Anda di halaman 1dari 4

Nama : Herawadi Irawan

Nim : 030063225

1. Apa yang dimaksud dengan proportional representation?

Jawab:
Sistem pemilihan proporsional (sistem pemilihan/perwakilan berimbang, ‘Proporsional
representation’, ‘multimember constituency’): yaitu di dalam satu daerah pemilihan
dipilih beberapa wakil.

Menurut sistem ini, negara dipandang sebagai ‘satu daerah pemilihan yang besar’, namun
untuk keperluan teknis administratif, yaitu pengumpulan dan perhitungan suara dan lain-
lain, negara dapat dibagi atas beberapa daerah pemilihan (resort), dimana di setiap daerah
pemilihan itu dipilih sejumlah wakil sesuai dengan banyak penduduknya. Jumlah wakil
tersebut ditentukan oleh jumlah pemilih dalam daerah pemilihan itu dibagi dengan apa
yang disebut sebagai ‘bilangan pembagi pemilih’ (electoral quotient, kiesquotient), yaitu
suatu perbandingan/ratio anatar jumlah pemilih dengan jumlah wakil yang akan duduk
dalam lembaga perwakilan yang ditetapkan melaui perundang-undangan.

2. Mengapa sistem proportional representation dikaitkan dengan konsep stembus


accord? Jelaskan!

Jawab:
Karena jumlah suara yang diperoleh setiap kontestan pemilu dihitung secara nasional lalu
dibagi dengan bilangan pembagi sehingga didapat sejumlah kursi untuk kontestan
tersebut secara proporsional atau sesuai jumlah yang berhasil diraihnya.

Suara lebih yang tidak genap terbagi pada tingkat daerah (resort) dapat ditambahkan
dengan sisa suara dari daerah lain pemilihan lainnya atau digabungkan secara nasional
untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan.
Kalau jumlah penggabungan sisa suara itu tidak habis terbagi oleh bilangan pembagi,
maka dengan sendirinya bisa terbuang, kecuali bila terjadi kesepakatan kotak suara
dengan kontestan lainnya (stembus accoord).

Oleh karena itu didalam sistem ini dimungkinkan adanya pentotalan secara nasional,
maka sangat terbuka peluang bagi partai-partain kecil untuk meraih paling sedikit satu
kursi di dalam lembaga perwakilan rakyat, tanpa harus bekerjasama dengan kontestan
lainnya. Itu berarti, partai politik peserta pemilu akan terjamin kelanjutan eksistensinya.

3. Sebutkan dan jelaskan 3 (tiga) kelemahan sistem proportional representation.

Jawab:
Miriam dengan lengkap menunjuk tiga kelemahan sistem pemilihan ini:
1) Mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Tidak menjurus
ke arah inntegrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, serta lebih
cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk
mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umunya dianggap bahwa sistem
ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.
2) Wakil yang terpilih merasa diri nya lebih terikat kepada partaii dan kurang merasakan
loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal ini adalah karena dianggap bahwa
dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya daripada seseorang.
Hal tersebut mengakibatkan kuatnya kedudukan pimpiinan partai.
3) Banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena
pemerintah dibentuk dari koalisi dua partai atau lebih.

4. Jelaskan keterkaitan sistem pemilihan distrik dengan istilah ‘stelsel perorangan’!

Jawab;
Sistem pemilihan diditrik (single-member costituency) : yaitu dalam satu daerah
pemilihan dipilih ‘satu wakil’. Negara menurut sistem ini dibagi atas sejumlah distrik
pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang direncanakan dalam lembaga
perwakilan rakyat. Berarti dari satu distrik pemilihan hanya terdapat seorang wakil saja.
Perwakilan dari distrik adalah partai politik (dalam hal ini diwakili seorang individu)
yang dianggap erat hubungannya dengan distrik tersebut, o;eh karenanya sistem ini sering
dinamai sebagai ‘stelsel perorangan’ (personen stelsel).

5. Apa yang dimaksudkan dengan functional or occupational representation?

Jawab:
Yaitu Pengangkatan berbagai golongan fungsional didalam mengisi lembaga perwakilan
rakyat.

6. Ada istilah legitimate, trustee, dan delegate dalam penyelenggaraan pemilu yang


demokratis. Jelaskan masing-masing istilah tersebut?

Jawab:
1. Legitimate (Sah)
dalam kontek ini, demokrasi dipahami sebagai suatu sistem yang secara luas
membuka peluang bagi berlangsungnya ‘arrangement’ kelembagaan untuk
memperoleh pemimpin yang ‘legitimate’.
2. Trustee (Wakil)
Seseorang yang dipilih untuk jabatan legislatif bukanlah dimaksudkan sekedar
sebagai utusan dari para konstituennya, apalagi sekedar sebagai utusan partai atau
organisasi dimana ia bernaung. Ringkasnya, setiap anggota legislatif pada hakekatnya
dipilih untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab atas semua tindakannya
sebagai wakil rakyat. Ini yang dalah terminologinya disebut ‘Trustee’ yang biasanya
dibedakan dengan ‘delegate’.
3. Delegate (Delegasi)
Menurut bruke tidak ada kewajiban bagi seorang wakil rakyat untuk mengikuti
kehendak konstituennya jika kepentingan yang lebih besar (kepentingan nasional),
menurut penilaiannya, mengharuskannya mengambil sikap yang berbeda dengan kata
lain, pada situasi tertentu, seorang wakil rakyat perlu menyadari bahwa ia memiliki
tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar mewakili konstituen atau
partainya. Itu lah arti dari delegasi.

7. Dikatakan bahwa pemilu di masa transisi tidak memiliki sense of priority, sense of


security dan sense of crisis. Jelaskan!

Jawab:
Sense of priority atau Ketidakmampuan dalam mengambil langkah prioritas dalam
kebijakan-kebijakannya, dapat dilihat dari usulan mengenai pemekaran provinsi maluku
dan irian jaya yang harus selesai sebelum pemilu, serta kebijakannya atas kasus timor-
timur yang terkesan hanya merupakan pemikiran yang tidak tepat waktu dan tanpa
prosedur maupun mekanisme yang jelas. Kebijakan kebijakan tentang timor-timur dan
pemekaran provinsi irian jaya telah menimbulkan masalah baru, yang seharusnya
dihindarkan terlebih dahulu mengingat krisis didalam negeri yang belum juga reda.

Sense of crisis ketidakmampuan pemerintah transisi dalam mengatasi crisis, bahkan


cenderung memperluas medan krisis. Berlarut-larut kasus ambon dan aceh misalnya,
menunjukkan luasnya krisis, yang sebenarnya harus segera diselesaikan secara bijak,
karena selain menggerogoti kredibilitas pemerintah, juga dapat menyebabkan disintegrasi
bangsa.

Sense of security ketidakseriusan pemerintah dalam upaya penegakkan hukum, khususnya


yang menyangkut mantan presiden Soeharto. Terlihat jelas, suasana menjelang pemilihan
umum 1999 diwarnai oleh situasi dan kondisi yang yang labil.

8. Jelaskan perbedaan pelaksanaan pemilu masa Orde Baru dan era Reformasi!

Jawab:
Masa orde baru lahir pada 1966 ditandai dengan keberhasilan pemerintah mengatasi
permasalahan G30S/PKI pada 1 Oktober 1965. Masa orde baru berakhir pada 1998
dipimpin oleh presiden Soeharto, sedangkan masa Reformasi muncul di abad ke 16
dimana masa ini adalah masa setelah Orde baru. Masa Reformasi ditandai dengan
penggulingan pemerintahan Soeharto oleh mahasiswa pada 1998. Tentunya ini juga
sangat berpengaruh pada sistem pemilu saat itu berbeda dengan cara menghargai jasa
pahlawannya, dan berikut merupakan perbedaan pemilu orde baru dan reformasi:
1) Pada masa orde baru menggunakan dasar UUD No. 15 tahun 1969 sedangkan pada
masa reformasi menggunakan dasar UUD No. 13 tahun 1999.
2) Pada masa orde baru hanya ada 3 partai politik yaitu PDI, PPP, dan GOLKAR,
sedangkan pada masa Reformasi ada 48 parpol.
3) Hasil pemilu pada masa orde baru dimenangkan oleh GOLKAR sedangkan pada masa
reformasi dimenangkan oleh partai demokrat
4) Pada masa orde baru tidak ada pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota
legislatif secara langsung, sedangkan pada masa reformasi pemilihan presiden dan
wakil presiden serta anggota legislatif dipilih secara langsng.
5) Hanya ada sekali pemilu pada masa orde baru sedangkan pada masa reformasi ada
sekitar dua hingga tiga kali pemilihan partai anggota legislatif dan presiden beserta
wakilnya.
6) Pada masa orde baru diselenggarakan oleh pemerintah lewat KPU sedangkan pada
masa reformasi dilaksanakan oleh pemerintah lewak KPU secara bebas dan mandiri
serta diikuti seluruh parpol dan peserta yang bertanggung jawab langsung kepada
presiden.
7) Pada masa orde baru, pengawasan dilakukan pemerintah melalui bawaslu, sedangkan
pada masa reformasi pengawasan dilakukan pemerintah melalui bawaslu yang terdiri
dari panwaslu, LSM, dan rector (UNFREL)
8) \kekuatan politik pada masa orde baru berada ditangan pemerintah sedangkan pada
masa reformasi ditangan tiap partai politik.
9) Pada masa orde baru dimana rezim berkuasa yaitu GOLKAR bersikeras supaya
menang, sedangkan pada masa reformasi semua partai memiliki ambisi untuk menang
dalam pemilu.
10) Pada pemilihan orde baru terjadi kekrasan oleh pemerintah dan aparat kepada rakyat
sedangkan pada masa reformasi kekerasan kerap terjadi antara parpol dan massa yang
mendukung.
11) Adapun perbedaan pemilu orde baru dan reformasi berikutnya yaitu, ketika orde baru
menggunakan rezim obra dimana represi politik menjadi alat politik bagi penguasa
sedangkan pada masa reformasi kebebasan politik sebagai kekuatan parpol.
12) Pada masa orde baru, pelanggaran pemilu sering dilakukan oleh pemerintah,
GOLKAR, dan tentara sedangkan pada masa reformasi pelanggaran pada pemilu
sering dilakukan oleh massa parpol.
13) Pada pemilu masa orde baru kekerasan dalam politik dilakukan oleh pemerintah
menjadi isu utama sedangkan pada masa reformasi politik uang merupakan fenomena
utama ditengah masyarakat.
14) Pada masa orde baru pemerintah memonopoli legitimasi dalam melaksanakan pemilu
berbeda dengan nilai-nilai pancasila mengandung hubungan hak dan kewajiban,
sedangkan pada masa reformasi adanya pembagian legitimasi ditengah masyarakat
saat pemilu.

Sumber:
IPEM4318 – Sistem Kepartaian dan Pemilu

Anda mungkin juga menyukai