Anda di halaman 1dari 24

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA FIKIR, DAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)


Jensen & Meckling (dalam Fadah, 2009) mendefiniskan hubungan
keagenan sebagai sebuah kontrak terhadap para agen atau pihak yang
diambil jasanya untuk melaksanakan dan menjalankan kegiatan yang ada
dalam perusahaan. Wewenang yang didelegasikan pada agen tersebut
adalah berupa hak untuk membuat keputusan yang menguntungkan
perusahaan. Akan tetapi masalah akan timbul pada pendelegasian tugas
kepada agen jika mereka memiliki kepentingan terhadap insentif yang
akan mereka terima, disamping kewajiban mereka bertugas untuk
memaksimumkan kesejahteraan pemilik saham perusahaan.
Teori agensi adalah teori yang menjelaskan hubungan pemegang
saham dengan agen atau pihak yang diberi tugas untuk mengelola
perusahaan. Agen ini merupakan tenaga profesional yang akan
menjalankan operasional dan mengambil alih untuk mengatur aktivitas
perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan.
Adanya seorang agen menyebabkan terpisahnya dua kelompok
berkepentingan di dalam perusahaan, yaitu antara kelompok pemegang
saham dan agen itu sendiri. Pemegang saham memiliki hak untuk
mendapatkan dividen atas pengelolaan dana yang sudah diserahkan
kepada perusahaan. Sedangkan agen memiliki hak untuk mendapatkan
insentif sebagai balas jasa saat menjalankan tugas yang sesuai dengan
kepentingan perusahaan (Rachman dkk., 2015).
Brigham dan Houston (2006) menyatakan bahwa teori keagenan
dijadikan sebagai dasar perspektif untuk memahami tentang proses
pengelolaan perusahaan serta menjelaskan hubungan antara pihak
manajemen (agen) dan pemegang saham. Hubungan agen terjadi ketika
seseorang atau lebih menyewa individu lain atau organisasi untuk
melakukan sejumlah jasa dan melimpahkan kewenangan untuk membuat
keputusan kepada agen tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang teori keagenan tersebut,
maka dapat diketahui bahwa agen merupakan suatu pihak yang memiliki
tugas utama untuk mengatur dan mengelola kegiatan perusahaan, dimana
pihak ini memiliki kepentingan yang berbeda dengan pemegang saham.
Tugas yang diberikan kepada agen tersebut memiliki tujuan untuk
meningkatkan nilai perusahaan, dan sebagai imbalan atas pelaksanaan
tugasnya,maka agen memiliki hak untuk mendapatkan insentif atas
perannya yang telah memaksimalkan profit perusahaan.
2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)
Teori sinyal dikemukakan oleh Ross pada tahun 1977. Ross
(1977), mengungkapkan bahwa pihak internal perusahaan memiliki
informasi yang lebih baik mengenai kondisi perusahaan yang dikelolanya
dan akan terdorong untuk mempublikasikan informasi tersebut untuk
menarik para calon investornya agar berkenan menanamkan modalnya
sehingga nantinya akan mempengaruhi peningkatan harga saham dari
perusahaan tersebut. Sinyal yang diperoleh pihak investor dapat dapat
memberikan sinyal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik
(good news) atau sebaliknya sinyal buruk (bad news) di masa mendatang.
Informasi keuangan yang disampaikan manejemen perusahaan khususnya
yang terdapat dalam komponen laporan laba rugi diharapkan dapat
memberikan sinyal yang baik pada pemangku kepentingan.Teori ini
menunjukkan bahwa suatu informasi yang lengkap, akurat, tepat dan
relevan yang dikeluarkan oleh perusahaan sangat penting dan dibutuhkan
oleh investor karena dapat menentukan keputusan investasi dari investor.
Pihak manajemen perusahaan berusaha menyampaikan informasi
keuangan melalui laporan keuangan yang dipublikasikan mengenai
implementasi konservatisme akuntansi pada perusahaan agar laba yang
dihasilkan lebih berkualitas, sebab prinsip tersebut dapat mencegah
perusahaan dalam melakukan tindakan yang melebih-lebihkan atau dapat
dikatakan bahwa aktiva dan laba yang disampaikan tidak overstate
(Lestari, 2017). Informasi mengenai hasil kinerja keuangan perusahaan
yang dipublikasi adalah salah satu bentuk tanggung jawab manajemen
perusahaan dalam mengelola perusahaan, mengingat manajemen
perusahaan merupakan pihak penghimpun dana dari investor.
Dorongan untuk mengemukakan informasi akuntansi tersebut
karena terdapat asimetri informasi antara manajemen (agent) dan
stakeholder (principal). Ketidaksamaan informasi adalah situasi di mana
manajer memiliki informasi yang lebih baik mengenai kondisi atau
prospek perusahaan daripada yang dimiliki investor. Pihak manejemen
perusahaan dapat mengurangi asimetri informasi dengan meningkatnya
kualitas informasi keuangan yang disampaikan oleh pihak manajemen
perusahaan (Karina & Khafid, 2015) yang akan meningkatkan
kepercayaan investor. Dengan demikian, teori sinyal mendukung
keberadaan variabel leverage dan ukuran perusahaan untuk menjelaskan
pengaruhnya terhadap manajemen laba.
2.2 Kajian Variabel Penelitian
2.2.1 Manajemen Laba
a. Definisi dan Konsep Manajemen Laba
Manajemen laba merupakan upaya manajer dalam menurunkan
maupun menaikkan profit yang disajikan dari unit tanggungjawabnya
untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Sulistiawan (2011:41)
mengemukakan pola manajemen laba bisa dijalankan melalui berbagai
cara antara lain Pola Income Minimization, yaitu mengupayakan laba
periode tahun berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Pola Taking a
Bath, pola ini dilakukan dengan mengatur profit perusahaan pada tahun
berjalan menjadi lebih tinggi maupun rendah dari pada profit periode
tahun sebelumnya. Pola Income smoothing ini dijalankan dengan cara
mengurangi fluktuasi laba sehingga laporan cenderung stabil.
Sulistyanto (2008:74) “menyatakan bahwa manajemen laba
merupakan sebuah perilaku manajer untuk bermain-main dengan
komponen akrual yang discretionary untuk menentukan besar kecilnya
laba perusahaan, sebab standar akuntansi memang menyediakan
beberapa alternatif metode dan prosedur yang bisa untuk dimanfaatkan”.
Dalam standar akuntansi, upaya seperti ini diperbolehkan serta diakui
selama perusahaan mampu mengungkapkan secara jelas apa yang
dilakukan dalam laporan keuangan. Walaupun kewajiban dalam
mengungkapkan semua metode dan prosedur akuntansi belum mampu
untuk mengeliminasi upaya kecurangan yang dilakukan oleh manajer
untuk memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri.
b. Indikator Manajemen Laba
Terdapat beberapa model empiris yang digunakan untuk dapat
mendeteksi manajemen laba pada suatu perusahaan. Model empiris untuk
mendeteksi manajemen laba pertama kali dikembangkan oleh Healy, De
Angelo, model Jones serta model Jones dimodifikasi (Sulistyanto, 2008).
1. Model Healy
Healy pertama kali mengembangkan model empiris untuk mendeteksi
manajemen laba pada tahun 1985. Model ini menghitung nilai total
akrual (TAC) untuk mendeteksi manajemen laba dengan cara
mengurangi laba akuntansi yang diperoleh dengan arus kas operasi
dalam satu periode tertentu.
2. Model De Angelo
Model de angelo dikembangkan oleh De Angelo tahun 1986. Dalam
model ini untuk menghitung total akrual (TAC) dengan cara
menyelisihkan antara laba akuntansi yang diperoleh dengan arus kas
periode berangkutan.
3. Model Jones
Model ini dikembangkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Jones.
Model jones mencoba mengonrol pengaruh perubahan keadaan
ekonomi perusahaan pada non discretionary accrual.
4. Model Jones Dimodifikasi
Model jones dimodifikasi ini memperbaiki dari model sebelumnya
yang fungsinya untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang ada
pada model jones.
2.2.2 Profitabilitas
a. Definisi dan Konsep Profitabilitas
Sudarmadji dan Sularto, 2007 menyebutkan profitabilitas adalah
aspek kinerja manajer ketika mengolah aset yang diperuntukkan
menghasilkan laba. Tingkat profitabilitas tinggi mengindikasikan
keberhasilan dan pemantauan perusahaan terlaksana baik, sehingga
dengan profitabilitas rendah mengidentifikasi kinerja perusahaan kurang
baik di mata pricipal.
Sehingga bisa dikatakan makin tinggi rasio profitabilitas
menimbulkan semakin baik pengelolaan asetnya untuk menghasilkan
laba. Kedepannya diharapkan dapat menarik minat investor, selain itu
jumlah pengembalian dinilai semakin besar dan semakin tinggi rasio
yang didapatkan hasilnya semakin baik pengelolaan asetnya.
Menurut Sartono (2012:122) “menyatakan bahwa rasio
profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan memperoleh laba
dalam hubungannya dengan modal sendiri, total aktiva maupun
penjualan. Rasio profitabilitas memiliki tujuan serta manfaat tidak hanya
bagi pihak internal saja, namun juga bagi pihak eksternal atau diluar
perusahaan, terutama pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan
perusahaan”.
b. Indikator Profitabilitas
Terdapat beberapa rasio yang dapat digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Menurut Horne
dan Wachowicz (2005) rasio profitabilitas perusahaan dikategorikan
menjadi dua jenis yaitu rasio yang berkaitan dengan penjualan dan rasio
yang berkaitan dengan investasi.
1. Profitabilitas dalam kaitannya dengan penjualan.
Rasio yang menunjukkan perbandingan antara laba yang
diperoleh perusahaan dengan jumlah penjualan yang dicapai antara
lain adalah rasio margin laba kotor dan rasio margin laba bersih.
2. Profitabilitas dalam kaitannya dengan investasi.
Rasio profitabilitas dalam kaitannya dengan investasi antara
lain yaitu rasio tingkat pengembalian atas aset (return on asset) dan
rasio tingkat pengembalian atas investasi (return on invesment). ROA
dan ROI adalah raio profitabilitas yang menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba yang diperoleh dari penggunaan
aktiva.
Pengukuran lain yang dapat digunkan untuk melihat seberapa
perusahaan mampu menghasilkan laba adalah dengan melihat
pengembalian atas ekuitas (return on equity). ROE menunjukkan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba atas investasi
berdasarkan nilai buku para pemegang saham.
2.2.3 Leverage
a. Definisi dan Konsep Leverage
Leverage adalah perbandingan antara jumlah aktiva dengan
jumlah kewajiban perusahaan. Jumlah aktiva yang dibiayai dengan utang
ditunjukkan oleh rasio leverage. Semakin besar nilai leverage artinya
resiko investor semakin tinggi dimana investor nantiya menuntut
keuntung yang lebih besar.
Rasio Leverage mengindikasikan besarnya aktiva yang diperoleh
dari utang untuk biaya investasi serta aktifitas operasional. Menurut
Ma’ruf dalam Guna dan Herawati (2010) dana dari hasil hutang dapat
meningkatan resiko perusahaan. Sehingga, semakin besar penggunaan
hutang maka tingkat hutang atau Leverage perusahaan jadi semakin besar
demikian pula risikonya bagi perusahaan.
Menurut Sudana (2011:157) “leverage timbul dikarenakan
perusahaan dalam operasinya menggunakan aktiva serta sumber dana
yang menimbulkan beban tetap bagi perusahaan”.
Kegunaan dari rasio leverage menurut Jumingan (2006:227) yaitu:
1. Mengetahui kondisi entitas terhadap seluruh kewajibannya kepada
pihak lain.
2. Mengetahui kemampuan entitas untuk memenuhi kewajiban yang
bersifat tetap.
3. Mengetahui keseimbangan antara nilai aset dengan modal yang
dimiliki entitas
b. Indikator Leverage
Menurut Kasmir (2016) ada tiga indikator untuk megetahui rasio
leverage dalam suatu perusahaan.
1. Debt to Asset Ratio (DAR)
DAR merupakan ratio untuk mengukur besar total aktiva yang
dibiayai oleh kreditur perusahaan. Dengan demikian, DAR mampu
menunjukkan seberapa besar hutang berpengaruh terhadap
pengelolaan aktiva. Rasio hutang terhadap total aktiva ini didapat
dari membagi total hutang perusahaan dengan total aktivanya.
2. Debt to Equity Ratio (DER)
DER digunakan untuk menunjukkan seberapa besar modal sendiri
yang dapat dijadikan untuk jaminan hutang. DER didapat dengan
membandingkan antara total hutang dan ekuitas pemegang saham.
3. Long Term Debt to Equity Ratio (LTDtER)
Long Term Debt to Equity Ratio (LTDtER) adalah rasio untuk
mengukur seberapa besar modal sendiri mampu dijadikan jaminan
untuk melunasi kewajiban jangka panjang.
2.2.4 Ukuran Perusahaan
a. Definisi dan Konsep Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan “suatu skala dimana suatu
perusahaan dapat diklasifikasikan besar atau kecilnya menurut
berbagai cara antara lain dengan log size, total aktiva, nilai pasar
saham dan lain-lain. Besar kecilnya suatu perusahaan akan
mempengaruhi kemampuan dalam menanggung risiko yang
mungkin timbul dari berbagai situasi yang dihadapi oleh
perusahaan. Perusahaan besar mempunyai risiko yang lebih rendah
dari perusahaan kecil. Hal ini karena kondisi pasar perusahaan
besar mempunyai kontrol yang lebih baik, sehingga mereka
mampu bersaing dalam pasar. Selain itu perusahaan besar memiliki
sumber daya yang lebih banyak untuk meningkatkan nilai
perusahaan karena memiliki akses yang baik terhadap sumber
informasi eksternal dibandingkan dengan perusahaan kecil”
(Yunita, 2011).
Riyanto (1995) menyatakan bahwa ukuran perusahaan
merupakan besar kecilnya perusahaan yang dilihat dari besarnya
nilai ekuitas, nilai perusahaan, ataupun hasil nilai total aktiva dari
suatu perusahaan. Ukuran perusahaan dapat dilihat dari total aset
yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan untuk kegiatan
perusahaan. Perusahaan dengan aset yang besar akan lebih
memudahkan manajer keuangan dalam menggunakan aset
perusahaan, jika dilihat dari sisi manajer yang akan
memudahkannya untuk mengendalikan perusahaan guna
meningkatkan nilai perusahaan (Abidin dkk., 2014).
Pramesti, dkk. (2014) berpendapat bahwa aktiva biasanya
menjadi tolok ukur besar tidaknya suatu perusahaan. Perusahaan
besar biasanya mempunyai aktiva yang juga besar. Secara teoretis,
perusahaan yang besar akan mempunyai kepastian yang lebih besar
daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi tingkat
ketidakpastian investasi. Hal ini dapat membantu investor untuk
memprediksi risiko yang akan didapatkan ketika memutuskan
untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ukuran perusahaan merupakan suatu indikator untuk menilai
perusahaan dengan cara melihat dari besar kecilnya aset yang
dimiliki perusahaan, termasuk di dalamnya tentang bagaimana
kemampuan perusahaan untuk mengelola dana atau kekayaan
yang dimilikinya dalam memperoleh keuntungan guna
menyejahterakan para pemegang saham.
b. Indikator Ukuran Perusahaan
Menurut Restuwulan (2013), ukuran perusahaan dapat
dilihat dari beberapa aspek antara lain:
1. Jumlah tenaga kerja. Banyak tenaga kerja dalam sebuah
perusahaan dapat berupa pegawai tetap maupun pegawai
kontrak yang terdaftar atau bekerja di perusahaan tersebut.
2. Tingkat penjualan. Ukuran perusahaan dapat dilihat dari
banyaknya penjualan yang diperoleh perusahaan pada
periode tertentu.
3. Total hutang ditambah nilai pasar saham biasa. Ukuran
perusahaan dengan indikator ini dapat diukur dengan
menjumlahkan hutang perusahaan pada periode tertentu dan
nilai pasar saham biasa perusahaan pada waktu yang
bersangkutan.
4. Total aset. Besarnya total aset yang dimiliki perusahaan
mampu memberikan gambaran besar kecilnya perusahaan
tersebut.
2.2.5 Kebijakan Deviden

a. Definisi dan Konsep Ukuran Perusahaan


Syamsudin (2011) menyatakan bahwa dividen adalah suatu
pembayaran yang bersifat permanen atas modal yang telah
diserahkan oleh pemegang saham atau pemilik perusahaan.
Kebijakan dividen menurut Mulyawan (2015) merupakan suatu
kebijakan untuk membagikan laba perusahaan kepada para
pemegang saham dalam bentuk dividen atau justru menahannya
dalam bentuk laba ditahan yang kemudian digunakan kembali
sebagai investasi pada masa yang akan datang. Kebijakan dividen
merupakan aksi perusahaan yang perlu dilaksanakan perusahaan
karena kebijakan ini menyangkut banyaknya keuntungan para
pemegang saham saat melakukan investasi. Keuntungan yang
diperoleh pemegang saham ini akan berkaitan dengan tujuan utama
perusahaan yakni untuk meningkatkan kesejahteraan para
pemegang saham (Sumarsono, 2012).
Berdasarkan pengertian di atas, kebijakan dividen memiliki
definisi sebagai penentu kesejahteraan para pemegang saham
karena berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk melakukan
tingkat pengembalian dana investasi dalam bentuk dividen kepada
para pemegang saham maupun dalam bentuk laba ditahan untuk
diinvestasikan kembali pada masa yang akan datang. Kebijakan ini
menjadi hal penting yang perlu diperhatikan perusahaan karena
menyangkut tentang kepentingan para pemegang saham dan
manajer perusahaan.
b. Indikator Kebijakan Dividen
Laba yang dihasilkan perusahaan mempunyai dua alternatif
perlakuan, yaitu; pertama, dibagikan kepada pemegang saham dalam
bentuk dividen; kedua, diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagi
laba ditahan. Besarnya pembagian laba yang akan dibagikan kepada
pemegang saham biasa disebut dengan kebijakan dividen. Kebijakan
dividen dapat dilihat melalui dividend payout ratio (DPR).
2.2.6 Kepemilikan Manajerial
a. Definisi dan Konsep Kepemilikan Manajerial
Bodie (2006) mendefinisikan kepemilikan manajerial
merupakan bentuk pemisahan kekayaan antara pihak internal dan
eksternal perusahaan. Para pemegang saham yang terdiri atas
beberapa individu atau kelompok yang berbeda membuat
perusahaan membutuhkan dewan komisaris untuk mengawasi
kegiatan perusahaan. Struktur kepemilikan tersebut
mendefiniskan bahwa adanya perbedaan antara pemilik dan
manajer perusahaan sebagai pelaksana kegiatan. Oleh karena itu,
adanya perbedaan kepemilikan ini dapat memberi stabilitas bagi
perusahaan yang tidak dimiliki oleh perusahaan dengan pemilik
merangkap manajer.
Salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya agency
problem antara pihak agen dan pihak pemegang saham adalah
pemberian insentif pada manajer sekaligus memberi kesempatan
pada manajer tersebut untuk ikut serta dalam kepemilikan saham
perusahaan. Adapun pihak manajerial yang dimaksud disini
adalah termasuk direktur dan komisaris yang memiliki
keterlibatan secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
perusahaan (Fadah, 2008).
Kepemilikan manajerial memiliki kaitan erat dengan
saham yang dimiliki oleh para manajer perusahaan. Pengambilan
keputusan perusahaan perlu dilakukan oleh seorang manajer
untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Manajer yang
sekaligus menjadi pemegang saham akan berusaha untuk
meningkatkan nilai perusahaan, karena jika nilai perusahaan
bertambah maka tingkat pengembalian yang mereka dapatkan
juga tinggi. (Brigham dan Houston, 2011; Dewi dkk., 2018).
Berdasarkan pengertian di atas, kepemilikan manajerial
merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan antara
kepentingan manajer, pemegang saham dan perusahaan. Seorang
manajer yang kemudian juga berperan sebagai pemegang saham
perusahaan akan berpengaruh terhadap tindakan mereka saat
melaksanakan kebijakan perusahaan. Hal ini dikarenakan para
manajer tersebut akan berusaha untuk meningkatkan keuntungan
perusahaan. Ketika perusahaan mengalami pertambahan
kekayaan, maka nilai perusahaan akan ikut meningkat yang akan
berujung pada meningkatnya tingkat pengembalian yang akan
diperoleh oleh para pemegang saham.
b. Indikator Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial dapat dicari dengan membandingkan
jumlah saham yang dimiliki manajemen/direktur dari total saham
yang beredar (Khafid, 2012).
2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Kesamaan
No Peliti, Tahun Variabel Hasil
Variabel
1 (Mutmainah,zarah Dependen : Dependen : Hasil penelitian
Y (Manajemen Y (Nilai menunjukkan
puspitaningtyas,yeni laba) Perusahaan) bahwa kebijakan
puspita, 2019) Independen : Independen :
dividen dan
X1 (profitabilitas) X1 (Kebijakan
keputusan
X2 (Leverage) Deviden)
investasi
X3 (Ukuran X3(Ukuran
memiliki
Perusahaan) Perusahaan)
X4 (kebijakan pengaruh yang
X4(Kepemilikan
dividen) positif dan
Manajerial)
signifikan
Moderating : terhadap nilai
Z (Kepemilikan perusahaan.
Manajerial) Sedangkan
ukuran
perusahaan dan
kepemilikan
manajerial
memiliki
pengaruh yang
negatif dan
signifikan
terhadap nilai
perusahaan.
2 (Veni Zakia, 2019) Dependen : Dependen : variabel ukuran
Y (Manajemen Y (Manajemen perusahaan,
laba) Laba) profitabilitas,
Independen : Independen : pertumbuhan
X1 (profitabilitas) X1(Kepemilikan penjualan dan
X2 (Leverage) Manajerial) komite audit
X3 (Ukuran X3(Ukuran berpengaruh
Perusahaan) Perusahaan) positif signifikan
X4 (kebijakan X4(Leverage) terhadap
dividen) X5(Profitabilitas) manajemen laba.
Sedangkan
Moderating : variabel
Z (Kepemilikan kepemilikan
Manajerial) manajerial,
kepemilikan
institusional dan
leverage tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
manajemen laba di
perusahaan
manufaktur yang
terdaftar pada BEI
2016-2017. Good
corporate
governance
dengan proksi
komite audit tidak
berpengaruh
terhadap interaksi
kepemilikan
manajerial dengan
manajemen laba,
interaksi
kepemilikan
institusional
dengan
manajemen laba,
interaksi leverage
dengan
manajemen laba,
interaksi
profitabilitas
dengan
manajemen laba,
interaksi
pertumbuhan
penjualan dengan
manajemen laba di
perusahaan
manufaktur yang
terdaftar pada BEI
2016-2017, Good
corporate
governance
dengan proksi
komite audit
memperkuat
pengaruh ukuran
perusahaan
terhadap
manajemen laba
pada perusahaan
manufaktur yang
terdaftar di BEI
2016-2017
3 (Lina Budi Utami, Dependen : Dependen : variabel
2018) Y (Manajemen Y (Manajemen independen
laba) Laba)
Independen : Independen : kepemilikan
X1 (profitabilitas) X2(Leverage) institusional dan
X2 (Leverage) X3(Profitabilitas) leverage tidak
X3 (Ukuran berpengaruh
Perusahaan)
signifikan
X4 (kebijakan
dividen) terhadap
manajemen laba.
Moderating : tetapi
Z (Kepemilikan
profitabilitas
Manajerial)
signifikan dengan
manajemen laba.
Kepemilikan
manajerial juga
tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
manajemen laba,
artinya variabel
moderasi tidak
dapat
memperkuat atau
memperlemah
hubungan
variabel
independen
terhadap variabel
dependen.
2.3 Kerangka Pemikiran

Profitabilitas
(X1) H1

Leverage H2
(X2)

Ukuran Perusahaan H3 Kinerja


(X3) H1 Karyawan
(Y)
H4
Kebijakan Dividen H5 H6 H7 H8
(X4)
Kepemilikan
Managerial
(Z)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.4 Pengembangan Hipotesis


Hipotesis merupakan jawaban sementara dari perumusan masalah.
Dari masalah diatas maka dapat dibuat suatu hipotesis atau dugaan sementara
yang mendukung pemecahan permasalahan tersebut.
H1 : Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba.
H2 : Leverage berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba.
H3 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen
laba.
H4 : Kebijakan dividen berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen
laba.
H5 :Kepemilikan manajerial memoderasi secara signifikan pengaruh
profitabilitas terhadap manajemen laba.

H6 : Kepemilikan manajerial memoderasi secara signifikan pengaruh leverage


terhadap manajemen laba.
H7 : Kepemilikan manajerial memoderasi secara signifikan pengaruh ukuran
perusahaan terhadap manajemen laba.
H8 : Kepemilikan manajerial memoderasi secara signifikan pengaruh
kebijakan dividen terhadap manajemen laba.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian dan Sumber Data


Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif dengan
menggunakan data sekunder yang di ambil dari perusahaan sektor industri
barang konsumsi yang terdaftar di BEI.
3.2 Variabel dan Defenisi Operasional Variabel
3.2.1 Variabel Penelitian
Menurut (Sugiyono, 2015) variabel penelitian adalah suatu atribut
atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga jenis
variabel, yaitu variabel independen, variabel Moderator dan variabel
dependen. Berdasarkan telaah pustaka dan perumusan hipotesis, maka
peneliti menetapkan variabel dalam penelitian ini antara lain:
1. Variabel Independen
Variabel ini sering disebut variabel stimulus, predictor dan
antecedent. Dalam bahasa Indonesia disebut sebagai variabel bebas.
Sugiyono (2013: 4) mengemukakan bahwa variabel bebas
merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Dalam penelitian
ini, Pengaruh Profitabilitas (X1), Leverage (X2), Ukuran perusahaan
(X3), Kebijakan Deviden (X4) ditetapkan peneliti sebagai variabel
bebas atau independen.
2. Variabel Dependen
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013: 4).
Variabel dependen adalah variabel yang menjadi pusat perhatian
peneliti. Dalam penelitian ini peneliti menetapkan Manajemen Laba
(Y) sebagai variabel terikat atau dependen.
3. Variabel Moderating
Variabel moderating adalah variabel yang menjadi penentu pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen dimana
keberadannya akan dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen. Semakin besar
nilai variabel moderating, maka semakin besar pula koefisien
pengaruh variabel independen terhadap dependen, dan demikian
pula sebaliknya (Wahyudin, 2015). Dalam penelitian ini peneliti
menetapkan Kepemilikan Manajerial (Z) sebagai variabel
Moderating.
3.2.2 Defenisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel merupakan petunjuk tentang
bagaimana suatu variabel di ukur, sehingga peneliti dapat mengetahui baik
buruknya pengukuran tersebut. Adapun definisi operasional dalam
penelitian ini adalah :
1. Manajemen Laba (Y)
Sulistyanto (2008:74) “menyatakan bahwa manajemen laba
merupakan sebuah perilaku manajer untuk bermain-main dengan
komponen akrual yang discretionary untuk menentukan besar kecilnya
laba perusahaan, sebab standar akuntansi memang menyediakan
beberapa alternatif metode dan prosedur yang bisa untuk dimanfaatkan”.
Dalam standar akuntansi, upaya seperti ini diperbolehkan serta diakui
selama perusahaan mampu mengungkapkan secara jelas apa yang
dilakukan dalam laporan keuangan. Walaupun kewajiban dalam
mengungkapkan semua metode dan prosedur akuntansi belum mampu
untuk mengeliminasi upaya kecurangan yang dilakukan oleh manajer
untuk memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri.
2. Profitabilitas (X1)
Sudarmadji dan Sularto, 2007 menyebutkan profitabilitas adalah
aspek kinerja manajer ketika mengolah aset yang diperuntukkan
menghasilkan laba. Tingkat profitabilitas tinggi mengindikasikan
keberhasilan dan pemantauan perusahaan terlaksana baik, sehingga
dengan profitabilitas rendah mengidentifikasi kinerja perusahaan kurang
baik di mata pricipal. Sehingga bisa dikatakan makin tinggi rasio
profitabilitas menimbulkan semakin baik pengelolaan asetnya untuk
menghasilkan laba. Kedepannya diharapkan dapat menarik minat
investor, selain itu jumlah pengembalian dinilai semakin besar dan
semakin tinggi rasio yang didapatkan hasilnya semakin baik pengelolaan
asetnya.

ROA= Laba Bersih Setelah Pajak


Total Aset

3. Leverage (X2)
Leverage adalah perbandingan antara jumlah aktiva dengan jumlah
kewajiban perusahaan. Jumlah aktiva yang dibiayai dengan utang
ditunjukkan oleh rasio leverage. Semakin besar nilai leverage artinya
resiko investor semakin tinggi dimana investor nantiya menuntut
keuntung yang lebih besar. Rasio Leverage mengindikasikan besarnya
aktiva yang diperoleh dari utang untuk biaya investasi serta aktifitas
operasional.
Menurut Ma’ruf dalam Guna dan Herawati (2010) dana dari hasil
hutang dapat meningkatan resiko perusahaan. Sehingga, semakin besar
penggunaan hutang maka tingkat hutang atau Leverage perusahaan jadi
semakin besar demikian pula risikonya bagi perusahaan.
DER= Total Hutang
Total Equity

4. Ukuran Perusahaan (X3)


Ukuran perusahaan merupakan “suatu skala dimana suatu
perusahaan dapat diklasifikasikan besar atau kecilnya menurut berbagai
cara antara lain dengan log size, total aktiva, nilai pasar saham dan lain-
lain. Besar kecilnya suatu perusahaan akan mempengaruhi kemampuan
dalam menanggung risiko yang mungkin timbul dari berbagai situasi
yang dihadapi oleh perusahaan. Perusahaan besar mempunyai risiko
yang lebih rendah dari perusahaan kecil. Hal ini karena kondisi pasar
perusahaan besar mempunyai kontrol yang lebih baik, sehingga mereka
mampu bersaing dalam pasar. Selain itu perusahaan besar memiliki
sumber daya yang lebih banyak untuk meningkatkan nilai perusahaan
karena memiliki akses yang baik terhadap sumber informasi eksternal
dibandingkan dengan perusahaan kecil” (Yunita, 2011).
Size = Ln (Total Aset)

5. Kebijakan Deviden (X4)


Syamsudin (2011) menyatakan bahwa dividen adalah suatu
pembayaran yang bersifat permanen atas modal yang telah diserahkan
oleh pemegang saham atau pemilik perusahaan.
Kebijakan dividen menurut Mulyawan (2015) merupakan suatu
kebijakan untuk membagikan laba perusahaan kepada para pemegang
saham dalam bentuk dividen atau justru menahannya dalam bentuk laba
ditahan yang kemudian digunakan kembali sebagai investasi pada masa
yang akan dating.
DPR = Dividend Per Share
Earning Per Share

6. Kepemilikan Manajerial (Z)


Kepemilikan manajerial adalah “suatu kondisi dimana manajer
memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer tersebut
sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan” (Tarigan dan Christiawan,
2007:2). Sedangkan menurut Wahidahwati (2002:607) mendefinisikan
“kepemilikan manajerial sebagai tingkat kepemilikan saham pihak
manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, misalnya
direktur, manajemen dan komisaris”.
KM = Jumlah saham manajerial x 100%
Jumlah saham yang beredar
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Menurut (Sugiyono, 2015) Populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas: objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan. Populasi penelitian merupakan sekumpulan objek yang
dikumpulkan melalui suatu kriteria tertentu yang akan dikategorikan ke
dalam objek. Objek tersebut bisa termasuk orang dokumen atau catatan
yang dipandang sebagai objek penelitian.
Dari pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa populasi bukan
sekedar jumlah yang ada pada objek atau subjek yang akan dipelajari, tetapi
meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh objek atau subjek
tersebut.
3.3.2 Sampel
Menurut (Sugiyono, 2015) Sampel adalah bagian dari juamlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan
peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,
misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat
menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari
dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi.
Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif
(mewakili).
3.4 Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Analisis data yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi:
3.4.1 Analisis Deskriptif
Menurut (Sugiyono, 2015), analisis deskriptif digunakan untuk
menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data
yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran
atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar
deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range, kurtosis, dan skewness
(kemencengan distribusi). Analisis statistik deskriptif yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan melihat nilai minimum, nilai maksimum, nilai
rata-rata dan standar deviasi masing-msing variabel.
3.4.2 Uji Asumsi Klasik
Mengingat data penelitian yang digunakan adalah sekunder, maka
untuk memenuhi syarat yang ditentukan sebelum uji hipotesis melalui uji t
dan uji F maka perlu dilakukan pengujian atas beberapa asumsi klasik yang
digunakan yaitu normalitas, mulltikolinieritas, autokolerasi, dan
heteroskedastisitas yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
3.4.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas ini menggunakan uji statistik nonparametrik
kolmgrov-smirnov (K- S), yaitu dengan kriteria pengujian signifikansi
0,05. Uji normalitas berguna ini untuk menguji residual apakah
terdistribusi secara normal dengan signifikansi > 0,05 atau terdistribusi
secara tidak normal dengan signifikansi < 0,05
3.4.2.2 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel
independen. Indikasi yang umum digunakan untuk mengetahui ada tidakya
multikolinearitas adalah dengan melihat nilai tolerance dan varian
inflation factor (VIF). Apabila nilai VIF tidak lebih dari 10 dan nilai
tolerance tidak kurang dari 0,1 maka dikatakan tidak terjadi
multikolinearitas.
Nilai Tolerance> 0,10 dan VIF < 10
3.4.2.3 Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas adalah untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidak variance dari residual satu pengamatan yang lain.
Cara untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan melihat
grafik scatterplot. Dasar analisis grafik scatterplot adalah jika pola
tertentu, seperti titik-titik yang membentuk pola tertentu yang teratur
(bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengidikasikan
telah terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-
titik menyebar di atas dan dibawah angka pada sumbu Y, maka tidak
terjadi heteroskedastisitas.
3.4.3 Analisis Korelasi dan Regresi Berganda
Model persamaan regresi linear berganda yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = α + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e
Keterangan :
Y = Nilai perusahaan
α = Nilai konstanta
b1,b2,b3 = Koefisien regresi
X1 = Kebijakan dividen
X2 = Keputusan investasi
X3 = Ukuran perusahaan
X4 = Kepemilikan manajerial
e = Standar error
3.4.3.1 Koefisien Determinasi
Besaran dari koefisien determinasi atau R2 adalah 0 < R2 < 1.
Semakin besar koefisien determinasi dalam penelitian (mendekati 1), maka
semakin baik hasil dari model regresi. Sebaliknya, koefisien determinasi
yang kecil (mendekati 0) maka akan semakin terbatas model regresi
variabel independen untuk memberikan informasi dalam memprediksi
variabel dependen.
3.4.3.2 Uji F
Uji F berfungsi untuk mengetahui pengaruh variabel independen
terhadap dependen, apakah memiliki pengaruh atau tidak berpengaruh
secara simultan. Uji hipotesis ini menggunakan taraf kepercayaan sebesar
5% atau 0,05. Jika hasil perhitungan uji F lebih besar dari nilai F di dalam
tabel maka variabel dependen dinyatakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dependen..

3.4.3.3 Uji t
Uji t berguna untuk signifikansi pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen secara parsial. Uji hipotesis ini menggunakan
taraf signifikansi sebesar 5% atau 0,05. Jika hasil perhitungan uji t
memiliki nilai lebih kecil dari taraf signifikansi maka dapat dikatakan
bahwa variabel independen memiliki pengaruh secara parsial terhadap
variabel dependen.

Anda mungkin juga menyukai