Islam di Indonesia
2. Kerajaan Aceh
Kerajaan Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang
didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528),
menjadi penting karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya
Kerajaan Malaka.
Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang).
Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah
kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di
bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.
Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh
mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-
1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan
dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri,
Pulau Bintan, dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-
undang tata pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
Corak pemerintahannya terdiri atas :
Pemerintahan sipil oleh golongan bangsawan (teuku).
Pemerintahan agama oleh golongan ulama (tengku).
Berikut ini beberapa tindakan yang dilakukan Iskandar Muda untuk memperkuat
kerajaan Aceh.
Memperluas daerah kekuasaan ke Semeranjung Malaka dengan dikuasainya
kerajaan Kedah, Perak, Johor, dan Pahang. Daerah pantai barat dan timur
Sumatera dikuasainya sampai ke Pariaman yang merupakan jalur masuk Islam
ke Minaangkabau.
Untuk memperlemah kekuasaan Portugis, Iskandar Muda membuka kerja sama
dengan Belanda dan lnggris dengan mengizinkan kongsi dagang mereka, yaitu
VOC dan EIC untuk membuka kantor cabangnya di Aceh.
Menyerang Portugis di Malaka dan sempat mengalahkan Portugis di Pulau
Bintan pada tahun 1614.Mendirikan
Masjid Baiturrahman di pusat ibukota kerajaan Aceh.
Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu
mengendalikan Aceh. Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan
Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri
Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah
akibat pertikaian antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran
syiah dan sunnah wal jama’ah. Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada
tahun 1904.
Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan
internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang
Islam.
Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan
ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli
tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-
Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil.
Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke
Jawa.
Dalam kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa
kejayaannya. Dengan menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh
menjadi kerajaan yang kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan
timah serta rempah-rempah.
3. Kerajaan Demak
Awal Perkembangan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak
sebelumnya merupakan daerah vasal atau bawahan dari Majapahit. Daerah ini
diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja Majapahit yang terakhir.
Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit melemah, Raden Patah memisahkan diri
sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478 M. Dengan dukungan dari para bupati,
Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak dengan gelar Senopati Jimbung
Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sejak saat itu,
kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat. Wilayahnya
cukup luas, hampir meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Sementara itu,
daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa, seperti ke Palembang, Jambi, Banjar, dan
Maluku.
Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Pada tahun 1507 M, Raja Demak pertama, Raden Patah mangkat dan
digantikan oleh putranya Pati Unus. Pada masa pemerintahan Pati Unus, Demak dan
Portugis bermusuhan, sehingga sepanjang pemerintahannya, Pati Unus hanya
memperkuat pertahanan lautnya, dengan maksud agar Portugis tidak masuk ke Jawa.
Setelah mangkat pada tahun 1521, Pati unus digantikan oleh adiknya Trenggana.
Setelah naik takhta, Sultan Trenggana melakukan usaha besar membendung
masuknya portugis ke Jawa Barat dan memperluas kekuasaan Kerajaan Demak.
Beliau mengutus Faletehan beserta pasukannya untuk menduduki Jawa Barat.
Dengan semangat juang yang tinggi, Faletehan berhasil menguasai Banten dan Sunda
Kelapa lalu menyusul Cirebon. Dengan demikian, seluruh pantai utara Jawa akhirnya
tunduk kepada pemerintahan Demak. Faletehan kemudian diangkat menjadi raja di
Cirebon. Pasukan demak terus bergerak ke daerah pedalaman dan berhasil
menundukkan Pajang dan Mataram, serta Madura. Untuk memperkuat
kedudukannya, Sultan Trenggana melakukan perkawinan politik dengan Bupati
Madura, yakni mengawinkan Putri Sultan Trenggana dengan Putra Bupati Madura,
Jaka Tingkir. Sultan Trenggana mangkat pada tahun 1546 M.
Mangkatnya Beliau menimbulkan kekacauan politik yang hebat di Demak.
Negara bagian banyak yang melepaskan diri, dan para ahli waris Demak juga saling
berebut tahta sehingga timbul perang saudara dan muncullah kekuasaan baru, yakni
Kerajaan Pajang.
Aspek Kehidupan Sosial dan Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak telah berjalan teratur.
Pemerintahan diatur dengan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama
begitu saja. Hasil kebudayaan Demak merupakan kebudayaan yang berkaitan dengan
Islam. Seperti ukir-ukiran Islam dan berdirinya Masjid Agung Demak yang masih
berdiri sampai sekarang. Masjid Agung tersebut merupakan lambang kebesaran
Demak sebagai kerajaan Islam.
Aspek Kehidupan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Demak berperan penting karena mempunyai daerah
pertanian yang cukup luas dan sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras.
Selain itu, perdagangannya juga maju. Komoditas yang diekspor, antara lain beras,
madu, dan lilin.
Keruntuhan Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan karena pembalasan dendam yang
dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang bekerja sama dengan Bupati Pajang
Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Mereka berdua ingin menyingkirkan Aria Penansang
sebagai pemimpin Kerajaan Demak karena Aria Penansang telah membunuh suami
dan adik suami dari Ratu Kalinyamat. Dengan tipu daya yang tepat mereka berhasil
meruntuhkan pemerintahan dari Bupati Jipang yang tidak lain adalah Aria
Penansang. Aria Penansang sendiri berhasil dibunuh Sutawijaya. Sejak saat itu
pemerintahan Demak pindah ke Pajang dan tamatlah riwayat Kerajaan Demak.
9. Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam yang terletak di Pulau Kalimantan,
tepatnya di Klimantan Selatan. Kerajaan Banjar disebut juga Kesultanan
Banjarmasin. Kata Banjarmasin meru[pakan paduan dari dua kata, yaitu Bandar dan
masih. Nama Bandar Masih diambil dari nama Patih Masih, seorang perdana menteri
Kerajaan Banjar yang cakap dan berwibawa. Sebelum menjadi kerajaan Islam,
Kerajaan Banjar telah diperintahkan oleh tujuh orang raja. Raja pertama ialah
Pangeran Surianata (1438-1460) dan raja terakhir ialah Pangeran Tumenggung
(1588-1595).
Selama Pangeran Tumenggung memerintah, situasi politik di Kerajaan Banjar
berada dalam keadaan rawan. Pangeran Samudera yang berada di pengasingan secara
diam-diam menyusun kekuatan untuk menaklukkan Pangeran Tumenggung.
Akibatnya, pada tahun 1595 terjadi perang saudara yang berakhir dengan
kemenangan di pihak Pangeran Samudera (Pangeran Suriansyah).
Keberhasilan Pangeran Samudera tidak terlepas dari dukungan umat Islam di
wilayah Banjar serta dukungan Patih Masih dengan prajurit Kerajaan Demak. Setelah
masuk Islam, Pangeran Samudera berganti nama menjadi Pangeran Suriansyah.
Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan ke suatu tempat yang diberi nama
Bandar Masih, sekarang Banjarmasin.
Perpindahan pusat pemerintahan Kasultanan Banjar juga terjadi pda masa
pemerintahan sultan-sultan berikutnya. Pada akhir masa pemerintahan Sultan
Hidayatullah (1650), pusat pemerintahan dipindahkan ke Batang Mengapan, yang
sekarang menjadi Muara Tambangan dekat Martapura. Pada masa Sultan Tamjidillah
(1745-1778) pusat pemerintahan dipindahkan ke Martapura pada tahun 1766.
Sultan terakhir yang memerintah Kesultanan Banjar ialah Pangeran
Tamjidillah (1857-1859). Pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan oleh
Belanda mendapat tantangan dari masyarakat, sehingga menimbulkan pergolakan.
Karena tidak dapat memenuhi keinginan Belanda, ia diturunkan dari takhta. Pada
tanggal 11 Juni 1860, Belanda mengahapus kesultanan. Meskipun demikian,
peperangan terus berkobar.