Anda di halaman 1dari 19

http://www.mail-archive.com/unair@itb.ac.id/msg02178.

html

Masalah aborsi (induced abortion) akan selalu debatable, pro-kontra, ada


kelompok pro-life yang tidak menyetujui abortus provokatus atau induced
abortion, sebaliknya ada kelompok pro-choice yang menyetujui abortus
provokatus (ini pun ada spektrumnya dari yang setuju aborsi untuk semua
kasus sampai yang hanya menyetujui aborsi untuk kasus-kasus
tertentu/terbatas).

Saya tidak mau masuk pada perdebatan itu, tetapi hanya ingin menunjukkan
beberapa problem seputar aborsi (dalam hal ini: induced abortion; u/ sekedar
diketahui ada 2 macam aborsi: 1. spontaneous abortion atau keguguran, yaitu
aborsi yang terjadi dengan sendirinya, bukan karena diprovokasi; 2. induced
abortion atau pengguguran, yaitu aborsi yang diinduksi/diprovokasi) yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan kesehatan masyarakat. Semua opini
saya adalah evidence based.
Saya juga tidak mau masuk ke masalah moral/agama, karena ini akan selalu
menjadi perdebatan sepanjang masa yang tidak bakal pernah selesai.

Menurut data WHO & Bank Dunia (1997): unsafe abortion (aborsi yang tidak
aman) merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu (13%), di samping
berbagai penyebab langsung & tak langsung lainnya.

[ Definisi unsafe abortion (WHO, 1998): adalah prosedur untuk melakukan


terminasi (penghentian) kehamilan yang tidak diingini (unwanted pregnancy,
baik oleh karena buruknya ketrampilan penolong mau pun karena lingkungan
yang memiliki standar medis minimal yang buruk, atau karena kedua-duanya.
Akibat dari unsafe abortion di antaranya adalah: aborsi tak lengkap
(incomplete abortion) yg bisa mengakibatkan nyeri pelvis sampai perdarahan
terus menerus; sepsis, yaitu infeksi yang ekstensif sampai ke seluruh tubuh;
perdarahan hebat; dan perlukaan intra-abdomen (perlukaan dalam perut);
semuanya ini bisa menyebabkan kematian atau setidaknya kecacatan rahim. ]

Secara absolut (WHO, 1998) jumlah kematian ibu akibat unsafe abortion pada
tahun 1998 di Afrika: 33.000, Asia: 37.600, Amerika Latin: 4.600 dan Eropah:
500.
[ Data dari Amerika Utara (USA & Kanada) memang tidak dimasukkan karena
jumlah kematian ibu di situ sangat kecil, yaitu hanya 490 kematian pada
tahun 1995 dari kematian ibu total di dunia sebesar 515.000 per tahun (WHO,
2001), bandingkan dengan jumlah kematian ibu di Afrika dan Asia yang
masing-masing 273.000 dan 217.000 per tahun. ]
Menurut The John Hopkins School of Public Health dalam Population
Reports-nya (1997): di Amerika Latin terdapat 100 kematian dari 100.000
aborsi, di Asia 400 kematian per 100.000 aborsi dan di Afrika 600 kematian
per 100.000 aborsi. Sedang aggregate mortality rate dari 13 negeri-negeri
maju (terutama di Eropah dan Amerika Utara, juga Aussie dan Selandia Baru)
hanya 0,6 kematian per 100.000 aborsi (!!!).

Data di atas (terutama harap lihat data proporsi atau rate) menunjukkan
bahwa problem besar tentang maternal mortality, unsafe abortion dan
abortion-related maternal deaths terdapat di negara-negara terbelakang di
Afrika dan Asia (termasuk Indonesia! ah, itu kan malu-maluin..!), bukan di
negeri-negeri maju seperti di Eropah atau Amerika Utara.

Mengapa muncul unsafe abortion?


Hampir semua pelaku unsafe abortion (dengan standar medis minimal dan
ketrampilan penolong yang buruk) adalah mereka yang sama sekali tidak
profesional, misalnya para dukun. Mengapa para ibu (ingat, sebagian
besar --lebih dari 70 persen-- yang mengaborsi kandungannya adalah para ibu
yang sudah menikah dan sudah memiliki anak, sebagian kecil adalah remaja)
minta pertolongan pada penolong-penolong tidak profesional semacam ini? Ini
karena induced abortion adalah ilegal di negeri-negeri tertentu seperti di
Indonesia.
Akibat dari di-ilegalisasikannya aborsi, para profesional (para dokter yang
mempunyai standar ketrampilan dan peralatan yang memadai) tidak mau dan
tidak berani melakukan tindakan aborsi, sehingga para ibu yang akan
melakukan aborsi (karena alasan apa pun) akan lari ke para tenaga yang tidak
profesional dan tidak memenuhi standar (tidak punya ketrampilan yang cukup
dan peralatan dengan syarat aseptik yang memadai), dan biasanya secara
sembunyi-sembunyi.
Tidak jarang kita membaca di koran seorang perempuan tewas diaborsi dukun
dengan cara diinjak perutnya setelah gagal dipijit atau diminumi ramuan
tertentu sebelumnya. Ada yang tewas terinfeksi/sepsis akibat rahimnya yang
dikorek-korek atau ditusuk-tusuk dengan benda yang tidak steril. Sering
sekali kita membaca dan mendengar peristiwa semacam ini...

[ Tapi ada juga sih pihak-pihak yang meng-"kapok-kapok"-kan kematian atau


penderitaan perempuan-perempuan ini karena dianggap sebagai balasan setimpal
dari perbuatannya yang dianggap amoral dan melanggar agama... Duh Gusti... ]

Ada banyak alasan seorang perempuan melakukan aborsi, dan itu sudah ditulis
oleh pak Nur. Apa pun alasan mereka, tetapi mereka berada di sisi yang lemah
dan selalu sebagai pihak yang banyak disalahkan. Itulah sialnya mereka
terlahir sebagai perempuan (betapa beruntungnya mereka yang terlahir sebagai
laki-laki). Tidak akan pernah laki-laki hamil, melahirkan dan melakukan
aborsi. Sehingga tidak pernah laki-laki disalahkan dan dianggap amoral
karena hamil di luar nikah, melahirkan bayi "haram", atau melakukan aborsi.
Dengan mudah banyak laki-laki yang sinis, jijik dan melontarkan opini
penghakiman terhadap perempuan-perempuan yang "amoral" tersebut. Sekali
lagi, itulah sialnya perempuan lahir ke dunia laki-laki.
Dunia ini memang milik laki-laki. Begitu ada perempuan yang mempunyai opini
dan mengutarakan keluh-kesahnya sebagai seorang perempuan dan melihat
penderitaan para perempuan sesamanya, maka dengan gampangnya akan ditindas
dengan berbagai argumen yang bias laki-laki.

Saya punya saudara jauh, dia seorang perempuan, saya biasa memanggil "mbak
T", sekarang tinggal di kota kecil Bangil. Setelah menikah dengan seorang
lelaki (saya memanggilnya "mas S", sudah meninggal dunia beberapa tahun yang
lalu) yang sangat taat beragama, tentu saja sangat taat beribadah ritual.
Setelah melahirkan 3 anak perempuan dalam jarak yang sangat dekat (kurang
dari dua tahun sekali), ketika hamil untuk ke 4 dan ke 5 kalinya dia
melakukan aborsi (anehnya, atas permintaan suami yang taat beragama tadi,
tapi kelihatannya karena sudah sangat terpaksa) ke dukun di suatu tempat
(jadi dia melakukan 2 kali aborsi, dan ndilalah koq selamat, meski pun
aborsi yang terakhir dia mengalami perdarahan cukup hebat, dan sangat
beruntung tertolong setelah dibawa ke rumah sakit). Sejak aborsinya yang
terakhir itu mereka takut lagi melakukan aborsi. Sekarang jumlah anaknya 5
orang, semua perempuan.
Mbak T ini sama sekali tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi apa pun,
karena suaminya (mas S) tidak setuju dengan penggunaannya dengan berbagai
alasan (salah satunya karena alasan agama) meski pun mbak T ingin mencoba
menggunakannya.
Sebelum mas S sakit-sakitan sampai meninggal, keluarga mbak T mengalami
kesulitan keuangan, gali lubang tutup lubang, diantaranya untuk memelihara
anak-anaknya, sehingga harus pinjam uang sana-sini termasuk ke saya. Saya
sangat prihatin melihat keadaannya.

Ini salah satu contoh dari banyak ibu lain (di negeri ini) yang tidak
berdaya menghadapi suami (yang nota-bene seorang laki-laki). Pengambilan
keputusan sepenuhnya di tangan suami, si isteri sama sekali tidak memiliki
hak reproduksinya sendiri. Dia harus menghadapi risiko kesakitan sampai
kehilangan nyawa karena hak-hak yang semestinya dia punyai dirampas oleh
suami.

Mbak T tidak akan mengalami perdarahan hebat kalau dia tidak melakukan
unsafe abortion. Dia tidak akan melakukan aborsi kalau dia tidak mengalami
unwanted pregnancy. Dia tidak akan mengalami unwanted pregnancy kalau dia
tidak dilarang suami menggunakan alat kontrasepsi (kalau perlu kontrasepsi
mantap atau sterilisasi bila anak sudah lebih dari 2 anak). Dia mungkin
menggunakan alat kontrasepsi kalau pengambilan keputusan tidak hanya
terletak di tangan suami.
Atau, dia akan kecil kemungkinannya mengalami perdarahan hebat kalau
aborsinya dilakukan oleh dokter secara profesional dengan prosedur dan
peralatan yang memenuhi standar medis yang memadai.

Wuaah, capek juga nulis ini.


Sebetulnya masih ada hal-hal yang berkaitan dengan aborsi ini yang ingin
saya tulis, ada beberapa data yang ingin saya ulas termasuk bagaimana
membaca data yang dikutip pak Nur di bawah ini. Mungkin lain kali kalau ada
waktu.

Wass,
WP
``````

===
From: "Nur Syam Rahmadi" <[EMAIL PROTECTED]>
> Artikel-artikel ini dapat dibaca sendiri di internet <www.aborsi.net>
>
> Salam,
> Nur Syam R
> ========================
>
> ALASAN ABORSI
>
> Aborsi dilakukan oleh seorang wanita hamil - baik yang telah menikah
maupun
> yang belum menikah dengan berbagai alasan. Akan tetapi alasan yang paling
> utama adalah alasan-alasan yang non-medis (termasuk jenis aborsi
> buatan/sengaja)
>
> Di Amerika, alasan-alasan dilakukannya aborsi adalah:
> 1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir mengganggu karir, sekolah
atau
> tanggung jawab lain (75%)
> 2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
> 3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
>
> Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama
> mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak
> anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang
> mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan
> seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam
> kandungannya.
>
> Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia
yang
> mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada didalam
> kandungannya adalah boleh dan benar . Semua alasan-alasan ini tidak
> berdasar.
> Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidakpedulian seorang
> wanita, yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
>
> Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch
> Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena
perkosaan
> atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa
calon
> ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius.
>
> Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk
> kepentingan diri sendiri â termasuk takut tidak mampu membiayai, takut
> dikucilkan, malu atau gengsi.
> --
PELAKU ABORSI
>
> Profil pelaku aborsi di Indonesia tidak sama persis dengan di Amerika.
Akan
> tetapi gambaran dibawah ini memberikan kita bahan untuk dipertimbangkan.
> Seperti tertulis dalam buku âFacts of Lifeâ oleh Brian Clowes, Phd:
>
> Para wanita pelaku aborsi adalah:
>
> Wanita Muda
> Lebih dari separuh atau 57% wanita pelaku aborsi, adalah mereka yang
berusia
> dibawah 25 tahun. Bahkan 24% dari mereka adalah wanita remaja berusia
> dibawah 19 tahun.
>
> ----------------------------------------
> Usia Jumlah %
> ----------------------------------------
> Dibawah 15 tahun 14.200 0.9%
> 15-17 tahun 154.500 9.9%
> 18-19 tahun 224.000 14.4%
> 20-24 tahun 527.700 33.9%
> 25-29 tahun 334.900 21.5%
> 30-34 tahun 188.500 12.1%
> 35-39 tahun 90.400 5.8%
> 40 tahun keatas 23.800 1.5%
> ----------------------------------------
>
> Belum Menikah
> Jika terjadi kehamilan diluar nikah, 82% wanita di Amerika akan melakukan
> aborsi. Jadi, para wanita muda yang hamil diluar nikah, cenderung dengan
> mudah akan memilih membunuh anaknya sendiri.
> Untuk di Indonesia, jumlah ini tentunya lebih besar, karena didalam adat
> Timur, kehamilan diluar nikah adalah merupakan aib, dan merupakan suatu
> tragedi yang sangat tidak bisa diterima masyarakat maupun lingkungan
> keluarga.
>
> Waktu Aborsi
> Proses aborsi dilakukan pada berbagai tahap kehamilan. Menurut data
> statistik yang ada di Amerika, aborsi dilakukan dengan frekuensi yang
tinggi
> pada berbagai usia janin.
>
> --------------------------------------
> Usia Janin Kasus Aborsi
> --------------------------------------
> 13-15 minggu 90.000 kasus
> 16-20 minggu 60.000 kasus
> 21-26 minggu 15.000 kasus
> Setelah 26 minggu 600 kasus
> --------------------------------------

http://enyretnaambarwati.blogspot.com/2009/12/unsafe-abortion.html

Kamis, 17 Desember 2009

UNSAFE ABORTION

By Eny Retna Ambarwati

Sudah menjadi rahasia umum, tindakan unsafe abortion yang sering dilakukan
wanita seperti melakukan kekerasan fisik seperti berlari, naik sepeda atau naik kuda. Jika
tindakan pertama tidak berhasil, maka wanita tersebut melakukan tindakan kedua dengan
cara mengonsumsi obat-obatan yang dapat menggugurkan kandungan. Misalnya, wanita
tersebut sengaja mengonsumsi obat-obatan yang dilarang untuk wanita hamil. Bisa juga
dengan cara mengonsumsi obat tradisional seperti nenas muda.

Tindakan unsafe abortion seperti ini diperkirakan banyak dilakukan keluarga


miskin yang tidak ingin menambah anak. Tanpa mereka sadari, unsafe abortion dapat
menimbulkan gangguan pada kesehatan reproduksi bahkan mengakibatkan kematian bagi
kaum ibu.

WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kejadian


aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) (WHO, 1998). Sekitar 13% dari jumlah total
kematian ibu di seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi aborsi yang tidak aman. 95%
(19 dari setiap 20 tindak aborsi tidak aman) di antaranya terjadi di negara-negara
berkembang (Safe Motherhood 200; 28(1)).

Tabel

Aborsi yang Tidak Aman: Perkiraan per Wilayah, per tahun

Wilayah Jumlah aborsi Jumlah kematian akibat % kematian ibu akibat


yang tidak aman aborsi yang tidak aman aborsi yang tidak aman

Dunia 20.000.000 78.000 13


Negara 19.000.000 77.500 13
Berkembang
Asia* 9.900.000 38.500 12
Asia Tenggara 2.800.000 8.100 15
Negara maju 900.000 500 13

Sumber : WHO, 1998

A. DEFINISI
1. Unsafe abortion adalah upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana
pelaksanaan tindakan tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur
standar yang aman sehingga dapat membahayakan keselamatan jiwa pasien.

2. Unsafe abortion adalah prosedur penghentian kehamilan oleh tenaga kurang


terampil (tenaga medis/non medis), alat tidak memadai, lingkungan tidak
memenuhi syarat kesehatan (WHO, 1998).

3. Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan
kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi
medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat
kontrasepsi dan lain-lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif
dari keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan
pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya.

B. ALASAN WANITA TIDAK MENGINGINKAN KEHAMILANNYA

1. Alasan kesehatan, dimana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.

2. Alasan psikososial, dimana ibu tidak sendiri tidak punya anak lagi.

3. Kehamilan di luar nikah.

4. Masalah ekonomi, menambah anak akan menambah beban ekonomi.

5. Masalah sosial, misalnya khawatir adanya penyakit turunan.

6. Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan.

7. Kegagalan pemakaian alat kontrasepsi.

C. CIRI – CIRI UNSAFE ABORTION

1. Dilakukan oleh tenaga medis atau non medis


2. Kurangnya pengetahuan baik pelaku ataupun tenaga pelaksana

3. Kurangnya fasilitas dan sarana

4. Status ilegal

D. DAMPAK

1. Dampak sosial.

Biaya lebih banyak, dilakukan secara sembunyi - sembunyi.

2. Dampak kesehatan.

Bahaya bagi ibu bisa terjadi perdarahan dan infeksi.

3. Dampak psikologis.

Trauma

E. PERAN BIDAN DALAM MENCEGAH UNSAFE ABORTION

1. Sex education

2. Bekerja sama dengan tokoh agama dalam pendidikan keagamaan

3. Peningkatan sumber daya manusia

4. Penyuluhan tentang abortus dan bahayanya.

F. ABORSI DILAKUKAN AMAN APABILA

1. Dilakukan oleh pekerja kesehatan yang benar-benar terlatih dan berpengalaman


melakukan aborsi

2. Pelaksanaannya mempergunakan alat-alat kedokteran yang layak


3. Dilakukan dalam kondisi bersih, apapun yang masuk dalam vagina atau rahim
harus steril atau tidak trcemar kuman dan bakteri.

4. Dilakukan kurang dari 3 bulan (12 minggu) sesudah pasien terakhir kali
mendapat haid.

Referensi :

Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.

Behrman. Kliegman. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of


Pediatrics). EGC. Jakarta.

Depkes. (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Bidan Poskesdes dan Pengembangan
Desa Siaga. Depkes. Jakarta.

Depkes RI. (2007) Rumah Tangga Sehat Dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Pusat
Promosi Kesehatan.

Depkes RI, (2006) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit, Direktorat Bina Kesehatan
Anak, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Depkes RI. (2006). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak
(PWS-KIA). Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan
Masyarakat, Jakarta.

Depkes RI. (2006). Manajemen BBLR untuk Bidan. Depkes. Jakarta.

Depkes RI. (2003). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.

Depkes RI. (2002). Pelatihan Konseling Pasca Keguguran. Depkes. Jakarta.

Depkes RI. (2002). Standar Profesi Kebidanan. Jakarta.

Depkes RI. (2002). Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta.

Depkes RI. (2002). Kompetensi Bidan Indonesia. Jakarta

Depkes RI. Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga . Depkes RI. Jakarta.

Depkes RI. (1999). Buku Pedoman Pengenalan Tanda Bahaya pada Kehamilan,
Persalinan dan Nifas, Departemen kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Tim
Penggerak PKK dan WHO. Jakarta.
Effendy Nasrul. (1998). Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. EGC.
Jakarta.

International Confederation Of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh seluruh
organisasi bidan di seluruh dunia, dan diakui oleh WHO dan Federation of
International Gynecologist Obstetrition (FIGO).

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi


Dan Praktik Bidan;

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 741/MENKES/per/VII/2008 tentang Standar


Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828/MENKES/SK/IX/2008 tentang Petunjuk


Tehnis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;

keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi


Bidan.

Konggres Obtetri dan Gynecologi Indonesia XII. (2003). Forum Dokter Bidan.
Yogyakarta.

Markum. A.H. dkk. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. FKUI. Jakarta.

UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan

Pelayanan Obtetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) Asuhan Neonatal


Essensial. 2008.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Soetjiningsih. (1998). Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta.

Syahlan, J.H. (1996). Kebidanan Komunitas. Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan.

Widyastuti, Endang. (2007). Modul Konseptual Frame work PWS-KIA Pemantauan dan
Penelusuran Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Neonatal. Unicef.
Selasa, 23 Maret 2010

unsafe abortion

Di Indonesia, aborsi masih merupakan suatu hal yang sangat tabu. Kecuali
tentunya dilakukan pada kasus – kasus medis yang berat misalkan penyakit
jantung berat seperti Eisenmenger's syndrome yang jika kehamilannya dilanjutkan
berarti seperti membiarkan si ibu bunuh diri. Membicarakan aborsi diperbolehkan
atau tidak pasti sangat mengundang kontroversi yang hebat dari Ahli Medik, Ahli
Kependudukan, Ahli Hukum maupun Ahli Agama. Tentunya setiap ahli
mempunyai pegangan masing – masing dalam mempertahankan pendapatnya.
Bahkan antara sesama ahli di bidangnya juga akan memiliki pandangan yang
berbeda – beda dalam menyikapi aborsi ini.

Unsafe Abortion

Pengertian Unsafe Abortion


Yang dimaksud dengan aborsi tidak
aman (Unsafe Abortion) adalah
penghentian kehamilan yang
dilakukan oleh orang yang tidak
terlatih/kompeten dan menggunakan
sarana yang tidak memadai, sehingga
menimbulkan banyak komplikasi
bahkan kematian.

Aborsi Ilegal
Aborsi tidak aman tidak selalu sama
dengan aborsi ilegal. Aborsi ilegal
adalah aborsi yang dilakukan
bertentangan dengan peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
Aborsi ilegal bisa saja dilakukan oleh
tenaga dokter dan tenaga terlatih
lainnya serta dilakukan di tempat
yang memenuhi persyaratan
kesehatan. Tindakan tersebut dari segi
medis adalah aman dan berisiko
rendah, tetapi tindakan ini bertentangan dengan hukum yang berlaku. Biasanya
dari segi biaya adalah mahal karena ada unsur komersial atau mencari
keuntungan.
Penyebab Unsafe Abortion
Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan
kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis,
seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi dan lain-
lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari keluarga atau
masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan pengguguran
kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya .

Fakta Unsafe Abortion


Meski pengguguran kandungan (aborsi) dilarang oleh hukum, tetapi kenyataannya
terdapat 2,3 juta perempuan melakukan aborsi (Kompas, 3 Maret 2000).
Masalahnya tiap perempuan mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan aborsi
dan hukumpun terlihat tidak akomodatif terhadap alasan-alasan tersebut, misalnya
dalam masalah kehamilan paksa akibat perkosaan atau bentuk kekerasan lain
termasuk kegagalan KB. Larangan aborsi berakibat pada banyaknya terjadi aborsi
tidak aman (unsafe abortion), yang mengakibatkan kematian. Data WHO
menyebutkan, 15-50% kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan
yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan
tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia. Artinya 1 dari 8 ibu
meninggal akibat aborsi yang tidak aman.

Metode Unsafe Abortion


Metode aborsi yang tidak aman yang umumnya digunakan di berbagai negara
bervariasi, dari metode teknik medis lanjut yang digunakan oleh dokter sampai
teknik tradisional berbahaya yang digunakan oleh dukun, teman, atau tetangga
yang menolong atau oleh wanita hamil itu sendiri.

 Untuk para pelaku abortus yang tidak profesional, upaya yang dilakukan
antara lain adalah memasukkan cairan ke dalam uterus. Cairan yang
digunakan bervariasi, mulai dari air sabun sampai disinfektan rumah
tangga yang dimasukkan melalui semprotan ataupun alat suntik. Di
beberapa negara juga menggunakan pasta yang bersifat abortif yang
mengandung zat iritatif.
 Sediaan jamu dan obat-obatan per oral juga sering digunakan. Berbagai
jamu dan obat yang diduga bersifat abortif dapat ditemukan di pasaran
bebas di negara-negara berkembang. Di Bangladesh, obat-obat tersebut
kemungkinan mengandung kina, permanganat, ergot, dan air raksa. Di
Malaysia, ditemukan pil timah oksida dan minyak zaitun (Erica, 1994).
 Metode lain yang relatif lebih berbahaya adalah memasukkan alat atau
benda asing ke dalam rongga rahim. Di India digunakan pucuk wortel yang
telah dikeringkan; di Philipin alat tesebut adalah pisang atau daun tumbuh-
tumbuhan lokal kalachulchi. Di Ghana, digunakan ranting pohon comelina
yang jika dimasukkan ke dalam rahim akan menyerap air dan mengembang
membuka leher rahim serta menyebabkan abortus. Jenis lain adalah
tanaman Jatropha yang mengandung bahan kimia korosif yang dapat
menyebabkan abortus. Di Amerika latin, upaya abortus dilakukan dengan
memasukkan ujung kateter yang lentur ke dalam rongga rahim. Ujung yang
lain diikatkan di pangkal paha. Wanita tersebut kemudian disuruh berjalan
sehingga ujung kateter yang berada di dalam rongga rahim bergoyang-
goyang menggangu isi rahim dan merangsang abortus. Ada pula yang
menggnakan cairan kina yang toksik pada bayi dan si ibu. Ada juga para
wanita yang melakukan sendiri dengan memasukkan plastik berongga ke
dalam rongga rahim, kemudian memasukkan alat atau kawat melalui plastik
tersebut untuk mengorek rongga rahim.

Komplikasi Unsafe Abortion


Komplikasi yang sering terjadi akibat tindakan-tindakan yang tidak aman
terhadap kehamilan yang tidak diinginkan misalnya dengan melakukan abortus
provokatus oleh dukun, dengan meminum jamu-jamuan, ramuan. Pengakhiran
kehamilan yang tidak aman menurut WHO yaitu pengakhiran kehamilan yang
tidak dikehendaki dengan cara yang mempunyai resiko tinggi terhadap
keselamatan jiwa perempuan tersebut sebab dilakukan oleh individu yang tidak
mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang sangat diperlukan, serta memakai
peralatan yang tidak memenuhi persyaratan minimal bagi suatu tindakan medis
tersebut. Akibat dari tindakan yang tidak aman tersebut akan memberikan resiko
infeksi, perdarahan, sisa hasil konsepsi yang tertinggal di dalam rahim dan
perforasi yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian apabila tidak
mendapatkan pertolongan yang segera.

Di dunia setiap tahunnya diperkirakan 600.000 perempuan meninggal dunia karena


sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Sekitar 13%
(78.000) dari kematian ibu karena tindakan aborsi yang tidak aman (The Alan
Guttmacher Institute 1999). Aborsi tidak aman merupakan urutan ketiga penyebab
kematian ibu di dunia (WHO 2000).

Tidak pernah tersedia data yang pasti mengenai jumlah aborsi di Indonesia
disebabkan tidak adanya ketetapan hukum, sehingga tidak dapat dilakukan
pencatatan data mengenai tindakan aborsi terutama yang diselenggarakan secara
tidak aman. Akibatnya, aborsi tidak aman tidak pernah tercatat sebagai penyebab
resmi kematian ibu, karena terselubung dalam perdarahan dan infeksi, dua
kategori penyebab yang menyebabkan lebih dari separuh (55%) kematian ibu .
Analisis lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap
11,1% dari kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian ibu. Angka
sebenarnya mungkin jauh lebih besar lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat
Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara
informal memperkirakan kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia
sebesar 50%.

Padahal pemerintah Indonesia termasuk salah satu dari sejumlah negara yang
menyatakan komitmen terhadap Program Aksi Konferensi Kependudukan (ICPD)
di Kairo tahun 1994 untuk menurunkan risiko kematian ibu karena proses
reproduksi (kehamilan, persalinan dan pasca persalinan). Lima tahun setelah ICPD
Kairo 1994, ternyata Indonesia tidak memperlihatkan hasil yang bermakna atau
tidak bisa bergeming dari posisi sebagai negara dengan AKI tertinggi di Asia
Tenggara. Perbandingan dengan negara-negara tetangga seAsia Tenggara
menunjukkan bahwa AKI 373 per 100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari
pada Singapura (AKI 10), hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi
dari Vietnam (AKI 160), Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000
kelahiran hidup). Apalagi kalau digunakan data perkiraan AKI yang dipakai
UNICEF untuk Indonesia, yaitu 650 per 100,000 kelahiran hidup (Population
Action International, The Reproductive Risk Index, 2001).

Tingginya AKI mengindikasikan masih rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk


dan secara tidak langsung mencerminkan kegagalan pemerintah dan masyarakat
untuk mengurangi risiko kematian ibu. Peningkatan kualitas perempuan
merupakan salah satu syarat pembangunan sumber daya manusia.

Strategi untuk menurunkan risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah
dengan menurunkan ‘demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat
dimungkinkan bila pemerintah mampu menyediakan fasilitas keluarga berencana
yang berkualitas dilengkapi dengan konseling. Konseling keluarga berencana
dimaksudkan untuk membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian
informasi yang obyektif untuk membuat keputusan tentang penggunaan salah satu
metode kontrasepsi yang memadukan aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa
menghakimi. Bagi remaja yang belum menikah, perlu dibekali dengan pendidikan
seks sedini mungkin sejak mereka mulai bertanya mengenai seks. Namun, perlu
disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan
menggunakan kontrasepsi. Bila akses terhadap pelayanan aborsi yang aman tetap
tidak tersedia, maka akan selalu ada ‘demand’ perempuan terhadap aborsi tidak
aman.

Kegagalan akibat tindakan yang tidak aman ini dapat terjadi juga dengan adanya
kerusakan sel maupun jaringan pada hasil konsepsi yang akhirnya dapat
menyebabkan kecacatan pada janin tersebut dan mungkin suatu kematian janin.

Tindakan yang tidak aman ini adalah melawan hukum yang ada sehingga apabila
dilakukan akan mendapatkan sanksi hukum. Menurut KUHP orang yang dapat
dihukum adalah orang yang menggugurkan kandungan seorang wanita, juga
wanita yang digugurkan kandungannya. Sedangkan dalam praktek yang tidak
dihukum adalah dokter yang melakukan aborsi dengan indikasi medis, yaitu
dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa atau menjaga kesehatan wanita yang
bersangkutan. Persoalannya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita
yang merupakan peninggalan masa kolonialisasi Belanda melarang keras
dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283,
299 serta pasal 346 – 349. Bahkan pasal 299 intinya mengancam hukuman pidana
penjara maksimal empat tahun kepada siapa saja yang memberi harapan kepada
seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan. Padahal, pemerintah
Belanda mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan untuk melindungi
perempuan dari kematian karena aborsi yang tidak aman karena saat itu ilmu
kedokteran belum berkembang pesat dan kebanyakan perempuan meminta
pelayanan kepada tenaga tradisional.

Ditambah lagi dengan sumpah dokter Indonesia yang masih mengikuti sumpah
Hiprokrates “akan menghormati makhluk hidup insani sejak pembuahan dimulai.”
Kondisi ini ternyata tidak mampu mencegah perempuan untuk mencari pelayanan
penghentian kehamilan. Terlihat dari banyaknya permintaan tindakan ini
dilakukan. Status ilegal aborsi ini justru menyebabkan banyak perempuan yang
tidak mendapatkan akses pelayanan aborsi yang aman.

Karena hingga pada saat ini undang-undang yang ada di indonesia secara mutlak
melarang adanya aborsi, maka perlu dipertegas dan diperjelas tentang definisi
aborsi, bahwa aborsi juga dapat dilakukan dalam keadaan darurat, dan harus
diperjelas jenis kedaruratan tersebut. Dengan adanya pengertian aborsi yang lebih
jelas bukan hanya menolong dokter yang membantu aborsi, namun juga
mempermudah bagi pihak kepolisian dalam melakukan penanganan penyidikan
untuk perkara aborsi, sehingga aparat dapat bertindak dengan benar.

http://drnyol.info/featured-articles/safe-abortion-vs-unsafe-abortion/

Kontroversi dan Hukum Aborsi di Indonesia

Pengertian aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk
menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu
tidak menghendaki kehamilan itu.

Ada dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan dimana aborsi terjadi secara alami, tanpa
intervensi tindakan medis, dan aborsi yang direncanakan dimana melalui tindakan
medis dengan obat-obatan saja (jamu, dsb) atau tindakan bedah, atau tindakan lain yang
menyebabkan pendarahan lewat vagina.  Penghentian kehamilan pada usia dimana janin
sudah mampu hidup mandiri di luar rahim ibu (lebih dari 21 minggu usia kehamilan),
bukan lagi tindakan aborsi tetapi pembunuhan janin atau infantisida.

Saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat Indonesia. Namun
terlepas dari kontorversi tersebut, aborsi diindikasikan merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu.  Sebagaimana
diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi
dan eklampsia.  Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya
saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis (Gunawan, 2000). Akan
tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam
laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena
hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat.

Di negara-negara yang tidak mengizinkan aborsi seperti Indonesia, banyak perempuan


terpaksa mencari pelayanan aborsi tidak aman karena tidak tersedianya pelayanan
aborsi aman atau biaya yang ditawarkan terlalu mahal.  Pada remaja perempuan kendala
terbesar adalah rasa takut dan tidak tahu harus mencari konseling.  Hal ini menyebabkan
penundaan remaja mencari pertolongan pelayanan aman, dan sering kali terperangkap di
praktek aborsi tidak aman.

Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang
dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan atau
kedua-duanya (Definisi WHO). Dari 46 juta aborsi/tahun, 20 juta dilakukan dengan tidak
aman, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan
sekurangnya 13 persen kontribusi Angka Kematian Ibu Global (AGI, 1997; WHO 1998a;
AGI, 1999)

WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 – 1,5 juta
dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono,
2000).  Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 : Aborsi memberi
kontribusi 11,1% terhadap Angka kematian Ibu (AKI) , sedangkan menurut Rosenfield
dan Fathalla (1990) sebesar 10% (Wijono, 2000)

Tidak sedikit masyarakat yang menentang aborsi beranggapan bahwa aborsi sering
dilakukan oleh perempuan yang tidak menikah karena alasan hamil di luar nikah atau
alasan-alasan lain yang berhubungan dengan norma khususnya norma agama.  Namun
kenyataannya, sebuah studi di Bali menemukan bahwa 71 % perempuan yang melakukan
aborsi adalah perempuan menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh
Population Council, 98,8 % perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di
Jakarta, telah menikah dan rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998), alasan yang
umum adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survey yang
dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak
menginginkan tambahan anak (BPS, Dep.Kes 1988)

Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan karena alasan di atas, namun karena adanya
larangan baik hukum maupun atas nama agama, menyebabkan praktek aborsi
tidak aman meluas.  Penelitian pada 10 kota besar dan 6 kabupaten memperlihatkan 53
% jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari
pedesaan, dan proses aborsi dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih terdapat di 16 %
titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57 % di Kabupaten.  Kasus aborsi
yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua
titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di Kabupaten dilakukan oleh swasta/ pribadi
(PPKLP-UI, 2001).

Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari kematian
akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada 3 aturan aborsi di
Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu,  

1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum


Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum.  Sampai saat ini masih diterapkan.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan
dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). 

Namun keberadaan peraturan di atas justru dianggap menimbulkan kerugian, karena


aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan secara
aman (safe abortion).  UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat
definisi aborsi yang salah sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya
yang dihukum.  Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu),
dan yang membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah.  Dan akibat aborsi
dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu
akan mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih.

Oleh karena itu, hingga kini AKI Indonesia (390 per 100.000 kelahiran. tahun 2000)
masih menduduki urutan teratas di Asia Tenggara, walaupun kontribusi aborsi sering
tidak dilihat sebagai salah satu faktor tingginya angka tersebut. Aborsi sendiri masih tetap
merupakan suatu wacana yang selalu mengundang pro dan kontra baik hukum maupun
agama yang mungkin tidak akan habis jika tidak ada peraturan baru tentang aborsi aman
khususnya yang tegas dan jelas.

Sebaiknya jika aborsi bisa dilakukan, ada persayaratan yang mungkin dapat dibuat
peraturannya oleh pemerintah, seperti

 Aborsi sebaiknya dilakukan di RS atau klinik yang memenuhi persyaratan dan


mendapatkan izin
 Batas umur kehamilan trismester pertama sampai kehamilan 23 minggu
 Perempuan yang berniat melakukan aborsi perlu mendapatkan konseling agar
dapat memutuskan sendiri untuk diaborsi atau tidak dan konseling pasca aborsi
guna menghindari aborsi berulang
 Perempuan di bawah usia kawin harus didampingi orangtuanya dalam membuat
keputusan aborsi
 Undang-undang sebaiknya mengizinkan aborsi atas indikasi kesehatan, yang
diputuskan oleh Menteri Kesehatan, dengan batas waktu dua tahun sekali
 Pelayanan aborsi oleh klinik yang ditunjuk pemerintah, dan dikenakan biaya
relatif murah

Sumber: http://www.kesrepro.info/?q=node/204

Anda mungkin juga menyukai