Anda di halaman 1dari 17

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Camshaft
Camshaft atau yang disebut juga dengan noken as adalah komponen penting
pada motor 4 tak yang berfungsi mengatur sirkulasi bahan bakar dan udara yang
masuk ke ruang bakar maupun mengatur gas hasil pembakaran keluar dari ruang
bakar. Camshaft terdiri dari shaft berputar yang meneruskan gaya dari crankshaft
yang pada shaft tersebut terdapat cam berfungsi mengatur mekanisme katup pada
mesin dan mengubah gerakan berputar menjadi gerak bolak balik. Bentuk
camshaft berupa batangan silinder dengan panjang tertentu yang memiliki bentuk
khusus dan terdapat beberapa tonjolan landai seperti telur pada badannya yang
disebut cam/lobe. Bagian yang bernama cam/lobe seperti Gambar 2.1 akan
bertugas menggerakkan katup mesin yang mampu membuka lubang masuk dan
keluar ruang bakar mesin sehingga waktu buka-tutup katup dapat mempengaruhi
tenaga pada sebuah mesin. Tenaga yang dihasilkan akan lebih sempurna
tergantung pemilihan material camshaft yang digunakan.

Gambar 2.1. Camshaft


Sumber (Yoyok, 2012)

Material atau bahan pembuat camshaft yaitu bahan yang dapat tahan
terhadap putaran tinggi, tahan terhadap gesekan/aus, tahan panas, dan tahan
defleksi. Biasanya pemilihan material yang digunakan yaitu baja (steel), besi
tuang (cast iron), dan aluminium. Material tersebut memiliki kisaran nilai yang
ditunjukan tabel 2.1 yang didasarkan pada tabel 2.2, tabel 2.3 dan tabel 2.4.

Tabel 2.1 Requirement properties dan kisaran nilai (Calister, 2007)

Tabel 2.2 Modulus of elasticity (E) in Gpa (Khurmi, 2005)

Tabel 2.3 Physical properties of metals (Khurmi, 2005)


Tabel 2.4 Yield Strength, tensile strength and ductility (Callister, 2007)

Berikut ini pemilihan camshaft berdasarkan sifat-sifat material:

1) Cast Iron

Besi cor (cast iron) adalah kelompok paduan besi memiliki kadar diatas
2,1% (berat), biasanya berkisar antara 3-4,43% (berat). Dikarenakan elemen
utamanya selain C dan Si juga ada elemen-elemen pemandu lainnya seperti Mn,
S, P, Mg dan lain-lain dalam jumlah yang sedikit. Sifatnya sangat getas namun
mampu cor yang baik dibanding baja, titik cair lebih rendah, Ketahanan korosi
lebih baik. Jenis-jenis besi cor sebagai berikut:

a. Besi Cor Kelabu (Gray Iron)

Disusun oleh serpihan C (grafit) yang tersebar pada besi-α, bersifat keras
dan getas.

b. Besi Cor Putih (white Iron)

Disusun oleh besi-α dan besi karbida (Fe3C), terbentuk melalui pendinginan
cepat, bersifat getas, tahan pakai dan sangat keras.

c. Besi Cor Mampu Tempa (Malleable Iron)

Disusun oleh besi-α dan C (grafit), dibentuk dari besi cor putih yang dianil
pada 800-900oC dalam atmosphere CO & CO2.
d. Besi Cor Nodular (Ductile Iron)
C grafitnya berbentuk bulat (nodular) tersebar pada besi-α. Nodular
terbentuk karena besi cor kelabu ditambahkan sedikit unsur magnesium dan
cesium, bersifat keras & ulet.

2) Steel

Baja (steel) didefinisikan sebagai logam ferro berkristal halus yang


dihasilkan dari proses pembuangan unsur pengotor, yakni sulfur dan fosfor dari
pig iron dan proses penambahan sejumlah unsur meliputi mangan, silikon, dan
lain-lain. Secara garis besar baja dibagi menjadi dua macam sebagai berikut:

a. Baja Carbon (Carbon Steel)

Baja karbon adalah paduan antara besi dan karbon dengan sedikit Si, Mn, P,
S, dan Cu. Sifat baja karbon sangat bergantung pada kadar karbon. Makin tinggi
kadar karbon, kekuatan dan kekerasannya meningkat tetapi keuletan dan mampu
lasnya (weldability) berkurang. Berdasarkan kadar karbon, secara umum baja
karbon diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:

Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)


Merupakan baja dengan kadar karbon kurang dari 0,30. Baja ini bersifat ulet
dan tangguh serta mempunyai mampu mesin (machineability), mampu bentuk
(formability) dan mampu las (weldability) yang sangat baik. Baja karbon
rendah memiliki kekurangan yaitu tidak dapat dikeraskan (nonhardening).
Baja Karbon Sedang (Medium Carbon Steel)
Merupakan baja yang mengandung karbon 0,30 sampai 0,45 %. Baja ini
bersifat kuat dan keras tetapi memiliki kekurangan yaitu mampu lasnya tidak
sebaik baja karbon rendah.
Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)
Merupakan baja dengan kadar karbon 0,45 sampai 1,70 %. Bersifat umum
dalam pengelasan menggunakan elektroda khusus. Baja dengan kadar di atas
0.65 %, mampu lasnya jelek karena cenderung membentuk struktur martensit
yang bersifat keras dan getas pada pendinginan pengelasan
b. Baja Paduan (Alloy Steel).

Baja paduan memiliki perbedaan dengan baja karbon. Perbedaannya


terdapat pada unsur-unsur pembentuk baja yang berpengaruh pada sifat
ketangguhan baja.

3) Alumunium

Alumunium murni adalah logam yang lunak, tahan lama, ringan dan dapat
ditempa. Alumunium memiliki standarisasi yang digunakan untuk
menggolongkan logam alumunium paduan berdasarkan komposisi kimia.
Penetapan standarisasi logam alumunium menurut American Society for Material
(ASTM) menggunakan angka dalam menetapkan penggologan alumunium paduan.
Adapun cara-cara yang ditentukan ASTM dalam menetapkan golongan
alumunium paduan sebagai berikut:
a. 1xxx : Merupakan alumunium murni dengan paduan kurang dari 1%
b. 2xxx : Merupakan alumunium yang dipadu dengan tembaga
c. 3xxx : Merupakan alumunium yang dipadu dengan mangan
d. 4xxx : Merupakan alumunium yang dipadu dengan silicon
e. 5xxx : Merupakan alumunium yang dipadu dengan magnesium
f. 6xxx : Merupakan alumunium yang dipadu dengan magnesium dan silicon
g. 7xxx : Merupakan alumunium yang dipadu dengan zink
h. 8xxx : Merupakan alumunium yang dipadu dengan lithium

2.2. Pengujian Kekerasan

Pengujian kekerasan dilakukan bertujuan untuk mengetahui ukuran


ketahanan material terhadap deformasi plastis.

Metoda pengujian kekerasan :

1. Pengujian kekerasan Brinell


2. Pengujian kekerasan Rockwell
3. Pengujian kekerasan Vickers
2.2.1. Pengujian Kekerasan Brinell

Metoda pengujian ini ditemukan oleh Johan August Brinell pada tahun
1900. Biasanya digunakan untuk menguji kekerasan logam-logam yang lunak.
Metoda pengujian ini dilakukan dengan menggunakan identor bola baja (tungsten
carbide). Pengujian dilakukan dengan memberikan gaya pada indentor dengan
waktu penekanan 10 – 30 detik. Kemudian diameter bekas indentornya diukur
dengan menggunakan alat yang bernama Profil Proyektor.

Gaya yang dibutuhkan


Angka kekerasan Brinnell =
Luas Permukaan Identasi

h = 0.5 .D – 0.5.√ D2−d 2


A = π. D . h
= 0,5. π. D. ( D - π D 2 - d 2 )

Jadi kekerasan Brinnell

F
x=
0,5. π . D .( D−π D2 −d 2)
2F
x=
π . D .(D−π D2−d 2 )

Contoh penulisan hasil kekerasan Brinell : 105 HB 2,5 /187,5/15.


105 = Kekerasan bahan
HB = Kekerasan Brinell
2,5 = Indentor yang digunakan
187,5 = Gaya penekanan
15 = Waktu pengujian

Hubungan antara penetrator dengan bahan yang digunakan untuk pengujian


kekerasan dengan metoda Brinell, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.5 Hubungan gaya dengan diameter indentor

Gaya dari rumus kekerasan Brinell ditentukan dengan melihat tabel diatas.
Misal F/D2 yang digunakan 30, kemudian diameter penetrator atau indentor yang
digunakan 5 mm, maka F = 30 . D2 = 30 . 52 = 750 kg.

Gambar 2.2 Parameter dasar pengujian Brinell


Sumber : Nur Imam .2017

Keuntungan :

1. Bekas tekanan yang besar kekerasan rata-rata dari bahan yang tidak
homogen dapat ditentukan, misalnya: besi tuang,

Kerugian :

2. Benda kerja tidak dapat digunakan kembali karena besarnya tekanan pada
material.
2.2.2. Pengujian kekerasan Rockwell

Dalam
Pada pengujian kekerasan material dengan metode Rockwell dikenal ada
beberapa skala, misalnya skala B yang biasanya diaplikasikan pada material yang
lunak, seperti paduan-paduan tembaga, paduan aluminium dan baja lunak, dengan
menggunakan indentor bola baja berdiameter 1/16" dan beban total sebesar 100
kgf. Sedangkan skala C diaplikasikan untuk material-material yang lebih keras,
seperti besi tuang, dan banyak paduan-paduan baja yang memakai kerucut intan
sebagai indentornya dengan beban total sampai 150 kgf pada percobaan.

Selain skala B dan skala C yang sering disebut sebagai skala umum, ada
beberapa skala lainnya seperti skala A, D, E, F, G dan lain-lain.
Tabel di bawah ini memperlihatkan berbagai skala pada pengujian kekerasan
Rockwell.

Table 2. 6 Skala pada pengujian kekerasan Rockwell (Mikhael. 2017)


Table 2. 7 Aplikasi khas skala kekerasan Rockwell (Elkhan, Mikhael. 2017)

Table 2. 8 Rentang skala kekerasan Rockwell yang dianjurkan (Elkhan,


Mikhael. 2017)

Berbeda dengan pengujian kekerasan Brinell dan Vickers yang mengukur


luas dari jejak, pada pengujian kekerasan Rockwell yang diukur adalah kedalaman
jejak hasil penetrasi indentor. Dalam hal ini, seberapa jauh indentor bergerak
turun secara vertikal ketika melakukan penetrasi.
Skala pada jam ukur (dial gauge) mesin Rockwell terdiri dari 100 pembagian,
masing-masing pembagian sama dengan kedalaman penetrasi sejauh 0,002 mm.
Pada pengujian kekerasan bahan dengan metode Rockwell, kedalaman penetrasi
permanen yang dihasilkan dari penerapan dan pelepasan beban utama dipakai
untuk menentukan angka kekerasan Rockwell, sebagai berikut,

                                            HR = E - e

Dimana :
E = konstanta dengan nilai 100 untuk indentor intan dan 130 untuk 
    indentor bola.
E = kedalaman penetrasi permanen karena beban utama (F1) diukur 
      dengan satuan 0,002 mm. Jadi, e = h/0,002
HR = Besaran nilai kekerasan menggunakan metode hardness
Keuntungan:
1. Dengan kerucut intan dapat diukur kekerasan baja yang disepuh.
2. Dengan bekas tekanan yang kecil benda kerja rusak lebih sedikit.
Kerugian :
1. Dengan bekas tekanan yang kecil maka kekerasan rata-rata tidak dapat
ditentukan untuk bahan tidak homogeny, misalnya besi tuang.
2. Dengan pembesaran dalamnya bekas tekanan yang kecil terdapat
kemungkinan kesalahan pengukuran yang besar.

2.2.3. Pengujian kekerasan Vickers

Pada pengujian kekerasan Vickers suatu benda penekan intan berbentuk


pyramid lurus bujur sangkar dan dengan sudut puncak 136°, ditekan ke dalam
dengan gaya F tertentu selama waktu tertentu. Setelah piramid diagonal d bebas
tetap diukur. Kekerasan Vickers dapat diperoleh dengan membagi gaya pada luas
tekanan berbentuk piramid. Pada prakteknya luas ini dihitung dari pengukuran
mikroskopik panjang diagonal jejak. VHN dapat ditentukan dari persamaan
berikut:
Dimana, P = beban yang diterapkan, kg

L = panjang diagonal rata-rata, mm

θ = sudut antara permukaan intan yang berlawanan = 136°

Beban yang biasanya digunakan pada pengujian ini berkisar antara 1 sampai
120 kg, tergantung pada kekerasan logam yang akan diuji. Lekukan yang benar
yang dibuat oleh piramida intan harus berbentuk bujur sangkar. Akan tetapi
penyimpangan dapat terjadi pada penumbuk lekukan. Lekukan bantal jarum pada
gambar 2.18 b adalah akibat terjadinya penurunan logam di sekitar permukaan
piramida yang datar. Keadaan demikian terjadi pada logam yang dilunakkan dan
mengakibatkan pengukuran panjang diagonal yang berlebihan. Lekukan
berbentuk tong pada gambar 2.18 c terdapat pada logam yang mengalami proses
pengerjaan dingin. Bentuk demikian diakibatkan oleh penimbunan ke atas
logamlogam di sekitar permukaan penumbuk. Ukuran diagonal pada kondisi
demikian akan menghasilkan luas permukaan kontak yang kecil, sehingga
menimbulkan kesalahan angka kekerasan yang besar.

Gambar 2.3 Skema Pengujian Vickers Hardness


Sumber : Nur Imam .2017
(a) lekukan yang sempurna; (b) lekukan bantal jarum (pinchusion);
(c) lekukan berbentuk tong

Gambar 2.4 Tipe-tipe lekukan piramida intan


Sumber : Nur Imam .2017

Keuntungan :
1. Pengukuran kekerasan sangan teliti
2. Dengan bekas tekanan yang kecil bahan percobaan merusak lebih sedikit
3. Kekerasan benda yang sangat amat tipis dapat diukur dengan memiliki
gaya kecil.

Kerugian :
1. Dengan bekas tekanan yang kecil kekerasan rata-rata bahan yang tidak
homogentidak dapat ditentukan, misalnya besi tuang

2.3. Pengujian Keausan

Suatu komponen struktur dan mesin agar berfungsi dengan baik


sebagaimana mestinya sangat tergantung pada sifat-sifat yang dimiliki material.
Material yang tersedia dan dapat digunakan oleh para engineer sangat beraneka
ragam, seperti logam, polimer, keramik, gelas, dan komposit. Sifat yang dimiliki
oleh material terkadang membatasi kinerjanya. Namun demikian, jarang sekali
kinerja suatu material hanya ditentukan oleh satu sifat, tetapi lebih kepada
kombinasi dari beberapa sifat. Salah satu contohnya adalah ketahanan-aus (wear
resistance) merupakan fungsi dari beberapa sifat material (kekerasan, kekuatan,
dll), friksi serta pelumasan. Oleh sebab itu penelaahan subyek ini yang dikenal
dengan nama ilmu Tribologi. Keausan dapat didefinisikan sebagai rusaknya
permukaan padatan, umumnya melibatkan kehilangan material yang progesif
akibat adanya gesekan (friksi) antar permukaan padatan.
Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan respon material
terhadap sistem luar (kontak permukaan). Keausan merupakan hal yang biasa
terjadi pada setiap material yang mengalami gesekan dengan material lain.
Keausan bukan merupakan sifat dasar material , melainkan response material
terhadap sistem luar (kontak permukaan). Material apapun dapat mengalami
keausan disebabkan oleh mekanisme yang beragam. Pengujian keausan dapat
dilakukan dengan berbagaima cara metode dan teknik, yang semuanya bertujuan
untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Salah satunya adalah metode
Ogoshi dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin yang berputar
( revolving disc ).
Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang
berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada
permukaan benda uji. Besarnya jejak permukaan dari material tergesek itulah
yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material. Semakin besar dan
dalam jejak keausan.

Maka semakin tinggi volume material yang terkelupas daribenda uji.


Ilustrasi skematis dari kontak permukaan antara revolving disc dan benda uji
diberikan oleh Gambar berikut ini.

Gambar 2.5 Ilustrasi Uji Keausan


Sumber : (Saputra, E. dkk. 2011)
Dengan B adalah tebal revolving disc (mm), r jari-jari disc (mm), b lebar
celah material yang terabrasi (mm) maka dapat diturunkan besarnya volume
material yang terabrasi :

Laju keausan (V) dapat ditentukan sebagai perbandingan volume terabrasi


dengan jarak luncur x (setting pada mesin uji) :

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian pengantar, material jenis apapun


akan mengalami keausan dengan mekanisme yang beragam , yaitu keausan
adhesive, keausan abrasive, keausan fatik , dan keausan oksidasi.

Mekanisme keausan terdiri dari :


A. Keausan adhesive ( Adhesive wear )
Terjadi bila kontak permukaan dari dua material atau lebih mengakibatkan
adanya perlekatan satu sama lainnya ( adhesive ) serta deformasi plastis dan pada
akhirnya terjadi pelepasan / pengoyakan salah satu material seperti di perlihatkan
pada gambar 2.5 di bawah ini :

Gambar 2.6 Keausan adhesive


Sumber : (Saputra, E. dkk. 2011)
Faktor yang menyebabkan adhesive wear :
1. Kecenderungan dari material yang berbeda untuk membentuk larutan padat
atau senyawa intermetalik.
2. Kebersihan permukaan.
Jumlah wear debris akibat terjadinya aus melalui mekanisme adhesif ini dapat
dikurangi dengan cara ,antara lain :
1. Menggunakan material keras.
2. Material dengan jenis yang berbeda, misal berbedastruktur kristalnya.

B. Keausan Abrasif ( Abrasive wear )


Terjadi bila suatu partikel keras ( asperity ) dari material tertentu meluncur
pada permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau
pemotongan material yang lebih lunak, seperti diperlihatkan pada Gambar di
bawah ini. Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat kebebasan
(degree of freedom) partikel keras atau asperity tersebut.
Sebagai contoh partikel pasir silica akan menghasilkan keausan yang lebih
tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada kertas amplas,
dibandingkan bila pertikel tersebut berada di dalam sistem slury. Pada kasus
pertama, partikel tersebut kemungkinan akan tertarik sepanjang permukaan dan
akhirnya mengakibtakan pengoyakan. Sementara pada kasus terakhir, partikel
tersebut mungkin hanya berputar (rolling) tanpa efek abrasi.
Faktor yang berperan dalam kaitannya dengan ketahanan material terhadap
abrasive wear antara lain:
1. Material hardness
2. Kondisi struktur mikro
3. Ukuran abrasif
4. Bentuk
abrasif Bentuk kerusakan permukaan akibat abrasive wear, antara lain :
1. Scratching
2. Scoring
3. Gouging
Gambar 2.7 keausan metode abrasive
Sumber : (Saputra, E. dkk. 2011)

C. Keausan Fatik
Sementara pada keausan fatik dibutuhkan interaksi multi. Keausan ini
terjadi akibat interaksi permukaan dimana permukaan yang mengalami beban
berulang akan mengarah pada pembentukan retak-retak mikro. Retak-retak mikro
tersebut pada akhirnya menyatu dan menghasilkan pengelupasan material. Tingkat
keausan sangat bergantung pada tingkat pembebanan. Gambar 2.7 memberikan
skematis mekanisme keausan lelah:

Gambar 2.8 mekanisme keausan lelah


Sumber : (Saputra, E. dkk. 2011)
D. Keausan Oksidasi/Korosif ( Corrosive wear )
Proses kerusakan dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di
permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak dengan lingkungan ini menghasilkan
pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan material
induk. Sebagai konsekuensinya, material akan mengarah kepada perpatahan
interface antara lapisan permukaan dan material induk dan akhirnya seluruh
lapisan permukaan itu akan tercabut.

Gambar 2.9 mekanisme keausan oksidative


Sumber : (Saputra, E. dkk. 2011)

E. Keausan Erosi ( Erosion wear )


Proses erosi disebabkan oleh gas dan cairan yang membawa partikel
padatan yang membentur permukaan material. Jika sudut benturannya kecil,
keausan yang dihasilkan analog dengan abrasive. Namun, jika sudut benturannya
membentuk sudut gaya normal ( 90 derajat ), maka keausan yang terjadi akan
mengakibatkan brittle failure pada permukaannya, skematis pengujiannya seperti
terlihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.10 skematis pengujian keausan erosi


Sumber : (Saputra, E. dkk. 2011)

Anda mungkin juga menyukai