Anda di halaman 1dari 2

OPINI:

PENANGKAPAN BANYAK KEPALA DAERAH DAN ISU PEMBERANTASAN


KORUPSI

Oleh : Dr. Aris Irawan, S.H.,M.H


Email: arisirawan@borneo.ac.id
Dosen Bagian Pidana Magister Hukum Universitas Borneo Tarakan

Sejak tahun 2018 sampai sekarang ada 105 lebih kepala daerah yang terjerat korupsi. Di-
tahun 2018 saja tercatat ada 29 kepala daerah yang aktif terjerat pusaran kasus korupsi, belum
lagi yang tercatat awal 2019 sampai pilpres dan menjelang Pilkada 2020, banyak sekali kepala
daerah yang masuk pusaran kasus korupsi, terakhir tertangkapnya Bupati Indramayu Supendi
oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sedangkan kasus-kasus korupsi yang sering
menjerat kepada daerah berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) itu adalah
suap menyuap, penyalahgunaan kewenangan, gratifikasi, Mark Up anggaran dalam pengadaan
barang pemerintah, belum lagi Nepotisme dan sebagainya. Hal ini sudah menjadi wajah buruk
pusaran kejahatan korupsi yang dilakukan kepala daerah di Indonesia. Dilihat dari banyaknya
kepala daerah yang akhirnya bersinggungan dengan kasus korupsi membuat kita harus segera
bersadar dari tidur panjang bahwa korupsi sangat membahayakan keberlangsungan Negara.
Keadaan demikian menggambarkan betapa tidak mudah memilih diksi yang dapat
membuat jera, sehingga terhadap kian ganasnya praktik korupsi masyarakat mulai jenuh. Apabila
diksi undang-undang tidak mampu mengubah keadaan, diksi apalagi yang bisa diperjuangkan
dalam pemberantasan korupsi di Negara yang sudah sekian lama berusaha memberantas korupsi.
Secara hukum, langkah melawan korupsi hampir sama usianya dengan umur Negara ini. Namun,
upaya tersebut juga dihadang oleh pelaku korupsi dengan sedemikian rupa. Karena itu, saat
genderang perang ditabuh pada awal reformasi, tindak pidana korupsi diberi predikat sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Pemberian status luar biasa tersebut dimaksudkan
memberikan pesan bahwa melakukan korupsi sangat mungkin dijatuhkan hukuman lebih berat
dibandingkan dengan pidana biasa (ordinary crime). Guna mendukung pesan itu, penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi juga dilakukan dengan cara-cara luar biasa (extraordinary
instrument).
Segala status luar biasa yang ditempatkan pada tindak pidana korupsi menjadi belum
mampu mengurangi dan apalagi menghentikan laju penyalahgunaan wewenang, terutama
kalangan yang diberikan amanah menyelenggarakan kepentingan publik, seperti kepala daerah
Bahkan, berkaca dari sejumlah kejadian, langkah menghentikan laju praktik korupsi terbentur
dinding tembok. Di antara penyebabnya, memudarnya komitmen sejumlah pihak yang diberi
otoritas untuk menegakkan hukum, termasuk dalam memberantas tindak pidana korupsi yang
banyak menjerat kepala daerah akhir-akhir ini.
Kepala daerah sebagai bagian dari wakil-wakil kekuasaan Negara di daerah menjadi
bagian penting dalam kepemimpinan Negara di daerah dalam pemberantasan korupsi. “Tidak tau
apalah sebab” kepala daerah malah yang banyak akhir-akhir ini terbawa gelombang arus
kejahatan luarbiasa ini. Seharusnya kepala daerah memiliki rasa malu, karna sebagai bagian dari
kepemimpinan nasional dapat memberikan contoh tauladan yang baik seharusnya di daerahnya.
Sebagaimana yang kita ketahui apapun agamanya mengisyaratkan pemimpin harus menjadi
contoh yang baik, bukan malah memberikan contoh yang buruk. Sehingga perbuatan kepala
daerah yang melakukan perbuatan koruptif tersebut sebenarnya dilarang oleh agama mereka.
Kenyataan membuktikan bahwa kuatnya pemahaman agama juga tidak membentengi seorang
kepala daerah melakukan perbuatan korupsi.
Memang banyak faktor-faktor yang menyebabkan kepala daerah terjerat kasus korupsi,
dan banyak penelitian telah membenarkan hal tersebut dan menyimpukan bahwa faktor
penyebab korupsi dilakukan kepala daerah adalah diantaranya; Pertama: Monopoli kekuasaan
akibat adanya beberapa kewenangan yang diberikan sistem otonomi daerah yang menjadikan
setiap kepala daerah “bak” raja-raja kecil di daerah, cotohnya dalam hal mengatur APBD, ijin
sumberdaya alam, perekrutan pejabat daerah, pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan dan
sebaginya; Kedua; Diskresi kebijakan yang terbatas di daerah malah di jadikan sangat luas yang
melekat kuat pada kepala daerah, sehingga banyak aturan-aturan daerah yang lemah malah di
belokan dengan kebijakan semata yang sifatnya koruptif; Ketiga; Lemahnya akuntabilitas,
sehingga adanya kolusi bahwa kualisi antara eksekutif dan legislative di daerah yang bersepakat
melakukan perbuatan koruptif; Ke-empat; adanya faktor-faktor lain, misalnya biaya pemilukada
yang sangat mahal, sehingga kepala daerah harus mengembalikan biaya kepada pemodal baik
dalam bentuk materi, kebijakan, bias juga berbentuk pemberian ijin untuk perbuatan melanggar
hukum. Kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah dan mantan kepala daerah tergolong
tinggi dari pelaku yang berasal lembaga kekuasan lainya di Indonesia. Hal ini didukung oleh
pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri
2018.
Di luar hal di atas kekhawatiran kekhawatiran kita juga tertuju pada perilaku sebagian
oknum penegak hukum, dalam konteks yang lebih luas, beberapa waktu belakangan terjadi
pelemahan komitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Terkait dengan proses peradilan,
misalnya, salah satu fokus perhatian terkait dengan makin rendahnya rata-rata vonis bagi
koruptor. Merujuk catatan yang ada, pada semester I tahun 2011, rata-rata hukuman bagi pelaku
korupsi adalah 2 tahun 11 bulan. Angka itu menurun tajam, di mana semester I tahun 2016, rata-
ratanya menjadi 2 tahun 1 bulan (Mahfud MD, 2016) padahal kan sudah ada sanksi pidana
minimum yang diberikan oleh Undang-Undang, Bilamana dilihat dari aspek penjatuhan
hukuman sebagai bagian dari strategi penjeraan (deterent effect), rata-rata lama vonis yang
dijatuhkan pasti sangat jauh dari keinginan menimbulkan rasa takut (efek jera) melakukan
korupsi. Bagaimanapun bagi koruptor, hukuman dua tahunan tak akan berarti banyak. Tambah
lagi, dengan segala ”kemampuan dan kekuatan” yang dimiliki sebagian koruptor, lembaga
pemasyarakatan sangat mungkin mereka kendalikan. Sejumlah bentangan empirik yang tersaji
sejauh ini, banyak koruptor yang berleha-leha bebas di luar lembaga pemasyarakatan layaknya
orang yang tidak pernah bersalah mengoyak-ngoyak martabat dan harta kekayaan Negara.***

Anda mungkin juga menyukai