Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TEORI KEPRIBADIAN

Cara Anak pada Tahap Usia 2, 3, 4 Teori Perkembangan


Psikososial Erik Erikson Merespon Kedukaan (Grieving)

Disusun oleh:

Amelia Utami (1720901036)

Dosen Pengampu :

Eko Oktapiya Hadinata S. Psi.I.,MA.Si

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN RADEN FATAH
PALEMBANG
2018
CARA ANAK PADA TAHAP USIA 1, 2, 3, 4 TEORI
PERKEMBANGAN ERIK ERIKSON MERESPON KEDUKAAN
(GRIEVING)

Amelia Utami
Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang
Prodi Psikologi Islam
utamiamelia7@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana anak
pada tahapan usia 1, 2, 3, 4 teori perkembangan Erik Erikson merespon
dan menanggapi rasa berduka. Tahapan perkembangan menurut Erik
Erikson terbagi menjadi 8 tahapan. Pada makalah ini hanya akan
dibahas pada tahapan 1,2, 3, 4 karena pada tahapan setelah tahap 4
sudah memasuki tahap usia remaja akhir hampir dewasa.
Hasil penelitian ini anak pada tahap usia perkembangan 1,2,3,4
merasa sedih tetapi bingung. Mereka belum sadar akan konsep bahwa
kematian yang bersifat abadi.
Kata kunci : Anak, perkembangan, kedukaan, kematian.
Abstract
This research was aimed to analyze how children in stages of
age 1,2, 3, 4 development theory by Erik Erikson respons to grieving.
Developmental stages according to Erik Erikson are divided into 8
stages. In this paper only 1, 2, 3, 4’s stage of developments will be
discussed, because in the stages after fourth stage have entered late
adolescence to adult.
The conclusion of this research, children in stages of age
1,2,3,4 feel sad but confused. They aren’t yet aware of the concept
immortal of death.
Keywords : Children, development, grieving, death.
Pendahuluan

Teori Erik Erikson adalah teori yang beisikan tentang


perkembangan manusia, berkaitan dengan prinsip prinsip sosial. Teori
ini merupakan bentuk pengembangan dari teori psikoseksual dari
Sigmund Freud. Salah satu elemen penting dalam psikososial Erikson
adalah persamaan ego. Yaitu, perasaan sadar yang kita kembangkan
melalui interaksi sosial. Erikson membagi tahapan perkembangan
sosial menjadi delapan, yaitu :

 Tahap 1 usia 0-2 tahun ( Trust vs mistrust)


 Tahap 2 usia 2-3 tahun (autonomy vs doubt)
 Tahap 3 usia 3-6 tahun (initiative vs guilt)
 Tahap 4 usia 6-12 tahun (industry vs inferiority)
 Taha p 5 usia 12-20 tahun (identify vs role confusion)
 Tahap 6 usia 20-40 tahun (intimacy vs isolation )
 Tahap 7 usia 40-65 tahun (generativity vs self absorption)
 Tahap 8 usia 65 keatas (integrity vs despair)

Yang akan dibahas pada penelitian ini adalah tahapan


perkembangan ke- 1, 2, 3 dan 4. Mengapa mengawali dari tahapan awal
yakni 0-2 tahun ? Karena pada masa ini yang dikembangkan adalah
kepercayaan dan ketidakpercayaan pada lingkungannya. Peran ibu dan
orang terdekat yang mampu menciptakan keakraban dan kepedulian
dapat memberikannya kepercayaan dasar. Pada saat tahap ini jika anak
kehilangan orang terdekat dan terkasihnya maka akan berakibat
tumbuhnya perasaan tidak percaya terhadap lingkungan sehingga anak
mememandang dunia sekelilingnya sebagai tempat yang jahat. Dan
kelak menjadi anak yang penuh curiga (Slavin, 2006). Dan pertanyaan
lain yang muncul mengapa hanya empat tahapan yang dianalisis dari
delapan tahapan perkembangan menurut Erikson? Karena untuk
membatasi fokus penelitian hanya pada anak dan remaja awal.

Grieving (kedukaan) adalah respon emosi yang diekspresikan ketika


seseorang mengalami suatu kehilangan yang kemudian
dimanifestasikan dalam bentuk perasaan sedih , gelisah, cemas,
marah,dsb. Grieving describes the emotional state associated with
losing a person to whom one is attached (Prigerson, H. G., Frank, E.,
Kasl, S. V.1995)
Penyebab Grieving

Kedukaan (grieving) disebabkan oleh beberapa hal seperti berikut :

 Kehilangan seseorang yang dicintai


Kehilangan yang pertama yaitu kehilangan orang yang
dicintai , bisa orangtua, keluarga,sahabat terdekat seseorang
yang berpengaruh terhadap keadaan emosional seseorang.
Misalnya : kedukaan yang dirasakan anak saat orang tua
bercerai ( Linda Kurtz,1994): (Judith S. Wallerstein.1991)
 Kehilangan yang ada pada diri sendiri (Lost of self)
Kehilangan yang kedua, kehilangan yang ada pada diri
sendiri. Misalnya kedukaan yang dirasakan anak yang
kehilangan indera pendengarannya. (Donna L.Sorkin, Nancy
K.Mellon, 2015)
 Kehilangan objek eksternal

Kehilangan yang ketiga yakni kehilangan objek


eksternal. Maksudnya disini, kehilangan barang milik sendiri
bisa berupa uang, pekerjaan,dll. Kedalaman perasaan berduka
yang dirasakan tergantung pada seberapa berartinya objek
tersebut bagi diri sendiri.

 Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal


Kehilangan yang keempat yaitu kehilangan lingkungan
yang sangat dikenal. Misalnya : seseorang yang diharuskan
berpindah tempat secara permanen ketempat yang baru
menimbulkan perasaan berduka walaupun tidak terlalu parah.
 Kehilangan kehidupan atau meninggal
Jenis kehilangan yang terakhir adalah jenis kehilangan
yang menyebabkan kedukaan yang amat dalam bagi seseorang.
Hal ini berlaku juga pada orang yang akan menghadapi
kematian, menyebabkan mereka kehilangan kontrol akan diri
sendiri, gelisah,takut,putus asa,dll. Misalnya : pasien kanker
stadium akhir yang ada dirumah sakit yang tidak bisa
disembuhkan lagi dan telah divonis umurnya tak bertahan lama,
ibu yang berduka akibat kehilangan anaknya(Carlos Valiente-
Barrosoa, Rebeca Lombraña-Ruízb.(2014)

5 Tahap Berduka (5 Stages of Grieving)

Menurut Elisabeth Kubler Ross , the five stages of grieving are


denial, anger, bargaining, depression and acceptance.
 Denial ( Penolakan)
Fase ini adalah saat individu menolak, secara sadar
ataupun tidak disadari, fakta dan informasi yang berkaitan
dengan kehilangan yang ia alami. Hal ini adalah mekanisme
pertahanan diri (self defense). Namun seseoang bisa saja
“terjebak” pada tahapan ini dalam waktu yang sangat lama.
Karena dirinya belum mapu berhadapan dengan perubahan
traumatis dan berusaha untuk mengabaikannya.

 Anger (Kemarahan)
Fase kemarahan muncul ketika individu tak berusaha
untuk mengabaikan fakta dan informasi tentang kehilanganny
alagi.dan menyadari bahwa fase denial tak bisa membantunya
untuk bertahan dari perubahan yang traumatis itu. Kemarahan
bisa bermanifestasikan dalam berbagai cara tergantung dari
individu itu sendiri. Kemarahan ini bisa ditunjukkan dengan
marah pada diri sendiri atau kepada orang lain dan hal yang
diluar dirinya sendiri. Pada individu jenis kehilangan kehidupan
pada pasien kanker yang telah divonis hidupnya tak bisa
bertahan lama ia akan cenderung menyalahkan orang lain atas
kehidupannya yang tiak adil, karena kedukaan hanya ia yang
mengalami dan yang lain tidak. Dapat memahami fase ini
membantu orang yang berada disekeliling individu untuk tidak
ikut menghakimi dan memberikan support
 Bargaining (Bernegosiasi dengan cara yang baik)
Pada fase ketiga ini kebalikan dari fase kemarahan, yang
merasa tidak adil dan berusaha melawan kenyataan. Tahapan
bargaining berusaha melakukan pendekatan yang baik dengan
peristiwa kehilangannya dan merupakan fase berusaha meminta
pengharapan. Bagi yang beragama menggantungkan
harapannya pada Tuhan Yang Maha Kuasa dan mencoba untuk
berdamai dengan kehilangannya. Dan pada individu yang
kehilangan orang yang dicintainya ia akan mencoba untuk
bernegosiasi agar ditukar dirinya saja yang meninggal ataupun
bernegosiasi agar bisa mengembalikan orang yang dicintainya
tersebut.
 Depression (persiapan berduka)

Fase depresi atau persiapan berduka. Disaat fase tahapan


sebelumnya tidak membantu untuk menghadapi kedukaan,
maka individu akan menyerah pada kehidupan. Itulah mengapa
pada tahapan ini individu akan manarik diri dari lingkungan
sosial dan dari orang-orang terdekatnya. Individu lebih berdiam
diri dan menghabiskan waktu dan tenaga untuk menangis dan
benar-benar berduka. Orang-orang terdekat disarankan untuk
tidak mencoba menghibur. Karena fase ini sangatlah
sentimental dan harus dijalani orang tiap individu.
 Acceptance (Penerimaan)
Setelah proses tahapan yang telah dilewati , fase
penerimaan dianggap fase yang terakhir dimana individu
mengakui dan menerima kedukaan dan kehilangan yang
dialaminya. Saat tahap ini individu tidak benar benar baik,
mungkin yang ada hanya perasaan hampa. Namun keadaan
sudah netral tidak negatif dan tidak positif.
Tanggapan dari penulis yakni tak semua orang melewati
5 tahap ini, ada yang kurang dan ada yang lebih dari 5 tahap
untuk mencapai tahapan menerima. Berduka sangatlah
kompleks, tetapi dengan menginvestigasi manifestasi dari
kedukaan selama waktu yang tepat di masa perkembangan
kehidupan, intervensi mungkin bisa membatu seseorang untuk
mengoptimalkan kehidupannya. Sebagaimana studi yang
mengemukakan bahwa dengan prevalensi kesedihan yang
dialami remaja, dan kemungkinan perilakunya terkait dengan
perbedaan jenis kelamin , sama-sama membutuhkan bantuan
berupa dukungan sosial orang-orang terdekat. (Rachel M.
Shulla, Russell B. Toomey.2018)

Cara merespon kedukaan anak tahapan 1,2,3,4 Psikososial Erikson

Anak usia 2-3 tahun (tahap usia perkembangan ke 2 Psikososial


Erik Erikson ) belum mengerti akan konsep bahwa kematian yang
sifatnya abadi, dan orang yang telah pergi selamanya tak bisa kembali
lagi. Anak menganggap kematian seperti pergi liburan. Seseorang yang
mereka cintai telah pergi untuk sementara waktu, tetapi mereka
sepenuhnya berharap untuk melakukan kontak langsung dengan orang
yang telah pergi itu.

Hal ini relevan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa


para orangtua tidak bisa mendiskusikan hal yang berkaitan dengan
kematian kepada anaknya. Diidentifikasikan bahwa, orangtua
menganggap untuk melindungi anak mereka serta dirasa tidak perlunya
diberitahukan hal-hal yang berkaitan dengan kematian karena anak
yang belum bijaksana untuk mendiskusikn hal ini, sesuatu hal yang
sensitif untuk dibicarakan, dan ketidakmampuan anak (Ivana M. M.
van der Geest, Marry M. van den Heuvel-Eibrink:2015)

Anak usia 3-6 tahun (tahap usia perkembangan ke-3 Psikososial


Erikson ) pada tahapan ini yang dikembangkankan adalah inisiatif dari
anak. Inisiatif disini anak akan terus berinisiatif untuk bertanya terus-
menerus kemana perginya orang-orang yang terkasihnya. Sementara
usia 4-6 tahun dimana anak mencapai rasa otonominya bahwa ia
bangga bisa ini itu, namun disaat orang terdekatnya tidak ada ia akan
merasa tidak ada figur tempat ia membanggakan hal yang ia bisa dan
merasa bersalah. Hal ini selaras dengan yang ada pada penelitian bahwa
semakin besar tekanan lingkungan yang didapat anak semakin besar
pula tekanan emosionalnya(Michele R. Cooley-Quille,Samuel M.
Turner, Deborah,1995).
Anak 6-12 tahun (tahap usia perkembangan ke-4 Psikososial Erikson)
biasanya anak sudah memasuki usia sekolah dan remaja awal. Pada
masa ini kemampuan yang ditumbuhkan oleh anak adalah kerja aktif vs
rendah diri. Membandingkan diri sendiri dengan teman sebaya dan
social adjusment yang dilakukan lingkungan disekitar si anak(E.
Olivier, I. Archambault, V. Dupéré.2018). Saat mengalami kehilangan
yang berujung pada kedukaan, anak cenderung membandingkan dirinya
dan menyalahkan orang lain atas kedukaannya. Saat masa ini dukungan
sosial dan komunikasi terbuka tentang kedukaan yang dialami sangat
berpengaruh pada anak untuk melewati fase-fase
kedukaannya(Gabrielle A. Carlson, Joan R. Asarnow, And Israel
Orbach,1987)
Dengan nasehat terapi kesehatan, anak yang teridentifikasi HIV
lebih berusaha untuk berjuang dibandingkan remaja akhir dan orang
dewasa . Kebutuhan akan psikososial mereka berubah signifikan karena
penyakit yang ada didalam pikiran dibanding penyakit yang benar-
benar daialami di tubuh. Keluarga anak yang terinfeksi HIV lah yang
seharusnya mempersiapkan kedukaan dan untuk hidup mandiri (Haven
B. Battles, And Lori S. Wiener, D.C.S.W, 2002)
Coping
Coping sangat dibutuhkan, dalam artian bahwa atribut yang
dimiliki individu atas kematian seseorang yang terdekat berdasarkan
seberapa dekatnya orang tersebut dengan individu, kebudayaan,
metakognisi dan reaksi emosi ketika situasi penyebab stress
terjadi,faktor lingkungan, dukungan ekonomi individu, dan sumber-
sumber stress. Pemahaman ini dan hal yang berkaitan dengannya bisa
berubah selama waktu berlalu. (Hewson, 1997). Perasaan optimis dan
keadaan tanpa harapan juga dapat berubah untuk individu seiring
waktu.
Setelah kejadian yang traumatik kehilangan pada individu ,
fungsi kehidupan individu, nilainya menjadi negatif secara signifikan.
, cara memahami dunia dan mekanisme untuk mengatasi stress juga
secara serius dilakukan dan durasi untuk menganalisis reaksi kedukaan
menjadi lebih lama. Selain itu, stress dapat berkembang pada individu
yang mengalami kehilangan yang bersifat traumatis akibat trauma
(Gizir,2006)
Orang yang berduka harus memiliki dukungan psikologis dari
orang sekitarnya; dan seorang psikolog harus memberitahukan fase-
fase dari berduka kepada individu tersebut dan mengidentifikasikan
fokus metode untuk coping. Reaksi yang ditunjukkan orang berduka
karena kehilangan anggota keluargaberbeda dari indiviu yang
kehilangan orang lain. Jadi psikolog bisa memberikan konseling kepada
orang yang berduka berdasarkan reaksi dan durasi kedukaan atas
kehilangan anggota keluarganya (Seher Balci-Celik, Muge Yilmaz,
Hatice Kumcagiz, Zerrin Eren, 2011)
Tak ada data yang berpotensial pasti untuk menstabilkan mood pada
anak(Neal D. Ryan, Vinod S. Bhatara, James M. Perel.1999). Oleh
karena itu kedukaan pada anak tak benar-benar bisa di selidiki dan
diatasi. Pada anak perempuan di Tehran misalnya menggunakan kedua
teknik yaitu: Group Movie Therapy (GMT) & Supportive Group
Therapy (SGT). (Molaie,Abedin,Heidari.2010)
Kesimpulan
Perasaan berduka sangatlah kompleks. Ada beberapa tahapan
yang harus dilalui oleh tiap individu. Mulai dari tahapan menolak
kenyataaan, tahapan kemarahan, tahapan mencoba untuk
menggantungkan harapan, tahapan depresi dimana individu mulai
pasrah dan mengekspresikan kesedihan dan kehilangannya, hingga
sampai pada tahapan untuk menerima kedukaan dan menerima
kenyataan. Tiap orang berbeda-beda cara mengekspresikan
kedukaannya. Tak terkecuali anak dan remaja. Kedukaan yang ada
pada anak dan remaja cenderung sulit untuk diidentifikasikan dan
diatasi karena mood mereka yang tidak bisa diprediksi. Mereka sedih ,
namun masih bingung karena belum menyadari konsep abadi kematian.
Para orangtua mengklaim bahwa anak tidak perlu diberitahu tentang hal
itu karena mereka belum bijaksana dan tidak mampu untuk mencerna
hal itu. Sebagai orangtua yang bijak , haruslah untuk mencoba
memberitahukan apa itu konsep kematian dan yang pasti harus sesuai
porsi yang bisa dipahami oleh anak-anak dan remaja.
Daftar Pustaka

Ivana, van der Geest, Marry M. van den Heuvel-Eibrink, Liesbeth


M.van Vliet, Saskia M. F. Pluijm. (2015). Talking about Death
with Children with Incurable Cancer: Perspectives from
Parents. The Journal of Pediatrics.1-7.
Seher Balci-Celik, Muge Yilmaz, Hatice Kumcagiz, Zerrin Eren.
(2011). Ways of Coping and Gender in Predicting Mourning
Attitudes. Social and Behavioral Sciences. (30). 1260-1264.
Haven B. Battles, And Lori S. Wiener, D.C.S.W. (2002). From
Adolescence Through Young Adulthood: Psychosocial
Adjustment Associated With Long-Term Survival of HIV.
Journal of Adolescent Health. (30). 161-168.
Donna L.Sorkin, Nancy K.Mellon. (2015). Psychosocial Aspects of
Hearing Loss in Children. Otolaryngologic Clinics of North
America Journal. (48). 1073-1080.
Linda Kurtz. (1994). Psychosocial Coping Resources in Elementary
School Age Children of Divorce. American Journal of
Orthopsychiatry. (64). 344-376
Gabrielle A. Carlson, Joan R. Asarnow,Israel Orbach. (1987)
Developmental Aspects of Suicidal Behavior in Children: I.
Journal America Academy Children and Adolescent Psychiatry.
(26).186-192.
Michele R. Cooley-Quille,Samuel M. Turner, Deborah. (1995).
Emotional Impact of Children's Exposure to Community
Violence: A Preliminary Study. Journal America Academy
Children and Adolescent Psychiatry. (34).1362-1368.
E. Olivier, I. Archambault, V. Dupéré. (2018).Boys' and girls' latent
profiles of behavior and social adjustment in school:
Longitudinal links with later student behavioral engagement and
academic achievement.Journal of School Psychology.(69) 28-44
Prigerson, H. G., Frank, E., Kasl, S. V. (1995). Complicated grief and
bereavement-related depression as distinct disorders:
preliminary empirical validation in elderly bereaved spouses.
American Journal of Psychiatry .(152). 22–30.
Neal D. Ryan, Vinod S. Bhatara, James M. Perel. (1999). Mood
Stabilizers In Children And Adolescents. Journal America
Academy Child Adolescent Psychiatry,(38).529-536.
Rachel M. Shulla, Russell B. Toomey. (2018) Sex differences in
behavioral and psychological expression of grief during
adolescence:A meta-analysis. Journal of Adolescence.(65).219–
227.
Wendy A. Umberger, Judy Risko,Edward Covington.(2015) .The
Forgotten Ones: Challenges And Needs Of Children Living
With Disabling Parental Chronic Pain. Journal of Pediatric
Nursing (30). 498–507
Carlos Valiente-Barrosoa, Rebeca Lombraña-Ruízb.(2014).
Comprehensive wellbeing and variables linked to religiosity in
mothers with children who died. Journal of Social and
Behavioral Sciences (132).486 – 491
Judith S. Wallerstein .(1991).The Long-Term Effects of Divorce on
Children. Journal America Academy Children Adolescent
Psychiatry. (30) 349-360
Dimitri van der Lindena, Curtis S. Dunkelb, Mattie Topsc, Michael P.
Hengartnerd, Paraskevas Petroua. (2018) Life history strategy
and stress: An effect of stressful life events, coping strategies,
or both. Personality and Individual Differences Journal
(135).277–285
Anne L. Bateman. (1999). Understanding The Process of Grieving and
Loss : A Critical Social Thinking Perspective. Journal of The
America Psychiatric Nurses Association. (5) 139-149.
Margaret Fisher Brillinger.(1997).Paths Of Learning, Grieving And
Transforming. Elseivier Science Ltd. (29) 749-754
A Ered, L.E. Gibson, S.D. Maxwell, S. Cooper, L.M. Ellman. (2017).
Coping as a mediator of stress and psychotic-like experiences.
European Psychiatry.
Molaie,Abedin,Heidari. (2010) Comparing the Effectiveness of Group
Movie Therapy (GMT) Versus Supportive Group Therapy
(SGT) for Improvement of Mental Health in Grieving
Adolescent Girls in Tehran. Social and Behavioral Sciences
Journal.(5). 832-837
Sarah T. Stahla, James Emanuela, Steven M. Albertb,Richard Schulza,
Gregg Robbins-Weltya, Charles F. Reynolds. Design and
rationale for a technology-based healthy lifestyle intervention in
older adults grieving the loss of a spouse.Contemporary
Clinical Trials Communications Journal.99-105

Anda mungkin juga menyukai