
Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior dan terdapat pertumbuhan
papil yang besar yang disebut cobble stone. Pada beberapa tempat akan mengalami
hiperlpasi dan diberbagai tempat terjadi atrofi, perubahan mendasar terdapat di
substansia propia, dimana substanti propia ini mengalami infiltrasi oleh sel-sel
limfosit plasma dan eosinafil. Pada stadium yang lanjut jumlah sel-sel lapisan plasma
dan eosinafil akan semakin meningkat sehingga terbentuk tonjolan-tonjolan jaringan
di daerah tarsus dengan disertai pembentukan pembuluh darah baru kapiler
ditengahnya.(5,25)
Konjungtiva bawah hiperemi dan edema dengan kelainan kornea lebih berat
dibanding bentuk limbal. Secara klinik, papil besar ini tampak sebagai tonjolan
bersegi banyak dengan permukaan ruang rata dan dengan kapiler di tengahnya.(4)

Gambar 9. Cobble Stone pada Konjungtivitis


• Tipe Limbal
Terjadi perubahan yang serupa sebagaimana yang terjadi pada tipe palpebral.
Pada bentuk limbal ini terjadi hipertrofi limbal yang membentuk jaringan
hiperplastik gelatine. Hipertrofi limbus ini disertai bintik-bintik yang sedikit
menonjol, keputihan, yang dikenal sebagai Horner-Trantas dots yang
merupakan degenerasi epithel kornea, atau eosinafil dengan bagian epithel
limbus kornea.(5,25)

Gambar 10. Horner-Trantas dots pada konjungtivitis

14. Patofisiologi

Pada bentuk palpebral, perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan


timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I.
Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan
diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan
jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan
menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobbles tone.
Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga
konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva
tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva
tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai
keratitis serta erosi epitel kornea. Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang sama, yaitu:
perkembang biakan jaringan ikat, peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi sel plasma,
limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam stroma. Limbus konjungtiva juga memperlihatkan
perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Penggunaan
jaringan yang dilapisi plastik yang ditampilkan melalui mikroskopi cahaya dan elektron dapat
memungkinkan beberapa observasi tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari penyakit ini,
tampak dalam jaringan epitel sebagaimana juga pada substansi propria. Walaupun sebagian
besar sel merupakan komponen normal dari substansi propia, namun tidak terdapat jaringan
epitel konjungtiva normal.(5,20)

Gambar 11. Peranan Sel Mast pada Inflamasi Konjungtiva

Gambar 12. Konjungtivitis vernal terlihat banyak sel radang terutama eosinofil

15. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis konjungtivitis vernal :

• Keluhan utama: gatal


Pasien pada umumnya mengeluh tentang matanya sangat gatal. Keluhan gatal ini
menurun pada musim dingin.
• Ptosis
Terjadi ptosis bilateral, kadang-kadang yang satu lebih ringan dibandingkan yang
lain. Ptosis terjadi karena infiltrasi cairan ke dalam sel-sel konjungtiva palpebra dan
infiltrasi sel-sel limfosit plasma, eosinofil, juga adanya degenerasi hyalin pada
stroma konjungtiva.
• Kotoran mata
Keluhan gatal umumnya disertai dengan bertahi mata yang berserat-serat.
• Kelainan pada palpebra
Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior. Konjungtiva tarsalis
pucat, putih keabu-abuan disertai papil-papil yang besar (papil raksasa). Inilah yang
disebut “cobble stone appearance”.
• Horner Trantas dots
Gambaran seperti renda pada limbus, dimana konjungtiva bulbi menebal, berwarna
putih susu, kemerah-merahan, seperti lilin. Merupakan penumpukaneosinofil dan
merupakan hal yang patognomosis pada konjungtivitis vernalyang berlangsung
selama fase aktif.
• Kelainan di kornea
Dapat berupa pungtat epithelial keratopati. Keratitis epithelial difus khas
inisering dijumpai. Kadang-kadang didapatkan ulkus kornea yang berbentuk bulat
lonjong vertikal pada superfisial sentral atau para sentral, yang
dapatdiikuti dengan pembentukan jaringan sikatrik yang ringan. Kadang juga di
dapatkan panus, yang tidak menutupi seluruh permukaan kornea, sering berupa
mikropannus.Penyakit ini mungkin juga disertai keratokonus. Kelainan di kornea
ini tidak membutuhkan pengobatan khusus, karena tidak satu pun lesi kornea ini
berespon baik terhadap terapi standar.
16. Penegakkan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan laboratorium.


1. Pemeriksaan klinis didapatkan anamnesis keluhan utamanya adalah mata merah
kecoklatan/kotor.
2. Pemeriksaan pada palpebra didapatkan hipertrofi papiler, cobble stone, giant’s
papilae. Pada konjungtiva bulbi warna merah kecoklatan dan kotor pada fissura
interpalpebralis. Pada limbus didapatkan Horner-Trantas dots.
3. Hasil pemeriksaan laboratorium, kerokan konjungtiva atau getah mata didapatkan sel-
sel eosinofil dan eosinofil granul.(5,29)

Gambar 13. Kerokan Konjungtiva

Gambar 14. Alur Diagnosis Konjungtivitis Vernal

17. Tatalaksana

Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen


spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan dan
kompres dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien.

1. Terapi lokalis
Steroid topical penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus
hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan
pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi maintainance
3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah fluorometholon,
medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan medrysone adalah
paling aman antara semua steroid tersebut.(4,5,26)
• Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
• Antihistamin topical
• Acetyl cysteine 0,5%
• Siklosporin topical 1%

2. Terapi sistemik
Anti histamine oral untuk mengurangi gatal. Steroid oral untuk kasus berat dan non
responsive.

3. Terapi lain dan pencegahan


• Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau
dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.
• Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan,
karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator -
mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada
akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.
• Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuk sari
dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.
• Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan alergen di
udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena lensa kontak
akan membantu retensi allergen.
• Kompres dingin dapat meringankan gejala.
• Tidak menggunakan obat tetes mata steroid secara terus menerus.
• Obat harus dengan indikasi dokter.

Berbagai terapi pembedahan papil raksasa pada konjungtiva tarsal kini sudah tidak di
lakukan, mengingat banyaknya efek samping dan terbukti tidak efektif, karena dalam
waktu dekat akan tumbuh kembali.
18. Komplikasi

Komplikasi pada konjungtivitis yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan
infeksi sekunder. Sedangkan komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan
jaringan sikratik yang dapat mengganggu penglihatan.(27) Komplikasi lain yang sering
ditimbulkan dari konjungtivitis vernal adalah konjungtivitis stafilokok dan blefaritis.
Apabila teradi komplikasi ini maka diperlukan penanganan segera dengan pemberian
terapi.(5)

19. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk penyakit konjungtivitis vernal yaitu konjugtivitis alergi tipe
lain, konjungtivitis virus, serta konjungtivitis bakteri.

Konjungtivitis alergi tipe lain


• Konjungtivitis Flikten (4)
Konjungtivitis flikten adalah suatu peradangan konjungtiva karena reaksi alergi yang
dapat terjadi bilateral ataupun unilateral, bisaanya terdapat pada anak-anak dan kadang-
kadang pada orang dewasa. Penyakit ini merupakan manifestasi alergi endogen, tidak hanya
disebabkan protein bakteri tuberkulosis tetapi juga oleh antigen bakteri lain seperti
stafilokokus. Dapat juga ditemukan pada kandidiasis, askariasis, helmintiasis. Konjungtivitis
flikten merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan reaksi hipersensitif tipe IV
terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venerea, leismaniasis, infeksi parasit,
dan infeksi fokal. Bisaanya terkena pada anak kurang gizi.
Gejalanya :
• Mata berair
• Konjungtiva terlihat bintik putih dengan hiperemi sekelilingnya
• Iritasi dengan rasa sakit
• Merasa silau dengan blefarospasme

Dapat sembuh sendiri dalam waktu 2 minggu dengan kemungkinan terjadi


kekambuhan. Keadaan lebih berat bila terkena kornea. Penyulit ada bila menyebarnya flikten
ke dalam kornea atau terjadinya infeksi sekunder sehingga timbul abses. Biasanya
konjungtivitis flikten terlihat unilateral dan kadang-kadang mengenai kedua mata. Pada
konjungtiva terlihat sebagai bintik putih yang di kelilingi daerah hiperemi. Pada pasien akan
terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna
kuning kelabu seperti suatu mikro abses yang bisaanya terletak di dekat limbus. Bisaanya
abses ini menjalar kearah sentral atau kornea dan terdapat tidak hanya satu.

• Konjungtivitis Iatrogenic
Konjungtivitis akibat pengobatan yang diberikan oleh dokter. Berbagai obat dapat
memberikan efek samping pada tubuh, demikian pula pada mata yang dapat terjadi
dalam bentuk konjungtivitis.

20. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat
sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila
tidak ditangani dengan baik.(9,32) Meskipun angka kejadian kekambuhan dari penyakit
ini pasti terjadi, khususnya pada musim semi dan musim panas, tetapi setelah sejumlah
kekambuhan yang terjadi seperti pada papillae sama sekali menghilang tanpa
meninggalkan jaringan parut.

21. Kesimpulan

Konjungtiva adalah selaput lendir atau lapisan mukosa yang melapisi permukaan
dalam kelopak mata (konjungtiva palpebra), berlanjut ke pangkal kelopak (konjungtiva
forniks) dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kanan (konjungtivita bulbi).(5)
Konjungtiva mengandung kelejar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet, musin bersifat
membasahi bola mata.(7). Salah satu kelainan pada konjungtiva yang sering terjadi, yaitu
konjungtivitis.
Konjungtivitis adalah suatu inflamasi jaringan pada konjungtiva yang dapat
disebabkan oleh invasi mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau perubahan degeneratif
di konjungtiva. Pasien biasanya mengeluh mata merah, edema konjungtiva, dan keluar sekret
berlebih.(11) Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi empat, yaitu
konjungtivitis yang diakibatkan karena bakteri, virus, allergen dan jamur.(10)
Konjungtivitis vernal adalah suatu peradangan bilateral konjungtiva yang berulang
menurut musim, sebagai akibat reaksi hipersensitif tipe I dengan gambaran spesifik hipertropi
papil di canal tarsus dan limbus.(5) Konjungtivitis vernal merupakan salah satu bentuk
konjungtivitis allergi yang berulang khas musiman, bersifat bilateral, sering pada orang
dengan riwayat alergi pada keluarga, sering ditemukan pada anak laki yang berusia kurang
dari 10 tahun, diperkirakan diseluruh dunia insiden konjungtivitis vernal berkisar antara 0,1
% – 0,5 % dan cenderung lebih tinggi di negara berkembang.(5,22,23) Terdapat dua tipe
konjungtivitis vernal, yaitu tipe palpebral dan tipe limbal.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan laboratorium.
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen spesifik dan
eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan dan kompres dingin
dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Steroid topical
penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus hati-hati kerana dapat
menyebabkan glaucoma.(4,5,26)
Anti histamine oral untuk mengurangi gatal. Steroid oral untuk kasus berat dan non
responsive. Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan,
karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator -mediator sel
mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut
menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.
Komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik yang dapat
mengganggu penglihatan.(27) Komplikasi lain yang sering ditimbulkan dari konjungtivitis vernal
adalah konjungtivitis stafilokok dan blefaritis.(5) Diagnosis banding untuk penyakit
konjungtivitis vernal, yaitu konjugtivitis alergi tipe lain, konjungtivitis virus, serta
konjungtivitis bakteri. Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus
dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila
tidak ditangani dengan baik.(5,24)
DAFTAR PUSTAKA

1. SU Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 2. Yogyakarta: Bagian


Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Juli
2012.h 12-3.
2. Paul RE, John PW. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC Indonesia. 2009.h 6
3. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia: American
Academy of Ophtalmology; 2014.
4. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonsia. 2017.h.124-151
5. Paul RE, John PW. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC Indonesia. 2009.h 97-121
6. Ramadhanisa, 2014, Conjunctivitis Bakterial Treatment in Kota Karang Village,
Jurnal Medula Unila,3 , hal.1-6.
7. Ilyas, Sidarta, Tanzil, Muzakkir, Salamun, Azhar, Zainal. Sari Ilmu Penyakit
Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004
8. Lolowang M, Porotu’o J, Rares F. Pola bakteri aerob penyebab konjungtivitis
pada penderita rawat jalan di balai kesehatan mata masyarakat kota Manado.
Jurnal eBiomedik eBM. 2014; 2 (1): 279-86.
9. Shakira IG, Azhar MB, Zainul Suwandi. The characteristic clinical and
demographic patients conjunctivitis who are treated in outpatients eye clinic
at raden mattaher general hospital jambi period October-november 2012.
Jambi Medical Journal. 2013:p.3.
10. Ilyas S. Penuntun ilmu penyakit mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014.
11. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis and
treatment. JAMA.2013;310(6):1721-9.
12. Nari J, Allen LH, Bursztyn LLCD. Accuracy of referral diagnosis to an
emergency eye clinic. Can J Ophthalmol. 2017; article in press.
13. Gilani CJ, Yang A, Yonkers M, Boysen-Osborn M. Differentiating urgent and
emergent causes of acute red eye for the emergency physician. West J Emerg
Med. 2017; article in press.
14. Chrisyanti LS, Galani IE, Pararas MV, Giannopoulou KP, Tsakris A. Treatment of
viral conjunctivitis with antiviral drugs. Drugs. 2011;71(3):331-47.
15. Leibowitz HM. The red eye. Eng J Med. 2000;343:345-51.
16. Scherer LD, Finan C, Simancek D, Finkelstein JI, Tarini BA. Effect of “pink eye”
label on parents’ intent to use antibiotics and perceived contagiousness. Sage
journals. 2015;55(6):542-8.
17. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American
handbook of ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2011.
18. Asena L, Ozdemir ES, Burcu A, Ercan E, Colak M, Altinors DD. Comparison of
clinical outcome with different treatment regimens in acute adenoviral
keratokonjuctivitis. Eye. 2017;1:1-7.
19. Pinto RDP, Lira RPC, Abe RY, Zacchia RS, Felix JPF, Pereira AVF, et al.
Dexamethasone/povidone eye drops versus artificial tears for treatment of
presumed viral conjunctivitis: a randomized clinical trial. Current Eye Research.
2014;40(9): 870-7.
20. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: New Age
International; 2007.
21. Asena L, Ozdemir ES, Burcu A, Ercan E, Colak M, Altinors DD. Comparison of
clinical outcome with different treatment regimens in acute adenoviral
keratokonjuctivitis. Eye. 2017;1:1-7.
22. De Smedt, Nkurikiye J, Fonteyne Y, Hogewoning A, Van Esbroeck M, De
Bacquer D, Tuft S, Gilbert C, Delange J, Kestelyn P. Vernal Keratoconjungtivitis
in School children in Rwanda and its association with socio economic status : A
Population Based Survey. Am J Trop Med Hyg. 2011. 85(4) : 711 – 717
23. Katelaris CH. Ocular allergy in the Asia Pacific region. Asia Pac Allergy. 2011.
1(3) : 108 -111
24. Ventocillia M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104.

25. Wade PD, Iwuora AN, Lopez L. Allergic Conjunctivitis at Sheikh Zayed Regional
Eye Care Center Gambia. J Ophtalmic Vis Res. 2012. 7(1) : 24 – 28
26. Medicastore. Konjungtivitis Vernalis. 2012. Diunduh dari
http://www.medicastore.com/penyakit/865/Keratokonjungtivitis_Vernalis.ht ml .
25 No vember 2012.
27. Konjungtivitis. 2010. Diunduh dari http:// repository. usu. ac. id/ bitstream
/123456789/ 31458/4/Chapter%20II.pdf. 25 November 2012.

Anda mungkin juga menyukai