Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Dialektika yang muncul dalam literatur filsafat


Barat mengenai sains menjadi pembahasan yang penting. Mengingat benturan antar teori dan
pemikiran sains dari para ilmuan terus bergulir sejak masarenaisance hingga postmodern.
Setelah sains bersatu dengan tekhnologi pada pertengahan abad ke-19, ia menjadi kekuatan
penting dan sentral dalam perubahan sosial dan budaya bagi masyarakat. Karena daya tarik
sains dan tekhnologi yang begitu tersebar luas ke dalam pikiran manusia. Sehingga
pengaruhnya telah mewarnai seluruh masyarakat dunia dari Timur  hingga Barat. Efek yang
dominan ini dipengaruhi kuat oleh model epistemologi yang berkembang terutama
rasionalisme dan empirisisme.

Kecenderungan masyarakat ilmuan untuk menikmati sains yang dirumuskan bersama dengan
paradigmanya, membuat rasa ingin tahu yang mendalam oleh sebagian ilmuan lainnya,
seperti yang dialami Thomas Kuhn. Ia melihat adanya ketidakpedulian terhadap sesuatu yang
ada dibalik sains itu. Di satu pihak masyarakat hanya menikmati sains dalam skala praktis, di
pihak lain para ilmuan menerapkan penelitian dan eksperimennya dengan kadar persepsinya
terhadap alam yang menurutnya sudah tepat. Kedua sikap tersebut menuntunnya untuk
melakukan sebuah upaya mengungkapkan bahwa sains berkembang tidak bisa lepas dari
paradigm para ilmuan. Maka Kuhn ingin mencetuskan apa yang ia sebut sebagai revolusi
sains (science revolution). Dalam tulisan ini kita akan melihat bagaimana revolusi sains yang
dimaksudkannya dan problem yang mengitari fenomena sains saat ini.

Biografi singkat
Thomas Samuel Kuhn (18 Juli 1922 – 17 Juni 1996) lahir
di Cincinnati, Ohio.  Ia adalah seorang  Fisikawan Amerika dan filsuf yang menulis secara
ekstensif tentang sejarah ilmu pengetahuan dan mengembangkan gagasan beberapa penting 
dalam sosiologi dan filsafat ilmu. Thomas Kuhn Thomas Kuhn memperoleh
gelar BS dalam fisika di Universitas Harvard tahun 1943. Kemudian ia menyelesaikan
MS dan Ph.D. Jurusan Fisika pada tahun 1946 dan 1949. Sebagaimana ia menyatakan dalam
beberapa halaman pertama dari kata pendahuluan untuk edisi kedua dari The Structure of
Scientific Revolutions, tiga tahun mendapat bebas akademik sebagai Junior Fellow Harvard
membuat dia untuk beralih dari fisika ke dalam sejarah (dan filsafat) ilmu pengetahuan. 
Sejak tahun 1948 sampai 1956 atas saran presiden universitas James Conant, Dia kemudian
mengajar kursus dalam sejarah ilmu di Harvard. Kemudian setelah meninggalkan Harvard,
Kuhn mengajar di University of California, Berkeley , di departemen filsafat dan departemen
sejarah, sebagai Profesor Sejarah Ilmu Pengetahuan di 1961. Di Berkeley, ia menulis dan
menerbitkan (1962) karyanya paling dikenal dan paling berpengaruh: [1] The Structure of
Scientific Revolutions . Pada tahun 1964, ia bergabung Princeton University sebagai Profesor
Taylor M. Pyne Filsafat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan.

Pada tahun 1979, ia bergabung dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT)


sebagai Laurance Rockefeller S. Profesor Filsafat, yang tersisa di sana sampai 1991. Kuhn
diwawancarai dan direkam fisikawan Denmark Niels Bohr hari sebelum kematian Bohr. Pada
tahun 1994, Kuhn didiagnosa menderita kanker dari tabung bronkial , di mana ia meninggal
pada tahun 1996.[2]

Pengertian  Revolusi

Istilah revolusi bisa diartikan sebuah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung


secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam
revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu.
Ia bisa dijalankan dengan bentuk kekerasan ataupun tidak. Ukuran kecepatan suatu perubahan
sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi
industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap ‘cepat’ karena
mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan
dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun.
Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari
sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru.[3]
Perubahan yang dihasilkan dari revolusi tidak hanya karena figur pemimpin, namun juga
segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Revolusi akan muncul disaat waktu
mengharuskan ia hadir. Ketika seluruh komponen masyarakat melihat ada sistem yang
berjalan namun tidak mampu menjadi alternatif untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat, di
saat itulah revolusi dimulai. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan
keperkasaan dan kemasyhuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi
seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, Iran, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya.
Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi.
Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi
tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi
presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh
diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.
Jika dilihat dari bukti-bukti sejarah, sebenarnya istilah revolusi identik dengan perubahan 
politik dan sosial masyarakat.

Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat-
syarat tersebut. Misalnya revolusi industri yang mengubah wajah dunia menjadi modern.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada revolusi Perancis,
kemudian  revolusi Amerika. Namun, revolusi Amerika lebih merupakan sebuah
pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi
masyarakat yang bersifat domestik seperti pada revolusi Perancis. Begitu juga dengan
revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi
kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi sosial dan revolusi nasional. [4]

Hal yang lumrah ketika karakter kekerasan terjadi dalam sebuah agenda revolusi. Seperti
yang terjadi pada revolusi Rusia pada abad 20.  Revolusi Rusia identik dengan revolusi
sosial. Banyak pihak yang membedakan karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi
Perancis, karena karakter kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai
revolusi borjuis, sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi Bolshevik, Proletar,
atau Komunis. Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang Saudara
Tiongkok pada 1949.[5]

Perubahan yang dimunculkan dari revolusi tidak selamanya mencirikan sosial dan politik.
revolusi sains juga pernah menjadi pembahasan dan terealiasi dalam dialektika sejarah para
ilmuan.

Objektivitas Sains: Paradigma awal

Wacana tentang objektivitas sains menjadi hal yang penting untuk disinggung sebagai
permulaan dari tulisan ini, karena mengingat masalah ini menjadi pokok sentral dari
paradigm ilmuan dalam merumuskan metodologi. Umumnya kalangan positivistik -seperti
August Comte- memiliki anggapan bahwa  ilmu itu dapat dicapai secara objektif jika
pengetahuan tersebut mampu dibuktikan secara induktif dan berpijak pada metodologi ilmiah
yang mampu dibuktikan secara faktual, observasi, eksperimental dan komparasi.[6]  Namun,
bagi Kuhn setiap ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menciptakan teori tentu ada
“paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya, maka seorang ilmuan mustahil bisa
menolak subjektifitas individu karena paradigma dalam dirinya menentukan arah sebuah
penelitian. Dalam sains, paradigm  mengandung unsur asumsi dan prediksi tertentu tentang
alam yang dimiliki oleh individu ilmuan. Karena itu pemahaman seseorang terhadap ilmu
pengetahuan tidak pernah bisa bersikap “objektif”, kita harus memperhitungkan bahwa ada
unsur subjektif dari individu kita. Kuhn menjelasakan:

“Manusia yang berjuang untuk menyelesaikan suatu problem yang didefinisikan oleh
pengetahuan dan tekhnik yang ada, tidak hanya melihat sekitarnya. Ia tahu apa yang akan ia
capai, dan ia mendesain instrumennya dan mengarahkan pemikirannya sejalan dengan
itu.”[7]

Para ilmuan sering mengklaim bahwa konsep-konsep dan teori-teori mereka bisa dipakai
untuk menjelaskan fenomena alam, apa yang sesungguhnya mereka lakukan di dalam sains
normal adalah menyusun fenomena berdasarkan konsep-konsep, kejadian per-kejadian.
Kegiatan para ilmuan yang memberikan makna atas konsep-konsep, bukan makna inheren
konsep-konsep yang menetukan kegiatan sains. Dengan demikian, ilmuan mengkonstruk
realitas untuk disesuaikan dengan gagasan-gagasan yang diyakini sebelumnya.[8]  Dalam
bukunya Kuhn juga mengatakan bahwa evolusi sebuah teori ilmiah tidak muncul dari
akumulasi sejumlah fakta-fakta, melainkan dari seperangkat perubahan keadaan dari para
intelektual dan kemungkinan yang disimpulkannya.[9] Maka unsur individu ilmuan inklut
dalam melahirkan sebuah teori dan konsep praktis.

Selain itu, Kuhn juga menjelaskan secara detail tentang unsur subjektif dalam sains. Ia
mengatakan bahwa pada dasarnya sains adalah model pemecahan masalah menurut
paradigma-pradigma tertentu. Alam tidak mungkin menjelaskan dirinya sendiri. Ia tidak
memperlihatkan dirinya menutut formula atau persamaan-persamaan matematis. Adalah
ilmuan yang memberikan makna terhadap gejala-gejalanya dengan merumuskan bagaimana
ia bisa sesuai dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang ada, dan sejauh mana
konsep-konsep dan keyakinan tersebut dimodifikasi dan diperluas untuk
mengakomodasikannya. Dengan kata lain, -seperti yang disimpulkan oleh Ziauddin Sardar- 
bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara konsep-konsep “teoritis” dan konsep-konsep
“faktual” di dalam sains. Kedua macam konsep tersebut adalah  rekaan (invensi) kita.[10]
Maka, kemungkinan sikap objektif sulit diraih dalam merumuskan sains.

Problem Normal Science

Selain paradigma -seperti yang telah dijelaskan di atas- hal yang terpenting dalam gagasan
Thomas Kuhn adalah Revolusi Sains. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions,
pembahasan utama yaitu mengungkap paradigma yang terjadi dalam teori dan praktik sains
normal yang mengharuskan untuk dilakukan sebuah revolusi. Istilah sains normal atau
“normal science” bagi Kuhn dimaknai sebagai “penelitian yang berdasarkan pada satu atau
lebih temuan sains, yang untuk sementara waktu diakui oleh suatu komunitas ilmiah sebagai
temuan yang menjadi fondasi bagi praktik selanjutnya.”[11] Sains normal, kata Kuhn,
berdasarkan pada paradigma bersama (shared paradigm), yaitu yang “terikat oleh aturan dan
standar yang sama demi praktik keilmuan. Keterikatan atau kesepakatan tersebut adalah pra-
syarat bagi normal science, yaitu sebagai tolak ukur awal untuk keberlangsungan sebuah
riset.[12] Paradigma sebagai basis utama yang akan mengarahkan sebuah riset dalam masa
sains normal. Aktivitas ilmuan dalam sains normal hanya fokus pada hal-hal yang praktis dan
teoritis secara mendalam. Sehingga sikap kritis ilmuan tidak  ada pada wilayah sains normal
ini, karena di sini para ilmuan tidak membahas hal-hal yang mendasar.  Makanya, sains
normal bagi Kuhn hanyalah sebuah paradigma dari ilmuan yang konservatif – dengan istilah
lain ortodok atau fundamentalis- sebab banyak orang yang mempertahankan kredo dan
prinsip-prinsip paradigmatiknya tidak peduli dengan apapun. Kuhn menjelaskan:
”No part of the aim of normal science is to call forth new sorts of phenomena, indeed those
that will not fit the box are often not seen at all. Nor do scientist normally aim to invent new
theories, and they are often intolerant of those invented by others.” [13]

Selain itu, Kuhn juga menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak
pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah
teka-teki yang bekerja didalam pandangan dunia yang sudah mapan. Ilmu bukan merupakan
upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya
pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku.[14]

Penelitian sains normal berdasarkan paradigma tertentu adalah praktik sains yang
menghabiskan banyak waktu kebanyakan para ilmuan. Selama melakukan penelitian tersebut,
para ilmuan terikat oleh beberapa hukum, teori, bahasa, hipotesa dari paradigma. Karena itu,
dalam penelitian ini memungkinkan muncul kejadian-kejadian yang tak terduga, disebut
anomali.[15]  Pada mulanya anomali-anomali itu diremehkan dan dianggap sebagai
kesalahan peneliti dalam memperaktekkan eksperimen ilmiahnya yang memerlukan
ketepatan. Namun, anomali-anomali tersebut muncul berulangkali yang akhirnya mengiring
paradigma ilmuan itu kepada krisis. Pemecahan terhadap kondisi krisis ini adalah munculnya
paradigm baru dan ditolaknya paradigm lama. Akhirnya, kebanyakan komunitas sains
mengalami konversi (perpindahan) kepada paradigma yang baru yang mengantarkan kepada
paradigm yang lain, seperti halnya orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain,
yaitu suatu periode terbaru dari sains normal. Kejadian ini yang kemudian diistilahkan oleh
Kuhn sebagai revolusi sains atau “Saintific Revolution.”[16]

Maka di sini Kuhn mempertegas bahwa perkembangan sains terjadi karena adanya paradigma
yang lebih baru dan lebih maju dalam hal revolusi sains. Proses perkembangan tersebut
adalah revolusi dari permulaan yang asli – yaitu suatu proses  di mana tingkatan-tingkatannya
ditandai oleh pemahaman terhadap alam yang semakin detail dan canggih.[17]

Proses Revolusi Sains

Revolusi sains dapat dianggap sebagai episode perkembangan non-komulatif yang di


dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang
bertentangan.[18] Paradigma baru ini lebih memungkinkan menyelesaikan anomali-anomali
yang dari paradigma lama. Pada proses revolusi sains ini, hampir seluruh kosa kata, istilah-
istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian persolan, cara berfikir, cara
mendekati persoalan berubah dengan sendirinya. Tentu perangkat yang lama yang mungkin
masih relevan untuk difungsikan tetap tidak dikesempingkan. Tetapi, jika cara pemecahan
persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan
persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan seperangkat cara,
rumusan dan wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
baru , yang timbul akibat kemajuan ilmu dan tekhnologi, yang berakibat pula pada perluasan
wawasan dan pengalaman manusia itu sendiri.[19] Seperti contoh ketika geosentris berubah
kepada heliosentris, dari flogiston kepada oksigen, atau dari korpuskel kepada gelombang, ini
merupakan sebuah tranfromasi konseptual dari paradigma yang telah ditetapkan sebelumnya
tidak kurang destruktif secara menentukan. Kita malah akan memandang bahwa ini adalah
sebuah contoh dari revolusioner dalam sains.[20]

Ia menggambarkan bermulanya revolusi sains secara jelas: “Sains normal…sering menindas


kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversif terhadap komitmen
dasarnya…(namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomali-anomali yang
merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada…”,[21] maka dimulailah investigasi yang
berada di luar kelaziman. Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan secara
revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru.
Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun apa yang sebelumnya pernah
mengalami revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapan dan menjadi ortodoksi baru,
dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-
siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains normal dan kemudian
diikuti lagi oleh revolusi.[22]

Dalam pemahmannya juga tidak ditemukan kriteria sains secara konkrit yang
digambarkannya. Mengingat kriteria masih menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan
dalam sains terletak pada paradigma seorang ilmuan, maka yang terpenting menurutnya
adalah mengkontruk paradigma ilmuan lebih penting dibandingkan metodologi.

Contoh Revolusi Sains

Untuk memperjelas gambaran bagaimana proses revolusi sains atau dengan istilah lain
benturan paradigma secara ril  berkembang dalam teori dan disiplin ilmu, baiknya cukup
mengambil beberapa contoh diantaranya:

               1.   Teori Copernicus dan Ptolemeus

Copernicus memiliki teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan saran


Ptolemeus bahwa Matahari (dan planet-planet lain dan bintang-bintang) berputar
mengelilingi bumi. Sebelum Copernicus ada set yang rumitepicycles (lingkaran di atas
lingkaran) yang digunakan untuk memprediksi pergerakan ‘benda langit’. Epicyclicasli
Ptolmey kombinasi itu, oleh Abad Pertengahan, menjadi terlihat kurang memadai, dan
‘memperbaiki’; oleh astronom kemudian dan lebih rumit. Copernicus menawarkan kembali
ke pandangan alternatif (disarankan oleh banyak orang di Antiquity), tetapi dengan banyak
data yang lebih baik untuk mendukungnya; account baru ini menurunkan kompleksitas teori
yang diperlukan untuk menjelaskan pengamatan yang tersedia. Tentu saja, sekali
oleh Copernicus ’teori ini diterima oleh para astronom lain, itu diantara masuk periode baru’
sains normal ‘.[23]

Menurut Kuhn, ilmu sebelum dan sesudah terjadi pergeseran paradigma begitu yakin bahwa
teori-teori mereka para ilmuan merasa tak tertandingi. Ketika terjadi pergeseran paradigma
maka secara simultan tidak hanya mengubah teori saja, hal itu akan mengubah cara, kata-kata
yang didefinisikan, cara para ilmuwan melihat subjek, dan mungkin yang paling penting
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sah, dan aturan-aturan yang digunakan untuk
menentukan kebenaran suatu teori tertentu.

                 2.      Teori Newton

Dalam masalah gravitasi misalkan, yang diinterpretasikan sebagai tarikan yang merupakan
bawaan di antara setiap pasang partikel, adalah sifat ghaib dalam arti yang sama dnegan
“kecenderungan untuk jatuh” dari aliran scolastik sebelumnya. Oleh sebab itu, sementara
standar-standar korpuskularisme tetap berlaku, pencarian penjelasan mekanis dari gravitasi
merupakan salah satu masalah yang paling menantang bagi yang menerimaPrincipia sebagai
paradigm. Newton mencurahkan banyak perhatian kepadanya, demikian juga banyak
penerusnya dari abag ke-18. Satu-satunya pilihan yang tampak adalah menolak teori newton
karena tidak berhasil menerangkan gravitasi, dan alternative ini pun diterima secara luas.
Namun, kedua padangan ini tidak ada yang menang. Karena tidak dapat mempraktekkan
sains tanpa Principia  maupun memberlakukannya sesuai dengan standar standar kospuskular
dari abad ke-17, para ilmuan lamban laun menerima pandangan bahwa gravitasi itu memang
bawaan. Pada sekitar pertengahan abad ke-18 interpretasi itu telah diterima secara hampir
universal, dan hasilnya adalah pengembalian yang tulus kepada standar skolastik. Tarikan
dan tolakan bawaan bergabung dengan ukuran, bentuk, posisi, dan gerakan sebagai sifat-sifat
primer materi yang secara fisikal tidak dapat direduksi.[24]

Padangan bahwa adanya anomali dalam teori gravitasi newton ternyata tidak semestinya
mampu dibuktikan dengan paradigm baru, akhirnya proses revolusi sains yaitu mengikuti
teori lama. Maka, sebenarnya tidak mudah membentuk sebuah konsep dan teori baru ketika
ditemukan adanya penyimpangan dalam teori lama. Gambaran di atas menandakan revolusi
memang membutuhkan kesiapan konsep, teori, dan hipotesis ilmiah yang jelas sehingga
revolusi sains dapat diraih.

Contoh lain dari pergeseran paradigma dalam ilmu alam yaitu beberapa “kasus-kasus klasik”
dari pergeseran paradigma Kuhn dalam ilmu pengetahuan di antaranya:

1. Penerimaan teori Biogenesis, bahwa semua kehidupan berasal dari kehidupan, yang


bertentangan dengan teori generasi spontan,yang dimulai pada abad ke-17 dan tidak
lengkap hingga abad ke-19 dengan Pasteur.
2. Penerimaan teori seleksi alam Charles Darwin digantikan Lamarckism sebagai
mekanisme evolusi.
3. Transisi antara pandangan dunia fisika Newton dan pandangan dunia relativistik
Einstein.

Adapun contoh dalam bidang ilmu-ilmu sosial di antaranya tentang : The Keynesian


Revolution yang biasanya dipandang sebagai pergeseran besar dalam makro-
ekonomi. Menurut John Kenneth Galbraith mengatakan, Hukum didominasi pemikiran
ekonomi sebelum Keynes selama lebih dari satu abad, dan peralihan ke Keynesianisme
sangat sulit. Ekonom yang bertentangan dengan hukum, yang disimpulkan bahwa setengah
pengangguran dan kurangnya investasi (ditambah dengan oversaving) adalah tidak mungkin,
berisiko kehilangan karier mereka. Dalam magnum opus, Keynes dikutip salah seorang
pendahulunya, JA Hobson, yang berulang-ulang menyangkal posisi di universitas untuk teori
sesat. Monetarists berpendapat bahwa kebijakan fiskal tidak penting bagi stabilisasi ekonomi,
berbeda dengan pandangan Keynes bahwa baik kebijakan fiskal dan moneter merupakan
yang penting.[25]

Beberapa contoh tersebut memperlihatkan bagaimana proses pergeseran paradigm atau


revolusi sains itu terjadi. Hal ini tidak bisa dielakkan dalam wacana ilmu pengetahuan. Teori
yang mampu memberikan solusi terbaik dalam melihat setiap keganjalan akan menjadi teori
yang diunggulkan.

Kesimpulan

Revolusi sains yang digagas oleh Thomas Kuhn lebih menekankan pada proses tranformasi
paradigma yang lama menuju paradigma yang baru yang lebih mendatangkan sebuah
alternatif. Proses-proses yang ia gambarkan dalam perkembangan sains merupakan siklus
bagaimana sains normal ternyata mendominasi dari seluruh persoalan sains hingga saat ini,
dan paradigma di sini dimainkan oleh kalangan ilmuan yang mendominasi paradigma. Seperti
ia sampaikan dalam pembahasan di atas, bahwa umumnya para ilmuan tidak peduli dengan
paradigma lain yang berkembang, yang diutamakan adalah bagaimana teori-teori dan konsep
mampu diterapkan, jika ditemukan keganjalan mereka cenderung sulit menemukan
pemecahan. Makanya disini perlunya sebuah solusi untuk menyelesaikannya dengan
menerapkan revolusi sains.

Apa yang digagas oleh Thomas Kuhn memang secara konsep lebih menjanjikan, namun
penyelesaiannya tetap masih terlihat adanya kesamaan dengan pola positivistik, dia
menafikan kebenaran atau kepastian tertinggi di dalam semesta ini. Usaha epistemologis
manusia dianggap tidak memiliki tujuan akhir dan tidak mungkin diraih secara objektif.
Namun, gagasan dari Kuhn mendapat tempat yang baik dalam pengembangan seluruh
disiplin ilmu pengetahuan kotemporer terutama dalam ilmu social-humaniora.

Anda mungkin juga menyukai