BAB 15
FOLLOW THE MONEY
Follow the money secara harafiah berarti “mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan
dalam suatu arus uang atau arus dana”. Jejak-jejak ini akan membawa penyidik atau akuntan
forensik ke arah pelaku fraud.
Pertama kita akan melihat naluri penjahat. Tanpa disadari, nalurinya ini akan
meninggalkan jejak-jejakberupa gambaran mengenai arus uang. Jejak-jejak uang atau money
trails inilah yang dipetakan oleh penyidik. Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak
pidana pencucian uang mengingatkan kita bahwa bukan kejahatan utamanya saja yang
merupakan tindak pidana, tetapi juga pencucian uangnya adalah tindak pidana. Teknologi
informasi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam teknik follow the money.
Uang sangat cair (likuid), mudah mengalir. Itulah sebabnya follow the money
mempunyai banyak peluanguntuk digunakan dalam investigasi. Namun, mata uang kejahatan
atau currency of crime bukanlah uangsemata-mata. Mengetahui currency of crime akan
membuka peluang baru untuk menerapkan teknik follow the money.
1. Kriminalisasi dari Pencucian Uang
Pola perilaku kejahatan dengan “menjauhkan” uang dari pelaku dan perbuatannya dilakukan
melalui cara :
Placement
Upaya menempatkan uang tunai hasil kejahatan ke dalam system keuangan
atau upaya menempatkan kembali dana yan sudah berada dalam system keuangan ke
dalam system keuangan.
Layering
Upaya mentransfer harta kekayaan hasil kejahatan yang telah berhasil masuk
dalam system keuangan melalui tahap placement.
Integration
Upaya menggunakan kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah
berhasil masuk dalam system keuangan melalui placement dan layering, seolah-olah
merupakan kekayaan halal Tindak perbuatan ini dengan tegas diperlakukan sebagai
tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003.
UU tentang pencucian uang mendorong teknik investigasi follow the money. Namun,
sebelum keluarnya UU ini pun, para penyidik telah menggunakan teknik tersebut.
Kalau naluri penjahat mengarah kepada penyembunyian kejahatan, naluri penyidik
tertuju kepada pengungkapan kejahatan.
BAB 25
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Indonesia pernah dimasukkan ke dalam daftar Non-Cooperative Countries and
Territories (NCCTs) dengan pertimbangan tidak adanya undang-undang yang menetapkan
pencucian uang sebagai tindak pidana, tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah
untuk lembaga keuangan non-bank, rendahnya kualitas SDM dalam penanganan kejahatan
pencucian uang, dan kurangnya kerja sama internasional. Atas dasar tersebut pemerintah
mengambil langkah dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
dibentuk sebagai lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk
mencegahdan memberantas tindak pidana pencucian uang. Selain itu pemerintah juga
mengeluarkan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah bagi lembaga keuangan non-bank,
termasuk perusahaan sekuritas.
UU No.15 Tahun 2002
Harta kekayaan yang diperoleh dari barbagai tindakan kejahatan biasanya tidak
langsung digunakan agar tidak mudah dilacak oleh penegak hukum. Upaya untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
ini dikenal sebagai pencucian uang. Ada tiga tahap dalam proses pencucian uang:
Placement
Merupakan upaya menempatkan uang tunai hasil kejahatan ke dalam sistem
keuangan atau upaya menempatkan kembali dana yang sudah berada dalam sistem
keuangan ke dalam sistem keuangan, terutama perbankan.
Layering
Merupakan upaya mentransfer harta kekayaan dari hasil kejahatan yang telah
berhasil masuk dalam sistem keuangan melalui tahap placement.
Integration
Merupakan upaya menggunakan kekayaan yang berasal dari tindak pidana
yang telah berhasil melalui placement dan layering, seolah-olah merupakan kekayaan
halal. Uang yang dicuci melalui placement dan layering dalam tahap ini digunakan
untuk kegiatan yang seolah-olah tidak berkaitan dengankejahatan yang menjadi
sumbernya.
UU No.25 Tahun 2003
Perbedaan UU No. 15 tahun 2002 dengan UU No. 25 tahun 2003
1. Pengertian cakupan penyedia jasa keuangan
Cakupan pengertian penyediaan jasa keuangan diperluas tidak hanya bagi
setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan tetapi juga meliputi jasa
lainnya yang terkait dengan keuangan.
2. Macam-macam Transaksi
Pengertian transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan
mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
3. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana
Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar lima ratus juta rupiah atau
lebih, atau nilai yang setara diperoleh dari tindak pidana dihapus, karena tidak sesuai
dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menetukan suatu perbuatan dapat
dipidana tidak tergantung pada besa atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.
4. Perluasan tindak pidana asal
Cakupan tindak pidana asal diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak
pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan
itu tidak dipidana.
UU No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional,
perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, antara lain:
1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang;
2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang;
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;
4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
5. Perluasan Pihak Pelapor;
6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan;
8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi;
9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan
uang tunai daninstrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik
dugaan tindak pidanaPencucian Uang;
11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis ataupemeriksaan PPATK;
12. Penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan
sementara Transaksi;
14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian uang; dan
15. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
Pelindungan Saksi, Pelapor, dan Pihak Pelapor
Pasal 86 ayat (1) UU TPPU menyebutkan bahwa setiap orang yang memberikan
kesaksian dalampemeriksaan TPPU wajib diberi pelindungan khusus oleh negara dari
kemungkinan ancaman yangmembahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya. Adapun jenis-jenis pelindungan yangdikenal dalam pelaksanaan UU TPPU
sebagai berikut :
Pelindungan karena jaminan Undang-Undang,
Pelindungan karena pelaksanaan UU TPPU, dan pelindungan khusus.