1. Pengertian APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan
Negara).
Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola
dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran
yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak
dicatat dalam APBD.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun
anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan
semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun
anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk
memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran
daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula
bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tahun
anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan
berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan,
pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan
kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi
biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap
sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran
yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan
merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak
boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan. Penganggaran
pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan
dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang
berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup
tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut.
APBD terdiri dari anggaran pendapatan dan pembiayaan, pendapatan terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain. Bagian dana perimbangan,
yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus,
kemudian pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. Pembiayaan
yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya.
3. Struktur APBD
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, struktur APBD
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
a. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah adalah hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan. Pendapatan daerah meliputi semuapenerimaan uang melalui rekening
kas umum daerah yang menambah ekuitas dana. Pendapatan darah meliputi:
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah bagian dari pendapatan daerah yang bersumber dari potensi
daerah itu sendiri yang di pungut berdasarkan peraturan daerah tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan
daerah dalam memungut PAD dimaksudkan agar daerah dapat mendanai
pelaksanaan otonomi daerah yang bersumber dari potensi daerahnya sendiri.
PAD terdiri dari: 1) Pajak Daerah. 2) Retribusi Daerah. 3) Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah yang dipisahkan, yang mencakup:
a) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah
(BUMD);
b) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah
(BUMN); dan
c) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta.
d) Lain-lain PAD yang Sah, yang meliputi:
a) Hasil penjualan dan pemanfaatan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b) Jasa giro;
c) Pendapatan bunga;
d) Penerimaan atas tuntutan ganti rugi daerah;
e) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
f) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
g) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h) Pendapatan denda pajak dan retribusi;
i) Pendapatan dari fasilitas sosial dan fasilitas umum;
j) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
k) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
2. Belanja Daerah
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum
Daerah yang mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah
dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
daerah. Pasal 26 dan 27 dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah tidak merinci tentang klasifikasi belanja menurut
urusan wajib, urusan pilihan, dan klasifikasi menurut organisasi, fungsi, program
kegiatan, serta jenis belanja. Sedangkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal
31 ayat (1), memberikan secara rinci klasifikasi belanja daerah berdasarkan
urusan wajib, urusan pilihan atau klasifikasi menurut organisasi, fungsi, program
kegiatan, serta jenis belanja.
1) Pendidikan;
2) Kesehatan;
3) Pekerjaan Umum;
4) Perumahan Rakyat;
5) Penataan Ruang;
6) Perencanaan Pembangunan;
7) Perhubungan;
8) Lingkungan Hidup;
9) Kependudukan dan Catatan Sipil;
10) Pemberdayaan Perempuan;
11) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;
12) Sosial;
13) Tenaga Kerja;
14) Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
15) Penanaman Modal;
16) Kebudayaan;
17) Pemuda dan Olah Raga;
18) Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;
19) Pemerintahan Umum;
20) Kepegawaian;
21) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
22) Statistik;
23) Arsip; dan
24) Komunikasi dan Informatika.
1) Pertanian;
2) Kehutanan;
3) Energi dan Sumber Daya Mineral;
4) Pariwisata;
2) Dalam menetapkan anggaran penerimaan pembiayaan yang bersumber dari pencairan dana
cadangan, waktu pencairan dan besarannya sesuai peraturan daerah tentang pembentukan dana
cadangan.
3) Penerimaan kembali dana bergulir dianggarkan dalam APBD pada akun pembiayaan,
kelompok penerimaan pembiayaan daerah, jenis penerimaan kembali investasi pemerintah
daerah, obyek dana bergulir dan rincian obyek dana bergulir dari kelompok masyarakat
penerima.
Untuk pinjaman jangka menengah sesuai Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2011 digunakan untuk membiayai pelayanan publik yang tidak
menghasilkan penerimaan, sedangkan pinjaman jangka panjang yang bersumber dari
pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga
keuangan bukan bank sesuai Pasal 14 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 2011 digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau
sarana dalam rangka pelayanan publik yang:
a. Menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi APBD yang berkaitan dengan
pembangunan prasarana dan sarana tersebut;
b. Menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan terhadap belanja APBD yang
seharusnya dikeluarkan apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/atau
b. Pengeluaran Pembiayaan
1) Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah dapat menganggarkan investasi
jangka panjang non permanen dalam bentuk dana bergulir sesuai Pasal 118 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dana bergulir
dalam APBD dianggarkan pada akun pembiayaan, kelompok pengeluaran pembiayaan daerah,
jenis penyertaan modal/investasi pemerintah daerah, obyek dana bergulir dan rincian obyek
dana bergulir kepada kelompok masyarakat penerima.
2) Penyertaan modal pemerintah daerah pada badan usaha milik negara/daerah dan/atau badan
usaha lainnya ditetapkan dengan peraturan daerah tentang penyertaan modal. Penyertaan
modal dalam rangka pemenuhan kewajiban yang telah tercantum dalam peraturan daerah
tentang penyertaan modal pada tahun sebelumnya, tidak perlu diterbitkan peraturan daerah
tersendiri sepanjang jumlah anggaran penyertaan modal tersebut belum melebihi jumlah
penyertaan modal yang telah ditetapkan pada peraturan daerah tentang penyertaan modal.
Dalam hal pemerintah daerah akan menambah jumlah penyertaan modal melebihi
jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang
penyertaan modal dimaksud, pemerintah daerah melakukan perubahan peraturan
daerah tentang penyertaan modal tersebut.
3) Pemerintah daerah dapat menambah modal yang disetor dan/atau melakukan penambahan
penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk memperkuat struktur
permodalan, sehingga BUMD dimaksud dapat lebih berkompetisi, tumbuh dan berkembang.
Khusus untuk BUMD sektor perbankan, pemerintah daerah dapat melakukan penambahan
penyertaan modal dimaksud guna menambah modal inti sebagaimana dipersyaratkan Bank
Indonesia dan untuk memenuhi Capital Adequacy Ratio ( CAR ).
4) Dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM), pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal dan/atau penambahan modal
kepada bank perkreditan rakyat milik pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
7) Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran sebagaimana diamanatkan
Pasal 28 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Pasal 61 ayat (2) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 , sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011.
1) Pemerintah daerah menetapkan Sisa Lebih Pembiayaan (SILPA) Tahun Anggaran 2015
bersaldo nol.
2) Dalam hal perhitungan penyusunan Rancangan APBD menghasilkan SILPA Tahun Berjalan
positif, pemerintah daerah harus memanfaatkannya untuk penambahan program dan kegiatan
prioritas yang dibutuhkan, volume program dan kegiatan yang telah dianggarkan, dan/atau
pengeluaran pembiayaan.
3) Dalam hal perhitungan SILPA Tahun Berjalan negatif, pemerintah daerah melakukan
pengurangan bahkan penghapusan pengeluaran pembiayaan yang bukan merupakan kewajiban
daerah, pengurangan program dan kegiatan yang kurang prioritas dan/atau pengurangan
volume program dan kegiatannya.
a. Tunjangan PNSD yang bertugas pada unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi terkait
dengan pengamanan persandian sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 79
Tahun 2008 tentang Tunjangan Pengamanan Persandian;
b. Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) berbasis NIK secara Nasional dengan
mempedomani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2013, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, Peraturan Presiden
Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil dan peraturan perundang-undangan lainnya; dan
c. Fasilitasi pengaduan masyarakat dan pengembangan akses informasi secara transparan, cepat,
tepat dan sederhana dengan mempedomani Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik;
D. Penyusunan Rancangan APBD
Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan
kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya.
Pengaturan kesesuaian kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan
atas beban APBD.
b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah
didanai dari dan atas beban APBN.
c. Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
d. Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan
kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.
7. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan
Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD
Rancangan peraturan daerah Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah
disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang
penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati paling lama 3 (tiga) hari kerja
disampaikan terlebih dahulu kepada Gubernur untuk dievaluasi. Penyampaian
rancangan disertai dengan:
a. Persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD terhadap rancangan peraturan
daerah tentang APBD;
b. KUA dan PPA yang disepakati antara kepala daerah dan pimpinan DPRD;
c. Risalah sidang jalannya pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD;
dan nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal penyampaian pengantar nota keuangan
pada sidang DPRD.
Evaluasi bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan
kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur
serta untuk meneliti sejauh mana APBD Kabupaten/Kota tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya
yang ditetapkan oleh Kabupaten/Kota bersangkutan. Untuk efektivitas pelaksanaan
evaluasi, Gubernur dapat mengundang pejabat pemerintah daerah Kabupaten/Kota
yang terkait.
Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan Gubernur dan disampaikan
kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi atas
rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota
tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan
dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan Bupati/Walikota.
Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang paripurna
berikutnya. Sidang paripurna berikutnya yakni setelah sidang paripurna pengambilan
keputusan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.
9. Perubahan APBD
Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan,
dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan
prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi,
antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam
tahun berjalan;
d. Keadaan darurat; dan
e. Keadaan luar biasa.
E. Penetapan APBD
Penetapan anggaran merupakan tahapan yang dimulai ketika pihak eksekutif
menyerahkan usulan anggaran kepada pihak legislatif, selanjutnya DPRD akan melakukan
pembahasan untuk beberapa waktu. Selama masa pembahasan akan terjadi diskusi antara
pihak Panitia Anggaran Legislatif dengan Tim Anggaran Eksekutif dimana pada kesempatan
ini pihak legislatif berkesempatan untuk menanyakan dasar-dasar kebijakan eksekutif dalam
membahas usulan anggaran tersebut.
Penetapan APBD dilaksanakan dengan melalui tiga tahap sebagai berikut:
1. Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD.
Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006, Raperda
beserta lampiran-lampirannya yang telah disusun dan disosialisasikan kepada
masyarakat untuk selanjutnya disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling
lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun
anggaran yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan
keputusan bersama ini harus sudah terlaksana paling lama 1 (satu) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dimulai. Atas dasar persetujuan bersama
tersebut, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang
APBD yang harus disertai dengan nota keuangan. Raperda APBD tersebut antara
lain memuat rencana pengeluaran yang telah disepakati bersama. Raperda APBD ini
baru dapat dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota setelah
mendapat pengesahan dari Gubernur terkait.
2. Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD.
Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan
rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan
oleh Bupati.Walikota harus disampaikan kepada Gubernur untuk di-evaluasi dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Evaluasi ini bertujuan demi tercapainya
keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara
kepentingan publik dan kepentingan aparatur, serta untuk meneliti sejauh mana
APBD kabupaten/kota tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang
lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya. Hasil evaluasi ini sudah harus
dituangkan dalam keputusan gubernur dan disampaikan kepada bupati/walikota
paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanaya Raperda APBD
tersebut.
3. Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
APBD.
Tahapan terakhir inidilaksanakan paling lambat tanggal 31 Desember tahun
anggaran sebelumnya. Setelah itu Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang
penjabaran APBD ini disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur terkait
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal ditetapkan.
4. Pemberian sanksi sesuai aturan harus tetap dijalankan namun dengan sanksi yang lebih
spesifik. Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20
Maret. Bagi yang terlambat penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) ditunda 25% perbulan.
Atau sanksi penghentian pemberian DAU dirubah dengan sanksi penundaan pembayaran
tunjangan pejabat pemerintah dan anggota DPRD.
5. Proses politik dalam penyusunan APBD jangan hanya menjadi arena interaksi antara DPRD
dan pemerintah, tapi juga sebagai arena publik dimana ada transparansi dan akses bagi
masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi, dan mengkritisi proses tersebut.
6. Para pembuat keputusan yang terlibat dalam proses legislasi APBD ( DPRD dan Pemda)
harus mempunyai sistem evaluasi untuk membandingkan dan memprioritaskan proposal
anggaran.
7. Selain memahami proses pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dan DPRD perlu
memahami berbagai standar yang digunakan dalam akuntansi, misalnya standar biaya agar
dapat memperhitungkan besaran anggaran yang diperlukan untuk suatu kegiatan. Melalui
penerapan standar ini, praktik – praktik manipulasi atau mark – up anggaran dapat
diminimalkan.
8. Perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil misalnya dengan cara mengadvokasikan
berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Selain itu
juga perlu ditingkatkan kualitas pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat
agar masyarakat dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17
Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara). Struktur APBD terdiri dari pendapatan
daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Penyusunan APBD harus sistematis sesuai dengan
jadwal dan penyusunan yang telah terlampir dalam Undang – Undang.
Pemerintah dan DPRD merupakan pemegang tanggung jawab dalam proses
penyusunan RAPBD hingga penetapannya menjadi Perda APBD. Keterlambatan naskah
APBD diserahkan kepada DPRD oleh pemerintah, dimana idealnya hal ini berimplikasi pada
pembahasan yang tidak efektif dan terkesan terburu-buru.
B. Saran
Tujuan tentang proses penyusunan penting dilaksanakan untuk kelancaran
dan kemudahan dalam penetapan dan pelaksanaan APBD dalam suatu daerah.
Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan Gubernur dan disampaikan kepada
Bupati/Walikota paling lama 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
dimaksud. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi atas rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan
Bupati/Walikota. Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang
paripurna berikutnya. Sidang paripurna berikutnya yakni setelah sidang paripurna pengambilan
keputusan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD serta sampai pada
tahap penetapan APBD.
Sebagai faktor utama pembangunan para aktor dalam APBD harus benar –
benar bertindak jujur , adil, dan kreatif agar dapat mengimplementasikan manfaat dari
APBD dengan baik. Tuntutan dan kebutuhan era globalisasi seperti sekarang ini,
perlu adanya good governance dalam upaya pemulihan ekonomi nasional dan
daerah, serta pemulihan kepercayaan baik secara lokal, nasional maupun oleh dunia
internasional terhadap Pemerintah Indonesia, mengharuskan Pemerintah untuk
mengambil langkah – langka strategis dalam pengelolaan dan penyusunan APBD
terutama pada sektor kekayaan sumber daya alam.
Pentingnya perumusan APBD bagi suatu negara menyebabkan munculnya gagasan
untuk mempelajari bagaimana tata cara perumusan dan pengelolaan keuangan negara tersebut.
Dengan adanya makalah mengenai APBD ini diharapkan pembaca dapat mengetahui proses
dan tata cara perumusan APBD mulai dari tahap perumusan dan pengajuan sampai tahap
pengesahannya. Demikianlah makalah ini dibuat, semoga dapat menambah pemahaman
pembaca dan penulis dalam perumusan sampai pada tahap pelaksanaan APBD.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Widjaja, Haw. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta. PT Grafindo
Persada
Referensi Internet
Peraturan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014. Tentang
Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran
2015
Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2014 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Tahun 2015
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah