Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Kesehatan

Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 memberikan batasan:

kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun

sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomi. Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan

bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun sosial,

dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat.

Kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental,

spiritual, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti

mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum

memasuki usia kerja, anak dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja

(pensiun) atau usila (usia lanjut) berlaku produktif secara sosial, yakni

mempunyai kegiatan. Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang

(organisme terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan

(Notoatmodjo,2012).

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Pengertian Pengetahuan

Kusrini (2009) mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan

kemampuan untuk membentuk model mental yang menggambarkan obyek dengan

tepat dan merepresentasikannya dalam aksi yang dilakukan terhadap suatu obyek.

10
11

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh

melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata)

(Notoatmodjo,2010).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam

terbentuknya suatu tindakan. Dengan demikian terbentuknya perilaku terhadap

seseorang karena adanya pengetahuan yang ada pada dirinya terbentuknya suatu

perilaku baru, terutama yang ada pada orang dewasa dimulai pada domain

kognitif. Dalam arti seseorang terlebih dahulu diberi stimulus yang berupa

informasi tentang upaya pencegahan penyakit TBC sehingga menimbulkan

pengetahuan yang baru dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam

bentuk sikap pada orang tersebut terhadap informasi upaya pencegahan penyakit

TBC yang diketahuinya. Akhirnya rangsangan yakni informasi upaya pencegahan

penyakit TBC yang telah diketahuinya dan disadari sepenuhnya tersebut akan

menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan atau sehubungan

dengan stimulus atau informasi upaya pencegahan penyakit TBC

(Notoatmodjo,2007).

Djannah (2009) dalam penelitiannya di Yogyakarta mengungkapkan

bahwa semakin tinggi pengetahuan terhadap suatu objek maka akan semakin

baik pula sikap seseorang terhadap objek tersebut. Pengetahuan dan pemahaman

seseorang tentang penyakit tuberkulosis dan pencegahan penularannya memegang

peranan penting dalam keberhasilan upaya pencegahan penularan penyakit

tuberkulosis. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang di


dasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,2007).

2.2.2 Jenis Pengetahuan

Budiman (2013) menjelaskan bahwa jenis pengetahuan di antaranya

sebagai berikut:

1. Pengetahuan Implisit

Merupakan pengetahuan yang masih tertanam dalam bentuk pengalaman

seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata, seperti

keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip.

2. Pengetahuan Eksplisit

Merupakan pengetahuan yang telah disimpan dalam wujud nyata, bisa

dalam wujud perilaku kesehatan.

2.2.3 Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu :

1. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya, mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik

dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4. Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis), menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

6. Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Budiman (2013) menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

terbentuknya pengetahuan adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima

informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

2. Informasi/media massa

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun nonformal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan

perubahan atau peningkatan pengetahuan. Adanya informasi baru

mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi

terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

3. Sosial, budaya, dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan seseorang tanpa melalui penalaran

sehingga akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.


Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu

fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial

ekonomi ini akan memengaruhi pengetahuan seseorang.

4. Lingkungan

Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke

dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi

karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan direspon

sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi

masa lalu.

6. Usia

Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola

pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

2.3 Sikap

2.3.1 Pengertian Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek

tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan

senang tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik, dan sebagainya.
Menurut Newcomb, yang dikutip Notoatmodjo (2010) salah seorang ahli

psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan

untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata

lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas,

akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup.

Sikap dalam hal ini merupakan sikap seseorang dalam menghadapi

penyakit tuberkulosis dan upaya pencegahannya. Sikap merupakan

kecenderungan seseorang untuk menginterpretasikan sesuatu dan bertindak atas

dasar hasil interpretasi yang diciptakannya. Sikap seseorang terhadap sesuatu

dibentuk oleh pengetahuan, antara lain nilai-nilai yang diyakini dan norma-norma

yang dianut. Untuk dapat mempengaruhi seseorang, informasi perlu

disampaikan secara perlahan-lahan dan berulang-ulang dengan memperlihatkan

keuntungan dan kerugiannya bila mengadopsi informasi tersebut

(Kurniasari,2008).

2.3.2 Komponen Pokok Sikap

Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa sikap itu

mempunyai 3 komponen pokok :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh, seorang ibu

telah mendengar penyakit TB paru (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya,

dan
sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha

supaya anaknya tidak terkena penyakit TB paru. Dalam berpikir ini komponen

emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat untuk

melakukan pencegahan agar anaknya tidak terkena penyakit TB paru. Ibu ini

mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit TB paru.

Budiman (2013) menjelaskan bahwa komponen utama sikap adalah

sebagai berikut:

1. Kesadaran

2. Perasaan

3. Perilaku

2.3.3 Tingkatan Sikap

Seperti halnya pengetahuan, Notoatmodjo (2007) membagi sikap dalam

berbagai tingkatan, yaitu :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2. Menanggapi (responding)

Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang

dihadapi.

3. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif

terhadap objek atau stimulus. Dalam arti membahasnya dengan orang

lain bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain merespon.


4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi tindakannya.

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap

Azwar (2013) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

adalah:

1. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan

mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan

menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap, untuk dapat mempunyai

pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial

yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting,

akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu.

3. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar

terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah

menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.

4. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti

televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh

besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Pesan-pesan

sugestif
yang dibawa informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar

efektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap

tertentu.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai

pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan

dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu, pemahaman akan

baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak

boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta

ajaran-ajarannya.

6. Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk sikap yang ditentukan oleh situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap

merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai

semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme

pertahanan ego.

2.4 Tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah

fasilitas. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan antara lain :


1. Respons terpimpin (guided response) yaitu dapat melakukan sesuatu

sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh merupakan

indikator praktik tingkat pertama.

2. Mekanisme (mecanism) yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan

sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan

kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat kedua.

3. Adopsi (adoption) yaitu suatu praktik atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah

dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.5 TUBERKULOSIS

2.5.1 Pengertian dan Sejarah

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

mycobacterium tuberculosis, yang paling umum mempengaruhi paru-paru.

Penyakit ini ditularkan dari orang ke orang melalui cairan dari tenggorokan dan

paru-paru seseorang dengan penyakit pernapasan aktif (WHO, 2012).

TBC adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim

paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk

meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Agens infeksius utama,

Mycobacterium tuberculosis, adalah batang aerobik tahan asam yang tumbuh

dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smeltzer,

2002).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar

disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya

masuk ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke
bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui

saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian

tubuh lainnya (Notoatmodjo,2011).

Kuman penyebab TBC (mycobacterium tuberculosis) ditemukan pertama

kali pada tahun 1882 oleh Robert Koch, sedangkan vaksin BCG ditemukan pada

tahun 1921. Kemudian pada tahun 1994 ditemukan streptomisin sebagai obat

pertama anti TBC, kemudian disusul INH pada tahun 1949. Penyakit TBC muncul

kembali kepermukaan dengan meningkatnya kasus TBC di negara-negara maju

atau industri pada tahun 1990. Selain itu, peningkatan kasus TBC sebagai

reemerging disease dipengaruhi pula dengan terjadinya penyebaran infeksi

HIV/AIDS. Saat ini di seluruh dunia terdapat 8 juta kasus terinfeksi dan 3 juta

kasus meninggal. TBC umumnya menyerang golongan usia produktif dan

golongan sosial ekonomi rendah sehingga berdampak pada pemberdayaan sumber

daya manusia yg dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara.

2.5.2 Etiologi

Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai basil tahan asam

(BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat

hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh

kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa hari.

2.5.3 Cara Penularan

Sumber penularan adalah TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,

pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak


(dropletnuclel). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi percikan, sementara sinar

matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama

beberapa jam dalam keadaan yang lembab dan gelap. Daya penularan seorang

pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin

tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan

oleh konsentrasi dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut

(Depkes,2011).

2.5.4 Resiko Penularan

Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak

pasien TB Paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan

lebih besar daripada TB Paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap

tahun ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu

proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar

1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

Menurut WHO ARTI Indonesia bervariasi antar 1-3%. Infeksi TB dibuktikan

dengan perubahan reaksi tuberculin negative menjadi positif (Depkes,2011).

2.5.5 Tanda dan Gejala

Somantri (2009) menjelaskan keluhan yang dirasakan pasien

tuberkulosis dapat bermacam-macam keluhan dan keluhan yang sering muncul

adalah :
1. Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza tetapi kadang

mencapai 40 ° - 41 ℃ yang hilang timbul sehingga pasien merasa tidak

pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

mycobacterium tuberculosis yang masuk.

2. Batuk

Gejala ini banyak ditemukan. Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus,

sebagai reaksi tubuh untuk membuang atau mengeluarkan produksi

radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,

mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam

jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan

peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non

produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk purulen

(menghasilkan sputum) timbul dalam jangka waktu lama (lebih dari 3

minggu). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah pada

tuberkulosis karena terdapat pecahnya pembuluh darah. Kebanyakan

batuk darah ini terjadi pada kavitas dan terjadi pada ulkus dinding

bronkus.

3. Sesak nafas

Pada penyakit ringan belum ditemukan atau dirasakan. Sesak akan

terjadi pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah

meliputi setengah bagian paru-paru.


4. Nyeri dada

Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang

sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan

kedua pleura sewaktu klien menarik atau melepaskan nafasnya.

5. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala ini sering

ditemukan seperti anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus

(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

Gejala malaise makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara

tidak teratur.

6. Pada atelektasis terdapat gejala berupa : sianosis, sesak nafas, dan kolaps.

Bagian dada klien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong

ke sisi yang sakit. Pada rontgen dada tampak bayangan hitam pada sisi

yang sakit dan diafragma menonjol ke atas.

2.5.6 Klasifikasi Tuberkulosis

Tuberkulosis dibedakan menjadi dua menurut organ tubuh (anatomical

site) yang terkena, yaitu :

1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada

hilus. Tuberkulosis dibedakan menjadi dua macam yaitu :

a) Tuberkulosis paru BTA positif (sangat menular)

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan

hasil yang positif.


- Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto

rontgen dada menunjukkan tuberkulosis aktif.

b) Tuberkulosis paru BTA negatif

Pemeriksaan dahak negatif, foto rontgen dada menunjukkan

tuberkulosis aktif. Positif negatif yang dimaksudkan disini adalah

“hasilnya meragukan”, jumlah kuman yang ditemukan pada waktu

pemeriksaan belum memenuhi syarat positif (Yoannes,2008).

2. Tuberkulosis extra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ

tubuh lain selain paru, misalnya lymfa, tulang, persendian, kulit, usus,

ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI,2011).

2.5.7 Klasifikasi Penderita Berdasarkan Riwayat Pengobatan menurut

Departemen Kesehatan RI (2011)

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah minum OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan

BTA bisa positif atau negatif.

2. Kasus yang sebelumnya diobati

a. Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan/kultur).


b. Kasus setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat setelah 2 bulan atau

lebih dengan BTA positif.

c. Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

3. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

4. Kasus lain :

Adalah kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang

a. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya

b. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya

c. Kembali diobati dengan BTA negatif

2.5.8 Diagnosis TB Paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan

dan ditemukan kuman TB. Pada program TB Nasional penemuan BTA melalui

pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain

seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis

TB hanya berdasarkan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes

RI,2011).

2.5.9 Pengobatan

Pengobatan TB terutama berupa pemberian obat anti mikroba yang

diberikan dalam jangka waktu lama. Obat-obatan ini juga dapat digunakan

untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit

infeksi.

Departemen Kesehatan RI (2011) menjelaskan prinsib-prinsib pengobatan

tuberkulosis adalah sebagai berikut :

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT -

Kombinasi

Dosis Tetap (OAT_KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kebersihan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas

Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap awal (Intensif)

- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk terjadinya resisten obat.

- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap lanjutan

- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman pesister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2011), persyaratan PMO adalah

seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita, bersedia

membantu penderita dengan sukarela. Selain itu, bersedia dilatih dan atau

mendapat penyuluha bersama-sama dengan penderita. Sebaiknya PMO adalah

petugas kesehatan, misalnya bidan desa, perawat, pekarya, sani tarian, juru

imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan,

PMO dapat berasal dari keder kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh

masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

Adapun tugas PMO adalah mengawasi penderita TB Paru agar menelan

obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada

penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang

dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota

keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB

untuk segera memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.


2.5.10 Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan baik perorangan maupun kelompok. Tujuan

mendeteksi dini seseorang dengan infeksi TB adalah untuk mengidentifikasi siapa

saja yang akan memperoleh keuntungan dari terapi pencegahan untuk

menghentikan perkembangan TB yang aktif secara klinis.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2011) hal-hal yang dapat dilakukan untuk

mencegah penularannya adalah :

a. Kebersihan ruangan dalam rumah terjaga terutama kamar tidur dan

setiap ruangan dalam rumah dilengkapi jendela yang cukup untuk

pencahayaan alami dan ventilasi untuk pertukaran udara serta usahakan

agar sinar matahari dapat masuk ke setiap ruangan dalam rumah melalui

jendela atau genting kaca, karena kuman TBC mati dengan sinar

matahari yang mengandung sinar ultraviolet.

b. Menjemur kasur dan bantal secara teratur.

c. Pengidap TBC diminta menutupi hidung dan mulutnya apabila mereka

batuk atau bersin.

d. Minum obat secara teratur sampai selesai, gunakan Pengawas Minum Obat

(PMO) untuk menjaga keteraturan minum obat.

e. Jangan meludah di sembarang tempat karena ludah yang mengandung

mycobacterium tuberculosis akan terbawa udara dan dapat terhirup orang

lain.
f. Apabila sedang dalam perjalanan maka penderita dianjurkan memakai

penutup mulut atau masker, dan bila akan membuang dahak maka harus

closet kemudian disiram atau dipembuangan mengalir.

g. Gunakan tepat penampungan dahak seperti kaleng atau sejenisnya yang

ditambahkan air sabun.

h. Cuci dan bersihkan barang-barang yang digunakan oleh penderita.

Seperti alat makan dan minum atau perlengkapan tidur.

Naga (2012) berpendapat bahwa tindakan yang dapat dilakukan untuk

mencegah TBC, yaitu :

a. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup

mulut saat batuk, dan membuang dahak tidak di sembarang tempat.

b. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan

meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan

vaksinasi BCG.

c. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan

memberikan penyuluhan tentang penyakit TBC, yang meliputi gejala,

bahaya, dan akibat yang ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat

pada umumnya.

d. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan

pemeriksaan terhadap orang-orang yang terinfeksi, atau dengan

memberikan pengobatan khusus kepada penderita TBC. Pengobatan

dengan cara dirawat di rumah sakit hanya dilakukan bagi penderita dengan
kategori berat dan memerlukan pengembangan program pengobatannya,

sehingga tidak dikehendaki pengobatan jalan.

e. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan

desinfeksi, seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian

khusus terhadap muntahan atau ludah anggota keluarga yang terjangkit

penyakit TBC (piring, tempat tidur, pakaian) dan menyediakan ventilasi

dan sinar matahari yang cukup.

f. Melakukan imunisasi bagi orang-orang yang melakukan kontak langsung

dengan penderita, seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan,

dan orang lain yang terindikasi, dengan vaksin BCG dan tindak lanjut

bagi yang positif tertular.

g. Melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang kontak dengan

penderita TBC. Perlu dilakukan Tes Tuberkulin bagi seluruh anggota

keluarga. Apabila cara ini menunjukkan hasil negatif, perlu diulang

pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, dan perlu pemeriksaan intensif.

h. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu

pengobatan yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan

oleh dokter dan diminum dengan tekun dan teratur, selama 6 bulan

sampai

12 bulan. Perlu diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan

pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter.

Francis (2011) menyatakan pencegahan penyakit tuberkulosis dapat

dilakukan dengan penyediaan nutrisi yang baik, sanitasi yang adekuat, perumahan
yang tidak terlalu padat dan udara yang segar merupakan tindakan yang efektif

dalam pencegahan TBC.

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) 2010

menjelaskan tentang pencegahan penularan penyakit TBC, yaitu :

a. Bagi masyarakat

1. Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh

meningkat untuk membunuh kuman TBC

2. Tidur dan istirahat yang cukup

3. Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba

4. Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan sekitarnya

5. Membuka jendela agar masuk sinar matahari di semua ruangan rumah

karena kuman TBC akan mati bila terkena sinar matahari

6. Imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah agar

kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TBC

7. Menyarankan apabila ada yang dicurigai TBC agar segera

memeriksa diri dan berobat sesuai aturan sampai sembuh

b. Bagi penderita

1. Tidak meludah di sembarangan tempat

2. Menutup mulut saat batuk atau bersin

3. Berperilaku hidup bersih dan sehat

4. Berobat sesuai atauran sampai sembuh

5. Memeriksa balita yang tinggal serumah agar segera diberikan

pengobatan pencegahan
2.6 Landasan Teori

Menurut Green dan Kreuter (1991) pada tahun 1980, merupakan model

yang paling cocok diterapkan dalam perencanaan dan evaluasi promosi

kesehatan yang dikenal dengan model PRECEDE-PROCEED yang merupakan

model partisipasi masyarakat yang berorientasi menciptakan masyarakat yang

berhasil mengubah perilaku akibat intervensi promosi kesehatan.PRECEDE

(Predispising, Reinforcing and Enabling Causes in Education Diagnosis and

Evaluation). PRECEDE merupakan kerangka untuk membantu perencanaan

mengenal masalah, mulai dari kebutuhan pendidikan sampai pengembangan

program. PROCEED merupakan singkatan dari Polyce, Regulatory, and

Organizational Contructs in Educational and Environmental Development.

Model PRECEDE-PROCEED terdiri atas sembilan tahap yaitu tahap

pertama gabungan beberapa tahap yang kelihatannya sulit tetapi dirangkaian

percobaan mendekati kelanjutan tentang langkah-langkah mengungkapkan suatu

urutan sangat logis untuk program promosi kesehatan. Dasar dari model ini adalah

untuk memulai mendekati dengan mengindentifikasi, menentukan penyebab,

dan akhirnya mendesain serta intervensi yang diarahkan untuk mencapai hasil

yang diinginkan. Dengan kata lain, PRECEDE-PROCEED dimulai dengan

pembatasan-pembatasan yang konsekuensinya dipengaruhi oleh penyebab.


Gambar 2.1 Landasan Teori
2.7 Kerangka Teori

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012), perilaku dilatar belakangi atau

dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu :

1. Faktor-faktor presdisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya

dari seseorang.

2. Faktor-faktor pemungkin/pendukung (enabling factors), yang terwujud

dalam lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas lainnya yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan

ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari

orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan

fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga

akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.


Bagan teori perilaku Lawrance Green (1980)

1 Faktor Predisposisi
PROMOSI a Karakteristik b
Pengetahuan
KESEHATAN c Sikap

Perilaku
Pendidikan 2 Faktor Pendukung
kesehatan a Fasilitas
Kesehatan
Kualitas
b Sarana dan Kesehatan
prasarana hidup
c Ekonomi

Kebijakan
Lingkungan
regulasi
3 Faktor Penguat
organisasi a Keluarga
b Petugas
Kesehatan

Tokoh
Masyarakat
Tokoh Agama

Gambar 2.2 Kerangka Teori Green (Notoatmodjo 2012)


2.8 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Predisposing Factor
Jenis kelamin
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Pengetahuan
Sikap

Faktor Pendukung
Upaya Pencegahan Penularan
- Ketersediaan Fasilitas
Penyakit Tuberkulosis Paru
Kesehatan

Faktor Penguat
- Peran Petugas
Kesehatan

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Anda mungkin juga menyukai