Anda di halaman 1dari 37

BAB I.

DIABETES MELITUS

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat:
1. Melakukan dokumentasi pasien Diabetes Melitus sesuai dengan studi kasus yang
diberikan.
2. Menganalisa terapi yang diberikan dan menentukan DRP (Drug Related Problem) serta
memberikan rekomendasi terkait studi kasus Diabetes Melitus.

II. DIABETES MELITUS

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia
kronis dari diabetes behubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan
berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Dipiro, et. Al., 2015)
Diabetes Melitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia karena defisiensi
insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel
β pankreas mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak menyebabkan gangguan
signifikan. Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme.
Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai glikogen dan
kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (American Diabetes Association, 2012).

III. KLASIFIKASI DIABETES MELITUS

Menurut Dipiro (2008), terdapat 4 klasifikasi diabetes melitus, yaitu:

i. Diabetes Melitus tipe I


Diabetes ini disebabkan oleh kerusakan autoimun dari sel-sel β pankreas. Terjadi kerusakan
sebanyak 90% sel β pada saat individu didiagnosis dan sudah termasuk antibodi sel islet, antibodi untuk
dekarboksilase asam glutamat dan antibodi terhadap insulin. Meskipun bentuk diabetes tipe ini biasanya
terjadi pada anak-anak dan remaja, tetapi juga dapat terjadi pada semua usia. Individu yang lebih muda
biasanya memiliki tingkat yang lebih cepat terhadap kerusakan sel β dengan adanya ketoasidosis,
sedangkan orang dewasa dapat mempertahankan sekresi insulin yang cukup untuk mencegah
ketoasidosis selama bertahun-tahun (Dipiro, 2009).

ii. Diabetes Melitus tipe II


Bentuk diabetes tipe ini ditandai dengan resistensi insulin dan relatif kurangnya sekresi
insulin, sebab sekresi insulin yang semakin rendah dari waktu ke waktu. Kebanyakan individu dengan
diabetes tipe 2 menderita obesitas pada perut, yang dengan sendirinya menyebabkan resistensi insulin.
Tambahan lagi, hipertensi, dislipidemia, sering diderita setiap individu. Kelainan inilah yang disebut
sebagai resistensi sindrom insulin atau sindrom metabolik. Karena kelainan ini, pasien dengan diabetes
tipa 2 berada pada resiko mengembangkan komplikasi makrovaskuler (Dipiro, 2009).

iii. Diabetes Melitus Gestasional (GDM)


GDM didefenisikan sebagai intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Diabetes
melitus gestasional mempersulit sekitar 7% dari semua kehamilan. Deteksi klinis penting, sebagai terapi
mengurangi mordibitas dan mortalitas perinatal (Dipiro, 2009).

iv.Diabetes tipe spesifik


Tipe spesifik diabetes disebabkan penyakit lain seperti sindrom monogenic diabetes (seperti
neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the young {MODY}), penyakit eksokrin pankreas

6
(seperti fibrosis sistik), dan obat atau bahan kimia yang menginduksi diabetes (seperti pada pengobatan
HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ) (Dipiro, 2009).
IV. PATOFISIOLOGI DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus tipe 1 (5-10% kasus) biasanya terdapat pada masa anak-anak atau awal
memasuki usia dewasa dan menghasilkan kerusakan yang dimediasi oleh autoimun pada sel β pankreas,
menghasilkan defisiensi insulin. Proses autoimum dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan
autoantibodi terhadap antigen sel β (contoh: sel antibodi, antibodi insulin) (Dipiro, et. Al., 2015). Pada
patofisiologi diabetes melitus tipe 1, yang terjadi adalah tidak adanya insulin yang dikeluarkan oleh sel
yang berbentuk seperti peta pada pankreas yang terletak dibelakang lambung. Dengan tidak adanya
insulin, glukosa dalam darah tidak dapat masuk kedalam sel untuk dirubah menjadi tenaga. Karena tidak
bisa diserap oleh insulin, glukosa ini terjebak dalam darah dan kadar glukosa dalam darah menjadi naik
(Homenta, 2012).
Diabetes melitus tipe 2 sebanyak 90% kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan kombinasi
resistensi insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin dimanifestasikan oleh peningkatan lipolysis
dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glokosa hepatik, dan penurunan serapan otot
rangka glukosa. Sel β mengalami disfungsi progresif dan menyebabkan memburuknya kontrol glukosa
darah. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenic (kalori yang berlebihan, olahraga tidak
memadai, dan obesitas)ditumpangkan diatas rentan genotip. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan
pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga
penderita tidak tergantung pada pemberian insulin (Dipiro, et. Al., 2015).
Kejadian lainnya pada diabetes melitus (1-2% kasus) mencakup penyakit endokrin (contoh:
akromegali, cushing syndrom), diabetes gestasional (GDM) atau diabetes pada ibu hamil, dan obat-
obatan (glukokortikoid, niasin, α-interferon (Dipiro, et. Al., 2015).

V. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin.
Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang
normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi
ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan menyebabkan diuresis osmotik
yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk eksresi glukosa yaitu
± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin
akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price Sylvia Anderson, 2005).
Menurut Tandra (2008), manifestasi klinis Diabetes Melitus yaitu:

1. Berat Badan Turun


Sebagai kompensasi dari dehidrasi dan banyak minum, seseorang akan mulai banyak makan.
Memang pada mulanya berat badan makin meningkat, tetapi lama-kelamaan otot tidak mendapat cukup
glukosa untuk tumbuh dan mendapatkan energi. Maka jaringan otot dan lemak harus dipecah untuk
memenuhi kebutuhan energi. Berat badan menjadi turun meskipun banyak makan. Keadaan ini makin
diperburuk dengan adanya komplikasi yang timbu kemudian.

2. Lemah
Keluhan diabetes dapat berupa rasa capek, lemah dan nafsu makan menurun. Pada diabetes gula
bukan lagi sumber energi karena glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel untuk menjadi energi.

3. Mata Kabur
Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam lensa mata sehingga lensa
menjadi tipis. Mata seseorangpun mengalami kesulitan untuk fokus dan penglihatan menjadi kabur.
Apabila seseorang mampu mengontrol glukosa darah dengan baik, penglihatan bisa membaik karena
lensa kembali normal.

4. Luka yang sukar sembuh


Penyebab luka yang sukar sembuh adalah:
a. Infeksi yang hebat, kuman atau jamur yang mudah tumbuh pada kondisi gula darah yang
tinggi
b. Kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak lancar pada kapiler (pembuluh
darah kecil) yang menghambat penyembuhan luka.

7
c. Kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan penderita diabetes tidak menaruh
perhatian pada luka dan membiarkannya makin membusuk.

5. Rasa kesemutan
Kerusakan saraf yang disebabkan oleh glukosa yang tinggi merusak dinding pembuluh darah
dan akan mengganggu nutrisi pada saraf. Karena yang rusak adalah saraf sensoris, keluhan yang paling
sering muncul adalah rasa semutan atau tidak berasa, terutama pada tangan dan kaki. Selanjutnya bisa
timbul rasa nyeri pada anggota tubuh, betis, kaki, tangan, dan lengan. Gusi merah dan bengkak.

6. Gusi merah dan bengkak


Kemampuan rongga mulut seseorang menjadi lemah untuk melawan infeksi. Maka gusi
membengkak dan menjadi merah, muncul infeksi dan gigi tampak tidak rata dan mudah tanggal.

7. Kulit terasa kering dan gatal


Kulit terasa kering, sering gatal, infeksi. Keluhan ini biasanya menjadi penyebab seseorang
datang memeriksakan diri kedokter kulit, lalu baru ditemukan adanya diabetes.

8. Mudah kena infeksi


Leukosit ( sel darah putih ) yang biasa dipakai untuk melawan infeksi tidak dapat berfungsi
dengan baik jika glukosa darah tinggi.

VI. TEGAK DIAGNOSA


Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik glukosa plasma puasa atau
fasting plasma glucose (FPG) atau nilai 2 jam plasma glukosa atau 2-h plasma glucose (2-h PG) setelah
tes toleransi glukosa 75 gram atau oral glucose tolerance test (OGTT) atau kriteria A1C.
1. FPG ≥126 mg/dL (7 mmol/L). Fasting didefenisikan sebagai tidak adanya pemasukan kalori
sedikitnya 8 jam
2. 2 jam PG ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) selama OGTT, menggunakan glukosa yang mengandung
75 gram glukosa anhidrat yang terlaryt dalam air
3. A1C ≥ 6,5% (48 mmol/mol). Pengujian dilakukan di laboratorium dengan metode NSGP dan
dengan standar DCCT assay
4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemik atau krisis hiperglikemik, gula plasma acak ≥
200 mg/dL (11.1 mmol/L)

VII. TERAPI DIABETES MELITUS


Target terapi yang diharapkan pada penderita DM tipe 2 (Dipiro, et al., 2009):
a. Gula darah puasa < 126 mg/dL
b. Gula darah 2 jam PP < 200 mg/dL
c. HbA1c < 6,5%
d. Tekanan darah < 140/90 mmHg
e. LDL < 100 mg/dL
f. HDL > 45 mg/dL
Adapun algoritma terapi pada diabetes mellitus menurut NICE (National Institute for Health
and Clinical Excellent, 2015) :

8
Terapi yang digunakan dalam penatalaksanaan diabetes melitus:
1. Insulin
Mekanisme kerja dari insulin adalah menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi
pengambilan glukosa perifer dan menghambat glukosa hepatik.

2. Sulfonilurea
Mekanisme kerja dari sulfonil urea adalah berkerja langsung pada sekresi insulin pada
pangkreas sehingga hanya efektif bila sel beta pangkreas masih dapat berproduksi. Contoh:
klorpropamid, glikazid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimapirid, tolbutamid.

3. Biguanida
Mekanisme kerja dari biguanida adalah menghambat glukogeogenesis dan meningkatkan
penggunaan glukosa dijaringan. Contoh: metformin hidroklorida.

4. Tiozolidindion
Mekanisme kerja Tiozolidindion adalah meningkatkan sensitivitas insulin pada otot dan
jaringan adipose dan menghambat glukoneogenesis hepatic. Contoh: pioglitazon

5. Penghambat α-glukosidase
Mekanisme kerja Penghambat α-glukosidase adalah akarbosa berkerja menghambat α-
glukosidase sehingga mencegah penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam usus halus dengan
demikian memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat.

9
BAB II GANGGUAN PERNAFASAN

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


1. Melakukan dokumentasi pasien Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
2. Menganalisa terapi yang diberikan dan menentukan Drug Related Problem (DRP) serta
memberikan rekomendasi terkait penyakit Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

II. PENDAHULUAN

A. ASMA

Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) pada National
Institute of Health (NIH) Amerika, asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik
pada paru yang dicirikan oleh obstruksi saluran napas yang bersifat reversibel, inflamasi
jalan napas, peningkatan respon jalan napas terhadap berbagai rangsangan.

B. PENYAKIT OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

PPOK adalah penyakit progresif yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi normal paru-paru terhadap
partikel berbahaya atau gas. PPOK merupakan penyakit pada saluran nafas dan adanya
kerusakan parenkim yang disebabkan pembatasan aliran udara yang bersifat kronis (Dipiro et
al., 2008)

III. PATOFISIOLOGI

A. ASMA

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Karakteristik utama asma yaitu
obstruksi aliran udara (terkait dengan bronkospasme, edema dan hipersekresi), BHR, dan
peradangan saluran nafas. Peradangan muncul dari BHR spesifik, bronchoalveolar lavage,
biopsies bronkial dan induksi dahak, serta dari pengamatan postmortem pasien
asma yang meninggal karena serangan asma atau penyebab lain.

Gambar 1.Patofisiologi Asma (Sumber: Dipiro Pharmacotherapy 7th )

Gambar di atas menunjukkan patologi dalam bronkus asma dibandingkan bronkus


normal (kanan atas). Setiap bagian menunjukkan bagaimana lumen yang menyempit yaitu
hipertrofi dari bagian bawah, membrane, lender plugging, hipertrofi otot polos dan
penyempitan kontribusi (bagian bawah). Sel-sel inflamasi menyebar, memproduksi
19
submukosa edema epitel, mengisi lumen saluran nafas dengan selular dan memperlihatkan
otot polos saluran nafas untuk mediator lainnya (kiri atas) (Dipiro et al., 2008).

B. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Eksaserbasi berulang, terutama yang memerlukan rawat inap, dikaitkan dengan


peningkatan risiko kematian. Ada keterbatasan data tentang patologi selama eksaserbasi
karena sifat penyakit dan kondisi pasien. Namun, mediator inflamasi termasuk neutrofil dan
eosinofil meningkat dalam dahak. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi
mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stres
oksidatif. Hiperinflasi paru-paru PPOK diperparah selama eksaserbasi yang berkontribusi
pada memburuknya dispnea dan pertukaran gas yang buruk. Pada perubahan fisiologis akan
berakibat memburuknya hasil gas darah pada arteri karena pertukaran gas yang buruk dan
peningkatan kelelahan otot. Pada darah pasien yang mengalami eksaserbasi parah,
hipokdemia, hiperkalemia hebat dapat disertai asidosis respiratorik dan gagal pernapasan (
Dipiro et.,al, 2008).

IV. DIAGNOSA

A. ASMA

Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan


fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada
pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena
pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru,
yang dapat diperiksa dengan spirometri Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur
kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan
ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator
yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1
< 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75% (Depkes, 2007).

Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma antara lain :


1. Mengi pada saat menghirup nafas.
2. Riwayat batuk yang memburuk pada mlam hari, dada sesak yang terjadi berulang dan
nafas tersenggal-senggal.
3. Hambatan pernafasan yang reversible secara bervariasi selama siang hari.
4.Adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi virus, eksposur terhadap allergen dan
perubahan musim.
5.Terbangun malam-malam dengan gejala seperti di atas.

B. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Gejala Klinis dari PPOK eksaserbasi akut adalah memburuknya pernapasan, peningkatan
jumlah sputum dan peningkatan purulen dahak. Manifestasi klinis tambahan dari kegagalan
pernapasan termasuk kegelisahan, kebingungan, takikardia, diaforesis, sianosis, hipotensi,
pernapasan tidak teratur, miosis, dan ketidaksadaran (Dipiro, 2008).

V. TERAPI
A. ASMA

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2009), pengobatan berdasarkan berat
asma dibagi menjadi 4, yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten
sedang, dan asma persisten berat (Gambar 2).
20
• Pengontrol : Digunakan setiap hari
- Kombinasi Steroid & Beta2-agonis kerja lambat inhalasi Turunkan
Langkah 4 - Steroid oral bila
• Pelega terkontrol
Persisten - Beta2- agonis kerja singat prn
Berat

•Pengontrol : setiap hari - Edukasi


- kombinasi Steroid & Beta2-agonis kerja lambat inhalasi
- Pertimbangkan anti leukotrien penting pada
Langkah 3 setiap tahap
• Pelega
Persisten - Beta2- agonis kerja singat prn - Turunkan
sedang pengobatan
•Pengontrol : Setiap hari bila terkontrol
- Steroid inhalasi sedikitnya 3
- atau kromolin, teofilin lepas lambat oral, atau bulan
Langkah 2 antileukotrien - Lanjutkan
Persisten •Pelega pengobatan
ringan - Beta2- agonis kerja singat prn dan
pengawasan
• Pengontrol belum perlu
• Pelega
Langkah 1 - Beta2- agonis kerja singat prn Tingkatkan
Intermiten
terapi bila tidak
terkontrol
(Yakinkan
teknik inhalasi
Gambar 2. Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma Sumber : GINA, 2009 & kepatuhan)

B. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Gambar 3. Rekomendasi terapi untuk PPOK stabil : ISO Farmakoterapi, 2008.

21
EVALUASI LANJUTAN/FOLLOW-UP

No. Pasien : Tanggal:


Nama Pasien :

Kondisi Medis: ______________________________________

II. Hasil Terapi

Parameter Hasil Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


Gejala/symptom

Hasil Laboratorium

II. Evaluasi keamanan terapi obat


Jika terdapat kejadian kesakitan/kematian yang berhubungan dengan obat, silahkan isi formulir
berikut:

Gejala/Symptom Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2

Gastrointestinal

Lain-lain

III. Status Pasien


A. Status hasil terapi pasien
Cek (√) di dalam kotak yg tersedia bagi status hasil terapi pasien:

 Positif
 Tidak ada perubahan
 Negatif

28
IV. Status Masalah Terapi Obat (MTO)

Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


__ Tidak ada __ Tidak ada __ Tidak ada

MTO __terdokumentasi __ terdokumentasi __ Terdokumentasi

__ MTO baru, silahkan nyatakan: __ MTO baru, silahkan nyatakan:

……………………………......... …………………………….........
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….

Tanggal Jadwal untuk pertemuan Komentar


selanjutnya

Tanda tangan: ______________________ Tanggal: _________

29
BAB III SALURAN PENCERNAAN

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat:
1. Melakukan dokumentasi pasien dispepsia/peptic ulcer sesuai dengan studi kasus yang
diberikan.
2. Menganalisa terapi yang diberikan dan menentukan DRP (Drug Related Problem)
serta memberikan rekomendasi terkait penyakit dispepsia/peptic ulcer.

II. DEFINISI
A. DISPEPSIA
Dispepsia merupakan definisi luas dari rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa
gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa
(Husori, 2019; K, dkk., 2014).
B. PEPTIC ULCER
Peptic Ulcer adalah bagian dari golongan dispepsia organik yang mana merupakan
kondisi terjadinya erosi pada lapisan lambung atau pada duodenum atau pada keduanya
yang mana pembentukannya memerlukan asam dan pepsin. Erosi pada lapisan organ
pencernaan tersebut kedalamannya mencapai muscularis mucosa. Jenis-jenis peptic ulcer
dapat disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori, penggunaan obat-obatan antiinflamasi
non steroid (NSAID), dan stress ulcer (Wells, dkk., 2009).

III. PATOFISIOLOGI
A. DISPEPSIA
Dispepsia organik dan fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain
gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi H. pylori, asam lambung, hipersensitivitas
viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik,
gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya (K, dkk.,
2014).
B. PEPTIC ULCER
Patogenesis dari peptic ulcer memiliki banyak faktor dan kemungkinan besar
merupakan kombinasi ketidaknormalan patofisiologi dan lingkungan serta faktor genetik.
Kebanyakan rukak terjadi dengan adanya asam dan pepsin saat terjadi infeksi oleh H.

30
pylori, penggunaan NSAID atau faktor lain yang dapat memicu SRMD (Stress Related
Mucosal Damage) mengganggu pertahanan mukosa normal dan mekanisme penyembuhan
(Husori, 2019; Wells, dkk., 2009).

Alur diagnosis dispepsia belum diinvestigasi (K, dkk., 2014).

IV. MANIFESTASI KLINIK


Kebanyakan pasien dispepsia (termasuk peptic ulcer) akan sering mengalami:
- Kesakitan pada malam hari baik ketika tidur (terjadi antara pukul 12 malam – 3 pagi).
- Kesakitan berlangsung selama 1-3 jam dan setelah makan, rasa sakit akan berkurang.
- Pasien sering mengalami sindrom dispeptik yaitu rasa panas dalam perut dan perut
kembung, mual, muntah, anoreksia, dan turun berat badan. Keparahan gejala bervariasi
dan dapat berakibat fatal (Wells, dkk. 2009).

V. DIAGNOSIS
- Pemeriksaan fisik menunjukkan rasa sakit epigastrik meliputi daerah dari bawah tulang
dada hingga daerah sekitar pusar. Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari
evaluasi dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
• Penurunan berat badan
• Disfagia progresif
• Muntah rekuren atau persisten
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Riwayat keluarga kanker lambung
31
Pasien dengan keluhan tersebut harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan
endoskopi.
- Tes laboratorium hematokrit, hemoglobin, dan hemoccult test (untuk mendeteksi darah
di tinja) diperlukan untuk mendeteksi terjadinya perdarahan.
- Tes invasif dan non invasif untuk mendeteksi adanya H. pylori. Tes invasif
denganmalkukan endoskopi dan biopsi mukosa lambung untuk histologi, kultur bakteri
dan mendeteksi aktivitas urease. Tes non invasif yaitu Urea Breath Test untuk
mengetahui produksi urease oleh H. pylori.
- USG Abdomen dipilih sebagai prosedur diagnosis awal pada pasien untuk melihat
adanya luka
(K, dkk., 2014).

VI. TERAPI
Tujuan terapi dispepsia/peptic ulcer adalah menghilangkan nyeri, mengobati luka,
mencegah kekambuhan dan mengurangi komplikasi. Pada penderita peptic ulcer yang
disebabkan H. pylori, tujuannya adalah mengatasi mikroba dan menyembuhkan penyakit
dengan obat yang efektif.

A. TERAPI FARMAKOLOGI
1. Antasida
Golongan antasida seperti aluminium hidroksida, magnesium trisilikat, dll.
2. Antagonis Reseptor H2
Menangani dispepsia dan peptic ulcer dengan cara mengurangi sekresi asam
lambung dengan menghambart kerja reseptor H2. Contoh simetidin, ranitidin,
famotidin.
3. Antimuskarinik Selektif
Selektif memblokade reseptor muskarinik dan menghambat sekresi lambung.
Contoh pirenzepin.
4. Kelator dan Senyawa Kompleks
Contoh trikalium disitratobismutat yang bekerja dengan cara merangsang sekresi
prostaglandin atau bikarnonat mukosa. Sedangkan sukralfat bekerja dengan
melindungi mukosa dari serangan pepsin asam.
5. Analog Prostaglandin
Contohnya misoprostol yang merupakan analog prostaglandin sintetik dengan sifat
antisekresi dan proteksi.

32
6. Proton Pump Inhibitor
Menghambat asam lambung dengan cara menghambar sistem enzim adenosin
trifosfat hidrogen-kalium (pompa proton) dari sel parietal lambung. Obat ini efektik
untuk peptic ulcer dengan penggunaan jangka pendek, selain itu dapat
dikombinasikan dengan antibiotik untuk eradikasi H. pylori. Contoh omeprazol,
lansoprazol, pantoprazol.

Perbandingan regimen obat untuk eradikasi H. pylori menggunakan regimen 2 obat,


atau regimen 3 obat obat:
• Klaritromisin + proton pump inhibitor
• Amoxsisilin + proton pump inhibitor
Regimen 3 obat:
• Klaritromisin + amoxsisilin + proton pump inhibitor
• Klaritromisin + metronidazol + proton pump inhibitor
• Amoksisilin + metronidazol + proton pump inhibitor
(Sukandar, dkk., 2013).

B. TERAPI NON FARMAKOLOGI


- Pasien yang menderita dispepsia/peptic ulcer harus mengurangi stress
- Mengurangi rokok
- Mengurangi penggunaan NSAID
- Mengurangi konsumsi alkohol
- Pasien harus menjaga diet dengan mengurangi makanan yang dapat menyebabkan
dispepsia seperti makanan pedas dan kafein
- Istirahat
- Menghindari stress
(Husori, 2019).

33
EVALUASI LANJUTAN/FOLLOW-UP

No. Pasien : Tanggal:


Nama Pasien :

Kondisi Medis: ______________________________________

III. Hasil Terapi

Parameter Hasil Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


Gejala/symptom

Hasil Laboratorium

II. Evaluasi keamanan terapi obat


Jika terdapat kejadian kesakitan/kematian yang berhubungan dengan obat, silahkan isi formulir
berikut:

Gejala/Symptom Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2

Gastrointestinal

Lain-lain

III. Status Pasien


A. Status hasil terapi pasien
Cek (√) di dalam kotak yg tersedia bagi status hasil terapi pasien:

 Positif
 Tidak ada perubahan
 Negatif

40
IV. Status Masalah Terapi Obat (MTO)

Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


__ Tidak ada __ Tidak ada __ Tidak ada

MTO __terdokumentasi __ terdokumentasi __ Terdokumentasi

__ MTO baru, silahkan nyatakan: __ MTO baru, silahkan nyatakan:

……………………………......... …………………………….........
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….

Tanggal Jadwal untuk pertemuan Komentar


selanjutnya

Tanda tangan: ______________________ Tanggal: _________

41
BAB IV. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


1. Melakukan dokumentasi pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK)
2. Menganalisa terapi yang diberikan dan menentukan Drug Related Problem (DRP) serta
memberikan rekomendqsi terkait penyakit Infeksi Saluran Kemih (ISK)

II. PENGERTIAN ISK


Infeksi saluran kemih mewakili berbagai macam sindrom klinis termasuk uretritis, sistitis,
prostatitis, dan pielonefritis. Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan sebagai penyakit dengan kondisi
dimana terdapat mikroorganisme di dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu
menimbulkan infeksi pada saluran kemih. Organisme memiliki potensi penting untuk menyerang
jaringan saluran kemih dan struktur yang berdekatan. Infeksi saluran bawah termasuk sistitis (kandung
kemih), uretritis (uretra), prostatitis (kelenjar prostat), dan epididimitis (Dipiro dkk, 2011).

III. KLASIFIKASI ISK


ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi dan kondisi klinisnya. ISK diklasifikasikan berdasarkan
anatominya yaitu:
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) bawah, yaitu sistitis (kandung kemih), urethritis (uretra),
prostatitis (kelenjar prostat), and epididymitis.
2. Infeksi Saluran Kemih (ISK) atas yaitu berupa pielonefritis.
Sedangkan berdasarkan kondisi klinisnya, ISK dibagi menjadi:
1. ISK sederhana, yaitu infeksi yang terjadi pada individu yang memiliki kelainan struktural atau
fungsional dari jalur urin yang mengganggu aliran normal urin atau mekanisme berkemih.
2. ISK komplikasi, yaitu infeksi yang terjadi akibat adanya lesi predisposisi pada saluran kemih
seperti kelainan bawaan atau distorsi saluran kemih, kristal ataupun hipertrofi prostatis. ISK
jenis ini umumnya dapat terjadi pada pria maupun wanita.

IV. TANDA DAN GEJALA ISK


Infeksi saluran kemih dapat diketahui dengan bebrapa gejala seperti demam, susah buang air
kecil, nteri setelah buang air besar (disuria terminal), sering buang air kecil, kadang-kadang merasa
panas ketika berkemih nyeri pinggang dan nyeri suprapubik (Kemkes RI, 2011). Pada ISK bagian
bawah umumnya mengalami disuria, urgensi, frekuensi,dan nokturia. Sedangkan pada ISK bagian atas
umumnya mengalami nyeri pinggang, demam, mual, muntah,dan malaise (Dipiro, 2011).
Tabel Presentase klinis pada pasien infeksi saluran kemih (ISK)

Tanda dan Gejala


ISK bagian bawah: disuria, urgensi, frekuensi, nokturia, hematuria
ISK bagian atas: nyeri pinggang, demam, mual, muntah, malaise
Pemeriksaan Fisik
ISK atas : kelembutan costovertebral

Uji Laboratorium
Bakteriuria
Pyuria (WBC> 10 / mm3) [> 10 x 106/ L]
Urin nitrit positif (dengan reduksi nitrit)
Urin positif leukosit esterase
Bakteri berlapis antibodi (ISK bagian atas)
Gejala saja tidak dapat diandalkan untuk diagnosis ISK bakteri. Kunci untuk diagnosis ISK
adalah kemampuan untuk menunjukkan sejumlah besar mikroorganisme hadir dalam spesimen urin
yang tepat untuk membedakan kontaminasi infeksi. Pasien lanjut usia sering tidak mengalami gejala
42
kemih spesifik, tetapi dalam bentuk perubahan status mental, perubahan kebiasaan makan, atau gejalan
pencernaan (GI).
Tes nitrit dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan bakteri pereduksi nitrat dalam urin
(mis. E. coli). Tes leukosit esterase adalah tes dipstik cepat untuk mendeteksi piuria. Metode yang paling
dapat diandalkan untuk mendiagnosis ISK adalah dengan kultur urin kuantitatif. Pasien dengan infeksi
biasanya memiliki lebih dari 105 bakteri / mL [108/ L] dari urin, meskipun sebanyak sepertiga wanita
dengan infeksi simtomatik memiliki kurang dari105 bakteri / mL [108/ L] (Dipiro, 2011).

V. TATA LAKSANA TERAPI


a. Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan untuk ISK adalah untuk memberantas organisme yang menyerang,
mencegah atau mengobati konsekuensi infeksi sistemik, dan mencegah terulangnya infeksi. Manajemen
terapi ISK paling baik dilakukan dengan terlebih dahulu mengkategorikan jenis infeksi: sistitis akut
tanpa komplikasi, abacteriuria simtomatik, asimptom-bakteriuria atic, ISK rumit, infeksi berulang, atau
prostatitis (Dipiro, 2011).
1. Sistitis Tanpa komplikasi akut
Infeksi ini merupakan jenis yang paling sering terjadi dan sebagian besar disebabkan oleh E.
coli, dan terapi antimikroba harus diarahkan terhadap organisme ini pada awalnya. Karena organisme
penyebabnya dan kerentanan mereka secara umum diketahui, suatu pendekatan hemat biaya untuk
dianjurkan yang mencakup urinalisis dan inisiasi terapi empiris tanpa kultur urin. Tujuan dari terapi
yaitu untuk memberantas organisme yang menyebabkan infeksi dan mengurangi terjadinya
kekambuhan atau infeksi berulang (Dipiro, 2011).
Terapi jangka pendek (terapi 3 hari) dengan trimetoprim-sulfametoksazol atau fluoroquinolone
(misalnya, ciprofloxacin atau levofloxacin, tetapi tidak moxifloxacin) adalah tambahan terapi dosis
rendah untuk dosis tunggal untuk infeksi tanpa komplikasi. Fluoroquinolones seharusnya dicadangkan
untuk pasien dengan dugaan atau kemungkinan pielonefritis karena jaminan risiko kerusakan. Sebagai
gantinya, kursus 3 hari trimethoprim-sulfamethoxazole, 5 hari nitrofurantoin, atau dosis fosfomisin satu
kali harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Di daerah di mana ada lebih dari 20% resistensi
E. coli terhadap trimethoprim – sulfamethoxazole, nitrofurantoin atau fosfomycin harus digunakan.
Amoksisilin atau ampisilin tidak dianjurkan karena tingginya insiden E. coli tahan. Tindak lanjut kultur
urin tidak diperlukan pada pasien yang merespons (Dipiro, 2011).

2. Infeksi Saluran Kemih dengan Komplikasi


a. Pielonefritis Akut.
Pada pasien dengan gejala sedang sampai sedang yang dipertimbangkan terapi oral, agen yang
efektif harus diberikan selama 7 sampai 14 hari, tergantung pada agen yang digunakan.
Fluoroquinolones (ciprofloxacin atau levofloxacin) secara oral selama 7 hingga 10 hari adalah pilihan
lini pertama pada pielonefritis ringan hingga sedang. Pilihan lain termasuk trimethoprim-
sulfamethoxazole selama 14 hari. Jika noda Gram mengungkapkan gram positif cocci, Streptococcus
faecalis harus dipertimbangkan dan pengobatan diarahkan terhadap ini patogen (ampisilin).
Pada pasien yang sakit parah, terapi awal tradisional adalah fluoroquinolone IV, sebuah
aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin, atau sefalosfon spektrum luar dengan atau tanpa
aminoglikosida.
Jika pasien telah dirawat di rumah sakit dalam 6 bulan terakhir, memiliki kateter kemih, atau
sedang di panti jompo, kemungkinan infeksi P. aeruginosa dan enterococci juga sebagai organisme
multi-resisten, harus dipertimbangkan. Dalam pengaturan ini, ceftazidime, ticarcillin-asam klavulanat,
piperasilin, aztreonam, meropenem, atau imipenem, dalam kombinasi dengan aminoglikosida,
direkomendasikan. Jika pasien merespons untuk terapi kombinasi awal, aminoglikosida dapat
dihentikan setelah 3 hari. Kultur urin tindak lanjut harus diperoleh 2 minggu setelah terapi selesai untuk
memastikan respons yang memuaskan dan untuk mendeteksi kemungkinan kambuh.
b. Infeksi Saluran Urin Pada Pria
Pandangan konvensional adalah bahwa terapi pada pria membutuhkan perawatan jangka
panjang Kultur urin harus diperoleh sebelum perawatan, karena penyebab infeksi pada pria tidak bisa
diprediksi seperti pada wanita. Jika diduga bakteri gram negatif, trimetoprim-sulfametoksazol atau
fluidaroquinolone adalah agen yang banyak digunakan. Terapi awal adalah selama 10 hingga 14 hari.
Infeksi pada pria, tingkat kesembuhan jauh lebih tinggi dengan rejimen trimethoprime –
sulfametoksazol selama 6 minggu.

43
3. Infeksi Berulang
Pada pasien dengan infeksi yang jarang (yaitu, kurang dari tiga infeksi per tahun), masing-
masing episode harus diperlakukan sebagai infeksi yang terjadi secara terpisah. Terapi jangka pendek
harus digunakan pada pasien wanita bergejala dengan infeksi saluran yang lebih rendah.Pada pasien
yang sering mengalami infeksi simtomatik, anti-profilaksis jangka panjang terapi mikroba dapat
dilakukan. Terapi umumnya diberikan untuk 6 bulan, dengan kultur urin diikuti secara berkala.
Pada wanita yang mengalami reinfeksi gejala dalam hubungannya dengan aktivitas seksual,
membatalkan setelah hubungan seksual dapat membantu mencegah infeksi. Terapi profilaksis dosis
tunggal dengan trimetoprim-sulfametoksazol setelah hubungan seksual secara signifikan mengurangi
kejadian infeksi berulang di ini pasien (Dipiro, 2011).

b. Terapi Non Farmakologi

• Minum air putih dalam jumlah yang cukup.


• Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kencing agar bakteri tidak
mudah berkembang biak.
• Tidak menunda keinginan buang air kecil
• Gunakan air yang mengalir untuk membersihkan diri selesai berkemih
• Buang air kecil sesudah berhubungan seksual, hal ini membantu menghindari saluran urin
dari bakteri (Schoenstadt, 2008).

44
EVALUASI LANJUTAN/FOLLOW-UP

No. Pasien : Tanggal:


Nama Pasien :

Kondisi Medis: ______________________________________

3. Hasil Terapi

Parameter Hasil Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


Gejala/symptom

Hasil Laboratorium

II. Evaluasi keamanan terapi obat


Jika terdapat kejadian kesakitan/kematian yang berhubungan dengan obat, silahkan isi formulir
berikut:

Gejala/Symptom Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2

Gastrointestinal

Lain-lain

III. Status Pasien


A. Status hasil terapi pasien
Cek (√) di dalam kotak yg tersedia bagi status hasil terapi pasien:

 Positif
 Tidak ada perubahan
 Negatif

51
IV. Status Masalah Terapi Obat (MTO)

Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


__ Tidak ada __ Tidak ada __ Tidak ada

MTO __terdokumentasi __ terdokumentasi __ Terdokumentasi

__ MTO baru, silahkan nyatakan: __ MTO baru, silahkan nyatakan:

……………………………......... …………………………….........
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….

Tanggal Jadwal untuk pertemuan Komentar


selanjutnya

Tanda tangan: ______________________ Tanggal: _________

52
BAB V HIPERTENSI

I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat:
1. Melakukan dokumentasi pasien hipertensi sesuai dengan studi kasus yang diberikan.
2. Menganalisa terapi yang diberikan dan menentukan DRP (Drug Related Problem) serta
memberikan rekomendasi terkait penyakit hipertensi.

II. HIPERTENSI

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia, sehingga
tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas
kesehatan. Pedoman Praktis klinis ini disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan di Indonesia
dalam menangani hipertensi terutama yang berkaitan dengan kelainan jantung dan pembuluh darah
(American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension, 2013).
Hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam
jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah yang
melebihi 140/90 mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai keadaan darah tinggi. Tekanan darah
yang selalu tinggi adalah salah satu faktor resiko untuk stroke, serangan jantung, gagal jantung dan
aneurisma arterial, dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis. Pada pemeriksaan tekanan
darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi
(sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah
kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai "normal". Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi
kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg
atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka beberapa minggu (American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension, 2013).

III. KLASIFIKASI HIPERTENSI


Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar negeri, menyatakan
bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik
merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian
derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana
hipertensi (disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the International
Society of Hypertension, 2013).

Hipertensi menurut The Sevent Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) (2003) diklasifikasikan menjadi 4 jenis,
yaitu normal, prehipertensi, hipertensi tingkat 1, dan hipertensi tingkat 2 (Chobanian et al., 2003).

53
IV. PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Hipertensi adalah kelainan heterogen yang dapat terjadi akibat penyebab spesifik (hipertensi sekunder) atau dari
mekanisme patofisiologis yang tidak diketahui etiologinya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi
kurang dari10% kasus yang ada, dan sebagian besarnya disebabkan oleh penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular.
Kondisi lain yang menyebabkan hipertensi sekundermeliputi pheochromocytoma, sindrom Cushing, hipertiroidisme,
hiperparatiroidisme, aldosteronisme primer, kehamilan, apnea tidur obstruktif, dan koarktasio aorta. Beberapa obat yang
dapat meningkatkan tekanan darah meliputi kortikosteroid, estrogen, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), amfetamin,
sibutramine, siklosporin, tacrolimus, eritropoietin, dan venlafaksina. Stress juga dapat membuat tensi darah Anda
meningkat sebesar 30-40% dari hitungan normalnya. Sebab saat stres otak melepaskan hormon kortisol,
adrenalin, dan norepinefrin yang dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung. Hormon-hormon ini
juga menyempitkan diameter pembuluh darah. Pola hidup yang tidak baik juga dapat memicu terjadinya
hipertensi seperti malas bergerak atau berolahraga, merokok, dan makanan yang tidak sehat (Dipiro et al,
2015).

V. MANIFESTASI KLINIS
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,gagal jantung kongesif, stroke,
gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanandarah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya
komplikasi tersebut.Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnyamemperpendek
harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Mortalitas pada pasien hipertensilebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan
telah menimbulkan komplikasi kebeberapa organ vital. Sebab kematian yang sering terjadi adalah penyakit jantungdengan
atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal (Nuraini,2015).
Manifestasi klinis akibat hipertensi dapat muncul setelah mengalami hipertensibertahun-tahun. Manifestasi klinis
yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan
tekanan darahintrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantapkarena kerusakan
susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karenapeningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus, edema dependen akibatpeningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkanstroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementarapada satu sisi atau
hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga
berdengung, rasa berat di tengkuk,sukar tidur, dan mata berkunang-kunang (Nuraini,2015).
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,ginjal, jantung dan otak. Pada mata
berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering
ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadistroke dimana terjadi
perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yangdapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat
terjadi adalah prosestromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).Gagal ginjal
sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada prosesakut seperti pada hipertensi maligna
(Nuraini,2015).

VI. TEGAK DIAGNOSA


Dalam menegakkan diagnosa hipertensi perlu dilakukan diagnosa anamnesa berupa sakit/nyeri
kepala, gelisah, jantung berdebardebar, pusing, leher kaku, penglihatan kabur, dan rasa sakit di dada.
Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah dan impotensi. Pemeriksaan fisik
pasien tampak sehat, dapat terlihat sakit ringan-berat, tekanan darah meningkat sesuai JNC VII, nadi
dapat tidak normal. Pasien juga diperiksa kondisi jantungnya (JVP, batas jantung, bising jantung).

Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII


Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik
Normal <120 mmHg <80 mmHg
Pre-Hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage-1 140-159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertensi stage-2 ≥160 mmHg ≥100mmHg

54
VII. TERAPI HIPERTENSI

Terapi Farmakologi
Pelaksanaan terapi farmakologo biasa diberikan pada pasien hipertensi tingkat 1 seperti pemberian obat
antihipertensi first-line atau dengan kombinasi dua obat. Obat first-line antihipertensi yaitu golongan angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitors, angiotensin II reseptor blokers (ARBs), calcium channel blocker (CCB), dan
diuretic thiazid. Sedangkan terapi kombinasi obat direkomendasikan untuk pasienhipertensi tingkat 2, menggunakan
kombinasi dari obat first-line. Sedangkan obat antihipertensi lainnya seperti α1-bloker, direct rennin inhibitor,
central α2-agonis,antagonis peripheral adrenergic, dan direct arterial vasodilator merupakan alternativeyang dapat
digunakan kepada beberapa pasien setelah penggunaan obat first-line
(Wells et. Al ., 2015).
❖ ACE inhibitor, cara kerja ACE inhibitor adalah memblok angiotensin I menjadi angiotensinII, yang merupakan
vasokontriktor poten dan yang merangsang sekresi aldosteron.Selain itu, ACE inhibitor juga dapat memblok degradasi
bradikinin dan menstimulasi sintesis dari substansi vasodilator lainnya, termasuk prostaglandin Edan prostasiklin (Wells
et. al., 2015). Contoh obat yang termasuk golongan iniadalah captopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah batuk
kering, pusing,sakit kepala, dan lemas (Dalimarth et. al., 2008).

❖ARBs, ARB bekerja dengan cara menghambat secara langsung reseptorangiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang
memediasi efek angiotensinogen II. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek
yangmenguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, danpenghambatan pertumbuhan sel)
tetap utuh dengan penggunaan ARB. Efeksamping ARB adalah insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
ortostatik.Contoh obatnya adalah losartan dan valsartan (Wells et. al., 2015).

❖Calcium Channel Blocker (CCB), CCB dapat menyebabkan relaksasi jantung dan melemaskan otot dengancara
memblok channel kalsium sehingga mengurangi masuknya kalsiumekstraselular ke dalam sel. Hal ini akan
menyebabkan basodilatasi dan mengurangitekanan darah. Contoh obat CCB adalah verapamil dan diltiazem. Verapamil
dandiltiazem dapat menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodalatriventrikular. Verapamil
menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropikyang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk
memperparah ataumenyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyaiefek ini tetapi tidak
sebesar verapamil (Wellset. Al., 2015).

❖Diuretik, obat golongan diuretik akan menurunkan volume darah dan cairanekstraseluler dengan cara meningkatkan
ekstresi natrium, air, dan klorida, dengandemikian tekanan darah akan menurun. Obat golongan diuretic juga
dapatmenurunkan resistensi perifer, sehingga menambah efek hipotensi. Contoh obatgolongan diuretik adalah thiazid
diuretik, loop, penahan kalium, dan antagonisaldosteron. Efek samping obat tersebut antara lain hipokalemia yang
dapatmengakibatkan gejala lemas, hiperurisemia, lemah otot, muntah, dan pusing (Wells et. al., 2015; Dalimartha et.
al., 2008).

❖β-blocker, β-blockers hanya dapat digunakan sebagai agen first-line untuk mengobati indikasi spesifik seperti
infark miokard atau penyakit arteri koronari. Mekanisme kerjanya dapat menurunkan output jantung melalui kronotropik
dan inotropik ke jantung dan inhibisi pelepasan rennin dari ginjal. Contoh obatnya adalah
atenolol,propanolol, dan bisoprolol (Wells et. al., 2015).

(Dipiro, 2005).
55
Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi dilakukan pada penderita hipertensi denganmengendalikan faktor resiko dan
memperbaiki pola hidup. Menurut JNC 7 danbeberapa panduan lain modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan cara:
❖Menurunkan berat badan pada penderita obesitas. Penurunan berat badandapat mengurangi tekanan darah sistolik 5-20
mmHg/penurunan 10kg. Rekomendasi ukuran pinggang >94 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanitaindeks massa tubuh
<25 kg/m. Rekomendasi penurunan berat badan meliputi pengurangan asupan kalori dan juga meningkatkan aktivitas
fisik.

❖Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dapat menurunkan tekanan darah
sistolik 8-4 mmHg. Memperbanyak makan buah,sayur-sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan lemak
jenuhdan total lebih sedikit, kaya potassium dan calcium.

❖Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg. Konsumsi sodium chloride ≤6 g/hari
(100mmol sodium/hari). Rekomendasikan makan rendah garam sebagai bagian pola makan sehat.

❖Aktivitas fisik dapat menurunkan dapat menurunkan tekana darah sistolik4-9 mmHg. Lakukan aktivitas fisik dengan
intensitas sedang atau setiap hari pada1 minggu (total harian dapat diakumulasikan, misalnya 3 sesi @ 10menit).

❖Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sitoli 2-4mmHg.


Berhenti merokok untuk mengurangi resiko kardiovaskuler secarakeseluruhan.Dengan memperbaiki gaya hidup
biasanya cukup membantu untuk pasien prehipertensi, namun hal ini tidak akan cukup untuk pasien dengan pasien
hipertensiyang disertai faktor resiko kardiovaskular atau adanya kerusakan organ terkait hipertensi (Wells et. Al., 2015).

56
EVALUASI LANJUTAN/FOLLOW-UP

No. Pasien: Tanggal:


Nama Pasien :

Kondisi Medis: ______________________________________

I. Hasil Terapi

Parameter Hasil Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


Gejala/symptom

Hasil Laboratorium

II. Evaluasi keamanan terapi obat


Jika terdapat kejadian kesakitan/kematian yang berhubungan dengan obat, silahkan isi formulir
berikut:

Gejala/Symptom Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2

Gastrointestinal

Lain-lain

III. Status Pasien


A. Status hasil terapi pasien
Cek (√) di dalam kotak yg tersedia bagi status hasil terapi pasien:

 Positif
 Tidak ada perubahan
 Negatif

64
IV. Status Masalah Terapi Obat (MTO)

Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


__ Tidak ada __ Tidak ada __ Tidak ada

MTO __terdokumentasi __ terdokumentasi __ Terdokumentasi

__ MTO baru, silahkan nyatakan: __ MTO baru, silahkan nyatakan:

……………………………......... …………………………….........
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….

Tanggal Jadwal untuk pertemuan Komentar


selanjutnya

Tandatangan: ______________________ Tanggal: _________

65
BAB VI. MALARIA
I. TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat:
1. Melakukan dokumentasi pasien malaria sesuai dengan studi kasus yang
diberikan
2. Menganalisa terapi yang diberikan dan menentukan DRP (Drug Related
Problem) serta memberikan rekomendasi terkait terapi pada penyakit Malaria

II. MALARIA

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus
plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles. Penyebab malaria
adalah plasmodium; termasuk dalam famili plasmodiae. Parasit ini menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Pembiakan seksual
plasmodium terjadi dalam tubuh nyamuk, yaitu anopheles betina. Selain menginfeksi manusia
plasmodium juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia. Pada
manusia, plasmodium menginfeksi sel darah merah dan mengalami pembiakan aseksual di
jaringan hati dan eritrosit (Depkes RI, 2008).

Menurut Depkes RI (2008), Terdapat 4 jenis Malaria yang disebabkan Plasmodium,


yaitu:

- Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax/tertiana,


- Plasmodium falciparum menyebabkan malaria falciparum/tropika,
- Plasmodium malariae menyebabkan malaria malariae/quartana dan
- Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale.

P.falciparum dan P.Malariae umumnya terdapat pada hampir semua negara dengan
malaria; P.Falciparum terdapat di Afrika, Haiti, dan Papua Nugini, sedangkan P.vivax banyak
di Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya
P.falciparum dan P.vivax. Dan P.ovale biasanya hanya terdapat di Afrika. Di Indonesia timur :
Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai Utara, Maluku, Papua dan Lombok sampai Nusa
Tenggara Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P.falciparum dan P.vivax (Depkes
RI, 2008).

III. PATOGENESIS

66
a. Fase Aseksual

Dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia dan memasukkan sporozoit yang
terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia. Dalam waktu 30 menit – 1 jam,
sporozoit masuk kedalam sel parenkhim hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang
mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut intrahepatic schizogony atau pre-erythrocyte
schizogony atau skizogoni eksoeritrosit, karena parasit belum masuk kedalm eritrosit (sel darah
merah). Lamanya fase ini berbeda-beda untuk tiap spesies plasmodium.
Pada akhir fase terjadi sporulasi, dimana skizon hati pecah dan banyak mengeluarkan
merozoit ke dalam sirkulasi darah. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit membentuk
hipnozoit dalam hati yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, atau dikenal sebagai
sporozoit “tidur” yang dapat mengakibatkan relaps pada malaria, yaitu kambuhnya penyakit
setelah tampak mereda selama periode tertentu. Fase eritrosit dimulai saat merozoit dalam
sirkulasi menyerang sel darah merah melalui reseptor permukaan eritrosit dan membentuk
trofozoit (Depkes RI, 2008).
Reseptor pada P.vivax berhubungan dengan faktor antigen Duffy Fya dan Fyb. Oleh
karena itu individu dengan golongan darah Duffy negatif tidak terinfeksi malaria vivax.
Reseptor P.falciparum diduga merupakan suatu glikoforin, sedangkan pada P.malariae dan
P.ovale belum diketahui. Dalam kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk cincin;
pada P.falciparum berubah menjadi bentuk stereo-headphones didalam sitoplasma yang
intinya mengandung kromatin. Parasit malaria tumbuh dengan mengonsumsi hemoglobin.
Bentuk eritrosit yang mengandung parasit menjadi lebih elastis dan berbentuk lonjong. Setelah
36 jam menginvasi eritrosit, parasit berubah menjadi skizon. Setiap skizon yang pecah akan
mengeluarkan 6-36 merozoit yang siap menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual P.falciparum,
P.vivax, dan P.ovale adalah 48 jam dan P.malariae adalah 72 jam. Dengan kata lain, proses
menjadi trofozoit – skizon – merozoit. Setelah dua sampai tiga generasi merozoit terbentuk,
sebagian berubah menjadi bentuk seksual, gamet jantan dan gamet betina (Depkes RI, 2008).

b. Fase seksual

Jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang mengandung parasit
malaria, parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut nyamuk. Bentuk ini mengalami
pematangan menjadi mikrogametosit dan makrogametosit, yang kemudian terjadi pembuahan
membentuk zygote (ookinet). Selanjutnya, ookinet menembus dinding lambung nyamuk dan
menjadi ookista. Jika ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan bermigrasi mencapai
kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu sporozoit siap menginfeksi jika nyamuk menggigit
manusia (Depkes RI, 2008).

IV. MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala penyakit malaria dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita, jenis plasmodium
malaria, serta jumlah parasit yang menginfeksinya. Waktu terjadinya infeksi pertama kali
sampai timbulnya gejala penyakit disebut masa inkubasi, sedangkan waktu antara terjadinya
infeksi sampai ditemukannya parasit malaria di dalam darah disebut periode prapaten. Masa
inkubasi maupun periode prapaten ditentukan oleh jenis plasmodiumnya (Depkes RI, 2008).

Berikut tabel periode prapaten dan masa inkubasi plasmodium berdasarkan Depkes RI (2008).

Jenis Plasmodium Periode Prapatan (hari) Masa Inkubasi (hari)


P. Vivax 12,2 12-17
P. Falciparum 11 9-14
P. Malariae 32,7 18-40
67
P. Ovale 12 16-18

4.1 Gejala Umum

Umumnya manifestasi klinis yang disebabkan P.falciparum lebih berat dan lebih akut
dibandingkan dengan jenis plasmodium yang lain, sedangkan gejala yang disebabkan oleh
P.malariae dan P.ovale adalah yang paling ringan. Gambaran khas dari penyakit malaria ialah
adanya demam yang periodik, pembesaran limpa (splenomegali), dan anemia (turunnya kadar
hemoglobin dalam darah) (Depkes RI, 2008).

1. Demam
Sebelum timbul demam biasanya penderita malaria akan mengeluh lesu, sakit kepala,
nyeri tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak di bagian perut, diare ringan, dan
kadang-kadang merasa dingin di punggung. Umumnya keluhan seperti ini timbul pada malaria
yang disebabkan P.vivax dan P.ovale, sedangkan pada malaria karena P.falciparum dan
P.malariae, keluhan-keluhan tersebut tidak jelas (Depkes RI, 2008).

Menurut Depkes RI (2008), Serangan demam yang khas pada malaria terdiri dari tiga
stadium, yaitu :

a. Stadium menggigil
Pada anakanak sering disertai kejang-kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit
– 1 jam dan dengan meningkatnya suhu badan.

b. Stadium puncak demam


Penderita berubah menjadi panas tinggi. Wajah memerah, kulit kering dan terasa
panas seperti terbakar, frekuensi napas meningkat, nadi penuh dan berdenyut keras, sakit kepala
semakin hebat, muntah-muntah, kesadaran menurun, sampai timbul kejang (pada anak-anak).
Suhu badan bisa mencapai 41oC. Stadium ini berlangsung selama 2 jam atau lebih diikuti
dengan keadaan berkeringat.

c. Stadium berkeringat
Stadium ini berlangsung 2-4 jam. Catatan : Serangan demam yang khas ini
sering dimulai pada siang hari dan berlangsung selama 8 – 12 jam. Lamanya serangan demam
berbeda untuk tiap spesies malaria.

2. Pembesaran limpa
Pembesaran limpa merupakan gejala khas pada malaria kronis. Limpa menjadi bengkak
dan terasa nyeri. Pembengkakan tersebut diakibatkan oleh adanya penyumbatan sel-sel darah
merah yang mengandung parasit malaria. (Depkes RI, 2008).

3. Anemia
Anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah sampai di bawah normal disebabkan
penghancuran sel darah merah yang berlebihan oleh parasit malaria (Depkes RI, 2008).

4.2 Malaria Berat

Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi P.falciparum yang disertai gangguan berbagai
sistem/organ tubuh. Kriteria diagnosis malaria berat yang ditetapkan WHO, yaitu adanya satu atau lebih
komplikasi, seperti malaria serebral, anemia berat, gagal ginjal akut, edema paru, hipoglikemia (kadar gula
<40 mg%), syok, pendarahan spontan dari hidung, gusi, dan saluran cerna, kejang berulang, asidemia dan

68
asidosis (penurunan pH darah karena gangguan asam-basa di dalam tubuh), serta hemoglobinuria
makroskopik (adanya darah dalam urine) (Depkes RI, 2008).

Gambaran laboratorium menurut Depkes RI (2013) yaitu :

1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)


2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% atau hematokrit <15%)
4. Hiperparasitemia (parasit >2 % per 100.000/μL di daerah endemis rendah atau
>5% per 100.0000/μl di daerah endemis tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)

V. DIAGNOSIS

Menurut Depkes RI (2008), penegakan diagnosis Malaria dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Pemeriksaan dengan mikroskop


Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/RS/lapangan. Yang
diperhatikan adalah ;
- Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif)
- Species dan stadium plasmodium
- Kepadatan parasit

2. Pemeriksaan dengan Rapid Diagnostic Test (Tes Diagnostik Cepat)


Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstik. Tes ini sangat berguna pada
unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas
laboratorium serta untuk survei terbatas. Penyimpanan RDT sebaiknya di lemari es, tidak
disimpan di dalam Freezer.

69
5.1 Anamnesis

Menurut Depkes RI (2008), Hal nyang sangat penting diperhatikan pada amnesis yaitu:
- Keluhan utama demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah,
diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
- Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria.
- Riwayat tinggal di daerah endemik malaria
- Riwayat sakit malaria
- Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
- Riwayat mendapat transfusi darah

5.2 Diagnosis Klinik

Menurut Depkes RI (2008), Diagnosis klinik didasarkan dari gejala pasien dan
pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan fisik
a. Malaria tanpa Komplikasi
- Demam dengan pengukuran dengan thermometer suhu menunjukkan > 37,5 O C
- Konjunctiva atau telapak tangan pucat
- Pembesaran limpha (Splenomegali)
- Pembesaran hati (Hepatomegali)

b. Malaria dengan Komplikasi


- Gangguan kesadaran
- Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk maupun berdiri)
70
- Kejang-kejang
- Panas sangat tinggi
- Mata atau tubuh kuning
-
Perhatian:
- Penderita tersangka malaria berat harus segera dirujuk untuk mendapat kepastian
diagnosis secara mikroskopik dan diperlukan penanganan lebih lanjut.
- Untuk penderita yang tersangka malaria berat, bila pemeriksaan sediaan darah
pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam sampai tiga hari berturut-turut.
- Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak
ditemukan parasit maka diagnosis malaria dihentikan.

VI. TERAPI MALARIA

6.1 Terapi Farmakologi

Menurut Depkes RI (2008), Ada beberapa obat anti malaria kombinasi yang digunakan
di dunia

1. Artesunat – Amodiaquine
- Amodiakuin basa 10 mg/kg bb
- Artesunat 4 mg/kg bb.

2. Dihydroartemisinin + Piperaquin
- Dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB
- Piperaquin dosis 16-32 mg/kgBB

3. Artemether + Lumefantrin
1 tablet mengandung 20 mg artemether ditambah 120 mg lumefantrine.
Merupakan obat Fixed Dose Combination. Obat ini diberikan peroral selama
tiga hari dengan cara 2 x 4 tablet per hari.

4. Artesunat-Meflokuin
(digunakan di daerah Mekhong), Obat ini terdiri dari 50 mg artesunate dan 250 mg basa
Meflokuin.

5. Artesunat-Sulfadoxin Pirimetamin (SP),


Obat artesunat 50 mg, Sulfadoxin Pirimetamin (SP) dengan dosis Sulfadoxin 25
mg/kgBB dan Pirimetamin dosis 1,25 mg/BB.

6. Artemisinin-Naphtoquin
Di Indonesia saat ini terdapat 2 regimen ACT yang digunakan oleh program malaria:
1. Artesunate – Amodiaquin
2. Dhydroartemisinin – Piperaquin

6.1.1 Pengobatan malaria tanpa komplikasi

1. Malaria falciparum.

a. Pengobatan lini pertama


Saat ini Pada Program Malaria untuk pengobatan lini pertama Malaria falsiparum
digunakan obat Artemisinin Combination Therapy (ACT) yaitu: Artesunat + Amodiakuin
+ Primakuin Atau Dihydroartemisinin + Piperakuin + Primakuin (Depkes RI, 2008).

71
b. Pengobatan lini kedua
Bila pengobatan lini pertama tidak efektif, gejala klinis tidak memburuk tapi parasit
aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi) maka diberikan
pengobatan lini kedua malaria falsiparum. Obat lini kedua adalah kombinasi Kina +
Doksisiklin /Tetrasiklin + Primakuin. Kina diberikan per oral, 3 kali sehari dengan dosis 10
mg/kg BB/hari selama 7 hari. Dosis maksimal kina adalah 9 tablet untuk dewasa (Depkes
RI, 2008).

2. Pengobatan malaria vivaks dan malaria ovale.

a. . Pengobatan lini pertama


Dapat menggunakan klorokuin maupun ACT. Catatan: Pemakaian Klorokuin
tidak dianjurkan untuk daerah yang sudah resisten, Sebaiknya menggunakan
Artesunat + Amodiakuin (Depkes RI, 2008).

b. Pengobatan lini kedua untuk malaria vivaks


Pengobatan lini kedua, kina + primakuin, ditujukan untuk pengobatan malaria
vivaks yang resisten terhadap klorokuin (Depkes RI, 2008).

3. Pengobatan malaria vivaks yang relaps


Pengobatan kasus malaria vivaks yang relaps (kambuh), sama dengan regimen
sebelumnya hanya dosis primakuin ditingkatkan (Depkes RI, 2008).

4. Pengobatan malaria campuran


Pengobatan malaria Vivaks + falsiparum, lini pertama dilakukan dengan pemberian:
a. Pemberian Artesunat + Amodiakuin + Primakuin, menurut Berat Badan
Amodiakuin basa = 10 mg/kg BB
Artesunat = 4 mg/kg BB
Primakuin hari I = 0,75 mg/kg BB
Primakuin hari I-XIV = 0,25 mg/kg BB
Sebaiknya pemberian Artesunat + Amodiakuin + Primakuin (Depkes RI, 2008).

6.1.2 Pengobatan malaria dengan komplikasi

Menurut Depkes RI (2008), Pengobatan malaria dengan komplikasi/berat pada


prinsipnya meliputi:
a. Tindakan umum
b. Pengobatan simtomatik
c. Pemberian antimalaria
d. Penanganan komplikasi

1. Pilihan utama antimalaria

a. Artesunat intravena atau intramuskuler

Artesunat parenteral direkomendasikan untuk digunakan di rumah sakit atau puskesmas


perawatan. Sedangkan Artemeter parenteral direkomendasikan untuk digunakan di lapangan
atau puskesmas tanpa fasilitas perawatan. Artemeter parenteral tidak boleh diberikan pada
penderita yang sedang hamil trimester I (Depkes RI, 2008).

b. Artemeter intramuskuler

72
Artemeter intramuskuler tersedia dalam ampul berisi 80 mg artemeter dalam larutan
minyak. Berikan artermeter dalam loading dose 3,2 mg/kg BB i.m. Selanjutnya artemeter
diberikan 1,6 mg/kg BB i.m. satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila
penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan regimen artesunat +
amodiakuin + primakuin (lihat lini I pengobatan malaria falsiparum) (Depkes RI, 2008).

2. Pilihan alternatif obat malaria berat

a. Kina dihidroklorida parenteral.


Pada lokasi yang tidak mempunyai obat pilihan pertama (derivate artemisinin
parenteral), dan pada ibu hamil trimester I, dapat diberikan kina per infuse (Depkes RI, 2008).

6.1.3 Pengobatan Malaria pada Ibu Hamil


Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan pada
orang dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pada pemberian obat malaria berdasarkan umur
kehamilan, pada ibu hamil tidak diberikanPrimakuin (Depkes RI, 2013).

Pengobatan Malaria falcifarum pada Ibu hamil menurut Depkes RI (2013)

Umur Kehamilan Pengobatan

Trimester I (0-3 bulan) Kina tablet + Klindamisin selama 7


hari
ACT tablet selama 3 hari
Trimester II (4-6 bulan)
Trimester III (7-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Pengobatan Malaria vivaks pada Ibu hamil Depkes RI (2013)

Umur Kehamilan Pengobatan

Trimester I (0-3 bulan) Kina tablet selama 7


hari
Trimester II (4-6 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Trimester III (7-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari

6.2 Terapi Penunjang


Menurut Depkes RI (2013), Terapi penunjang yang diberika pada penderita Malaria,
yaitu:

1. Apabila pasien koma, lakukan prinsip ABC (A= Airway, B = Breathing, C = Circulation)
a. Airway (jalan nafas)
Jaga jalan nafas agar selalu bersih dan tanpa hambatan, dengan cara:
- bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dan lain-lain;
- tempat tidur datar tanpa bantal;
- mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pernafasan, dengan cara mengatur posisi
pasien ke lateral dan pemasangan Naso Gastric Tube (NGT) untuk menyedot isi lambung.
b. Breathing (pernafasan)
Apabila takipnoe atau pernafasan asidosis, berikan oksigen dan rujuk ke ICU.
c. Circulation (sirkulasi darah)
73
- Monitor nadi, tekanan darah, penilaian turgor kulit, pasang Central Venous Pressure
(CVP) jika memungkinkan.
- Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan melakukan monitoring keseimbangan
cairan dengan mencatat intake dan output cairan secara akurat.
- Pasang kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mendeteksi terjadinya
dehidrasi, perfusi jaringan dan fungsi ginjal dengan mengukur volume urin. Volume urin
normal adalah 1 ml/kgBB/jam. Apabila volume urin <30 ml/jam, mungkin terjadi
dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehidrasi).

2. Perbaiki Kebutuhan Cairan


Monitor tanda-tanda vital, keadaan umum, kesadaran, dan perfusi jaringan.
3. Penderita hipotensi ditidurkan dalam posisi Trendenlenburg.
4. Lakukan pemeriksaan darah tebal ulang untuk monitoring parasitemia tiap 24 jam.
5. Menggunakan kelambu saat tidur
6. Mengkonsumsi jus jambu merah

74
EVALUASI LANJUTAN/FOLLOW-UP

No. Pasien : Tanggal:


Nama Pasien :

Kondisi Medis: ______________________________________

II. Hasil Terapi

Parameter Hasil Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


Gejala/symptom

Hasil Laboratorium

II. Evaluasi keamanan terapi obat


Jika terdapat kejadian kesakitan/kematian yang berhubungan dengan obat, silahkan isi formulir
berikut:

Gejala/Symptom Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2

Gastrointestinal

Lain-lain

III. Status Pasien


A. Status hasil terapi pasien
Cek (√) di dalam kotak yg tersedia bagi status hasil terapi pasien:

 Positif
 Tidak ada perubahan
 Negatif

81
IV. Status Masalah Terapi Obat (MTO)

Awal Lanjutan 1 Lanjutan 2


__ Tidak ada __ Tidak ada __ Tidak ada

MTO __terdokumentasi __ terdokumentasi __ Terdokumentasi

__ MTO baru, silahkan nyatakan: __ MTO baru, silahkan nyatakan:

……………………………......... …………………………….........
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….
…………………………………. ………………………………….

Tanggal Jadwal untuk pertemuan Komentar


selanjutnya

Tanda tangan: ______________________ Tanggal: _________

82

Anda mungkin juga menyukai