Anda di halaman 1dari 3

CALON KEPALA DAERAH (JANGAN) JADI CALON KURUPTOR BARU.

Oleh : DR. ARIS IRAWAN, S.H.,M.H


Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Univ. Borneo.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK No.56/PUU-XVII/2019 memberi syarat


tambahan bagi calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana harus menunggu masa
“Idah” selama 5 tahun setelah melewati atau menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan
yang telah inkracht. Hal ini menyusul dikabulkannya sebagian permohonan uji materi Pasal 7
ayat (2) huruf g UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU
Pilkada). Perkumpulan untuk Pemilu dan Demkorasi (Perludem), sebagai salah satu satu pihak
Pemohon uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf g bersama Indonesia Corruption Watch (ICW)
berharap, setelah adanya putusan MK ini Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa
menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun
daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang
baik.
Dalam putusan itu, MK memutuskan melakukan pengubahan bunyi untuk Pasal 7 ayat 2 huruf g.
Di mana dalam pengubahan disebutkan, pencalonan dapat dilakukan bagi mantan terpidana yang
telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana. Diantara isi perubahan
tersebut terdapat beberapa poin yang mengubah Pasal 7 ayat 2 huruf g sebagai berikut : (1). tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau
lebih, kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik.
dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya arena
pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
(2). bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jatidirinya sebagai mantan
terpidana dan (3). bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Dari hal tersebut dapat kita maknai bahwa sah-sah saja mantan napi koruptor untuk
mendaftarkan diri sebagai kepala daerah asalkan sudah melampaui masa “idah” yang diatur
dalam perubahan yang diputuskan dalam putusan MK No.56/PUU-XVII/2019 dan PKPU Nomor
1 Tahun 2020 sebagai penegasan dan aturan pelaksana putusan MK ini. Yang dalam hal ini
terdapat di halaman 14 PKPU ini di dalam Pasal 4 persyaratan menjadi calon kepala daerah
khusus untuk mantan narapidana terdapat pada Ayat 2 angka 2a yang berbunyi :
“Syarat tidak pernah sebagai terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dikecualikan
bagi Mantan Terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih yang telah
melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Artinya dalam hal ini yang
telah 5 tahun selesai menjalankan pidananya dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Perkembangan putusan MK No.56 dan PKPU No.1 di atas memberi angin segar bagi masyarakat
untuk memperoleh calon kepala daerah yang bersih dan di harapkan kelak tidak menjadi seorang
koruptor yang melakukan perbuatan korupsi. Dengan adanya putusan beserta PKPU No.1 ini
berarti tidak ada kesempatan bagi mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai
kepala daerah kalau dia belum terhitung 5 (lima) tahun setelah menjalani hukuman sebagai
narapidana di lembaga pemasyarakatan, kata kata “selesai setelah menjalani pidana penjara”
sangat jelas berarti harus dihitung 5 tahun semenjak selesai menjalankan hukuman di lemabaga
pemasyarakatan.
Beberapa penelitian Perguruan Tinggi terhitung tahun 2014 sampai 2019 dalam hal terkait
korupsi kepala daerah maupun yang terjadi di lembaga legislatif ada kecendrungan sebanyak 35
% dari seluruh kasus korupsi terbukti bahwa mantan napi korupsi yang terpilih lagi sebagai
kepala daerah maupun sebagai legislatif terbukti melakukan tindak pidana korupsi lagi sebagai
residivis. Memang ada banyak faktor yang dapat menyebabkan calon kepala daerah dapat
berpeluang menjadi seorang calon koruptor, Diantara factor dan persoalan yang menjadi pemicu
itu adalah sebagai berikut :
(1)Riwayat Kejahatan Korupsi Calon Kepala Daerah (resedivis kasus korupsi).
Memang secara teori pemasyarakatan seseorang yang telah menjalani hukuman di lembaga
pemasyarakatan diharapkan dapat kembali menjadi warga Negara yang baik. Namun tidak semua
pola pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan serta merta menjadikan seseorang
kemabali baik, termasuk narapidana kasus korupsi. Tidak ada jaminan mantan narapidana
korupsi tidak akan mengulangi lagi perbuatannya setelah menajalani hukuman di lembaga
pemasyarakatan. "Secara etika, saya kira tidak tepat orang yang terkena korupsi mencalonkan
lagi. Ini kan pejabat publik, kalau sudah korupsi bagaimana mungkin, kan bisa nanti korupsi lagi,
ujar Artidjo di kantor ICW pada waktu itu. partai politik sebaiknya memberi kesempatan pada
calon lain yang lebih kompeten dan integritas untuk maju sebagai anggota legislatif. Hakim
agung yang terkenal tegas menjatuhkan hukuman pada koruptor ini meyakini masih banyak
calon anggota legislatif yang berkualitas di Indonesia.
(2)Investasi Uang Haram dalam Pilkada.
Uang yang seharusnya digunakan calon kepala daerah ketika mencalonkan diri sudah selayaknya
bersumber dari keuangan yang jelas, jangan sampai seorang calon kepala daerah memodali
kemenanganya sebagai kepala daerah dengan uang yang bersumber hasil korupsi. Akan tinggi
potensi menjadi koruptor lagi apabila uang yang digunakan calon kepala daerah bersumber dari
kejahatan seperti korupsi, narkotika, dan sebagainya.
(3)Money politics, transaksi politik Isu money politics merupakan persoalan klasik yang selalu
hadir dalam pusaran menjelang serta saat pelaksanaan pilkada dan seolah-olah menjadi tabiat
buruk yang sulit dihilangkan, terbungkus dengan berbagai ragam cara dan bentuk, yang
menjadikan money politics sangat sulit untuk dideteksi. Sebagai contoh pemberian sejumlah
uang atau materi lainnya dari pasangan calon (paslon) kepala daerah dengan alasan sumbangan
atau partisipasi kepada masyarakat menyebabkan sulitnya membedakan antara money politics
dengan sumbangan. Money politics juga menyebabkan seorang calon kepala daerah
membutuhkan biaya dan modal yang besar dalam kontekstasi pilkada, sehingga rentan hal
tersebut menyebabkanya kemudian menjadikannya terpengaruh menjadi seorang calon koruptor
untuk mengembalikan ongkos yang besar pasca pilkada.
(5)Pengetahuan Hukum yang Lemah.
Terakhir pengetahuan Hukum calon kepala daerah yang lemah juga agaknya berpengaruh kepada
kemungkinan akan menjadi calon koruptor. Banyak kasus kepala daerah tertangkap korupsi
karena ketidak tahuannya tentang hukum dan perundang-undangan dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya sebagai kepala daerah.
Semoga pemilihan kepala daerah 2020 nanti kita dapat memilih pemimpin-pemimpin daerah
yang baik, dan bebas dari perbuatan-perbuatan korupsi, agaknya semua harapan masyarakat ini
tergambar dalam sebuah pantun anti korupsi yang berbunyi: “Tudung saji tak berisi, Cukuplah
Sambal terasi, Untuk apa tuan jadi Pejabat negeri, Bila akhirnya tuan dipenjara karena Korupsi”.
***

Anda mungkin juga menyukai