Anda di halaman 1dari 23

Artikel Tentang Realisasi Penggunaan Anggaran Pemerintah Daerah (APBD)

1. Pengertian APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan
Negara).
Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola
dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran
yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak
dicatat dalam APBD.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun
anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan
semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun
anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk
memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran
daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula
bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tahun
anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan
berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan,
pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan
kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi
biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap
sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran
yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan
merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak
boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan. Penganggaran
pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan
dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang
berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup
tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut.
APBD terdiri dari anggaran pendapatan dan pembiayaan, pendapatan terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain. Bagian dana perimbangan,
yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus,
kemudian pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. Pembiayaan
yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya.

2. Prinsip Penyusunan APBD


Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2015 didasarkan prinsip sebagai berikut:
a. Sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan urusan dan
kewenangannya;
b. Tepat waktu, sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan;
c. Transparan, untuk memudahkan masyarakat mengetahui dan mendapatkan akses informasi
seluas-luasnya tentang APBD;
d. Partisipatif, dengan melibatkan masyarakat;
e. Memperhatikan asas keadilan dan kepatutan; dan
f. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan
daerah lainnya.

3. Struktur  APBD
Menurut  Peraturan  Menteri  Dalam  Negeri  Nomor  13  Tahun  2006,  struktur  APBD
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
a. Pendapatan Daerah
Pendapatan  daerah  adalah  hak  daerah  yang  diakui  sebagai  penambah  nilai
kekayaan. Pendapatan daerah meliputi semuapenerimaan uang melalui rekening
kas umum daerah yang menambah ekuitas dana. Pendapatan darah meliputi:
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah bagian dari pendapatan daerah yang bersumber dari potensi
daerah itu sendiri yang di pungut berdasarkan peraturan daerah tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan
daerah dalam memungut PAD dimaksudkan agar daerah dapat mendanai
pelaksanaan otonomi daerah yang bersumber dari potensi daerahnya sendiri.
PAD terdiri dari: 1)  Pajak Daerah. 2)  Retribusi Daerah. 3)  Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah yang dipisahkan, yang mencakup:
a) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah
(BUMD);
b) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah
(BUMN); dan
c) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta.
d) Lain-lain PAD yang Sah, yang meliputi:
a)  Hasil penjualan dan pemanfaatan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b)  Jasa giro;
c)  Pendapatan bunga;
d)  Penerimaan atas tuntutan ganti rugi daerah;
e)  Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
f)  Komisi,  potongan,  ataupun  bentuk  lain  sebagai  akibat  dari  penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
g)  Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h)  Pendapatan denda pajak dan retribusi;
i)  Pendapatan dari fasilitas sosial dan fasilitas umum;
j)  Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
k)  Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

b.  Dana Perimbangan, meliputi:


1)  Dana Alokasi Umum;
2)  Dana Alokasi Khusus; dan
3)  Dana Bagi Hasil, yang meliputi bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.

c.  Pendapatan Lain-Lain yang Sah, meliputi:


1)  Pendapatan Hibah;
2)  Pendapatan Dana Darurat;
3)  Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi kepada Kabupaten/Kota;
4)  Bantuan Keuangan dari Provinsi atau dari Pemerintah Daerah lainnya;
5)  Dana Penyesuaian; dan
6)  Dana Otonomi Khusus.

2.      Belanja Daerah
     Belanja  daerah  meliputi  semua  pengeluaran  uang  dari  Rekening  Kas  Umum 
Daerah yang  mengurangi  ekuitas  dana,  yang  merupakan  kewajiban  daerah 
dalam  satu  tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
daerah. Pasal 26 dan 27 dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan  Daerah  tidak  merinci  tentang  klasifikasi  belanja  menurut 
urusan  wajib, urusan pilihan,  dan klasifikasi menurut organisasi, fungsi, program
kegiatan,  serta jenis belanja. Sedangkan  Permendagri  Nomor 13 Tahun 2006 Pasal
31 ayat (1), memberikan secara rinci  klasifikasi  belanja  daerah  berdasarkan 
urusan  wajib,  urusan  pilihan  atau klasifikasi menurut organisasi, fungsi, program
kegiatan, serta jenis belanja.

a.  Klasifikasi Belanja Menurut Urusan Wajib


Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 32 ayat (2), klasifikasi belanja
menurut urusan wajib mencakup:

1)     Pendidikan;
2)     Kesehatan;
3)     Pekerjaan Umum;
4)     Perumahan Rakyat;
5)     Penataan Ruang;
6)     Perencanaan Pembangunan;
7)     Perhubungan;
8)     Lingkungan Hidup;
9)     Kependudukan dan Catatan Sipil;
10) Pemberdayaan Perempuan;
11) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;
12) Sosial;
13) Tenaga Kerja;
14) Koperasi dan Usaha Kecil dan  Menengah;

15) Penanaman Modal;
16) Kebudayaan;
17) Pemuda dan Olah Raga;
18) Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;
19) Pemerintahan Umum;
20) Kepegawaian;
21) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
22) Statistik;
23) Arsip; dan
24) Komunikasi dan  Informatika.

b.  Klasifikasi Belanja Menurut Urusan Pilihan

1)  Pertanian;
2)  Kehutanan;
3)  Energi dan Sumber Daya Mineral;
4)  Pariwisata;

5)  Kelautan dan Perikanan;


6)  Perdagangan;
7)  Perindustrian; dan
8)  Transmigrasi.

c.  Klasifikasi  Belanja  Menurut  Urusan  Pemerintahan,  Organisasi,  Fungsi,


Program dan Kegiatan, serta Jenis Belanja Belanja daerah
1)  Belanja Tidak Langsung; dan
2)  Belanja Langsung.
Komponen belanja tidak langsung dan belanja langsung sebagai berikut:

1). Belanja Tidak Langsung, meliputi:


a)  Belanja Pegawai;
b)  Bunga;
c)  Subsidi;
d)  Hibah;
e)  Bantuan Sosial;
f)  Belanja Bagi Hasil;
g)  Bantuan Keuangan; dan
h)  Belanja Tak Terduga.

2)  Belanja Langsung, meliputi:


a)  Belanja Pegawai;
b)  Belanja Barang dan Jasa;
c)  Belanja Modal.
3.      Pembiayaan Daerah
      a. Penerimaan Pembiayaan
1)   Penganggaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA) harus didasarkan
pada penghitungan yang cermat dan rasional dengan mempertimbangkan perkiraan realisasi
anggaran Tahun Anggaran 2014 dalam rangka menghindari kemungkinan adanya pengeluaran
pada Tahun Anggaran 2015 yang tidak dapat didanai akibat tidak tercapainya SiLPA yang
direncanakan. Selanjutnya SiLPA dimaksud harus diuraikan pada obyek dan rincian obyek
sumber SiLPA Tahun Anggaran 2014.

2)   Dalam menetapkan anggaran penerimaan pembiayaan yang bersumber dari pencairan dana
cadangan, waktu pencairan dan besarannya sesuai peraturan daerah tentang pembentukan dana
cadangan.

3)   Penerimaan kembali dana bergulir dianggarkan dalam APBD pada akun pembiayaan,
kelompok penerimaan pembiayaan daerah, jenis penerimaan kembali investasi pemerintah
daerah, obyek dana bergulir dan rincian obyek dana bergulir dari kelompok masyarakat
penerima.

4)   Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan pinjaman daerah


berdasarkan peraturan perundangundangan di bidang pinjaman daerah. Bagi pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang berencana untuk melakukan pinjaman daerah
harus dianggarkan terlebih dahulu dalam rancangan peraturan daerah tentang APBD tahun
anggaran berkenaan sesuai Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011
tentang Pinjaman Daerah.

Untuk pinjaman jangka menengah sesuai Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 2011 digunakan untuk membiayai pelayanan publik yang tidak
menghasilkan penerimaan, sedangkan pinjaman jangka panjang yang bersumber dari
pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga
keuangan bukan bank sesuai Pasal 14 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 2011 digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau
sarana dalam rangka pelayanan publik yang:

a.     Menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi APBD yang berkaitan dengan
pembangunan prasarana dan sarana tersebut;

b.     Menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan terhadap belanja APBD yang
seharusnya dikeluarkan apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/atau

c.     Memberikan manfaat ekonomi dan sosial.

b.     Pengeluaran Pembiayaan
1)     Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah dapat menganggarkan investasi
jangka panjang non permanen dalam bentuk dana bergulir sesuai Pasal 118 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dana bergulir
dalam APBD dianggarkan pada akun pembiayaan, kelompok pengeluaran pembiayaan daerah,
jenis penyertaan modal/investasi pemerintah daerah, obyek dana bergulir dan rincian obyek
dana bergulir kepada kelompok masyarakat penerima.

2)     Penyertaan modal pemerintah daerah pada badan usaha milik negara/daerah dan/atau badan
usaha lainnya ditetapkan dengan peraturan daerah tentang penyertaan modal. Penyertaan
modal dalam rangka pemenuhan kewajiban yang telah tercantum dalam peraturan daerah
tentang penyertaan modal pada tahun sebelumnya, tidak perlu diterbitkan peraturan daerah
tersendiri sepanjang jumlah anggaran penyertaan modal tersebut belum melebihi jumlah
penyertaan modal yang telah ditetapkan pada peraturan daerah tentang penyertaan modal.

Dalam hal pemerintah daerah akan menambah jumlah penyertaan modal melebihi
jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang
penyertaan modal dimaksud, pemerintah daerah melakukan perubahan peraturan
daerah tentang penyertaan modal tersebut.
3)     Pemerintah daerah dapat menambah modal yang disetor dan/atau melakukan penambahan
penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk memperkuat struktur
permodalan, sehingga BUMD dimaksud dapat lebih berkompetisi, tumbuh dan berkembang.
Khusus untuk BUMD sektor perbankan, pemerintah daerah dapat melakukan penambahan
penyertaan modal dimaksud guna menambah modal inti sebagaimana dipersyaratkan Bank
Indonesia dan untuk memenuhi Capital Adequacy Ratio ( CAR ).

4)     Dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM), pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal dan/atau penambahan modal
kepada bank perkreditan rakyat milik pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

5)     Dalam rangka mendukung pencapaian target Millenium Development Goal’s (MDG’s) Tahun


2025 yaitu cakupan pelayanan air perpipaan di wilayah perkotaan sebanyak 80 % (delapan
puluh persen) dan di wilayah perdesaan sebanyak 60 % (enam puluh persen), pemerintah
daerah perlu memperkuat struktur permodalan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Penguatan struktur permodalan tersebut dilakukan dengan menambah penyertaan modal
pemerintah daerah yang antara lain bersumber dari pemanfaatan bagian laba bersih PDAM.
Penyertaan Modal dimaksud dilakukan untuk penambahan, peningkatan, perluasan prasarana
dan sarana sistem penyediaan air minum, serta peningkatan kualitas dan pengembangan
cakupan pelayanan. Selain itu, pemerintah daerah dapat melakukan penambahan penyertaan
modal guna meningkatkan kualitas, kuantitas dan kapasitas pelayanan air minum kepada
masyarakat untuk mencapai MDG’s dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
6)     Untuk menganggarkan dana cadangan, pemerintah daerah harus menetapkan terlebih dahulu
peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan yang mengatur tujuan pembentukan
dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran dan
rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan, dengan mempedomani Pasal 122  dan
Pasal 123 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun  2005 serta Pasal 63 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011.

7)     Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran sebagaimana diamanatkan
Pasal 28 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Pasal 61 ayat (2) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 , sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011.

c.     Sisa Lebih Pembiayaan (SILPA) Tahun Berjalan

1)     Pemerintah daerah menetapkan Sisa Lebih Pembiayaan (SILPA) Tahun Anggaran 2015
bersaldo nol.

2)     Dalam hal perhitungan penyusunan Rancangan APBD menghasilkan SILPA Tahun Berjalan
positif, pemerintah daerah harus memanfaatkannya untuk penambahan program dan kegiatan
prioritas yang dibutuhkan, volume program dan kegiatan yang telah dianggarkan, dan/atau
pengeluaran pembiayaan.
3)     Dalam hal perhitungan SILPA Tahun Berjalan negatif, pemerintah daerah melakukan
pengurangan bahkan penghapusan pengeluaran pembiayaan yang bukan merupakan kewajiban
daerah, pengurangan program dan kegiatan yang kurang prioritas dan/atau pengurangan
volume program dan kegiatannya.

a.    Tunjangan PNSD yang bertugas pada unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi terkait
dengan pengamanan persandian sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 79
Tahun 2008 tentang Tunjangan Pengamanan Persandian;
b.   Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) berbasis NIK secara Nasional dengan
mempedomani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2013, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23  Tahun 2006, Peraturan Presiden
Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil dan peraturan perundang-undangan lainnya; dan
c.    Fasilitasi pengaduan masyarakat dan pengembangan akses informasi secara transparan, cepat,
tepat dan sederhana dengan mempedomani Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik;
D.    Penyusunan Rancangan APBD
            Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan
kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya.
Pengaturan kesesuaian kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:
a.       Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan
atas beban APBD.
b.      Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah
didanai dari dan atas beban APBN.
c.       Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
d.      Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan
kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.

Tahapan dan Jadwal Penyusunan APBD

NO URAIAN WAKTU KETERANGAN


1 Penyusunan RKPD Akhir bulan Mei
2 Penyampaian Rancangan KUA dan Minggu pertama Bulan 1 minggu
Rancangan PPAS oleh Ketua TAPD Juni
kepada Kepala Daerah

3 Penyampaian Rancangan KUA dan Pertengahan Bulan Juni 6 Minggu


Rancangan PPAS oleh Kepala Daerah
Kepada DPRD
4 Rancangan KUA dan Rancangan Akhir Bulan Juli
PPAS disepakati antara Kepala
Daerah dan DPRD
5 Surat Edaran Kepala Daerah Awal Bulan Agustus 1 Minggu
Perihal Pedoman RKA-SKPD dan
RKA-PPKD 
6 Penyusunan dan Pembahasan Awal Bulan Agustus sampai 7 Minggu
RKA-SKPD dan RKA-PPKD serta dengan Akhir September
Penyusunan Rancangan APBD
7 Penyampaian Rancangan APBD Minggu Pertama Bulan 2 Bulan
kepada DPRD  Oktober
8 Pengambilan Persetujuan Paling lama (satu) bulan
Bersama DPRD dan Kepala sebelum Tahun Anggaran
Daerah yang dtentukan

9 Hasil evaluasi Rancangan APBD 15 Hari kerja (Bulan


Desember)
10 Penetapan Perda APBD dan Perkada Paling lambat akhir
Penjabaran APBD sesuai dengan hasil Desember (31
evaluasi Desember)

Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk


uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan
dalam APBD. Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki
dasar hukum penganggaran.

            1. Rencana Kerja Pemerintahan Daerah.


Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
Karena itu kegiatan pertama dalam penyusunan APBD adalah penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Pemerintah daerah menyusun RKPD yang
merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Pusat.
RKPD tersebut memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya,
baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun
ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Secara khusus, kewajiban
daerah mempertimbangkan prestasi capaian standar pelayanan minimal yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. RKPD disusun untuk
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan. Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir
bulan Mei sebelum tahun anggaran berkenaan. RKPD ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah.

2. Kebijakan Umum APBD


Setelah Rencana Kerja Pemerintah Daerah ditetapkan, Pemerintah daerah
perlu menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) yang menjadi acuan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
dalam menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD.
Kepala daerah menyusun rancangan KUA berdasarkan RKPD dan pedoman
penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Pedoman
penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri tersebut memuat antara
lain:
a.       Pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah
daerah;
b.      Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan;
c.       Teknis penyusunan APBD; dan
d.      Hal-hal khusus lainnya.
Rancangan KUA memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari program-
program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan
pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi
belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi
yang mendasarinya. Program-program diselaraskan dengan prioritas pembangunan
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan asumsi yang mendasari adalah
pertimbangan atas perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok
kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dibantu oleh Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA
yang telah disusun, disampaikan oleh sekretaris daerah selaku koordinator pengelola
keuangan daerah kepada kepala daerah, paling lambat pada awal bulan Juni.
Rancangan KUA disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling lambat
pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan
pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. Pembahasan dilakukan oleh TAPD
bersama panitia anggaran DPRD. Rancangan KUA yang telah dibahas selanjutnya
disepakati menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli tahun anggaran
berjalan.

3. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara


Selanjutnya berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah
menyusun rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Rancangan
PPAS tersebut disusun dengan tahapan sebagai berikut :
a.       Menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan;
b.      Menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan
c.       Menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.
Kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS yang telah disusun kepada
DPRD untuk dibahas paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan.
Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD. Rancangan
PPAS yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi PPAS paling lambat akhir
bulan Juli tahun anggaran berjalan.
KUA serta PPAS yang telah disepakati, masing-masing dituangkan ke dalam
nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan
pimpinan DPRD. Dalam hal kepala daerah berhalangan, yang bersangkutan dapat
menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani nota kepakatan KUA
dan PPAS. Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, penandatanganan nota
kepakatan KUA dan PPAS dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh pejabat yang
berwenang.

4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD


Berdasarkan nota kesepakatan yang berisi KUA dan PPAS, TAPD
menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan
RKA SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD. Rancangan
surat edaran kepala daerah tentang     pedoman penyusunan RKA-SKPD mencakup:
a.       PPAS  yang dialokasikan untuk setiap program SKPD berikut rencana pendapatan dan
pembiayaan;
b.      Sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD dengan kinerja SKPD berkenaan sesuai
dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan;
c.       Batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD;
d.      Hal-hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari SKPD terkait dengan prinsip-prinsip
peningkatan efisiensi, efektifitas, tranparansi dan akuntabilitas penyusunan anggaran dalam
rangka pencapaian prestasi kerja; dan
e.       Dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening APBD, format RKASKPD,
analisis standar belanja dan standar satuan harga.
Surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA¬SKPD
diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan. Berdasarkan
pedoman penyusunan RKA-SKPD, kepala SKPD menyusun RKA-SKPD.
RKA-SKPD disusun dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran
jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan
prestasi kerja. Pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah
dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju. Prakiraan maju tersebut berisi
perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam
tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan.
Pendekatan penganggaran terpadu dilakukan dengan memadukan seluruh
proses perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di
lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran.
Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan dari
kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam
pencapaian hasil dan keluaran tersebut.                  RKA-SKPD memuat rencana
pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing program dan kegiatan, serta
rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci sampai dengan rincian
objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk tahun
berikutnya. RKA-SKPD juga memuat informasi tentang urusan pemerintahan daerah,
organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan
kegiatan.RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD
untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.

5. Penyiapan Raperda APBD


Selanjutnya, berdasarkan RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD
dilakukan pembahasan penyusunan Raperda oleh TAPD. Pembahasan oleh TAPD
dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA, PPA,
prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen
perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran
kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar pelayanan minimal,
serta sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD. Dalam hal hasil pembahasan
RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian, kepala SKPD melakukan penyempurnaan.
RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada PPKD
sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Rancangan peraturan
daerah tentang APBD dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:
a.       Ringkasan APBD;
b.       Ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
c.       Rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja  dan
pembiayaan;
d.      Rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan kegiatan;
e.       Rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan daerah
dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
f.       Daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g.      Daftar piutang daerah;
h.      Daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i.        Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j.        Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
k.      Daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l.        Daftar dana cadangan daerah; dan
m.    Daftar pinjaman daerah.
Bersamaan dengan penyusunan rancangan Perda APBD, disusun rancangan
peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Rancangan peraturan kepala
daerah tersebut dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:
a.       Ringkasan penjabaran APBD;
b.      Penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan,
kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD wajib memuat
penjelasan sebagai berikut:
a.       Untuk pendapatan mencakup dasar hukum, target/volume yang direncanakan, tarif
pungutan/harga;
b.      Untuk belanja mencakup dasar hukum, satuan volume/tolok ukur, harga satuan, lokasi
kegiatan dan sumber pendanaan kegiatan;
c.       Untuk pembiayaan mencakup dasar hukum, sasaran, sumber penerimaan pembiayaan dan
tujuan pengeluaran pembiayaan.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD
disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya rancangan peraturan daerah
tentang APBD sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada
masyarakat. Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut bersifat
memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta
masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.
Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh
sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.

6. Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD


Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD
beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan
Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan keputusan bersama DPRD dan
kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD dilakukan paling
lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
Penyampaian rancangan peraturan daerah tersebut disertai dengan nota
keuangan. Penetapan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang
APBD untuk mendapatkan persetujuan bersama, disesuaikan dengan tata tertib
DPRD masing-masing daerah. Pembahasan rancangan peraturan daerah tersebut
berpedoman pada KUA, serta PPA yang telah disepakati bersama antara pemerintah
daerah dan DPRD. Dalam hal DPRD memerlukan tambahan penjelasan terkait
dengan pembahasan program dan kegiatan tertentu, dapat meminta RKA-SKPD
berkenaan kepada kepala daerah.
Apabila DPRD sampai batas waktu 1 bulan sebelum tahun anggaran
berkenaan, tidak menetapkan persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap
rancangan peraturan daerah tentang APBD, maka kepala daerah melaksanakan
pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya
untuk membiayai keperluan setiap bulan. Pengeluaran setinggi-tingginya untuk
keperluan setiap bulan tersebut, diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat
dan belanja yang bersifat wajib. Belanja yang bersifat mengikat merupakan belanja
yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah
daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun
anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa.
Sedangkan Belanja yang bersifat wajib adalah belanja untuk terjaminnya
kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain
pendidikan dan kesehatan dan/atau melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD dapat dilaksanakan
setelah memperoleh pengesahan dari gubernur bagi kabupaten/kota. Sedangkan
pengesahan rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD ditetapkan dengan
keputusan gubernur bagi kabupaten/kota.

            7. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan
Kepala   Daerah tentang Penjabaran APBD
Rancangan peraturan daerah Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah
disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang
penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati paling lama 3 (tiga) hari kerja
disampaikan terlebih dahulu kepada Gubernur untuk dievaluasi. Penyampaian
rancangan disertai dengan:
a.       Persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD terhadap rancangan peraturan
daerah tentang APBD;
b.      KUA dan PPA yang disepakati antara kepala daerah dan pimpinan DPRD;
c.       Risalah sidang jalannya pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD;
dan nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal penyampaian pengantar nota keuangan
pada sidang DPRD.
Evaluasi bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan
kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur
serta untuk meneliti sejauh mana APBD Kabupaten/Kota tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya
yang ditetapkan oleh Kabupaten/Kota bersangkutan. Untuk efektivitas pelaksanaan
evaluasi, Gubernur dapat mengundang pejabat pemerintah daerah Kabupaten/Kota
yang terkait.
Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan Gubernur dan disampaikan
kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi atas
rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota
tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan
dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan Bupati/Walikota.
Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang paripurna
berikutnya. Sidang paripurna berikutnya yakni setelah sidang paripurna pengambilan
keputusan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.

            8. Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala


Daerah tentang Penjabaran APBD
Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala
daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD
dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD tersebut dilakukan paling
lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.
Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala
daerah yang menetapkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD. Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah
tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD kepada
gubernur bagi kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

9. Perubahan APBD
Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan,
dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan
prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a.       Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b.      Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi,
antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c.       Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam
tahun berjalan;
d.      Keadaan darurat; dan
e.       Keadaan luar biasa.

E.     Penetapan APBD
            Penetapan anggaran merupakan tahapan yang dimulai ketika pihak eksekutif
menyerahkan usulan anggaran kepada pihak legislatif, selanjutnya DPRD akan melakukan
pembahasan untuk beberapa waktu. Selama masa pembahasan akan terjadi diskusi antara
pihak Panitia Anggaran Legislatif dengan Tim Anggaran Eksekutif dimana pada kesempatan
ini pihak legislatif berkesempatan untuk menanyakan dasar-dasar kebijakan eksekutif dalam
membahas usulan anggaran tersebut.
Penetapan APBD dilaksanakan dengan melalui tiga tahap sebagai berikut:
1.      Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD.
Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006, Raperda
beserta lampiran-lampirannya yang telah disusun dan disosialisasikan kepada
masyarakat untuk selanjutnya disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling
lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun
anggaran yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan
keputusan bersama ini harus sudah terlaksana paling lama 1 (satu) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dimulai. Atas dasar persetujuan bersama
tersebut, kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang
APBD yang harus disertai dengan nota keuangan. Raperda APBD tersebut antara
lain memuat rencana pengeluaran yang telah disepakati bersama. Raperda APBD ini
baru dapat dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota setelah
mendapat pengesahan dari Gubernur terkait.

2.      Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD.
Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan
rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan
oleh Bupati.Walikota harus disampaikan kepada Gubernur untuk di-evaluasi dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Evaluasi ini bertujuan demi tercapainya
keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara
kepentingan publik dan kepentingan aparatur, serta untuk meneliti sejauh mana
APBD kabupaten/kota tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang
lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya. Hasil evaluasi ini sudah harus
dituangkan dalam keputusan gubernur dan disampaikan kepada bupati/walikota
paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanaya Raperda APBD
tersebut.

3.      Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
APBD.
Tahapan terakhir inidilaksanakan paling lambat tanggal 31 Desember tahun
anggaran sebelumnya. Setelah itu Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang
penjabaran APBD ini disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur terkait
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal ditetapkan.

F.     Peraturan Yang Mengatur Tentang Penetapan APBD


Prosedur tentang penetapan APBD diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2003) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (PP 58/2005) sebagai
berikut:
1.      APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan
Peraturan Daerah (Pasal 16 (1) UU 17/2003).
2.       Tahun anggaran APBD meliputi masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan
31 Desember. (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (PP 58/2005)
3.       Tahun anggaran APBD meliputi masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan
31 Desember (Pasal 19 PP 58/2005).
4.      Kepala daerah menyampaikan rancangan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya
sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan
Juni tahun anggaran berjalan. Rancangan kebijakan umum APBD yang telah dibahas kepala
daerah bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD selanjutnya disepakati
menjadi Kebijakan Umum APBD (Pasal 34 ayat (2) dan (3) PP 58/2005).
5.      Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD
membahas rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara paling lambat minggu kedua
bulan Juli tahun anggaran sebelumnya (Pasal 35 ayat (1) dan (2) PP 58/2005).
6.       Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan
Oktober tahun sebelumnya (Pasal 20 (1) UU 17/2003 dan Pasal 43 PP 58/2005).
7.       Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan (Pasal 20 (4) UU 17/2003 dan Pasal 45 PP 58/2005).
8.      Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya (Pasal 20 (6) UU 17/2003
dan Pasal 46 PP 58/2005).

G.    Permasalahan dalam Penyusunan APBD


Masalah – masalah pokok yang sering timbul dalam penyusunan APBD yaitu:
1.      Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi. Alasannya adalah karena usulan
belanja kegiatan cenderung di mark – up, dibesarkan atau ditinggikan diatas perkiraan yang
sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang
sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah.
2.      Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah. Bila usulan belanja
cenderung dimark – up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark – down;
ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya.
3.      Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan dengan
penganggaran. Tanpa perencanaan SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat
reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas.
4.      Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar
SKPD. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan
dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian
program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai
melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.
5.      Relevansi Program / Kegiatan : kurang responsif dengan permasalahan dan / atau
kurang relevan dengan peluang yang dihadapi. Peningkatan relevansi dan responsifitas
program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat
menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya. Rendahnya relevansi ini
terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta ketersediaan
data dan informasi.
6.      Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada pelaporan
penggunaan dana. Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat
berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja,
pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur
semata.
7.      Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah. Penetapan besaran
belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran (output) atau hasil (outcome). Volume
output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain itu, indikator kinerja untuk Belanja
Administrasi Umum ( dahulu disebut sebagai Belanja Rutin ) masih tetap belum jelas.
8.      Rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat. Hingga saat ini, inovasi pendanaan
kesejahteraan rakyat masih relatif rendah.

H.    Solusi Mengatasi Masalah dalam Penyusunan APBD


1.      Perlu dilakukan inovasi – inovasi dalam proses perencanaan partisipatif sedemikian rupa
sehingga aspirasi – aspirasi politik diyakini benar – benar terserap dalam dokumen
perencanaan. Dengan demikian, pembahasan rancangan APBD dapat lebih terfokus pada
besaran dana yang seharusnya dialokasikan dan tidak lagi terbebani dengan transaksi –
transaksi politik.
2.      Perlu dikembangkan strategi berupa dialog ataupun sosialisasi mengenai perencanaan dan
penganggaran berbasis kinerja. Tujuan utama dilakukan langkah ini adalah untuk mengubah
paradigma tradisional yang berfokus pada penganggaran uang menjadi paradigma yang
berbasis kinerja yang menitikberatkan pada perencanaan kegiatan yang menjawab akar
permasalahan dimasyarakat.
3.      Perlu penguatan kapasitas dan komitmen, baik bagi kalangan Pemda maupun DPRD. Pada
umumnya Pemda yang mengalami keterlambatan APBD adalah daerah tertinggal, sehingga
perlu fasilitasi dan pengawasan lebih intensif dari Pemprov maupun Pemerintah Pusat. Namun
sebenarnya yang utama adalah komitmen dan inilah yang paling sulit. Proses politik berbiaya
tinggi barangkali menjadi akar masalah kenapa seringkali anggota dewan ( begitu pula Kepala
Daeraah ) bernafsu besar ingin menguasai anggaran.

4.      Pemberian sanksi sesuai aturan harus tetap dijalankan namun dengan sanksi yang lebih
spesifik. Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20
Maret. Bagi yang terlambat penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) ditunda 25% perbulan.
Atau sanksi penghentian pemberian DAU dirubah dengan sanksi penundaan pembayaran
tunjangan pejabat pemerintah dan anggota DPRD.
5.      Proses politik dalam penyusunan APBD jangan hanya menjadi arena interaksi antara DPRD
dan pemerintah, tapi juga sebagai arena publik dimana ada transparansi dan akses bagi
masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi, dan mengkritisi proses tersebut.
6.      Para pembuat keputusan yang terlibat dalam proses legislasi APBD ( DPRD dan Pemda)
harus mempunyai sistem evaluasi untuk membandingkan dan memprioritaskan proposal
anggaran.
7.      Selain memahami proses pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dan DPRD perlu
memahami berbagai standar yang digunakan dalam akuntansi, misalnya standar biaya agar
dapat memperhitungkan besaran anggaran yang diperlukan untuk suatu kegiatan. Melalui
penerapan standar ini, praktik – praktik manipulasi atau mark – up anggaran dapat
diminimalkan.
8.      Perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil misalnya dengan cara mengadvokasikan
berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Selain itu
juga perlu ditingkatkan kualitas pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat
agar masyarakat dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17
Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara). Struktur APBD terdiri dari pendapatan
daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Penyusunan APBD harus sistematis sesuai dengan
jadwal dan penyusunan yang telah terlampir dalam Undang – Undang.
            Pemerintah dan DPRD  merupakan pemegang tanggung jawab dalam proses
penyusunan RAPBD hingga penetapannya menjadi Perda APBD.  Keterlambatan naskah
APBD diserahkan kepada DPRD oleh pemerintah, dimana idealnya  hal ini berimplikasi pada
pembahasan yang tidak efektif dan terkesan terburu-buru.

B.     Saran
            Tujuan tentang proses penyusunan penting dilaksanakan untuk kelancaran
dan kemudahan dalam penetapan dan pelaksanaan APBD dalam suatu daerah.       
            Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan Gubernur dan disampaikan kepada
Bupati/Walikota paling lama 15 (lima betas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
dimaksud. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi atas rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan
Bupati/Walikota. Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang
paripurna berikutnya. Sidang paripurna berikutnya yakni setelah sidang paripurna pengambilan
keputusan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD serta sampai pada
tahap penetapan APBD.

            Sebagai faktor utama pembangunan para aktor dalam APBD harus benar –
benar bertindak jujur , adil, dan kreatif agar dapat mengimplementasikan manfaat dari
APBD dengan baik. Tuntutan dan kebutuhan era globalisasi seperti sekarang ini,
perlu adanya good governance dalam upaya pemulihan ekonomi nasional dan
daerah, serta pemulihan kepercayaan baik secara lokal, nasional maupun oleh dunia
internasional terhadap Pemerintah Indonesia, mengharuskan Pemerintah untuk
mengambil langkah – langka strategis dalam pengelolaan dan penyusunan APBD
terutama pada sektor kekayaan sumber daya alam.
            Pentingnya perumusan APBD bagi suatu negara menyebabkan munculnya gagasan
untuk mempelajari bagaimana tata cara perumusan dan pengelolaan keuangan negara tersebut.
Dengan adanya makalah mengenai  APBD ini diharapkan pembaca dapat mengetahui proses
dan tata cara perumusan APBD mulai dari tahap perumusan dan pengajuan sampai tahap
pengesahannya. Demikianlah makalah ini dibuat, semoga dapat menambah pemahaman
pembaca dan penulis dalam perumusan sampai pada tahap pelaksanaan  APBD.
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Adisasmita, Rahardjo. 2011. Pengelolaan Pendapatan dan  Anggaran  Daerah, 


Graha Ilmu: Yogyakarta

Widjaja, Haw. 2005. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka


Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. PT
Grafindo Persada

Widjaja, Haw. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta. PT Grafindo
Persada

Referensi Internet

kampus4u.blogspot.ca (2015, 29 November). Permasalahan Umum dan Klasik dalam


Penyusunan APBD. Diperoleh 24 Juli 2016.

Peraturan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014.  Tentang
Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran
2015

Peraturan Presiden  Nomor  43  Tahun  2014  tentang  Rencana Kerja  Pemerintah 
Tahun  2015
                 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan  Daerah

Anda mungkin juga menyukai