Dosen Pengampu :
1. Ir. Martinus Ginting, M.Kes
2. Desi, SKM, M.Gizi
Disusun Oleh :
1. Andriani ani
2. Asriani nur wahidah
3. Elga Miftahul Jannah
4. Filia Wyne Pebrianti
5. Mirantika
6. Natasha Syafa’ati Almirzannah
7. Ratna Puspita sari
8. Rani Izza Hanifa
9. Sri Mulyati
10.Taufik Ismail L
11.Tri Kurniawati
Dalam kerangka pikir penyebab masalah gizi diatas terdapat masalah dasar dan masalah
utama, serta dua factor penyebab yang berpengaruh terhadap status gizi, yaitu penyebab
langsung dan penyebab tak langsung. Masalah yang mendasari penyebab terjadinya malnutrisi
yaitu krisis politik dan ekonomi. Krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat
tersebut menimbulkan beberapa masalah utama yaitu kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah sehingga yang pengetahuan kurang, keterbatasan finansial dan rendahnya kesempatan
untuk bekerja. Beberapa masalah utama yang terjadi akibat masalah dasar tersebut
mengakibatkan ketersediaan pangan di tingkat Rumah Tangga kurang, pengetahuan dan perilaku
atau pola asuh ibu terhadap anak kurang baik, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan kurang bagus. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga yang kurang dapat
memperngaruhi asupan gizi yang di terima sehingga terjadilah gangguan pertumbuhan, selain itu
perilaku dan pola asuh ibu yang kurang baik juga dapat berpengaruh terhadap asupan gizi dan
infeksi penyakit pada anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan sekitar tempat tinggal
yang kurang memadai juga dapat berpengaruh terhadap infeksi penyakit pada anak. Sehingga
dua factor penyebab langsung pada masalah gizi yaitu asupan gizi dan infeksi penyakit saling
berketerkaitan yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak, ini lah yang
menyebabkan terjadinya masalah gizi atau malnutrisi. Sebagai contoh, anak balita yang tidak
mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit
sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik
sehingga berakibat pada gizi buruk. Oleh karena itu, mencegah terjadinya infeksi juga dapat
mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk.
Faktor penyebab langsung pertama adalah makanan yang dikonsumsi, harus memenuhi
jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang. Konsumsi pangan
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, yang pada tingkat makro ditunjukkan oleh tingkat
produksi nasional dan cadangan pangan yang mencukupi; dan pada tingkat regional dan lokal
ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan sepanjang waktu,
dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di
tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada
komposisi konsumsi pangan.
Makanan lengkap bergizi seimbang bagi bayi sampai usia enam bulan adalah air susu ibu
(ASI), yang dilanjutkan dengan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi bayi usia 6
bulan sampai 2 tahun. Data menunjukkan masih rendahnya persentase ibu yang memberikan
ASI, dan MP-ASI yang belum memenuhi gizi seimbang oleh karena berbagai sebab. Faktor
penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan
kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS.
Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi
kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah
sakit. Kedua faktor penyebab langsung gizi kurang itu memerlukan perhatian dalam kebijakan
ketahanan pangan dan program perbaikan gizi serta peningkatan kesehatan masyarakat.
Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab
tidak langsung, yaitu ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, pola
pengasuhan anak, dan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat
berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Apabila
kondisi ketiganya kurang baik menyebabkan gizi kurang. Rendahnya kualitas konsumsi pangan
dipengaruhi oleh kurangnya akses rumah tangga dan masyarakat terhadap pangan, baik akses
pangan karena masalah ketersediaan maupun tingkat pendapatan yang mempengaruhi daya beli
rumah tangga terhadap pangan. Pola asuh, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan
dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, informasi, pelayanan keluarga berencana,
serta kelembagaan sosial masyarakat untuk pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan.
Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya tingkat
kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi kurang dan gizi
buruk di masyarakat. Upaya mengatasi masalah ini bertumpu pada pembangunan ekonomi,
politik dan sosial yang harus dapat menurunkan tingkat kemiskinan setiap rumah tangga untuk
dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta memberikan akses kepada pendidikan dan
pelayanan kesehatan.
B. Program Intervensi Penanganan Masalah Gizi
1. Pemerintah
Keberhasilan suatu pemerintahan biasanya dapat dilihat salah satunya dengan melihat
status gizi masyarakatnya. Status gizi yang tidak baik menandakan kurang baiknya kecukupan
pangan suatu bangsa dan ketahanan pangannya. Setelah ketersediaan pangan terjawab yang
menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana status pangan atau makanan tersebut, baik
nilai ada gizinya atau tidak. Ketahanan pangan dan kecukupan nilai gizi harus didukung dengan
program-program pemerintah yang akan terwujudnya masyarakat tahan pangan dan cukup gizi.
Berikut ini adalah berbagai program pemerintah dalam menanggulangi masalah gizi:
a. Pola Menu 4 Sehat 5 Sempurna
Pola menu 4 sehat 5 sempurna adalah pola menu seimbang yang bila disusun dengan baik
mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pola menu ini diperkenalkan pada
tahun 1950 oleh bapak ilmu gizi prof. DR. Poorwo soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat
Depkes dalam rangka melancarkan gerakan “sadar gizi”. Pola menu 4 sehat 5 sempurna digali
dari pola menu yang pada umumnya sejak dahulu telah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada
umumnya menu di Indonesia terdiri atas makanan sebagai berikut:
1. Makanan pokok untuk memperoleh rasa kenyang: nasi, jagung, ubi jalar, singkong,
talas, sagu, serta hasil olahan seperti mie, bihun, macaroni dan sebagainya.
2. Lauk untuk memeperoleh rasa lebih nikmat, karena selain menyumbang kandungan
protein adanya lauk juga memberikan rasa nikmat, karena pada dasarnya bahan
makanan pokok memiliki rasa yang netral, lauk barasal dari dua golongan yaitu yang
berasal dari hewani (daging, ayam, ikan, kerang, telur dan sebagainya) dan yang
berasal dari golongan nabati (jenis kacang- kacangan dan hasil olahannya seperti
kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, tempe, tahu dan oncom).
3. Sayur-sayuran, fungsinya adalah untuk memenuhi akan kebutuhan vitamin dan
mineral, banyak sekali zat penting yang terkandung didalamnya yang diperlukan oleh
tubuh. Selain itu sayuran juga member rasa segar pada makanan yang kita makan.
4. Buah-buahan, pada saat pola makan ini popular dikalangan masyarakan dimasanya,
buah-buahan dimakan setelah makan makanan utama (makanan pokok, lauk dan
sayur).
5. Minum susu. Karena menu yang tersebut diatas merupakan makanan yang sehat dan
bernilai gizi untuk lebih memantapkan nilai gizinya ditambah lah dengan yang ke
lima.
b. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)
Sebagai alat memberikan penyuluhan pangan dan gizi kepada masyarakat luas dalam
rangka memasyarakatkan gizi seimbang, pada tahun 1995 Direktorat Gizi Depkes telah
mengeluarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Pedoman ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu rekomendasi Konferensi Gizi Internasional di Roma pada tahun 1992 untuk
mencapai dan memelihara kesehatan dan kesejahteraan gizi (nutritional well-being) semua
penduduk yang merupakan prasyarat untun membangun sumberdaya manusia. PUGS merupakan
penjabaran lebih lanjut dari pedoman 4 sehat 5 sempurna yang menurut pesan-pesan yang
berkaitan dengan pencegahan baik masa;ah gizi kurang, maupun masalah gizi lebih yang selama
20 tahun terakhir telah mulai menampakan diri di Indonesia.
Konsep Dasar Gizi Seimbang Dalam PUGS susunan makanan yang dianjurkan adalah
menjamin keseimbangan zat-zat gizi. Hal ini dapat dicapai dengan menkonsumsi beraneka ragam
makanan tiap hari, tiap makanan dapat saling melengkapi dalam zat-zat gizi yang dikandungnya.
Pengelompokan bahan makanan disederhanakan, yaitu didasarkan pada tiga fungi utama zat-zat
gizi, yaitu sumber energi tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Untuk
mencapai gizi seimbang hendaknya susunan makanan sehari-hari terdiri dari campuran ketiga
kelompok bahan makanan tersebut. Dari tiap kelompok dipilih salah satu atau lebih jenis bahan
makanan sesuai dengan ketersediaan bahan makanan –tersebut dipasar, keadaan social ekonomi,
nilai gizi dan kebiasaan makanan.
Ketiga golongan makanan tersebut digambarkan dalam bentuk kerucut dengan urut-
urutan menurut banyaknya digunakan dalam hidangan sehari-hari. Dasar kerucut
menggambarkan sumber energy atau tenaga, yaitu golongan bahan makanan yang paling banyak
dimakan seperti sember bahan makanan pokok, beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar dan
lainnya yang banyak mengandung karbohidrat. Bagian tengah menggambarkan sumber zat
pengatur, yaitu golongan makanan yang banyak mengandung vitamin dan minerat seperti buah-
buahan dan sayur mayor. Dan bagian atas atau bagian puncak menggambarkan sumber zat
pembangun yang secara relative paling sedikit dimakan setiap harinya, yaitu bahan makanan
yang banyak mengandung protein seperti ikan, telur, ayam, daging, susu, keju, kacang-kacangan,
tempe, tahu dan oncom.
PUGS memuat tiga belas pesan dasar yang diharapkan dapat digunakan masyaraka luas
sebagai pedoman praktis untuk mengatur makanan sehari-hari yang seimbang dan aman guna
mencapai dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal. Ketiga belas pesan dasar
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Makanlah aneka ragam makanan.
2. Makanlan makanan untuk memenuhi kecukupan energi.
3. Makanlah makanan sumber karbohidrat, setengah dari kebutuhan energy.
4. Batasi komsumsi lemak dan minyak sampai seperempat kebutuhan energy.
5. Gunakan garan meriodium.
6. Makanlah makanan sumber zat besi.
7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur empat bulan.
8. Biasakan makan pagi atau sarapan.
9. Minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya.
10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur.
11. Hindari minum-minuman beralkohol.
12. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan.
13. Bacalah label pada makanan yang dikemas.
d. Organisasi Kemasyarakatan
Tugas organisasi kemasyarakatan adalah memperkuat mobilisasi, advokasi, komunikasi,
riset dan analisis kebijakkan serta pelaksana pada tingkat masyarakat untuk menangani
kekurangan
Rencana Kegiatan Utama Lembaga Sosial Kemasyarakatan sebagai berikut:
N Jangka Pendek (18 Bulan) N Jangka Menengah (36 bulan)
o o
1 Memperluas kepersertaan 1 Mengintegrasikan Gerakan
antar sektor dan kelompok di tingkat 1000 Hari Pertama Kehidupan ke
nasional dan daerah dalam kegiatan LSK
2 Memperkuat keterkaitan antara 2 Membantu mengembangkan
LSK dengan pemerintah dengan rencana nasional dan menetapkan
menggunakan mekanisme yang sasaran yang ingin dicapai
berlaku
3 Mengembangkan dan 3 Melakukan evaluasi dan
menyetujui prinsip-prinsip mediasi penelitian yang mengaitkan antara
jika tidak terjadi kesepahaman gizi dengan gender, ketenagakerjaan,
pertanian, pangan, kesehatan,
kemiskinan, jaminan sosial, dan
pendidikan
4 Memberikan kontribusi dalam 4 Advokasi ke dunia
perumusan kerangka program internasional untuk mendukung
Gerakan 1000 HPK Gerakan 1000 HPK
5 Melakukan mobilisasi dalam 5 Advokasi kepada pemerintah
rangka meningkatkan demand untuk mobilisasi sumberdana yang
masyarakat lebih besar untuk menangani
kekurangan gizi
e. Dunia Usaha
Dunia usaha bertugas untuk pengembangan produk, control kualitas, distribusi, riset,
pengembangan teknolohi informasi, komunikasi, promosi perubahan perilaku untuk hidup sehat.
Rencana Kegiatan Utama Dunia Usaha sebagai berikut:
N Jangka Pendek (18 Bulan) N Jangka Menengah (36 bulan)
o o
1 Memfasilitasi keterlibatan 1 Bekerja secara nyata untuk
dunia usaha dalam Gerakan 1000 mendukung Gerakan 1000 HPK
HPK Nasional
2 Memberikan pedoman dan 2 Melaksanakan contoh
contoh tentang keterlibatan dunia bagaimana pengusaha internasional
usaha dalam Gerakan 1000 HPK mendukung Gerakan 1000 HPK
Global
3 Memberikan pedoman dan 3 Meningkatkan peran dunia
mediasi bila terjadi ketidaksepahaman usaha untuk memperbaiki keadaan
dalam kebijakan maupun pelaksanaan gizi masyarakat terutama pada ibu
Gerakan 1000 HPK hamil, ibu menyusui, dan anak baduta
melalui penerapan CSR
4 Bekerja secara nyata untuk
sesuai dengan peraturan yang berlaku
mendukung strategi Gerakan 1000
HPK
5 Tukar menukar pengalaman
dalam sistem distribusi pangan dan
gizi termasuk penggunaan
teknologi/inovas
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang
dilakukan di 33 provinsi dapat diketahui secara umum bahwa prevalensi status gizi buruk pada
balita hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 5.4%, sedangkan prevalensi status gizi buruk
pada balita berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 5.7%, dan pada Riskesdas tahun
2018 prevalensi status gizi buruk pada balita di Indonesia yaitu sebesar 3.9%. Hal ini
menunjukkan adanya penurunan jumlah status gizi buruk pada balita di Indonesia. Meskipun dari
tahun 2007 ke tahun 2013 ada peningkatan, tetapi pada tahun 2018 adanya penurunan, ini
mencerminkan berhasilnya beberapa program pemerintah guna menganggulangi masalah gizi
buruk di Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian
Kesehatan yang dilakukan di 33 provinsi dapat diketahui secara umum bahwa prevalensi status
gizi kurang pada balita hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 13%, sedangkan prevalensi
status gizi kurang pada balita berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 13.9%, dan pada
Riskesdas tahun 2018 prevalensi status gizi kurang pada balita di Indonesia yaitu sebesar 13.8%.
Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan jumlah status gizi kurang pada balita di
Indonesia. Dari tahun 2007 ke tahun 2013 ada peningkatan jumlah balita gizi kurang sebesar
0.9%, tetapi pada tahun 2013 ke tahun 2018 adanya penurunan jumlah yaitu hanya 0.1%.
g. Data Riskesdas Status Gizi Sangat Pendek dan Pendek
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang
dilakukan di 33 provinsi dapat diketahui secara umum bahwa prevalensi status gizi sangat
pendek pada balita hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 18.8%, sedangkan prevalensi status
gizi sangat pendek pada balita berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 18%, dan pada
Riskesdas tahun 2018 prevalensi status gizi sangat pendek pada balita di Indonesia yaitu sebesar
11.5%. Hal ini menunjukkan adanya penurunan jumlah status gizi sangat pendek pada balita di
Indonesia. Hal ini mencerminkan berhasilnya beberapa program pemerintah guna
menganggulangi masalah gizi sangat pendek di Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian
Kesehatan yang dilakukan di 33 provinsi dapat diketahui secara umum bahwa prevalensi status
gizi pendek pada balita hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 18%, sedangkan prevalensi
status gizi pendek pada balita berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 19.2%, dan pada
Riskesdas tahun 2018 prevalensi status gizi pendek pada balita di Indonesia yaitu sebesar 19.3%.
Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan jumlah status gizi kurang pada balita di
Indonesia. Dari tahun 2007 ke tahun 2013 ada peningkatan jumlah balita gizi pendek sebesar
1.2%, tetapi pada tahun 2013 ke tahun 2018 adanya penurunan jumlah yaitu hanya 0.1% saja.
h. Data Riskesdas Status Gizi Sangat Kurus, Kurus dan Gemuk
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang
dilakukan di 33 provinsi dapat diketahui secara umum bahwa prevalensi status gizi sangat kurus
pada balita hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 6.2%, sedangkan prevalensi status gizi
sangat kurus pada balita berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 5.3%, dan pada
Riskesdas tahun 2018 prevalensi status gizi sangat kurus pada balita di Indonesia yaitu sebesar
3.5%. Dilihat dari perkembangan, status gizi sangat kurus pada balita menunjukkan adanya
penurunan jumlah di Indonesia, ini mencerminkan berhasilnya beberapa program pemerintah
guna menganggulangi masalah gizi sangat kurus di Indonesia.
Selanjutnya, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang
dilakukan di 33 provinsi dapat diketahui secara umum bahwa prevalensi status gizi kurus pada
balita hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 7.4%, sedangkan prevalensi status gizi kurus
pada balita berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 6.8%, dan pada Riskesdas tahun
2018 prevalensi status gizi kurus pada balita di Indonesia yaitu sebesar 6.7%. Hal ini
menunjukkan adanya penurunan jumlah status gizi kurus pada balita di Indonesia.
Untuk hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang
dilakukan pada balita gemuk dapat diketahui secara umum prevalensi status gizi gemuk pada
balita hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 12.2%, sedangkan prevalensi status gizi gemuk
pada balita berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 11.9%, dan pada Riskesdas tahun
2018 prevalensi status gizi gemuk pada balita di Indonesia yaitu sebesar 8%. Terjadi penurunan
drastic pada balita gemuk dari tahun 2013 ke tahun 2018, dapat diartikan bahwa program-
program yang dibuat oleh pemerintah, dapat diterapkan dengan baik oleh masyarakat.
3. Data Riskesdas Anemia Ibu Hamil Tahun 2007, 2013, dan 2018
(Riskesdas 2018)
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang telah dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan yang
dilakukan di 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota dapat diketahui secara umum bahwa prevalensi
anemia pada ibu hamil hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 24.5%, sedangkan prevalensi
anemia pada ibu hamil berdasarkan Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 37.1%, dan pada
Riskesdas tahun 2018 prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia yaitu sebesar 48.9%. Hal
ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah anemia pada ibu hamil di Indonesia meskipun
pemerintah sudah melakukan beberapa program penanggulangan anemia pada ibu hamil salah
satunya yaitu pemberian tablet Fe (zat besi) pada ibu hamil selama kehamilan yang bertujuan
untuk menurunkan angka anemia pada ibu hamil di Indonesia.
4. Data Riskesdas Obesitas Remaja Tahun 2007, 2013, dan 2018
Menurut hasil data Riskesdas 2018 dapat dilihat bahwa proporsi obesitas pada umur >15
tahun berdasarkan indikator obesitas sentral (lingkar perut perempuan > 80 cm, dan laki-laki >
90 cm) telah mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Pada tahun 2007 proporsi obesitas
memiliki angka 18.8%, pada tahun 2013 sebesar 26,6%, dan pada tahun 2018 telah mencapai
31%. Dan di Indonesia, provinsi yang memiliki proporsi obesitas sentral pada umur >15 tahun
tertinggi adalah Sulawesi Utara, dengan angka 42.5%