Anda di halaman 1dari 12

Pendahuluan

Perkembangan paradigma Psikologi Islam di Indonesia telah hampir berlangsung selama


dua dekade. Integrasi antara psikologi dan Islam telah muncul dari para ilmuwan yang berasal
dari disiplin keilmuan Islam. Zainal Abidin menyatakan bahwa integrasi yang berlangsung di
dalam disiplin psikologi dapat ditelaah melalui pola struktur pengetahuan dari pada ilmuwan
yang berkecimbung di dalamnya. Dinamika dalam upaya mengintegrasikan paradigma Islam ke
dalam konsep psikologi menunjukkan fase route to normal science dari gerakan keilmuwan yang
selalu ditandai dengan proses revisi dan interpretasi antar generasi (Jurnal Psikologi Integratif,
2013).
Manusia merupakan makhluk yang sempurna, yang diciptakan berbeda dengan makhluk
lainnya. Hal yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya adalah perkembangan
kognitif manusia. Perkembangan kognitif juga merupakan bagian dari fase perkembangan
karakteristik manusia yang penting. Dimana perkembangan kognitif disama artikan dengan
perkembangan intelektual atau intelegensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya kecuali
manusia. Psikologi Islam memiliki berbagai sumber klasik, di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist
terdapat banyak ayat-ayat yang menceritakan seluruh hal yang berkaitan dengan manusia.
Lahirnya Psikologi Islam tidak terlepas dari sejarah upaya Islamisasi pengetahuan. Ancok dan
suroso (1994) mengatakan bahwa sejarah perkembangan Islamisasi pengetahuan telah dimulai
pada abad 20 yang dipelopori oleh salah satu lembaga The International Institute of Islamic
Thought (IIIT) pada tahun 1931 yang awalnya berpusat di Washington DC Amerika Serikat.
Kecerdasan (Intelegensi) setiap individu berkembang sejalan dengan interaksi antara aspek
perkembangan yang satu dengan aspek perkembangan yang lain. Membahas mengenai
perkembangan kognitif berarti membahas tentang perkembangan individu dalam berfikir atau
peroses kognisi dengan tujuan untuk mengetahui.
Pembahasan
A. Teori Kognitif
Berbagai usaha yang dilakukan untuk memahami proses mental (pikiran) manusia,
ternyata telah dipelajari para ahli filsafat sejak 300 tahun sebelum masehi. Teori kognitif telah
menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional
yang dimiliki. Terdapat beberapa tokoh dalam aliran kognitif, diantaranya; Thorndike, Watson,
Clark L. Hull, Edwin Guthrie dan Skiner.
a. Teori perkembangan kognitif piaget
Menurut Jean Piaget perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1)
kematangan sebagai hasil dari perkembangan susunan syaraf, 2) pengalaman, yaitu
hubungan timbal balik antara organisme dengan dunianya, 3) interaksi sosial, yaitu
pengaruh yang diperoleh dari hubungan sosialnya, dan 4) ekuilibrasi, yaitu adanya
kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar mampu mempertahankan
keseimbangan dan penyesuaian diri dengan lingkungannya.
Piaget berpendapat bahwa seorang anak mengalami proses perkembangan secara
maju melalui empat tahap perkembangan kognitif, dari awal lahir hingga dewasa, yaitu:
1. Tahap sensori motor, yaitu pada umur 0-2 tahun atau disebut sebagai masa bayi,
pada masa ini bayi belum bisa melakukan banyak gerakan, pada umumnya apa
bila bayi ini merasa lapar atau haus, ia hanya akan menangis dan mengeluarkan
lidah guna untuk memberi tahu orang disekelilingnya bahwa ia sedang lapar dan
haus.
2. Pra operasional, yaitu pada umur 2– 7 tahun sebagai masa anak-anak. Pada
umumnya masa ini perkembangan kognitif anak akan berkembang dengan sistem
belajar modeling atau meniru apa yang dia lihat.
3. Operasi kongkrit, yaitu usia 7–12 tahun dimana masa akhir anak, dia mulai bisa
memahami segala hal yang ada disekitarnya.
4. Operasi formal, yaitu usia diatas 12 tahun (remaja), ia mulai paham dengan
lingkungan eksternalnya.
b. Teori perkembangan kognitif Vygotsky
Lev Vygotsky (1886-1934) adalah tokoh Psikologi asal rusia. Vygotsky
mengemukakan pendapatnya tentang kognisi sosial yang diartikannya sebagai
pengetahuan tentang lingkungan sosial dan hubungan interpersonal. Model ini
menyatakan tentang dampak atau pengaruh pengalaman sosial terhadap perkembangan
kognitif. Faktor ini menyatakan bahwa faktor kebudayaan sebagai faktor penentu bagi
perkembangan indivdu.
Lev Vygotsky menyakini bahwa perkembangan kognitif menghasilkan proses
sosial intruksional, yang dengannya anak belajar saling tukar pengalaman dalam
memecahkan masalah dengan orang lain. Menurutnya dengan kebudayaan mampu
memberikan cara pembelajaran terhadap anak tentang apa yang dipikir dan bagaimana
cara berpikir.

c. Teori perkembagan kognitif Jerome Bruner


Hampir sama dengan Lev, bahwa budaya memiliki pengaruh terhadap tingkah laku
seseorang. Ada tiga model belajar dari Bruner, yaitu:
1. Enaktif, yaitu tahap seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
memahami lingkungan sekitar. Misal dengan gigitan, setuhan dan pegangan.
2. Ikonik, yaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisai verbal, contoh gambar atau media, visualisasi
yang gerak dan anak belajar mengunakan bentuk perumpamaan dan
perbandingan.
3. Simbolik, yaitu tahap seseorang guna mampu memiliki ide-ide atau gagasan
yang abstrak yang dipengaruhhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika
(matematika).

TELAAH KRITIS TERHADAP TOKOH PSIKOLOGI ISLAM KLASIK

Secara istilah, kata jiwa pada beberapa pandangan ulama dan filosofi muslim. Para filosofi
muslim-terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina umumnya sepakat mendefiniskan bahwa jiwa
adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki
kehidupan yang energik.
a. Teori Belajar Al-Ghazali

Al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Ahmad Al-
Ghazali Al Thusi,ia dilahirkan di Thurasan. Al-Ghazali merupakan seorang tokoh teolog
Muslim, filosof Muslim dan seorang Sufi. Pandangan dan ajaran Al-Ghazali mengenai
manusia berangkat dari pemahaman beliau mengenai penciptaan manusia (Adam a.s)
seperti diungkapkan dalam al-Qur’an Surah Al-Hijr/15: 29
۟ ‫ت فِي ِه ِمن رُّ و ِحى فَقَع‬
َ‫ُوا لَهۥُ ٰ َس ِج ِدين‬ ُ ‫فَإ ِ َذا َس َّو ْيتُهۥُ َونَفَ ْخ‬
Yang artinya, “Dan ketika Aku sempurnakan kejadiannya (manusia) Aku tiupkan ruh-Ku
ke dalam dirinya”
Selanjutnya, dalam buku yang sama Al-Ghazali membahas empat unsur utama
struktur keruhanian manusia, yakni kalbu, ruh, akal, dan nafsu. Menurut beliau keempat
unsur itu masing-masing memiliki dua arti jasmaniah dan arti ruhaniah. Disini Al-Ghazali
memiliki pengertian belajar dari sudut pandang beliau, mengenai perkembangan kognitif
manusia. Berkaitan dengan belajar Imam Al-Ghazali memandang anak sebagai suatu
anugerah Allah dan sekaligus amanah bagi kedua orang tuanya. Menurut Imam Al-
Ghazali, orang tua memiliki peran penting bagi pendidikan anak nya untuk mencapai
keberhasilan. Apabila orang tua dapat melaksanakan amanah, ia akan mendapat pahala di
sisi Allah, dan begitupun sebaliknya jika ia melalaikan tugas dan amanahnya, ia akan
mendapatkan dosa.
Menurut Al-Ghazali, menuntut ilmu (belajar) hukumnya adalah wajib. Sesuai
dengan sabda Rasulallah SAW. yang menyatakan “tuntutlah Ilmu hingga ke negeri Cina
sekalipun”. Sabda tersebut sesuai dengan tujuan yang diingikan oleh Al-Ghazali, dimana
belajar sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan Al-Ghazali tidak
membenarkan belajar dengan tujuan hanya duniawi saja. Dalam hal ini Al-Ghazali
menyatakan, hasil dari ilmu pengetahuan yang sesungguhnya adalah mendekatkan diri
kepada Allah, Tuhan sekalian alam dan menghubungkan diri dengan malaikat yang tinggi
dan berkumpul dengan alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan kehormatan secara
naluriyah guna tidak hanya mendapatkan ilmu duniawi tetapi juga ilmu akhirat.
Berdasarkan beberapa pernyataan Al-Ghazali, ada beberapa hal yang menjadi
perhatian, yaitu:
1. Belajar dan pembelajaran adalah proses untuk memanusiakan manusia. Prinsip ini
sesuai dengan aliran psikologi belajar humanisme, yaitu: manusia mempunyai
kemampuan untuk belajar secara alami, belajar akan bermakna jika siswa
melakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab, berinisiatif, percaya diri,
kreatif, mawas diri, intropeksi, dan terbuka.
2. Waktu belajar adalah seumur hidup, dimulai dari masa konsepsi hingga meningal
dunia. Bahkan Al-Ghazali menegaskan bahwa untuk mencapai keberhasilan
belajar anak, orang tua adalah sebagai tempat pertama pembelajaran terhadap
anak, dimulai sebelum anak itu dilahirkan di dunia. Yaitu ketika suami istri
hendak melakukan hubungan suami istri, maka harus dilakukan dengan benar
sesuai dengan sunah rasul, antara lain: harus dalam keadaan suci dari hadast kecil
(berwudlu’), membaca basmalah, surat Al-ikhlas, membaca takbir, tahlil dan doa-
doa lainnya.
3. Belajar adalah sebuah pengalihan ilmu pengetahuan, yaitu sesuai dengan pendapat
tokoh psikologi kognitif Reber dan Wilke, bahwa belajar sebagai suatu perubahan
kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat
(berulang).
Adapun prinsip belajar dari Al-Ghazali, yaitu:
 Belajar merupakan proses jiwa
 Belajar guna mencapai konsentrasi
 Belajar harus didasari sikap tawadlu’
 Belajar harus memiliki dasar yang jelas
 Belajar harus memiliki tujuan yang jelas
 Belajar dilakukan secara bertahap
 Tujuan belajar adalah membentuk akhlak yang mulia

Adapun proses belajar menurut Al-Ghazali, yaitu:

 Konsentrasi
 Memiliki dan mengetahui tujuan belajar
 Belajar dari yang jelas (kongkritt) kepada yang sukar (abstrak)
 Ikhlas
 Tidak menjelek-jelekkan Ilmu
 Berkelanjutan atau terus-menerus.
b. Ibnu Rusyd
Ketika menjawab argumen al-Ghazali tentang eternalitas alam (qidam al-âlam),
dalam al-Tahafut Tahafut Ibn Rusyd menegaskan bahwa jiwa dengan badan dapat
dianalogikan seperti sinar dengan objek atau materi yang disinarinya. Sinar akan terbagi
sesuai materi yang tersinari, sehingga seakan-akan ia banyak, namun kemudian ia akan
menyatu kembali ketika materi itu musnah. Lebih lanjut Ibn Rusyd mengargumenkan
bahwa ketika manusia mati jasadnya akan hancur atau musnah dan kembali ke materi
asalnya, tanah. Namun tidak demikian halnya dengan ruh. Ia akan tetap kekal (khald) dan
kembali ke sisi-Nya bersatu bersama ruh-ruh yang suci, sebab ia memang berasal dari-
Nya. (Jurnal Analytica Islamica, 2015) Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal
dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar
diberikan untuk Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling
dikenal Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu
Muhammad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15
tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah
hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang
mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran,
hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far
Harun dan Ibnu Baja.
Menurut Ibnu rusy kemapuan manusia dalam menerima kebenaran dan bertindak
dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara
manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni: 1) Lewat metode al- Khatabiyyah
(Retorika) 2) lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika) 3) Lewat metode al-Burhaniyyah
(demonstrative)
1. Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli
takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas
manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok
manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
2. Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara
dialektik.
3. Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan
filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan
dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan
kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik.
Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa
menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak
lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman
secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 : َ ِ

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)

Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan


mereka itu tidak/ belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan
menyusahkan mereka. Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan
sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh
Allah SWT. sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan
intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan
metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara
saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi
literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia
adalah kegiatan Ta’wil . Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral
dalam kitab beliau ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek
pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan
kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan
nalar Burhani, ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan
persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan
Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd
beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu
jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas
makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang
dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki
(riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar
tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan
“sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya faktor kemiripan ,
menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang
mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash
sehingga perlu dita’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang
tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman
kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran .
Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah
untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap
kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil ‘Ilm) untuk
merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
c. Ibnu Sina
Melalui serangkaian eksperimen dan analisisnya, Ibn Sina telah menulis karya
monomuntetal dalam bidang Psikologi dan kedokteran, yaitu al-Qanun fi al-Tib. Menurut
Ibn Sina, jiwa merupakan kesempurnaan awal, yang dengannya individu menjadi
manusia yang bereksistensi secara nyata. Secara ekstensif, Ibn Sina membagi struktur
jiwa manusia kepada al-nafs al-nabatiyah (jiwa tumbuh-tumbuhan), al-nafs al-bahimiyah
(jiwa hewan), dan al-nafs al-nathiqah (jiwa rasional). (Jurnal Analytica Islamica, 2015).
al-Nafs al-Nabatiyah adalah kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan
mekanistik yang memiliki daya nutrisi, daya penumbuh, dan daya generatif. Kemudian
al-Nafs al-Bahimiyah merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat
mekanistik yang mampu menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.
Jiwa ini memiliki dua kekuatan, yaitu daya penggerak – sebagai pemicu dan pelaku -- dan
daya persepsi, baik persepsi luar maupun persepsi dalam. Sedangkan al-Nafs al-Nathiqah
adalah jiwa yang dinisbahkan kepada akal yang terbagi kepada akal praktis dan akal
teoretis. Akal praktis merupakan daya yang memiliki kecenderungan untuk mendorong
individu memuaskan perbuatan yang pantas dilakukan atau dtinggalkan (perilaku moral).
Sedangkan akal teoretis adalah kemampuan mempersepsi potret universal yang bebas dari
materi (Jurnal Analytica Islamica, 2015).
Dalam pemikiran filsafatnya mengenai Tuhan dan kejadian alam, Ibn Sina juga
mempunyai ‘faham emanasi’. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal
Pertama memancar Akal Kedua, demikian seterusnya sampai Akal Kesepuluh. Menurut
Ibn Sina akal-akal itu adalah malaikat, dan Akal Pertama adalah malaikat tertinggi,
kemudian Akal Kesepuluh, yang mengatur bumi, adalah Jibril. Menurut Ibn Sina, Akal
Pertama mempunyai dua sifat, yaitu (a) sifat wajib wujudnya, karena ia sebagai pancaran
Tuhan; dan (b) sifat mungkin wujudnya, apabila dilihat dari hakekat dirinya, karena ia
sebagai hasil dari sesuatu yang lain. Dengan demikian Akal Pertama mempunyai tiga
obyek pemikiran, yaitu: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya, dan dirinya sebagai
mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan munculah akal-akal; dari pemikiran
tentang dirinya yang wajib wujudnya munculah jiwa-jiwa; dan dari pemikiran tentang
dirinya yang mungkin wujudnya munculah langit-langit (planet).
Jiwa manusia yang memancar dari Akal Kesepuluh menurut Ibn Sina dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu: (a) Jiwa Tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang di dalamnya
memuat daya makan, daya tumbuh, dan daya berkembang biak; (b) Jiwa Binatang (al-
nafs al-hayawaniyah), yang di dalamnya memuat daya gerak dan daya menangkap
(meliputi menangkap dari luar dan menangkap dari dalam –indera bersama, representasi,
imajinasi, estimasi, dan rekoleksi); dan (c) Jiwa Manusia (al-nafs al-Nathiqah), yang di
dalamnya memuat daya praktis dan daya teoritis. Daya praktis menurut Ibn Sina
mempunyai kedudukan penting, karena ia akan mengontrol badan manusia, sehingga
hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menghalangi berkembangnya daya teoritis.
Sementara daya teoritis mempunyai empat tingkatan, yaitu: (a) Akal Materil (material
intellek atau al-aql al-hayulani), yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir; (b)
intellectus in habitu (al-aql bi al-malakah), yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang
hal-hal abstrak; (c) Akal Aktuil (al-aql bi al-fi’l), yang telah dapat berpikir tentang hal-hal
abstrak, dan (d) Akal Mustafad (al-aql al-mustafad), yang telah sanggup berpikir tentang
hal-hal abstrak dengan tidak perlu daya upaya, sudah terlatih. Akal inilah yang sanggup
menerima ilmu pengetahuan dari akal kesepuluh.
KESIMPULAN
Kognitif menjadikan manusia pembeda dari ciptaan-ciptaan-NYA lainnya dan
membuat manusia menjadi ciptaan terbaik-NYA. Dengan belajar kognitif diasah dan
berkembang, bahkan sabda Rasulallah SAW. menyatakan “tuntutlah Ilmu hingga ke negeri Cina
sekalipun” menyatakan bahwa manusia perlu untuk mengembangkan dan mengasah kognitifnya
agar kognitif tetap terjaga. Seperti kata Jean Piaget bahwa kognitif berkembang dari lahir hingga
kematian, yang artinya kognitif manusia tidak akan berhenti berkembang selagi manusia itu
masih bernyawa maka kognitif masih berkerja. Pada umumnya kognitif manusia itu sama yang
membedakannya hanya cara dan penggunaanya saja.

DAFTAR PUSTAKA
Ancok, J & Suroso.2000.Psikologi Islam.Yogyakarta:Pustaka Belajar.

Baihaqi.2016.Pengantar Psikologi Kognitif.Bandung:PT.Refika Aditama.

Burhani dalam http://citrariski.blogspot.com/2010/12/burhani.html diakses tanggal 21


september 2018.

Faturohman.Ibnu Rusyd dan Pemikirannya. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam.

http://staffnew.uny.ac.id

Rasyidin, Al (2015). Psikologi Dalam Perspektif Sains Islam : Kajian Historis Pemikiran
Islam. Jurnal Analytica Islamica. Vol. 4. No. 2. 296-311.

Syafieh.2013.Filsafat Islam Al-Ghazali dan Pemikiran Filsafatnya.

Zar, Sirajuddin.1999.Filsafat Islam.Padang:IAIN Press.

Anda mungkin juga menyukai