Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut asalnya zat pewarna dapat digolongkan
dalam dua macam yaitu: zat pewarna alam dan zat
pewarna sintetis/kimia. Pada umumnya pewarna alam
diperoleh dari ekstrak berbagai bagian tumbuh-
tumbuhan seperti: akar, kayu, daun, biji maupun bunga.
Pewarna alam dari ekstrak tumbuh-tumbuhan berupa
pigmen-pigmen yang dibuat secara sintetis yang struktur
kimianya identik dengan pewarna-pewarna alami. Yang
termasuk golongan pewarna ini adalah karotenoid murni
antara lain canthaxanthin (merah), apokaroten (merah
oranye), betakaroten (oranye kuning). Semua pewarna-
pewarna ini mempunyai batas-batas konsentrasi
maksimum dalam penggunaannya, kecuali betakaroten
yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas
karena aman dan tidak ada efek samping.
Zat pewarna sintetis/kimia karena dianggap bahwa
zat pewarna sintetis/kimia lebih mudah
penggunaannya, cepat pelaksanaannya, ekonomis dan
mudah didapat di pasaran. Akan tetapi dampak dari
penggunaan zat pewarna sintetis/ kimia dapat
menimbulkan masalah baru, yaitu masalah pencemaran
lingkungan dan kesehatan. Namun, seiring kemajuan
teknologi dengan ditemukannya zat warna sintetis untuk
tekstil maka semakin terkikislah penggunaan zat warna
alam. Keunggulan zat warna sintetis adalah lebih
mudah diperoleh , ketersediaan warna terjamin, jenis

1
2

warna bermacam macam, dan lebih praktis dalam


penggunaannya. Pada awalnya Proses pewarnaan tekstil
menggunakan zat warna alam. Meskipun dewasa ini
penggunaan zat warna alam telah tergeser oleh
keberadaan zat warna sintesis namun penggunaan zat
warna alam yang merupakan kekayaan budaya warisan
nenek moyang masih tetap dijaga keberadaannya
khususnya pada proses pembatikan. Rancangan busana
maupun kain batik yang menggunakan zat warna alam
memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang tinggi karena
memiliki nilai seni dan warna khas, ramah lingkungan
sehingga berkesan etnik dan eksklusif (Fitrihana:2007)
Kesadaran akan pentingnya penggunaan pewarana
alami pewarna alami di kalangan pembatik semakin
meningkat, akan tetapi pada umumnya masih terbatas
karena kurangnya pengetahuan akan hal tersebut. Oleh
karena itu perlu secara terus menerus dilakukan
sosialisasi tentang sumber-sumber pewarna alami dan
tata cara penggunaannya untuk memperoleh hasil yang
maksimal. Sebagian besar pengrajin batik banyak yang
belum mengetahui bahwa tanaman yang tumbuh di
sekeliling kita memiliki dan dapat menghasilkan
pewarna batik alami. Kesadaran yang tinggi dari
pengrajin batik untuk menggunakan pewarna alam tentu
akan berdampak positif pada keramahan lingkungan
dan dapat mengeksplorasi pewarna alam dari berbagai
tanaman(Kartikasari dan Teni:2016)

Berdasarkan penelitian Arohman (2016)


mengenai “Ekstraksi zat warna pada kulit akar
mengkudu menggunakan teknik maserasi dengan
pelarut methanol dan ekstraksi dengan pelarut
aquades. Hasil ekstrak yang diperoleh dari
3

perbandingan 1:20 (b/v) (10 gram sampel : 200 ml


(pelarut) yakni perubahan warna air menjadi coklat
kehitaman dari pelarut metanol berwarna merah.
Mengkudu adalah jenis tumbuhan dari keluarga
kopi-kopian (Rubiaceae) dan nama ilmiah atau nama
latinnya adalah Morinda citrifolia L. Secara
morfologi atau ciri-ciri fisiknya, pohon mengkudu
memiliki ketinggian antara 5-8 meter dan mempunyai
cabang atau ranting-ranting yang banya. Batang
pohonnya berkayu, bulat, dan berkulit kasar dan
kulit kayu berwarna coklat kekuningan atau ada pula
yang berwarna agak putih terutama yang batang
kayunya kecil-kecil. Setelah pohon itu berusian 3
smpai 4 tahun sejak itulah sudah bisa diambil bagian
akarnya yang diperlukan untuk bahan-bahan
pewarnaan tersebut. (Purbaya, 35).
Peneliti telah melakukan pra eksperimen
menggunakan pewarnaan akar mengkudu pada
bahan katun dengan menggunakan lama pencelupan
24 jam dan 48 jam untuk 1 liter air banyak akar
mengkudu yang digunakan adalah 200 gram akar,
dan direbus dengan lama 1 jam, dengan masing-
masing dicelup 1 kali pencelupan. Jenis mordan yang
digunakan adalah soda abu, banyak mordan yang
digunakan adalah 25 gram untuk 200 gram bahan
dan 1 liter air, dengan menghasilkan warna merah
indian
Berdasarkan uraian di atas penulis
selanjutnya mengangkat judul “ Pengaruh lama
pencelupan akar mengkudu terhadap hasil jadi
pewarnaan pada kain katun “
4

B. Identifikikasi Masalah
1. Zat pewarna sintetis semakin banyak digunakan
2. Zat pewarna sintetis dapat menimbulkan
masalah pencemaran lingkungan dan kesehatan.
3. Kurangnya pemahaman tentang pewarna alami
4. Akar mengkudu sebagai pewarna alami

C. Batasan Masalah
1. Penggunaan zat pewarna alam yang ramah
lingkungn
2. Jenis kain yang digunakan adalah kain katun
primis
Bahan ini digunakan karena memiliki sifat yang
dapat menyerap warna dengan baik.
3. Bahan pewarna alam
Tanaman yang digunakan adalah mengkudu
bagian akar. Akar yang digunakan adalah akar
tanaman mengkudu yang masih hidup karena
dapat menghasilkan warna yang lebih pekat.
4. Mordan yang digunakan adalah Soda Abu

D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh lama pencelupan akar
mengkudu dengan waktu 24 jam , 48 jam , 72 jam
, dan 96 jam terhadap hasil jadi pewarnaan pada
kain katun ?
2. Manakah hasil pewarnaan yang terbaik diantara
lama pencelupan 24 jam , 48 jam , 72 jam , dan 96
jam ?

E. Tujuan Penelitian
5

1. Mengetahui pengaruh lama pencelupan akar


mengkudu dengan 24 jam, 48 jam, 72 jam, dan 96
jam terhadap hasil jadi pewarnaan
2. Mengetahui hasil hasil terbaik diantara 24 jam, 48
jam, 72 jam, dan 96 jam ?

F. Manfaat
1. Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang
pewarnaan alami dan lama pencelupan
menggunakan akar mengkudu.

2. Lembaga
Sebagai tambahan referensi untuk mengetahui
pewarnaan alam terutama akar mengkudu
dengan lama pencelupan dari 24 jam, 48 jam, 72
jam, da 96 jam.
6

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Anda mungkin juga menyukai