Secara istilah, kata jiwa pada beberapa pandangan ulama dan filosofi muslim. Para filosofi
muslim-terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina umumnya sepakat mendefiniskan bahwa jiwa
adalah “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik dan memiliki
kehidupan yang energik.
a. Teori Belajar Al-Ghazali
Al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Ahmad Al-
Ghazali Al Thusi,ia dilahirkan di Thurasan. Al-Ghazali merupakan seorang tokoh teolog
Muslim, filosof Muslim dan seorang Sufi. Pandangan dan ajaran Al-Ghazali mengenai
manusia berangkat dari pemahaman beliau mengenai penciptaan manusia (Adam a.s)
seperti diungkapkan dalam al-Qur’an Surah Al-Hijr/15: 29
۟ ت فِي ِه ِمن رُّ و ِحى فَقَع
َُوا لَهۥُ ٰ َس ِج ِدين ُ فَإ ِ َذا َس َّو ْيتُهۥُ َونَفَ ْخ
Yang artinya, “Dan ketika Aku sempurnakan kejadiannya (manusia) Aku tiupkan ruh-Ku
ke dalam dirinya”
Selanjutnya, dalam buku yang sama Al-Ghazali membahas empat unsur utama
struktur keruhanian manusia, yakni kalbu, ruh, akal, dan nafsu. Menurut beliau keempat
unsur itu masing-masing memiliki dua arti jasmaniah dan arti ruhaniah. Disini Al-Ghazali
memiliki pengertian belajar dari sudut pandang beliau, mengenai perkembangan kognitif
manusia. Berkaitan dengan belajar Imam Al-Ghazali memandang anak sebagai suatu
anugerah Allah dan sekaligus amanah bagi kedua orang tuanya. Menurut Imam Al-
Ghazali, orang tua memiliki peran penting bagi pendidikan anak nya untuk mencapai
keberhasilan. Apabila orang tua dapat melaksanakan amanah, ia akan mendapat pahala di
sisi Allah, dan begitupun sebaliknya jika ia melalaikan tugas dan amanahnya, ia akan
mendapatkan dosa.
Menurut Al-Ghazali, menuntut ilmu (belajar) hukumnya adalah wajib. Sesuai
dengan sabda Rasulallah SAW. yang menyatakan “tuntutlah Ilmu hingga ke negeri Cina
sekalipun”. Sabda tersebut sesuai dengan tujuan yang diingikan oleh Al-Ghazali, dimana
belajar sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan Al-Ghazali tidak
membenarkan belajar dengan tujuan hanya duniawi saja. Dalam hal ini Al-Ghazali
menyatakan, hasil dari ilmu pengetahuan yang sesungguhnya adalah mendekatkan diri
kepada Allah, Tuhan sekalian alam dan menghubungkan diri dengan malaikat yang tinggi
dan berkumpul dengan alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan kehormatan secara
naluriyah guna tidak hanya mendapatkan ilmu duniawi tetapi juga ilmu akhirat.
Berdasarkan beberapa pernyataan Al-Ghazali, ada beberapa hal yang menjadi
perhatian, yaitu:
1. Belajar dan pembelajaran adalah proses untuk memanusiakan manusia. Prinsip ini
sesuai dengan aliran psikologi belajar humanisme, yaitu: manusia mempunyai
kemampuan untuk belajar secara alami, belajar akan bermakna jika siswa
melakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab, berinisiatif, percaya diri,
kreatif, mawas diri, intropeksi, dan terbuka.
2. Waktu belajar adalah seumur hidup, dimulai dari masa konsepsi hingga meningal
dunia. Bahkan Al-Ghazali menegaskan bahwa untuk mencapai keberhasilan
belajar anak, orang tua adalah sebagai tempat pertama pembelajaran terhadap
anak, dimulai sebelum anak itu dilahirkan di dunia. Yaitu ketika suami istri
hendak melakukan hubungan suami istri, maka harus dilakukan dengan benar
sesuai dengan sunah rasul, antara lain: harus dalam keadaan suci dari hadast kecil
(berwudlu’), membaca basmalah, surat Al-ikhlas, membaca takbir, tahlil dan doa-
doa lainnya.
3. Belajar adalah sebuah pengalihan ilmu pengetahuan, yaitu sesuai dengan pendapat
tokoh psikologi kognitif Reber dan Wilke, bahwa belajar sebagai suatu perubahan
kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat
(berulang).
Adapun prinsip belajar dari Al-Ghazali, yaitu:
Belajar merupakan proses jiwa
Belajar guna mencapai konsentrasi
Belajar harus didasari sikap tawadlu’
Belajar harus memiliki dasar yang jelas
Belajar harus memiliki tujuan yang jelas
Belajar dilakukan secara bertahap
Tujuan belajar adalah membentuk akhlak yang mulia
Konsentrasi
Memiliki dan mengetahui tujuan belajar
Belajar dari yang jelas (kongkritt) kepada yang sukar (abstrak)
Ikhlas
Tidak menjelek-jelekkan Ilmu
Berkelanjutan atau terus-menerus.
b. Ibnu Rusyd
Ketika menjawab argumen al-Ghazali tentang eternalitas alam (qidam al-âlam),
dalam al-Tahafut Tahafut Ibn Rusyd menegaskan bahwa jiwa dengan badan dapat
dianalogikan seperti sinar dengan objek atau materi yang disinarinya. Sinar akan terbagi
sesuai materi yang tersinari, sehingga seakan-akan ia banyak, namun kemudian ia akan
menyatu kembali ketika materi itu musnah. Lebih lanjut Ibn Rusyd mengargumenkan
bahwa ketika manusia mati jasadnya akan hancur atau musnah dan kembali ke materi
asalnya, tanah. Namun tidak demikian halnya dengan ruh. Ia akan tetap kekal (khald) dan
kembali ke sisi-Nya bersatu bersama ruh-ruh yang suci, sebab ia memang berasal dari-
Nya. (Jurnal Analytica Islamica, 2015) Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal
dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar
diberikan untuk Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling
dikenal Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu
Muhammad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15
tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah
hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang
mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran,
hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far
Harun dan Ibnu Baja.
Menurut Ibnu rusy kemapuan manusia dalam menerima kebenaran dan bertindak
dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara
manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni: 1) Lewat metode al- Khatabiyyah
(Retorika) 2) lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika) 3) Lewat metode al-Burhaniyyah
(demonstrative)
1. Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli
takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas
manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok
manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
2. Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara
dialektik.
3. Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan
filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan
dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan
kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik.
Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa
menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak
lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman
secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 : َ ِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, J & Suroso.2000.Psikologi Islam.Yogyakarta:Pustaka Belajar.
http://staffnew.uny.ac.id
Rasyidin, Al (2015). Psikologi Dalam Perspektif Sains Islam : Kajian Historis Pemikiran
Islam. Jurnal Analytica Islamica. Vol. 4. No. 2. 296-311.