ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS
Mata Kuliah
Yang dibina oleh Ibu Sri Murdiyah, S.Pd., M.Pd
oleh :
Offering F-6
oleh
Alfiya Nazilah
Jln. Anggrek V Gg. Krisna no 4 Tabanan, Bali
alfiyanazilah@gmail.com
PENGERTIAN KEMANDIRIAN
Istilah kemandirian berasal dari kata dasar “diri” yang mendapat awalan
“ke” dan akhiran “an”, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda.
Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan mengenai
sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena diri itu
merupakan inti dari kemandirian. Konsep yang sering digunakan atau berdekatan
dengan kemandirian adalah otonomy.
Menurut Chaplin (2002), otonomi adalah kebebasan individu manusia
untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan
menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Seifert dan Hoffnung (1994)
mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai “the ability to govern and
regulate one’s own thoughts, feelings and actions freely and responssibly while
overcoming feelings of shame and doubt”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemandirian atau otonomi adalah
kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan
sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan
malu dan keragu-raguan. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian
mengandung pengertian : a) Suatu kondisi di mana seseorang memiliki hasrat
bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri, b) Mampu mengambil
keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, c) Memiliki
kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya, d) Bertanggung jawab atas
apa yang dilakukannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “kemandirian” berasal dari kata
mandiri yang berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang
lain. Dan karier berarti keahlian (hobi dsb) yang diamalkan dalam masyarakat
atau dijadikan sumber kehidupan; atau kemajuan dalam kehidupan;
perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan,atau jabatan.
Kemandirian merupakan salah satu tugas pokok dari perkembangan.
Untuk pencapaiannya harus diterapkan sejak dini dalam diri anak agar anak
mampu melaksanakan segala sesuatunya dengan kemampuannya sendiri yang
dominan, dimana anak tersebut mampu menyelesaikan tugas dengan
kemampuannya tanpa di dominasi bantuan dari orang lain. Dari definisi di atas
maka dapatlah diambil pengertian kemandirian adalah keadaan seseorang yang
dapat berdiri sendiri yang tumbuh dan berkembang karena disiplin dan komitmen
sehingga dapat menentukan diri sendiri yang dinyatakan dalam tindakan dan
perilaku yang dapat dinilai.
Kemandirian pada remaja lebih mengarah tindakan yang melibatkan hati
dan pemikirannya (psikis). Hal ini diperkuat pernyataan ahli perkembangan yang
menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih
bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri,
pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat
keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".
Memberikan kesempatan pada remaja untuk menentukan pilihan-pilihan
sederhana akan menumbuhkan rasa percaya diri dalam dirinya sehingga
seterusnya ia akan mampu memutuskan perkara yang lebih pelik.
Kemandirian pada anak di usia-usia tertentu di tandai dengan beberapa
perilaku anak, yaitu: Usia 1-2 tahun (anak mampu minum dari gelasnya sendiri
tanpa tumpah, mulai makan sendiri dengan menggunakan sendok), Usia 2-3 tahun
(memberitahu orang dewasa kala ingin buang air), Usia 3-4 tahun (anak mampu
ke kamar mandi sendiri), Usia 5-7 tahun (anak mampu berpakaian sendiri,
mengikat simpul tali sepatu), Usia 8-10 tahun (anak sudah mampu membenahai
peralatan pribadinya seperti menyiapkan buku sesuai jadwal pelajaran, mampu
memenuhi kebutuhan sendiri seperti, memasak mie instan saat orang orang tua
tidak di rumah).
BENTUK, TINGKATAN DAN KARAKTERISTIK KEMANDIRIAN
Havighurst (1972) membedakan kemandirian atas tiga bentuk
kemandirian, yaitu:
Kemandirian Emosional
Kemandirian emosional dapat diartikan sebagai kemampuan individu
dalam mengelola emosinya, seperti pemudaran ikatan emosional anak dengan
orang tua. Percepatan pemudaran hubungan itu terjadi seiring dengan semakin
mandirinya remaja dalam mengurus diri sendiri. Konsekuensi dari semakin
mampunya remaja mengurus dirinya sendiri maka waktu yang diluangkan orang
tua terhadap anak semakin berkurang dengan sangat tajam. Proses ini sedikit
besarnya memberikan peluang bagi remaja untuk mengembangkan
kemandiriannya terutama kemandirian emosional. Disamping itu, hubungan
antara anak dan lingkungan sebaya yang lebih intens dibanding dengan hubungan
anak dengan orang tua menyebabkan hubungan emosional anak dan orang tua
semakin pudar. Kedua pihak ini lambat laun akan mengendorkan simpul-simpul
ikatan emosional infantil anak dengan orang tua.
Namun ini bukan berarti anak akan melalukan pemberontakan terhadap
orang tua, ini hanya masalah kedekatan yang berbeda, memudar bukan berarti
pupus tak bersisa, walau bagaimanapun ikatan batin tetap akan terjalin antara anak
dan orang tua. Ada empat aspek kemandirian emosional remaja, yaitu: a) Sejauh
mana remaja mampu melakukan de-idealized terhadap orang tua, b) Sejauh mana
remaja mampu memandang orang tua sebagai orang dewasa umumnya (parents as
people), c) Sejauh mana remaja tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa
mengharapkan bantuan emosional orang lain (non dependency), d) Sejauh mana
remaja mampu melakukan individualisasi di dalam hubungannya dengan orang
tua.
Kemandirian nilai
Kemandirian nilai (values autonomy) merupakan proses yang paling
kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya, terjadi
melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, umumnya
berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding
kedua tipe kemandirian lainnya. Kemandirian nilai (values autonomy) yang
dimaksud adalah kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan
orang lain tentang keyakinan (belief) dalam bidang nilai.
Sebagai suatu dimensi psikologi yang kompleks, kemandirian dalam
perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan. Perkembangan kemandirian
seseorang berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan
kemandirian tersebut. Lovinger (dalam Sunaryo Kartadinata, 1998),
mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristiknya, yaitu :
Tingkat pertama, adalah tingkat implusif dan melindungi diri. Ciri-cirinya
Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya
dengan orang lain, Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik, Berpikir
tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype), Cenderung
melihat kehidupan sebagai zero-sum games, Cenderung menyalahkan dan
mencela orang lain serta lingkungannya.
Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya Peduli terhadap
penampilan diri dan penerimaan sosial, Cenderung berpikir stereotype dan klise,
Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal, Bertindak dengan motif yang
dangkal untuk memperoleh pujian, Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan
kurangnya introspeksi, Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal,
Takut tidak diterima kelompok, Tidak sensitif terhadap keindividualan, Merasa
berdosa jika melanggar aturan
Tingkat ketiga, adalah tingkat sadar diri ciri-cirnya Mampu berpikir alternatif,
Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi, Peduli untuk
mengambil manfaat dari kesempatan yang ada, Menekankan pada pentingnya
memecahkan masalah, Memikirkan cara hidup, Penyesuaian terhadap situasi dan
peranan.
Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-cirnya: Bertindak
atas dasar nilai-nilai internal, Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan
pelaku tindakan, Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan prespektif diri
sendiri maupun orang lain, Sadar akan tanggung jawab, Mampu melakukan kritik
dan penilaian diri, Peduli akan hubungan mutualistik, Memilii tujuan jangka
panjang, Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial, Berpikir lebih
kompleks dan atas dasar pola analitis.
Tingkat kelima, adalah tingkat individualisme. Ciri-cirinya Peningkatan kesadaran
individualitas, Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan
ketergantungan, Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain,
Mengenal eksistensi perbedaan individual, Mampu bersikap toleran terhadap
pertentangan dalam kehidupan, Membedakan kehidupan internal dengan
kehidupan luar dirinya, Mengenal kompleksitas diri, Peduli akan perkembangan
dan masalah-masalah sosial.
Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya Memiliki pandangan hidup
sebagai suatu keseluruhan, Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri
sendiri dan orang lain, Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan
sosial, Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan, Toleran terhadap
ambiguitas, Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment), Ada keberanian untuk
menyelesaikan konflik internal, Responssif terhadap kemandirian orang lain,
Sadar akan adanya saling ketergatungan dengan orang lain, Mampu
mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
KESIMPULAN
Kemandirian peserta didik adalah bakat kecakapan yang dimiliki peserta didik, ini
sangat berkaitan dengan pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan di sekolah perlu
melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian peserta didik, diantaranya :
a) Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, b) Mendorong anak
untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai
kegiatan sekolah, c) Memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi
lingkungan , mendorong rasa ingin tahu mereka, d) Peneriman positif tanpa syarat
kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan
yang lain, e) Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.
Dengan semua itu, maka akan terbentuk pribadi peserta didik yang
mandiri. Yang juga implikasi untuk keadaan dunia pendidikan yang akan semakin
berkembang.
Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika
individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas
tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan
berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan
anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara
fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2) tidak
dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak
aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar
sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan
berbagai proses perkembangannya.
SARAN
Dalam penulisan makalah ini masih banyak mengalami kesalahan,
diharapkan bagi pembaca memberikan komentar agar makalah ini dapat lebih baik
lagi.
DAFTAR RUJUKAN
https://hudhanewblog.blogspot.co.id/2015/09/makalalah-karakteristik-
perkembangan.html, diakses pada tanggal 5 Mei 2017
Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J., Child and Adolescent Development, Boston:
Houghton Mifflin Company, 1994.
Chaplin, J.P Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.