Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

TEORI PENGKAJIAN FIKSI

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

KAJIAN PROSA INDONESIA

DOSEN: Megasari Martin, S,S,.M,Pd

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1

SHINTA SAFIRA 20120010

SRI NITA 20120003

ZELVI KURNIATI 20120008

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Bismillahirrahmanirrahim..

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya. Tidak lupa pula sholawat dan salam kami panjatkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang seperti saat ini.

Kami juga menyampaikan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah kajian
prosa indonesia yang telah membantu dan membimbing kami dalam menyelesaikan makalah
ini yang berjudul teori pengkajian fiksi .Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan pada makalah ini,sehingga kami senantiasa terbuka untuk menerima saran serta
kritik pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua,khususnya bagi mahasiswa
prodi pendidikan bahasa dan sastra indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Padang panjang, 2 Mei 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................................................1
C. Manfaat......................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Bahasa sebagai unsur fiksi.........................................................................................................2
a. Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena..........................................................................................2
b. Stile dan Stilistika..................................................................................................................5
c. Stile dan nada.......................................................................................................................10
B. Unsur Stile...............................................................................................................................13
a. Unsur leksikal..........................................................................................................................14
b. Unsur gramatikal.....................................................................................................................16
c. Retorika...................................................................................................................................17
d. Kohesi......................................................................................................................................24
C. PERCAKAPAN DALAM NOVEL.........................................................................................27
a. Narasi dan Dialog....................................................................................................................27
b. Unsur Pragmatik dalam Percakapan........................................................................................28
c. Tindak Ujar..............................................................................................................................29
CERPEN KOMPAS............................................................................................................................31
BAB III................................................................................................................................................35
PENUTUP...........................................................................................................................................35
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................35
B. SARAN...................................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya yang berjudul “Teori Pengkajian Fiksi” menjelaskan
bahwa kesusastraan adalah suatu bidang kajian yang termasuk ruang lingkup Bahasa
Indonesia di samping kajian kebahasaan yang lain. Materi yang tercakup dalam kesusastraan
adalah puisi, prosa, dan drama. Dalam pembelajarannya, materi itu terintegrasi dalam empat
keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Keterintegrasian
materi sastra dalam empat keterampilan berbahasa tersebut tujuannya adalah agar
memperoleh dan memiliki pengalaman berapresiasi sastra secara langsung.

Pengetahuan tentang kesusastraan adalah hal wajib sebagai bekal bagi calon guru bahasa,
khususnya bahasa Indonesia karena hal tersebut termasuk ketrampilan dasar yang harus
dimiliki. Berapresiasi sastra, dapat menambah pengetahuan, wawasan, kesadaran dan
kepekaan perasaan, sosial, dan religinya akan terasah, dan akan timbul penghargaan dan rasa
bangga terhadap sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia
Indonesia.

Prosa, fiksi dan drama merupakan objek kajian kesusastraan yang harus kita pahami
dengan demikian kita dapat menganalisa, mengapresiasi dan membuat karya prosa, fiksi, dan
drama, oleh sebab itu pada makalah ini penulis akan menjelaskan beberapa hal yang
berhubungan dengan prosa, fiksi dan drama

B. Tujuan
Makalah ini ditulis bertujuan sebagai konsep dalam mempelajari prosa, fiksi dan drama
serta jenis karya sastra dan hakikat karya sastra itu sendiri. Pengetahuan tentang karya sastra
merupakan pengetahuan wajib para calon guru bahasa Indonesia sebagai bekal dasar yang
harus dikuasai. Begitu kompleknya permasalah yang ada dalam prosa, fiksi dan drama
menuntut kita jeli dalam memahami dan menganalisa khususnya pada karya sastra prosa dan
fiksi.

C. Manfaat
Semoga dengan makalah ini dapat menjadi menjadi penambah khasanah ilmiah sebagai bekal
menghadapi perkembangan zaman yang menuntut sumber daya manusia yang handal baik
dalam bidang skill dan pengetahuan, serta professional dalam bidangnya. Orang yang mau
menulis maka dapat mengetahui dimana sisi kelemahan dari hasil karya tulis yang dibuatnya
sehingga, dapat memperbaikinya serta menambah pengetahuan bagi penulis.

1
BAB II

PEMBAHASAN

BAHASA

A. Bahasa sebagai unsur fiksi


Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya
merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung "nilai lebih" daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana
pengungkapan sastra. Sastra lebih sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur "kelebihannya"
itupun hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin
menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan
lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, fungsi
komunikatif (Nurgiyantoro, 1993: 1)

Sastra khususnya fiksi, di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga
dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal itu disebabkan "dunia" yang diciptakan, dibangun,
ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa, apapun
yang akan dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca, mau tak mau harus
bersangkut paut dengan bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan
senantiasa dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang (Fowler, 1977: 3). Untuk
memperoleh efektivitas pengungkapan bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dan
didayagunakan secara mungkin sehingga tampil dengan sosok yang berbeda dengan bahasa
non sastra.

a. Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena

Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa non
sastra. Bahasa yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra. Namun
"perbedaannya" itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit di identifikasikan.
Bahasa sastra, bagaimanapun, perlu diakui eksistensinya, keberadaannya, sebab, tak dapat di
serangkai lagi, ia menawarkan sebuah fenomena yang lain. Keberadaannya yang paling tidak
perlu disejajarkan dengan ragam ragam bahasa seperti dalam konteks sosiolinguistik yang
lain (nurgiyantoro 1993: 2) Seperti apa ciri sosok bahasa sastra itu, seolah-olah, masih
bagaikan rumusan "hipotesis" yang perlu dibuktikan kebenarannya. Banyak orang telah
mencoba mengidentifikasikan dan mudah diduga, sebab bahasa sastra memang bukan
merupakan sesuatu yang bersifat extra, mereka mengemukakan rumusan dan atau ciri-ciri
yang berbeda. Artinya tak ditemukan kata sepakat. Kata sepakat barangkali, memang tak
diperlukan. Yang penting adalah kesadaran dan pengakuan kita, usaha kita untuk memahami
dan menerimanya secara wajar.

2
Beberapa ciri bahasa sastra yang dikemukakan beberapa orang berikut akan sedikit di
singgung. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif
dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa non sastra, khususnya bahasa ilmiah yang
rasional dan denotatif. Namun untuk pencarian itu kiranya masih memerlukan penjelasan
(lihat wellek dan Warren 1956: 22-3). Ciri adanya unsur "pikiran" bukan hanya monopoli
bahasa sastra. Tetapi bahasa sastra pun memilikinya. Sebaliknya, ciri unsur emotif pun bukan
hanya monopoli bahasa sastra. Unsur pikiran dan perasaan akan sama-sama terlihat dalam
berbagai ragam penggunaan bahasa.

Demikian pula halnya dengan makna denotatif dan konotatif.bahasa sastra tak mungkin
secara mutlak menyaran pada makna konotatif tanpa melibatkan sama sekali makna denotatif.
Penuturan yang demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca untuk dapat
memahaminya. Pemahaman pembaca, bagaimanapun, akan mengacu dan berangkat dari
makna denotatif, atau paling tidak makna itu akan dijadikan dasar pijakan. Sebaliknya makna
konotatif pun banyak dijumpai dan dipergunakan dalam penggunaan bahasa yang lain yang
tidak tergolong karya kreatif seperti penggunaan bentuk-bentuk tertentu metafora yang justru
dapat memperjelas makna yang dimaksud daripada bahasa yang lugas. Dengan demikian
berdasarkan pencirian ini, yang ada adalah masalah kadar-kadar emosi dan makna konotasi
pada bahasa sastra lebih dominan. Hal itu disebabkan pengungkapan dalam sastra
mempunyai tujuan estetik di samping sering menuturkan sesuatu secara tak langsung.
Namun, tentu saja bukan hanya unsur emosi dan makna konotasi semata yang menjadi bahasa
sastra.

Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia, adalah bahasa yang mempunyai ciri
deotomatixaxi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin, biasa,
dan wajar. Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain, cara baru, cara yang
belum pernah dipergunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan dan untuk
memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan,
deviasi (deviation) kebahasaan. Unsur kebaruan dan keaslian merupakan suatu hal yang
menentukan nilai sebuah karya. Kaum formalis berpendapat bahwa adanya penyimpangan
dari sesuatu yang wajar itu merupakan proses sastra yang mendasar (Teeuw 1984:131).
Penggunaan bahasa kias merupakan salah satu bentuk penyimpangan (penyimpangan
semantik).

Namun hal itu bukan merupakan ciri khas bahasa sastra sebab dalam penuturan
nonsastra pun banyak dipergunakan. Namun ia mempunyai perbedaan dalam penuturan
sehari-hari penggunaan bahasa kias mempunyai efek mempercepat pengertian, misalnya
terlihat pada penggunaan ungkapan ungkapan yang telah lazim. Sebaliknya, pemakaian
ungkapan-ungkapan konotatif itu pada bahasa sastra justru memperlambat pemahaman
berefek mengasingkan karena bentuk-bentuk yang dipergunakan baru atau lain dari yang
telah biasa (Luxembourg 1984:6).

Penyimpangan dalam bahasa sastra dapat dilihat secara sinkronik. Penyimpangan dari
bahasa sehari-hari dan secara diakronik, penyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Unsur
3
kebahasaan yang disimpan di itu sendiri dapat bermacam-macam, misalnya penyimpangan
makna, leksikal, struktur, dialek, grafologi, dan lain-lain. Pengarang melakukan
penyimpangan kebahasaan, tentunya, bukan semata-mata bertujuan ingin aneh lain daripada
yang lain, melainkan dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan yang lain disamping
juga ingin mengedepankan, sesuatu yang dituturkan. Ia merasa lebih puas jika idenya
diungkapkan dengan cara itu bukan dengan cara lain yang telah biasa. Bahasa sastra, dengan
demikian, bersifat dinamis, terbuka terhadap adanya kemungkinan penyimpangan dan
pembaharuan, namun juga tak mengabaikan fungsi komunikatifnya. Penuturan kesastraan
pun pada hakekatnya dapat dipandang sebagai proses (usaha) komunikasi.

Kebebasan menyimpangi di bahasa sastra bukannya tak terbatas. Bahasa adalah sebuah
sistem tanda yang telah mengkonvensi. Penyimpangan secara ekstrim terhadap bahasa yang
bersangkutan, akan berakibat tak dapat dipahami nya karya yang bersangkutan sesuatu yang
telah di komunikasikan. Fungsi komunikatif bahasa hanya akan efektif jika sebuah penuturan
masih tunduk dan "memanfaatkan" konversi bahasa itu berapapun kadarnya. Makna dalam
sastra pada umumnya memang bukan makna pertama seperti yang dikonversikan bahasa
bersifat second-order semiotic system (culler 1977:114), lebih menyaran pada sistem makna
tingkat kedua. Artinya, ia tak persis sama dengan makna konvensional melainkan lebih
menyerang pada makna intensional, makna yang ditambahkan. Namun demikian, makna
tersebut tetap mendasar dari pada sistem makna yang primer yang konvensional. Artinya ia
hanya dapat dipahami dalam hubungannya atau dalam pertentangannya dengan sistem
konvensi bahasa itu. Unsur bahasa dalam sastra pun mengalami "ketegangan" antara
pemahaman konvensi di satu pihak dengan penyimpangan dan pelanggaran konvensi di pihak
lain.

Namun, perlu dicatat bahwa yang membedakan sebuah karya itu menjadi sastra, fiksi
atau puisi, dengan yang bukan sastra, pertama-tama tidak dicirikan unsur kebahasaannya.
Perbedaan itu lebih ditentukan oleh konvensi (konvensi kesastraan), konteks, dan bahkan
harapan pembaca. Hal itu berarti bahwa sebenarnya hal-hal tersebut yang mencuri apakah
sebuah (penuturan) bahasa dapat digolongkan dalam sastra atau bukan. Pratt (1977 lewat
Teeuw 1984) mengemukakan bahwa masalah kelitereran (literariness) tidak ditentukan oleh
ciri khas pemakaian bahasa.melainkan oleh ciri khas situasi pemakaian bahasa tersebut.
Organisasi estetik sebuah teks tergantung pada konteks pemakaian, situasi wacana di mana
tuturan itu terjadi. Jika dilihat dari segi kebahasaan saja, tampaknya bahasa sastra tak (begitu)
berbeda dengan bahasa cerita alamiah seperti yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-
hari.

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan betapa tidak mudah Nya untuk menjadikan
bahasa sastra walau kita sendiri mengakui eksistensinya. Pencirian yang dilakukan,
bagaimanapun, haruslah berdasarkan dan atau mempertimbangkan konteks disamping juga
ciri-ciri struktur kebahasaan dan atau gaya bahasa yang terdapat pada karya yang
bersangkutan. Pertanyaan unsur manakah yang lebih menentukan, jawabannya adalah dari
sudut pendekatan mana (objektif atau pragmatik) kita melakukannya.

4
b. Stile dan Stilistika
(1) Stile dan hakikat Stile

Stile (style, gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams 1981: 190).
Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-
bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Makna stile, menurut leech dan
short (1981:10), suatu hal yang pada umumnya tak lagi mengandung sifat kontroversial,
menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang
tertentu. Untuk tujuan tertentu dan sebagainya. Dengan demikian Stile dapat bermacam-
macam sifatnya, iya tergantung konteks di mana dipergunakan, selera pengarang, namun juga
tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri.

Stile dalam penulisan sastra juga tak akan lepas dari hal-hal diatas. Ia akan menjadi stile
(bahasa) sastra karena memang ditulis dalam konteks kesastraan, ditambah tujuan
mendapatkan efek keindahan yang menonjol. Adanya konteks, bentuk, dan tujuan yang telah
tertentu inilah yang akan menentukan stile sebuah karya. Seorang pengarang pun jika penulis
dalam konteks dan tujuan yang berbeda, misalnya dalam konteks sastra fiksi dan makalah
ilmiah, mau tak mau akan mempergunakan gaya yang berbeda pula. Stile pada hakikatnya
nya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat
mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, di pihak lain, juga
merupakan suatu bentuk pilihan dan pilihan itu dapat dilihat dalam bentuk ungkapan bahasa
seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya (Nurgiyantoro 1993: 4).

Bentuk ungkapan kebahasaan itu sendiri dalam sebuah novel menawarkan dua macam
bentuk eksistensi yang saling berkaitan sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah teks. Atau
disesuaikan dengan pernyataan lodge (leech & short 1982:37-8), ia berlaku sebagai 'pembuat
fiksi' (fiction maker) dan sebagai 'pembuat teks' (teks maker). Sebagai pembuat fiksi,
pengarang berarti bekerja dengan sarana bahasa sedang sebagai pembuat text berarti ia
bekerja dalam bahasa. Dalam konteks yang lebih umum, yang pertama berhubungan dengan
masalah bagaimana cara (seseorang) mengatakan sesuatu sedang yang kedua berhubungan
apa yang akan dikatakan. Sebuah fiksi hadir di hadapan pembaca untuk menawarkan sebuah
dunia, namun hal itu hanya dapat dicapai lewat sarana bahasa.

Stile: Masalah Struktur Lahir. Bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang terlihat
dalam sebuah novel merupakan suatu bentuk performasi (kinerja) kebahasaan seseorang
pengarang. Ia merupakan pernyataan lahiriyah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Jika hal itu
dikaitkan dengan teori kebahasaannya saussure, yang membedakan antara langue dan perole,
stile merupakan suatu bentuk parole. Langue merupakan sistem kaidah yang berlaku dalam
suatu bahasa, sedangkan perole merupakan penggunaan dalam perwujudan sistem, seleksi
terhadap sistem, yang dipergunakan oleh penutur (pengarang) sesuai dengan konteks dan atau
situasi. Parole adalah bentuk performasi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari
keseluruhan bentuk kebahasaan. Untuk melakukan pilihan terhadap sesuatu bentuk
performasi kebahasaan, pengarang, tentu saja, memiliki kompetensi terhadap bahasa yang
bersangkutan, dan itulah langue.

5
Langue dan parole nya saussure berkesesuaian dengan struktur batin (deep structure)
dan struktur lahir (surface structure) nya Chomsky, yang dapat pula identik dengan perbedaan
antara unsur isi dan bentuk dalam stile. Struktur lahir adalah wujud bahasa yang konkret yang
dapat diobservasi. Ia merupkan suatu bentuk perwujudan bahasa performasi (kinerja)
kebahasaan. Struktur batin, di pihak lain, merupakan makna abstrak dari kalimat (bahasa)
yang bersangkutan merupakan struktur makna yang ingin diungkapkan (Fowler 1977:6).
Membaca baris-baris kalimat sebuah novel berarti kita berhadapan dengan struktur lahir,
dengan bentuk performasi kebahasaan pengarang. Dengan demikian, berdasar teori Chomsky
stile tak lain adalah struktur lahir.

Pemilihan bentuk struktur lahir, dengan demikian, dapat dipandang sebagai teknik,
teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam
berbagai bentuk struktur lahir. Dua atau beberapa kalimat yang mirip maknanya dapat
dianggap memiliki struktur batin yang sama, dan yang berbeda hanya struktur lahirnya saja.
Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa tak ada hubungan satu lawan satu antara bentuk dan
makna. Makna bersifat konstan, sedang bentuk dapat bervariasi (Fowler 1977:11), tergantung
selera pengarang. Misalnya kalimat: "ia keharuan nya dengan diiringi isak tangis" dengan
kalimat: "Perasaan haru diungkapkannya dengan disertai isak tangis" atau kalimat: "Isak
tangis mengungkapkan keharuannya", dapat dipandang sebagai kalimat-kalimat memiliki
batin sama, walau struktur lahirnya berbeda. Ketiga kalimat tersebut dapat dipandang
memiliki stile yang berbeda. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan Hockett (1958 lewat
leech & short 1981:40). bahwa jika terdapat dua penuturan dalam bahasa yang sama yang
menyampaikan pesan yang kurang lebih sama, namun diungkapkan dalam struktur bahasa
yang berbeda, hal itu dapat dipandang sebagai stile yang berbeda pula.

Stile atau wujud performansi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi
melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem
bahasa itu. Pengarang, dalam hal ini memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan
struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk
struktur lahir bisa sampai pada berbagai bentuk penyimpangan, bahkan mungkin "distorsi",
dari pemakaian bahasa yang wajar. Namun perlu ditambahkan bahwa masalah "pemilihan
wujud struktur lahir yang sesuai dengan selera" tersebut tak selamanya dilakukan secara
sadar oleh pengarang karena hal itu seolah-olah telah terjadi secara otomatis, seolah-olah
telah menjadi bagian dirinya. Bentuk-bentuk konstruksi yang dipilihnya, boleh dikatakan,
mencerminkan pola berpikirnya tanpa dibuahi oleh nya (Fowler 1977:21).

(2). Stilistika dan Hakikat Stilistika

Stilistika (stylistic) menyaran pada pengertian studi tentang stile (leech & short
1981,13). Kajian terhadap wujud performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam
karya sastra. Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditunjukkan terhadap berbagai
ragam penggunaan bahasa tak sebatas pada sastra saja (Chapman 1973: 13), namun biasanya
stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Analisis stilistika biasanya
dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan
untuk menerangkan hubungan antara basa dengan fungsi artistik dan maknanya (leech &

6
short 1981:13 Wellek & Warren 1956:180). Di samping itu, ia juga bertujuan untuk
menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan
penyimpangan, dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk
memperoleh efek khusus (Chapman 1973:15).

Tujuan analisis stilistika kesastraan, misalnya, dapat dilakukan dengan mengajukan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan "mengapa pengarang dalam mengekspresikan dirinya
justru memakai cara yang khususnya?". "Bagaimanakah efek estetis yang demikian dapat
dicapai melalui bahasa?" Atau "apakah pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu dapat
menimbulkan efek estetis?", "Apakah fungsi penggunaan bentuk-bentuk tertentu itu untuk
mendukung tujuan estetis?" Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan itu secara pasti dan tepat
haruslah dalam kaitannya dengan tujuan analisis stile terhadap sebuah karya tertentu.

Stilistika kesastraan, dengan demikian merupakan sebuah metode analisis karya sastra
(Abrams 1941: 192). Ia dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan
impresif dengan analisis stile teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Analisis
dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan
seperti terlihat dalam struktur lahir. Dengan cara ini akan memperoleh bukti-bukti konkret
tentang stile dalam sebuah karya. Metode (teknik) analisis ini akan menjadi penting karena
dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya. Tanda-tanda stilistika
itu sendiri dapat berupa

(a) fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama,


(b) Sintaksis, misalnya jenis struktur kalimat,
(c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret, frekuensi penggunaan kata
benda, kerja, sifat,
(d) penggunaan bahasa figuratif, misalnya bentuk-bentuk pemajasan, permainan
struktur, pencitraan, dan sebagainya.

Estetika ataukah linguistik. Kajian stilistika juga dimaksudkan untuk menunjukkan


hubungan antara apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik
(perhatian lunguis) di pihak lain. Barangkali, kita akan mempersoalkan dari manakah kita
akan memulai, estetika atau linguistik? Hal ini sebenarnya merupakan sebuah lingkaran,
lingkaran fisiologis, pemahaman (leech & short 1981 13). Penjelasan linguistik l didahului
dengan observasi detil-detil linguistik, bukti-bukti linguistik, fungsi estetis dalam karya
sastra, dan seterusnya. Observasi linguistik akan menstimulasi kan wawasan estetis literer,
sebaliknya wawasan estetis akan menstimulasi secara lebih lanjut terhadap observasi
linguistik. Jadi, seperti halnya metode ilmiah, kita dapat mulai dari linguistik ataupun estetis,
tanpa adanya keharusan berangkat dari titik tertentu.namun suatu hal yang penting adalah
tuntutan adanya kepekaan dan kesanggupan kita untuk menanggapi fungsi fungsi estetis
sebuah karya dan mengobservasi tanda-tanda linguistik yang mendukung.

Dualisme, monisme, dan pluralisme. Stile biasanya diidentifikasikan sebagai


perbedaan antara apa yang dikatakan dengan bagaimana cara mengatakan, atau antara isi
dengan bentuk teks. Unsur isi menunjukkan pada informasi, pesan, atau makna proposional,
sedang bentuk merupakan variasi cara penyajian informasi yang berkualitas estetis, atau yang
7
mampu membangkitkan tanggapan emosional pembaca. Kelompok yang berpandangan
bahwa stile merupakan cara menulis, cara berekspresi, dan membedakannya dengan unsur isi
disebut (aliran) dualisme. Sebaliknya, kelompok yang tak membedakan unsur bentuk dan isi
serta memandang keduanya sebagai satu kesatuan misalnya dikatakan flaubert bahwa stile itu
sebagai tak berbeda halnya dengan tubuh dan jiwa bentuk dan isi adalah satu disebut (aliran)
monisme (leech & short 1981: 15).

Dualisme memandang stile sebagai dress of thought, 'bungkus pikiran' atau sebagai
manner of expression, 'cara berekspresi' dan karenanya dapat dipisahkan dan dibedakan
dengan isi. Isi yang sama dapat diekspresikan dengan berbagai bentuk ungkapan bahasa yang
berbeda dan itu artinya merupakan perbedaan stile. Bahkan, sebuah pesan dapat diungkapkan
dengan cara lugas, tanpa "stile" yang berpretensi untuk mencari efek estetis. Cara penuturan
yang demikian pun pada hakikatnya nya merupakan suatu teknik berstile juga. Masalah stile
adalah masalah pilihan cara pengungkapan (bahasa) yang tak perlu melibatkan isi. Pandangan
monisme, di pihak lain, beranggapan bahwa pemilihan isi sekaligus berarti pemilihan bentuk
atau sebaliknya. Jadi, bentuk mempengaruhi isi dan isi menentukan bentuk. Keduanya
merupakan satu kesatuan sehingga tak mungkin dipisahkan dan dibuat parafrasenya. Tak
mungkin diungkapkan dengan cara lain tanpa kehilangan nuansa makna.

Di samping kedua pendekatan di atas ada pendekatan lain yaitu pluralisme. Pendekatan
analisis pluralisme yang mendasarkan dirinya sebagai fungsi-fungsi bahasa misalnya fungsi
bahasa menurut Jacobson yang terdiri dari 6 macam: referensial, emotif, kognitif, patik,
puitik, dan metalinguistik, atau fungsi menurut Halliday yang terdiri dari tiga fungsi
ideasional tekstual dan interpersonal (leech & short 1981: 33). Fungsi ideasional dan
tekstualnya halliday tersebut dapat disejajarkan dengan isi dan bentuk menurut dualisme
(ohman), sedang fungsi interpersonal yang menyangkut hubungan antara bahasa dengan
pemakaiannya yang dapat meliputi fungsi afektif, emotif, dan persuasif tak ditemukan dalam
dualisme. Jika dalam pendekatan dualisme stile hanya dapat terdapat pada bentuk menurut
halliday stile bisa terdapat pada ketiga fungsi bahasa itu. Sebuah teks katanya merupakan
sebuah konstruksi metafungsional yang terdiri dari makna ideasional interpersonal dan
tekstur yang kompleks (halliday, & Hassan 1989:48).

Halliday berpendapat bahwa semua bentuk pilihan linguistik bermakna dan sekaligus
merupakan pilihan stilistika pendekatan ini tampak lebih menyakitkan daripada pendekatan
monisme. Pandangan monisme yang mengatakan bahwa bentuk dan isi tak terpisahkan
menyebabkan kita tak dapat menguji ketepatan pilihan bentuk linguistiknya. Sebab jika
makna tak dapat dipisahkan dari bentuk orang tak mungkin mendeskripsikan makna tanpa
mengurangi setiap kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan makna itu. Sebaliknya
orang pun tak mungkin mendiskusikan bahasa tanpa mengungkapkan makna yang
dikandungnya. Di sinilah terlihat kelebihan pendekatan pluralistik yang dapat menunjukkan
bagaimana pilihan-pilihan berhubungan satu dengan yang lain dalam jaringan pilihan
fungsional (leech & short 1981: 33-4).

Analisis Stilistika: Metode Kuantitatif. Berbagai tanda linguistik yang terwujud dalam
bentuk ungkapan bahasa sebuah fiksi, seperti dikemukakan di atas menjadi sarana bentuk

8
stile, dan hal itulah yang menjadi objek analisis stilistika. Dibanding analisis kebahasaan
bahasa nonsastra, stilistika kesastraan terlihat lebih beragam dan kompleks, karena lebih sulit
dan hal itu tampak dalam kegiatan pengumpulan data (Chapman 1973: 13).

Analisis stilistika, menurut wellek and Warren (1956: 180) dapat dilakukan melalui dua
cara. Pertama, ia mulai dengan analisis secara sistematik terhadap sistem dan tanda-tanda
linguistik dan kemudian menginterpretasikan nya sebagai satu kesatuan makna tentu saja hal
itu dalam hubungannya dengan tujuan estetis sebuah karya. Kedua, bukan dalam
pertentangannya analisis dilakukan dengan mengkaji semua bentuk khusus linguistik yang
menyimpang dari sistem yang berlaku umum.kita mengobservasi berbagai bentuk deviasi
yang terdapat pada sebuah karya yang disoroti dari pemakaian bahasa yang wajar baku. Jadi,
kita mengkontraskan antara bentuk penyimpangan (deotomatisasi) dengan bentuk yang
normal baku (otomatis) dan dari sinilah kemudian di coba temukan fungsi estetisnya.

Berdasarkan hal-hal seperti dikemukakan sebelumnya, tampak bahwa analisis stilistika


menuntut penggunaan metode kuantitatif, khususnya untuk mengurangi kadar subjektivitas
kritikus. Untuk mengetahui ciri pembeda stilesebuah teks dari teks (teks) yang lain, kita
haruslah menghitung frekuensi pemunculan tanda-tanda linguistik yang terdapat di dalamnya.
Stile kemudian "diukur" berdasarkan kadar deviasi misalnya tinggi atau rendahnya frekuensi
pemunculan terhadap bahasa yang wajar baku. Analisis kuantitatif dapat memberikan bukti-
bukti konkret, maka ia dapat menumpang deskripsi stilistika yang dilakukan terhadap sebuah
karya secara lebih dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, misalnya jika orang
mengatakan bahwa novel burung-burung Manyar dapat banyak mempergunakan kata dan
ungkapan Jawa hal itu tak hanya merupakan kesan subjektif saja. Ia didukung bukti empiris
yang berupa jumlah penggunaan kata dan ungkapan Jawa, misalnya berjumlah sekian persen
dan seribu kata.

Tanda-tanda linguistik yang dipergunakan dalam sebuah karya banyak sekali misalnya
berbagai tanda yang berhubungan dengan unsur leksikal, gramatikal, dan bahasa figuratif
yang belum tentu semuanya relevan dengan tujuan analisis statistik.atau sebaliknya kita tak
mungkin mencatat (dan menghitung) semua linguistik yang ada karena terlalu beragam dan
kompleks.oleh karena itu dalam analisis kuantitatif stilistika kita perlu memilih dan
menentukan tanda-tanda linguistik yang dihitung dan diteliti. Tentu saja dalam hal ini orang
bisa berbeda pendapat khususnya mengenai bagian mana yang dijadikan sampel dan berapa
banyaknya. Disamping itu, ternyata menurut leech & short (1981 70) tak ada hubungan
langsung antara deviasi statistik, dengan signifikansi statistik maka pertimbangan literer
haruslah menjadi petunjuk kita dalam memilih tanda-tanda linguistik yang akan dijadikan
sampel untuk diuji.

Analisis stilistika yang mencoba memusatkan perhatian pada tanda-tanda stile tertentu
sehingga terlepas dari sistem linguistik yang melingkupinya, terlepas dari konteks nya kurang
dapat diterima karena hasilnya pun akan kurang bermakna. Kita mungkin sekali hanya asik
mengumpulkan secara observasi tanda-tanda linguistik tertentu yang telah dipilih dan
melupakan bahwa karya sastra itu merupakan satu kebulatan yang dipadu merupakan bahwa
fungsi estetis suatu bentuk justru terlihat jika ada dalam kaitannya dengan keseluruhan

9
konteks. Pemisahan bagian dari keseluruhannya akan kurang bermakna. Kita mungkin terlalu
memfokuskan diri pada masalah keaslian individualitas atau ideosinkranik belaka. Padahal
mestinya kita mencoba mendeskripsikan stile secara lengkap dan sistematis berdasarkan
prinsip-prinsip linguistik dan konteks yang melingkupinya.

c. Stile dan nada


Membaca sebuah novel biasanya akan merasakan adanya nada dan suasana tertentu
yang tersirat dari novel tersebut, khususnya yang disebabkan oleh efek pemilihan ungkapan
bahasa. Sebuah novel mungkin menyiratkan nada yang bersifat intim, santai, dan simpati
yang lain mungkin bersifat romantis, mengharukan, dan sentimental, atau kasar dan sinis .
Pemilihan bentuk ungkapan tertentu dalam suasana cerita yang tertentu akan membangkitkan
nada yang tertentu pula.

Nada(tone) nada pengarang (authorial tone) dalam pengertian yang luas, dapat diartikan
sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap
pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan (leech& short, 1982: 280).
Sebelumnya Kenny (1966 :69) juga telah mengemukakan bahwa merupakan ekspresi sikap-
sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan dan terhadap pembaca. Dalam bahasa
lisan nada dapat dikenali melalui intonasi ucapan misalnya nada rendah dan lemah lembut
santai meninggi dan sengit dan sebagainya. Dalam bahasa tulis, di pihak lain, dan anda akan
sangat ditentukan oleh kualitas stile. Kenny mengemukakan bahwa stile adalah sarana
sedangkan nada adalah tujuan. Salah satu kontribusi penting dari stile adalah untuk
membangkitkan nada (Kenny 1966: 57).

Nada memang ada hubungannya dengan intonasi lagu dan tekanan kalimat walau dalam
bahasa tulis sekalipun. Orang yang membaca sebuah novel, walau hanya dalam hati akan
memberikan intonasi secara berbeda terhadap kalimat-kalimat dengan ekspresi yang berbeda
pula. Misalnya berhadapan dengan kalimat pernyataan atau berita tentu akan diinformasikan
secara berbeda dengan kalimat tanya. Demikian pula halnya dengan kalimat kalimat ekspresif
tertentu yang diucapkan tokoh pada situasi tertentu misalnya situasi marah sukacita terkejut
romantis dan sebagainya. Masing-masing kalimat dan atau bentuk ekspresi tersebut memiliki
pola intonasi yang berbeda yang telah dikenal oleh pembaca. Ungkapan kebahasaan yang
mempergunakan pola-pola intonasi tertentu dalam bentuk kalimat kalimat tertentu akan
sanggup membangkitkan kesan ada yang tertentu (Fowler 1977:63).

Jika dalam sebuah karya fiksinya pengarang diekspresikan sikap baik terhadap masalah
maupun pembaca-pembaca pun dapat pula memberikan reaksi yang sama. Artinya pembaca
dapat menanggapi sikap pengarang yang terekspresi dalam karya itu dengan sikapnya sendiri.
Namun, dalam "komunikasi rahasia" antara pengarang dan pembaca ini, biasanya ada
keseimbangan antara sikap yang diekspresikan pengarang dengan sikap yang diperoleh
pembaca jika situasi pembaca merupakan cerminan Citra pengarang.

Penggarang (Tersirat) Pembaca (Tersirat)

10
Pesan

Sikap pengarang yang ditujukan kepada pembaca dan masalah yang diceritakan terhadap
tokoh dan atau tindakan tokoh mungkin saja berbeda-beda antara novel yang satu dengan
yang lain. Dalam novel tertentu pengarang mungkin bersikap mengambil jarak formal serius
sedang pada novel yang lain mungkin bersikap akrab intim santai ber kolokial sedang pada
novel yang lain lagi mungkin justru menggurui atau bersikap sinis ironis. Pembaca di pihak
lain akan bersikap sama dengan jarak yang disarankan oleh pengarang. Dengan demikian
bagaimana jarak sikap yang diberikan oleh pengarang akan menemukan jauh dekatnya sikap
jarak yang diberikan oleh pembaca.

Pernah dengan "anak kolong"? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli
totok. Garnisun divisi 11 Magelang diucapkan MaKHelang. Jelas kolonial. Mana bisa
tidak. Papi ku loitenant keluarga academi Breda Holland. Jawa!. Dan keraton! Semula
tergabung dalam legiun Mangkunegara. Tetapi papi minta agar dimasukkan ke dalam
salgorde langsung di bawah Sri Baginda neerlandia saja. (Ratu Wilhelmina kala itu).
Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terus terang papi tidak suka pada raja-raja inlander ,
walau konon salah seorang nenek canggah atau gantung siwur berkedudukan selir
Keraton Mangkunegara. Soalnya papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali
itulah sebabnya juga ibu kandungku seorang nyonya yang menurut babu babu
pengasuhku totok Belanda vanderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak
percaya.itu akibat kesalahan kawan kawan sepermainan di garnisun yang blak-blakan
sering mengindoktrinasi bahwa aku ini anak Jawa inlander belaka. Sama seperti
mereka. Makanya jangan sok dan sebagainya. Dan kulit mamiku langsep mulus. Nah
justru itu bukti mami bukan totok. Belanda berkulit merah bentong bentong seperti
genjik. Keterangan kawan-kawanku berandal itu bahkan membuatku bangga. Sebab
untuk anak yang normal kehidupan berandal anak kolong inlander jauh lebih hebat
daripada menjadi sinyo londo yang harus necis pakai sepatu baju mesti harus putih
bersih dan segala macam basa-basi yang membuatnya menjadi marmut dalam
kurungan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Maaf nama saya? Setadewa. Tetapi semua memanggilku teto. Entah. Memang
aneh logika mereka!

(Burung- burung Manyar1981- 3-10)

11
Kutipan diatas memperlihatkan sikap pengarang terhadap pembaca yang terasa intim
santai tidak formal formalan. Dengan pengungkapan secara khas kosakata indonesia-jawa
Belanda lucu terasa seperti main-main namun tak jarang terimplisit sindiran. Menunjukkan
seolah-olah tak ada jarak antara pengarang dengan pembaca. Pemilihan kata yang tercampur
aduk ditambah struktur kalimat yang sederhana pendek pendek dan banyak penyimpangan
gramatikal mendukung nada tersebut. Membaca baris-baris kalimat novel diatas pembaca pun
akan merasakan adanya nada di atas. Namun pada halaman-halaman dan bab-bab selanjutnya
kadang-kadang pengarang menunjukkan sikap berbeda tergantung pada tokoh dan masalah
yang diceritakan.

Sikap pengarang terhadap para tokoh tindakan para tokoh dan keadaan dapat pula
berbeda-beda. Artinya antara seorang tokoh dengan tokoh yang lain disikapi secara berbeda
di samping juga berbeda sikapnya terhadap pembaca. Kadang-kadang memang tak mudah
membedakan sikap pengarang terhadap pembaca dan tokoh dan tak jarang pula satu bentuk
pengungkapan terarah keduanya sekaligus Tentu saja hal ini terjadi seperti yang kita
tafsirkan.seorang tokoh mungkin diberi sikap simpati bahkan mungkin empati namun yang
lain mungkin disindir, diejek, ditertawakan, atau bahkan dipermainkan.

Misalnya Ahmad Tohari tampak mengejek dan menertawakan kebodohan warga dukuh
paruk dalam serial ronggeng dukuh paruk. Lintang kemukus dini hari dan jantera bianglala
sebagai kebodohan langgeng kemelaratan dan keterbelakangan sumpah serapah cabul
keramat Ki secamenggala dan lain-lain. Ironisnya warga dukuh paruk sendiri justru tak
merasakan kedustaan itu maka janganlah mereka sadar akan kebodohannya disadarkan pun
tak mungkin sadar.

Entah sampai kapan permukiman sempit dan terpencil itu bernama dukuh paruk.
Keberatannya keterbelakangannya penghuninya yang kurus dan sakit serta sumpah
serapah cabul menjadi bagiannya yang sah.cara buat Ki secamenggala pada puncak
bukit kecil di tengah dukuh paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala
kekurangan di sana.dukuh paruk yang dikelilingi hamparan sawah berbatas kaki langit
tak seorangpun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil
sekalipun. Dikuh paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang
diberikan alam

(Ronggeng dukuh paruk 1986: 125)

Y.B mangunwijaya dalam burung-burung Manyar pun banyak memberikan sikap


mengejek dan mengkritik tokoh-tokoh rakyat Indonesia yang bodoh namun lugu. Namun
dibalik itu sebenarnya terimplisit ke perhatian yang mendalam yang didorong oleh rasa
cintanya pada rakyat yang bodoh lugu itu. Hal ini sebenarnya yang ingin didialogkan Nya
kepada pembaca yang dengan sengaja menyikapi tokoh juga keadaan seperti itu.

12
Aku keluar rumah. Ku lihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali
manggis dengan air seperti jenang soklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang
yang kotor itu ironis sekali diberi nama kalibening. Di negeri seperti di air yang begitu
kotor penumbra dan basi atau sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal seperti
Itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma apa
bending dan kotor itu harus kita ukur? Masih ada juga yang mencuci beras di selokan
itu.dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun di balik
mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik kemerdekaan.tanpa
tergesa-gesa bola mereka itu dicelup di dalam air sambil omong-omong dengan
rekannya. Biasanya pantat pantat itu putih dan mulus halus.yang putih dan halus rupa-
rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk. Apa artinya mandi bagi
mereka? sering kadang keluar juga sepasang susu besar yang sama coklatnya dan di
sekolah-sekolah mau melotot nya. Bersih sudah. Bangsa begini mau merdeka. Bah!

(Burung- burung Manyar1981- 132)

B. Unsur Stile
Stile sebuah novel yang berupa wujud pengungkapan bahasa seperti dikemukakan di
atas mencakup seluruh penggunaan unsur bahasa dalam novel itu termasuk grafologis nya.
Unsur Stile dengan demikian berupa berbagai unsur yang mendukung terwujudnya bentuk
lahir pengungkapan bahasa tersebut.

Kajian stile sebuah novel biasanya dilakukan dengan menganalisis unsur-unsurnya


khususnya untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur untuk mencapai efek estetis
dan unsur apa saja yang dominan. Kajian stile yang tanpa disertai analisis unsur-unsur
merupakan kajian secara holistik dan lebih bersifat impresi onalistik. kajian yang pertama
akan dapat memberikan bukti-bukti konkret sebagai pembekuan pembicaraan namun yang
kedua pun dapat juga meyakinkan terutama jika dilakukan oleh orang yang ahli dan
berpengalaman.

Abrams (1981:193) mengemukakan bahwa unsur Stile (ia menyebutnya dengan istilah
stylistic features) terdiri dari unsur fonologi, sintaksis, leksikal, (retorika yang berupa
karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan dan sebagainya). Di pihak lain, (leech
& short 1981:75-80) mengemukakan bahwa unsur Stile ia memakai istilah stylistic categoties
terdiri dari unsur kategori leksikal gramatikal figures of speech dan konteks dan kohesi.
Dengan demikian terlihat ada sedikit perbedaan antara pembagian Abrams dengan leech.
Abrams mengelompokkan bahasa figuratif dan pencitraan dalam kelompok retorika
sedangkan leech hanya menyebut figure of speech yang cakupannya terlihat lebih terbatas
dibandingkan dengan retorika. Namun leech memasukkan unsur kohesi dan konteks sebagai
bagian stile sedang Abrams tak dimasukkannya.

13
Pembicaraan unsur Stile berikut dilakukan dengan menggabungkan antara pembagian
unsur menurut Abrams (1981) dan leech & short (1981) tersebut, namun unsur kronologis
dari Abrams sengaja tak dibicarakan karena unsur itu kurang penting bagi dalam stilistika
fiksi lebih penting untuk stilistika puisi. Analisis stile misalnya dilakukan dengan
mengidentifikasi masing-masing unsur dengan tanpa mengabaikan konteks menghitung
frekuensi kemunculannya menjumlahkannya dan kemudian menafsirkan dan
mendeskripsikan kontribusinya bagi stile karya fiksi secara keseluruhan.

a. Unsur leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi yaitu yang mengacu
pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.
Mengingat bahwa karya fiksi adalah dunia yang dalam kata komunikasi dilakukan dan
ditafsirkan lewat kata-kata pemilihan kata-kata tersebut tentulah melewati pertimbangan-
pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek tertentu efek ketepatan (estetis). Masalah
ketepatan itu sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna,
yaitu apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis karya yang bersangkutan mampu
mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkapkan gagasan seperti yang
dimaksudkan oleh pengarang.

Masalah pemilihan kata, menurut chapman (1973:61) dapat melalui pertimbangan-


pertimbangan formal tertentu. Pertama pertimbangan fonologis misalnya untuk kepentingan
aliterasi irama dan efek bunyi tertentu khususnya dalam puisi. Dalam fiksi walau tak se
intensif sama halnya dalam saja unsur fonologis mungkin saja dipertimbangkan pengarang
.kedua pertimbangan dari segi mode, bentuk, dan makna yang dipergunakan sebagai sarana
mengkonsentrasikan gagasan. Masalah konsentrasi ini penting sebab hal inilah yang
membedakannya dengan stile bahasa non sastra. Pemilihan kata itu dalam sastra dapat saja
berupa kata-kata kolokial sepanjang mampu mewakili gagasan. Dalam hal ini,faktor personal
pengarang untuk memilih kata-kata yang paling menarik perhatiannya berperan
penting.pengarang dapat saja memilih kata dan ungkapan tertentu sebagai siasat untuk
mencapai efek yang diinginkan.

Pilihan kata juga berhubungan dengan masalah sintagmatik dan paradigmatik.


Sintagmatik berkaitan dengan hubungan antar klausa linear-linear untuk membentuk sebuah
kalimat. Bentuk-bentuk kalimat yang diinginkan dan disusun misalnya sederhana lazim unik
atau lain dari yang lain dalam banyak hal akan mempengaruhi kata khususnya bentuk kata.
Paradigmatik berkaitan dengan pilihan kata di antara sejumlah kata yang berhubungan secara
makna . Dalam hal ini mestinya pengarang memilih kata yang berkonotasi paling tepat untuk
mengungkapkan gagasannya yang mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu walau
kata yang dipilihnya itu mungkin berasal dari bahasa lain. Misalnya dalam sastra Indonesia
justru dipilih kata dan atau ungkapan bahasa Jawa atau asing.penyimpangan sintagmatik
biasanya "lebih mudah dikenali dan dinilai" dari pada penyimpangan paradigmatik
berhubungan yang disebut belakangan berhubungan dengan masalah makna yang memang
kurang tegas aturannya (Chapman 1973: 61).

14
Untuk keperluan analisis leksikal sebuah karya fiksi, kita dapat melakukannya
berdasarkan tinjauan secara umum dan jenis kata, yang keduanya bersifat saling melengkapi.
Untuk tinjauan secara umum kita dapat mengidentifikasi kata-kata dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut

1. Kata yang dipergunakan sederhana atau kompleks?


2. Kata dan ungkapan formal atau kolokial artinya kata-kata baku bentuk dan makna
ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-hari yang non formal termasuk
penggunaan dialek?
3. kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain
misalnya dalam karya fiksi Indonesia apakah mempergunakan kata dan ungkapan
bahasa Indonesia atau dari bahasa lain misalnya Jawa dan asing?
4. bagaimanakah arah makna kata yang ditunjuk apakah bersifat referensial ataukah
asosiatif denotasi atau konotasi?

Identifikasi berikutnya adalah berdasarkan jenis kata.identifikasi ini sebenarnya dapat


langsung dikaitkan dengan yang diatas mengingat bahwa identifikasi sifat umum di atas juga
dilakukan untuk tiap jenis kata. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain sebagai
berikut

1. Apakah jenis kata yang dipergunakan itu? dan kata yang diikuti pertanyaan-
pertanyaan berikut yang sesuai dengan jenis kata yang bersangkutan
2. Kata benda, sederhana atau kompleks abstrak ataukah konkret? Jika abstrak
menyaran pada makna apa, kejadian, persepsi, proses, kualitas moral, atau sosial?
Jika konkret menunjuk pada apa misalnya benda makhluk ataukah manusia?
3. Kata kerja, sederhana atau kompleks transitif atau intransitif makna menyaran pada
pernyataan tindakan ataukah peristiwa atau yang lain?
4. Kata sifat, untuk menjelaskan apa misalnya sesuatu yang bersifat fisik psikis visual
adiktif referensial emotif ataukah evaluatif?
5. Kata bilangan, tentu ataukah tak tentu dan untuk menjelaskan apa?
6. Kata tugas, apa wujudnya misalnya dan atau lalu kemudian pada tentang yang sering
dikelompokkan ke dalam konjungsi dan preposisi.

Setelah identifikasi selesai dilakukan kemudian masing-masing pemunculan bentuk dan


makna tertentu dihitung untuk menentukan jumlah frekuensi masing-masing. Hal itu perlu
dilakukan untuk mengetahui bentuk kata (dengan seluruh masalahnya) yang paling dominan.
Untuk memudahkan pendeskripsian sebaiknya pengidentifikasian penghitungan dan
penyajian dilakukan dalam bentuk tabel.

15
b. Unsur gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam
kegiatan komunikasi bahasa juga jika dilihat dari kepentingan stile kalimat lebih penting dan
bermakna daripada sekedar kata walau kekayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi
oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan pesan atau struktur batin dapat diungkapkan ke dalam
berbagai bentuk struktur lahir yang berbeda-beda struktur dan konotasi nya. Dalam kalimat
kata-kata berhubungan dan berurutan secara linear yang kemudian dikenal dengan sebutan
sintagmatik. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam bentuk realisasi grafologis kalimat dalam
bentuk garis-garis seperti pada halaman buku. Untuk menjadi sebuah kalimat hubungan
sintagmatik kata-kata tersebut harus gramatikal sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku
dalam bahasa yang bersangkutan. Secara teoretis jumlah kata yang berhubungan secara
sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas dapat berapa saja sehingga mungkin panjang
sekali. Secara formal memang tak ada batas berapa jumlah kata yang seharusnya dalam
sebuah kalimat (Chapman 1973 :45).

Oleh karena dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan
bahasa adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan termasuk penyimpangan struktur
kalimat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Penyimpangan struktur kalimat itu
sendiri dapat bermacam-macam wujudnya mungkin berupa mengembalikan, pemendekan,
pengulangan, pengulangan unsur tertentu, dan lain-lain yang kesemuanya tentu dimaksudkan
untuk mendapatkan efek estetis tertentu disamping juga untuk menekankan pesan tertentu.
Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai pengedepanan dan foregrounding suatu hal yang
dianggap orang sebagai salah satu ciri bahasa sastra.

Menentukan apakah sebuah kalimat itu menyimpang atau tidak kadang-kadang tidak
mudah dilakukan, atau paling tidak orang bisa berbeda pendapat. Pnentuan ada tidaknya
bentuk deviasi itu tidak selamanya dapat diukur dari penyimpangan terhadap aturan yang
baku dalam bahasa Indonesia berupa kalimat baku atau tata bahasa baku. Misalnya sebuah
kalimat yang kelewat panjang dipergunakan banyak kata sambung misalnya "dan" atau yang
lain atau tanda koma (keduanya dikenal sebagai gaya polisindenton dan asidenton) sejarah
struktur mungkin sulit ditentukan wujud penyimpangannya sebab kalimat itu
gramatikal.kasus semacam ini ada yang menganggap sebagai kalimat yang tak mengalami
penyimpangan namun mungkin ada pula yang sebaliknya paling tidak dari kalimat yang
lazim. Jadi yang mengandung sifat deotomatisasi. penyimpangan struktur yang jelas
melanggar aturan kiranya akan lebih mudah dikenali atau disepakati.

Ada tidaknya penyimpangan struktur kalimat merupakan salah satu unsur yang dapat
dikaji jika kita bermaksud menganalisis unsur gramatikal. Tentu saja di samping dicacah
wujud penyimpangan harus pula dicatat misalnya yang berupa penghilangan unsur tertentu
dan konteks di mana bentuk penyimpangan itu terdapat juga dan perlu diabaikan. Dari kerja
analisis itu akan dapat berbagai bentuk penyimpangan struktur frekuensi bentuk yang
dominan dan akhirnya dapat diinterpretasikan apa fungsi dan sumbangannya terhadap tujuan
estetis penuturan.

16
Kegiatan analisis kalimat di samping berdasarkan bentuk-bentuk penyimpangan yang di
atas juga dapat dilakukan terhadap hal-hal atau dengan cara-cara berikut baik hanya diambil
sebagian maupun seluruhnya bahkan dipandang perlu dapat ditambah dengan unsur lain.

1. kompleksitas kalimat: sederhana atau kompleks struktur kalimat yang dipergunakan


bagaimana keadaannya secara keseluruhan? Berapakah rata-rata jumlah kata per
kalimat? Bagaimanakah variasi penampilan struktur kalimat yang sederhana dan
kompleks itu? dalam struktur yang kompleks sifat hubungan apakah yang menonjol
koordinatif subordinatif ataukah praktis?
2. jenis kalimat: jenis kalimat apa sajakah yang dipergunakan dalam deklaratif (kalimat
yang menyatakan sesuatu kalimat imperatif kalimat yang mengandung makna perintah
atau larangan). Kalimat interogatif kalimat yang mengandung unsur pertanyaan kalimat
kalimat yang tidak lengkap motornya mungkin berupa minor berita perintah.jenis
kalimat manakah yang menonjol apa fungsinya? perbedaan kalimat ini juga dapat
ditinjau secara lain misalnya langsung tak langsung verbal dan sebagainya nya.
3. Jenis klausa dan frasa: klausa dan frasa apa yang menonjol sederhana atau kompleks?
Jenis klausa dan frasa yang ada pastilah banyak sekali maka kita dapat membatasi diri
dengan mengambil sejumlah diantaranya yang memang terlihat dominasi.disamping itu
klausa itu sendiri dapat dipandang sebagai sebab bentuk fase yaitu fase predikatif
kelompok kata yang paling tidak terdiri dari subjek dan predikat.pembatasan tersebut
misalnya unsur klausa dibatasi pada klausa adverbial conditional temporal nominal
verbal dan nonverbal.untuk frase misalnya dibatasi pada frasa adverbial adjektival
koordinatif nominal dan verbal.

Akhirnya perlu juga dipertanyakan hal-hal sebagai berikut dominannya penggunaan


bentuk struktur kalimat tertentu seperti di atas apakah mempunyai efek tertentu bagi karya
yang bersangkutan baik efek yang bersifat estetis maupun dalam penyampaian pesan? apakah
pemilihan bentuk struktur itu juga kosakata untuk ungkapan di atas tempat lebih tepat
misalnya jika dibandingkan dengan pernyataan struktur dan kosakata (termasuk ungkapan)
yang lain? Apakah struktur kalimat itu lebih memperjelas makna yang ingin disampaikan
adakah penekanan terhadap makna tertentu dan sebagainya.

c. Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek. Iadapat
diperoleh melalui kreativitas pengungkapaniya dapat diperoleh melalui kreativitas
pengungkapan bahasa itu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk
mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra seperti telah dibicarakan di
atas mencerminkan sikap dan perasaan pengarang namun sekaligus dimaksudkan untuk
mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada.

Untuk itu bentuk pengungkapan bahasa haruslah efektif mampu mendukung gagasan
secara tepat sekaligus mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya seni. Retorika pada
dasarnya berkaitan dengan pembicaraan tentang dasar-dasar penyusunan sebuah wacana yang
efektif.

17
Retorika dengan demikian sebenarnya berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur
bahasa baik yang menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan struktur kalimat
segmentasi penyusunan dan penggunaan bahasa kias pemanfaatan bentuk citraan dan lain-
lain yang semuanya disesuaikan dengan situasi dan tujuan penuturan. Adanya unsur
kekerasan ketepatan dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang kesemuanya
itu sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi dan kreativitas pengarang dalam menyiasati
gagasan dan bahasa akan menentukan keefektifan wacana yang dihasilkan atau kalau dibatasi
dalam bahasa sastra akan menentukan kadar kesastraan karya yang bersangkutan.

Unsur Stile yang berwujud retorika itu dikemukakan Abrams (1981:193) diatas meliputi
bahasa figuratif (figuratif language) dan wujud pencitraan (imagery). Bahasa figuratif itu
sendiri menurut Abrams (1981 : 63) dapat dibedakan kedalam

a. figures of thought atau tropes.


b. figures of speech rhetorical figures atau schemes

Yang pertama menyerang pada penggunaan unsur kebahasaan yang menyimpang dari
makna yang harfiah dan lebih menyaran pada makna literal (literal meaning). Sedang yang
kedua lebih menunjuk pada masalah pengurutan kata masalah permainan struktur. Jadi yang
pertama mempersoalkan pengungkapan dengan cara kias sebut saja dengan pemajasan sedang
yang kedua mempersoalkan cara structure and sebut saja dengan penyiasatan struktur. Stile
dalam bentuk inilah yang merupakan warisan retorika klasik yang biasanya dianggap orang
sebagai satu-satunya "gaya bahasa".

Perbedaan bahasa figuratif tersebut terlihat sejalan dengan pembagian keraf (1981: 106-
128) yang membedakan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan berdasarkan langsung
tidaknya makna. Yang pertama oleh keraf dibedakan ke dalam dua golongan yaitu struktur
kalimat dan gaya bahasa masing-masing dengan macamnya sedang yang kedua dibedakan ke
dalam gaya bahasa retorika dan gaya bahasa kiasan masing-masing juga dengan macamnya.

Pembicaraan unsur retorika berikut akan meliputi bentuk-bentuk yang berupa pemajasan
penyiasatan struktur dan pencitraan dengan memasukkan contoh-contoh antara lain dari
Keraf.

(1) Pemajasan

Pemajasan atau (figure of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa gaya bahasa
yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya melainkan
pada makna yang ditambahkan makna yang tersirat. Jadi yang merupakan gaya yang sengaja
mendayagunakan penuturan dan memanfaatkan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan
makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya namun hubungan itu bersifat tak
langsung atau paling tidak ia membutuhkan tafsiran pembaca. Memahami ungkapan bahasa
kias kadang-kadang memerlukan gaya tersendiri khususnya untuk menangkap pesan apa
sesungguhnya yang dimaksudkan oleh pengarang. Penggunaan bentuk-bentuk hiasan dalam
kesastraan dengan demikian merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaannya itu
penyimpangan makna.

18
Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra sesuai dengan sifat alami sastra itu sendiri
yang ingin menyampaikan sesuatu secara tak langsung banyak mendayagunakan pemakaian
bentuk-bentuk bahasa kias itu. Pemakaian bentuk-bentuk tersebutdi samping untuk
membangkitkan suasana dan kesan tertentu tanggapan Indra tertentu juga dimaksudkan untuk
memperindah penuturan itu sendiri. Jadi yang menunjang tujuan tujuan estetis penulisan
karya itu sebagai karya seni. Ia merupakan hal yang penting kehadirannya untuk tidak
mengatakan esensial dalam karya sastra. Bahkan tak jarang orang yang beranggapan bahwa
gaya bahasa dalam karya sastra seperti di singgung diatas terbatas pada bentuk-bentuk
pengungkapan dalam pengertian ini dan gaya bahasa yang lain yang berupa penyiasatan
struktur (seperti dibicarakan di bawah).

Penggunaan stile yang berwujud pemajasan apalagi dalam puisi memang mempengaruhi
gaya dan keindahan bahasa karya yang bersangkutan. Namun penggunaan bentuk-bentuk
bahasa kias tersebut haruslah tepat. Artinya ia haruslah dapat menggiring ke arah interpretasi
pembaca yang kaya dengan asosiasi asosiasi disamping juga dapat mendukung terciptanya
suasana dan nada tertentu. Selain itu penggunaan bentuk-bentuk ungkapan itu haruslah baru
dan segar tak hanya bersifat mengulang bentuk-bentuk tertentu yang telah banyak
dipergunakan. Penggunaan ungkapan ungkapan baru akan memberikan kesan kemurnian
kesegaran kadang-kadang bahkan mengejutkan dan karenanya menjadi efektif. kesan yang
demikian dieselnya dapat kita rasakan jika membaca novel burung-burung Manyar di atas.

Gorys keraf (1981) membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
kedalam dua kelompok gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya retoris adalah gaya bahasa yang
maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa
yang mengandung unsur kelangsungan makna. Sebaliknya gaya bahasa kiasan adalah gaya
bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang
membentuknya. Untuk itu orang haruslah mencari makna di luar rangkaian kata dan kalimat
itu. Gaya bahasa kategori yang pertama terlihat lebih merupakan permainan struktur
sedangkan maknanya bersifat langsung. Oleh karena itu pembicaraan bentuk itu dimasukkan
ke dalam kelompok penyesatan struktur dibawah sedang pada bagian dibatasi oleh bentuk
kiasan.

Bentuk pengungkapan yang mempergunakan bahasa jumlahnya relatif banyak namun


barangkali hanya beberapa saja yang kemunculannya dalam sebuah karya sastra relatif tinggi.
Pemilihan dan penggunaan bentuk hiasan bisa saja berhubungan dengan selera kebiasaan
kebutuhan dan kreativitas pengarang. Bentuk-bentuk pemajasan yang banyak digunakan
pengarang adalah bentuk perbandingan dan persamaan yaitu membandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya misalnya yang berupa ciri fisik
sifat sikap keadaan suasana tingkah laku dan sebagainya. Bentuk perbandingan tersebut
dilihat dari sifat kelangsungan pembandingan persamaannya dapat dibedakan kedalam simile,
metafora, dan personifikasi.

Simile menyaran pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit dengan
mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda ke eksplisit dan seperti: seperti,
bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip dan sebagainya. Dalam penuturan bentuk ini sesuatu

19
yang disebut pertama dinyatakan mempunyai persamaan sifat dan sesuatu yang disebut
belakangan. Misalnya bentuk pengungkapan yang berbunyi: "di hadapan mereka dukuh paruk
kelihatan Rembang seperti seekor kerbau besar yang lelap", atau "langkahnya amat lamban
mirip langkah-langkah seorang kakek pikun". Makna ungkapan simile dapat dipahami
dengan lebih baik lewat konteks wacana yang bersangkutan. Contoh diatas misalnya dukuh
paruk yang Rembang disamakan dengan kerbau lelap hal itu sekaligus menyaran pada makna
kedunguan orang-orang dukuh paruk yang bagaikan kerbau.

Metafora di pihak lain merupakan gaya perbandingan yang bersifat langsung dan
implisit. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan kedua hanya bersifat
sugestif tak ada kata-kata petunjuk perbandingan eksplisit.kedua bentuk simile di atas
misalnya jika dihilangkan penanda hubungan eksplisit nya akan menjadi bentuk metafora
sebagai berikut: "di hadapan mereka dukuh paruk yang remang adalah seekor kerbau yang
besar sedang langkahnya yang lambat adalah langkah-langkah seorang kakek pikun". Bentuk-
bentuk metafora yang telah usang atau telah sangat lazim dipergunakan tampaknya
cenderung akan kehilangan nilai metaforis nya.artinya bentuk-bentuk itu tak lagi dianggap
sebagai metafora tak lagi dianggap bermakna kias misalnya ungkapan-ungkapan seperti
mengejar cita-cita, memegang jabatan, dan mata keranjang, jalan buntu. Ungkapan ungkapan
konotatif yang seperti inilah yang banyak dipergunakan dalam penuturan nonsastra dengan
maksud untuk lebih mempercepat pemahaman.

Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-
sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana
halnya manusia. Jadi dalam personifikasi terdapat persamaan sifat antara benda mati dengan
sifat-sifat manusia. Dengan demikian personifikasi pun dapat dipandang sebagai gaya bahasa
yang berdasar diri pada adanya sifat perbandingan dan persamaan. Berbeda halnya dengan
simile dan metafora yang dapat membandingkan dua hal yang menyangkut apa saja
sepanjang dimungkinkan pembanding dalam personifikasi haruslah manusia dan atas sifat-
sifat manusia.

Gaya pemajasan lain yang kerap ditemui dalam berbagai karya sastra adalah metonimia
sinekdok hiperbola dan paradoks. Metode ini merupakan sebuah yang menunjukkan adanya
pertautan atau pertalian yang dekat. Misalnya seseorang suka membaca karya karya Ahmad
Tohari kemudian dikatakan ia suka membaca Tohari. Sinekdoke yang berasal dari bahasa
Yunani synekdechsthai yang berarti menerima bersama-sama merupakan gaya yang juga
tergolong gaya pertautan mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Hiperbola di pihak lain merupakan
suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan
nya. Gaya ini banyak dijumpai dalam karya sastra khususnya fiksi.ungkapan Tohari untuk
dukuh paruk sebagai "memiliki kebodohan langgeng" itu pun mengandung unsur berlebihan
gaya paradoks. Sebaliknya adalah cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan
unsur pertentangan di dalamnya. Ungkapan seperti ia merasa kesepian di tengah berjubel nya
manusia metropolitan adalah sebuah penuturan yang mengandung unsur pertentangan itu.

20
Untuk melakukan kerja analisis terhadap penggunaan bahasa kias ini kita dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut

1. Bentuk pemajasan apa saja yang terdapat dalam karya fiksi itu bagaimanakah wujud
masing-masing bentuk pemajasan apakah yang dominan?
2. Apakah penggunaan bentuk pementasan itu tempat apa atau bagaimanakah fungsi
bentuk-bentuk itu untuk mencapai efek estetis apakah koherensif dengan bentuk-bentuk
pengungkapan yang lain?
3. Apakah penggunaan bentuk pemajasan itu dapat memberikan kemungkinan berbagai
asosiasi makna? dan sebagainya.

(2) Penyiasatan struktur

Keefektifan sebuah wacana sangat dipengaruhi oleh bangunan struktur kalimat secara
keseluruhan bukan semata-mata oleh sejumlah bangunan dengan gaya tertentu. Namun
memang dari semua unsur gramatikal yang ada itu sering terdapat sejumlah bangunan
struktur tertentu yang menonjol yang mampu memberikan kesan lain. Pembicaraan tentang
struktur kalimat sebagai bagian retorika ini lebih ditujukan pada bangunan struktur kalimat
yang menonjol tersebut struktur yang barangkali merupakan suatu bentuk penyimpangan
namun yang sengaja disusun secara demikian untuk penulisannya untuk memperoleh efek
tertentu khususnya efek estetis dan efeknya terhadap pembaca atau pendengar jika berupa
pidato.

Sama halnya dengan pemajasan yang dipandang orang sebagai salah satu bentuk stile
stile yang lain. Yang pertama meningkatkan pengungkapan melalui penyiasatan makna
sedang yang kedua penyiasatan struktur. Dalam kaitanya dengan tujuan mencapai efek retoris
sebuah pengungkapan peranan penyesatan struktur tampaknya lebih menonjol daripada
pemajasan. Namun keduanya pun dapat digabungkan. Pembahasan disampaikan melalui
struktur yang bervariasi struktur yang disiasati sehingga dari segi ini pun akan terasa baru dan
segar. Sebaliknya bangunan struktur kalimat pendapat untuk meningkatkan penyampaian
pesan baik yang bersifat langsung maupun kiasan. Dengan demikian sebuah kalimat
penuturan dapat saja mengandung gaya pengecasan sekaligus gaya penyesatan struktur. Gaya
penuturan yang demikian biasanya dapat lebih memberikan kesan retoris sekaligus kaya
dengan asosiasi makna.

Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyesatan struktur kalimat. Salah satu
gaya yang banyak dipergunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan baik
yang berupa pengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat maupun bentuk-bentuk yang
lain misalnya kaya repetisi, paralelisme, anafora, polisidenton, dan asidenton sedangkan
bentuk-bentuk yang lain misalnya antitesis aliterasi klimaks antiklimaks dan pertanyaan
retoris.

Repetisi dan anafora merupakan dua bentuk gaya pengulangan dengan menampilkan
pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Kata atau kelompok kata yang diulang

21
dalam repetisi bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih dan berada pada posisi awal tengah
atau di tempat yang lain. Misalnya dalam penuturan yang berbunyi: "rasus dalam hati
menyayangkan srintil menyayangkan warga dukuh paruk menyayangkan sikap mereka yang
memandang moral hanya dari dunianya sendiri yang sempit". Anafora di pihak lain
menampilkan pengulangan kata kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan. Jadi
anafora terjadi paling tidak dalam dua buah kalimat pengulangan anaforis dapat memberikan
tekanan dan menunjang kesimetrisan struktur kalimat yang ditampilkan.

Paralelisme di pihak lain menyaran pada penggunaan bagian-bagian kalimat yang


mempunyai kesamaan struktur gramatikal dan menduduki fungsi yang sama pula secara
berurutan. Dengan demikian paralelisme sebagaimana halnya dengan repetisi pada
hakekatnya juga merupakan suatu bentuk pengulangan yaitu pengulangan struktur gramatikal
pengulangan struktur bentuk. Penggulangan bentuk paralelisme dimaksudkan untuk
meningkatkan adanya kesejajaran bangunan struktur yang menduduki posisi yang sama dan
gagasan yang sederajat.kegunaan bangunan struktur yang terdapat dalam kalimat penuturan
akan menghasilkan bentuk-bentuk pengungkapan retoris dan sekaligus melodis di samping
mempermudah pemahaman pembaca atau pendengar karena gagasan yang ingin disampaikan
itu "dibungkus" dengan pola yang mirip.bentuk-bentuk gramatikal yang paralel itu sendiri
dapat berupa struktur kata, frase, atau kalimat bahkan juga alinea.

Sebagai contoh misalnya bentuk awalan di dan frase atributif pada dua contoh kalimat
berikut: "di antara sejumlah warga itu terpaksa ada yang dipilih dibatasi bahkan adakalanya
ditolak untuk diterima sebagai anggota" dan "perjuangan kemanusiaan adalah perjuangan
menegakkan martabat dan meningkatkan derajat kehidupan". Di pihak lain paralelisme
kalimat terjadi jika terdapat beberapa kalimat berurutan yang mempergunakan pola struktur
yang sama misalnya pola K waktu S-P-O atau pola-pola lain. Paralelisme alinea terjadi jika
pola bentuk penyampaian gagasan pada sebuah alinea diulangi pada alinea alinea berikutnya.

Ada gaya lain yang mirip dengan atau juga mempergunakan unsur paralelisme namun
justru dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang bertentangan. Bentuk itu
biasanya disebut sebagai gaya antitesis ide yang bertentangan itu dapat diwujudkan ke dalam
kata atau kelompok kata yang berlawanan. Misalnya sebuah penuturan yang berbunyi: "kita
sudah kehilangan banyak kesempatan harga diri dan air mata namun dari situlah kita akan
memperoleh pelajaran yang berharga".

Dua gaya bentuk pengulangan yang lain adalah polisidenton dan asindeton. Bentuk
pengulangan pada polisidenton adalah berupa penggunaan kata tugas tertentu misalnya kata
"dan" sedang pada asidenton bentuk pengulangan itu berupa penggunaan pungtuasi yang
berupa "tanda koma" yang diapit oleh bentuk bentuk pengulangan dan atau, itu adalah
gagasan-gagasan yang sederajat dan karenanya mendapat penekanan yang sama. Penggunaan
kedua gaya ini pun tentu saja jika di sekeliling dengan gaya-gaya yang lain akan mampu
membangkitkan efek retoris.

Penggunaan bentuk aliterasi dalam karya sastra tampaknya juga dapat dikaitkan dengan
bentuk pengulangan. Bentuk penuturan aliterasi adalah penggunaan kata kata yang sengaja
dipilih karena memiliki fonem konsonan baik yang berada di awal maupun di tengah.
22
Kegunaan aliterasi terlihat intensif pada karya namun tidak berarti tak pernah dimanfaatkan
dalam fiksi.

Bentuk penyiasatan struktur yang lain adalah gaya kalimat dan antiklimaks. Kedua
bentuk itu dimaksudkan mengungkapkan dan menekankan gagasan dengan cara
menampilkannya secara berurutan. Pada gaya klimaks urutan penyampaian itu menunjukkan
semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan itu sedang pada antiklimaks bersifat
sebaliknya semakin mengendur.

Gaya yang berupa pertanyaan retoris sebuah karya yang banyak dimanfaatkan oleh para
orator meningkatkan pengungkapan dengan menampilkan semacam pertanyaan yang
sebenarnya tak menghendaki jawaban. "Pertanyaan-pertanyaan" yang dikemukakan itu telah
dilandasi oleh asumsi bahwa hanya terdapat satu jawaban yang mungkin disamping penutur
juga mengasumsikan bahwa pembaca (pendengar) telah mengetahui jawabannya.

Sebenarnya masih banyak bentuk-bentuk penyiasatan struktur yang lain yang sering
dikategorikan sebagai "gaya" namun dengan sejumlah contoh pembicaraan di atas kiranya
sudah cukup memadai. Hal itu disebabkan bentuk-bentuk itulah yang banyak muncul dalam
berbagai karya fiksi. Untuk keperluan analisis stile dalam jenis ini kita dapat mempergunakan
pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan dalam analisis gaya pemajasan di atas.

(3) Pencitraan

Melalui ungkapan ungkapan bahasa tertentu yang ditampilkan dalam karya sastra kita
sering merasakan Indra ikut terangsang seolah-olah kita ikut melihat atau mendengar apa
yang dilukiskan dalam karya tersebut. Tentu saja kita akan terlihat dan mendengar dengan
mata dan telinga telanjang melainkan melihat dan mendengar secara imajinasi.penggunaan
kata kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan Indra yang demikian dalam
karya sastra disebut sebagai pencitraan.

Dalam dunia kesastraan dikenal dengan adanya istilah Citra image dan pencitraan atau
imagery. Yang keduanya menyaran pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan sebuah
gambaran pengalaman individu diungkapkan lewat kata-kata gambaran berbagai pengalaman
yang dimaksudkan oleh kata-kata. Pencitraan di pihak lain merupakan kumpulan Citra the
collection of image yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan Indra
yang dipergunakan dalam karya sastra baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara
kias (Abrams 1981 78 Kenny 1966: 64). Macam pencitraan itu sendiri meliputi kelima indera
manusia citraan penglihatan (visual(, pendengaran (audiosonik), gerakan (kinestetik), rabaan
(taktil), termal dan penciuman (olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya tak
sama intensitasnya.

Pencitraan merupakan suatu gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan
sastra.iya dapat dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan gagasan yang
sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah membangkitkan tanggapan
imajinasi. Dengan daya tanggapan Indra imajinasi pembaca akan dapat dengan mudah
membayangkan merasakan dan menangkap pesan yang dapat disampaikan pengarang.

23
Pencitraan memberikan kemudahan.ia merupakan sarana untuk memahami karya sekaligus
merupakan gaya untuk memperindah penuturan.ketepatan pemilihan bentuk pencitraan
tertentu yang sesuai berarti pula ketepatan bentuk pengungkapan bahasa ketepatan stile.

Contoh pengungkapan yang mengandung pencitraan misalnya dalam baris-baris kalimat


novel burung-burung Manyar yang dikutip di atas dan dengan enaknya tanpa tahu malu
perempuan-perempuan itu turun membalik mengangkat kain hingga pantat mereka menonjol
serba pekik kemerdekaan.tanpa tergesa-gesa kedua bola mereka itu dicelup ke air sambil
omong-omong dengan rekannya. Biasanya pantat pantat itu putih dan mulus halus. Membaca
baris-baris tersebut kita seolah-olah dapat melihat keadaan yang digambarkan pengarang
secara konkret walau hanya terjadi di dalam khayalan.

Pencitraan yang dicontohkan di atas berupa deskripsi citraan secara harfiah.bentuk


pencitraan dalam sastra banyak juga yang bersifat kiasan umpamanya yang berupa
perbandingan perbandingan. Misalnya ungkapan yang berbunyi hatinya telah patah arang
menggambarkan keadaan hati yang bagaikan hati patah. Yang tak mungkin disambung lagi.
Keadaan orang yang dapat dengan mudah dibayangkan tetapi sulit membayangkan hati yang
patah. Oleh karena itu ungkapan patah arang dapat mengkonkretkan suasana hati. dengan
demikian bentuk atau gaya pencitraan dapat muncul sekaligus kalimat dengan gaya remaja
san dan keduanya pun dapat bergabung dalam satu kalimat dengan gaya penyiasatan struktur.

Analisis pencitraan terhadap sebuah karya fiksi dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada gaya
pemajasan dan penyesatan struktur di atas. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis itu
diinterpretasikan karakteristik stile sebuah karya secara keseluruhan.

D. Kohesi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain atau kalimat yang satu dengan
yang lain terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antar bagian kalimat atau antarkalimat
itu. Bagian-bagian dalam sebuah kalimat atau kalimat-kalimat dalam sebuah alinea yang
masing-masing mengandung gagasan tidak mungkin disusun secara acak. Antar unsur
tersebut secara alami dihubungkan oleh unsur makna unsur semantik.hubungan semantik
merupakan bentuk hubungan yang esensial dalam kursi yang mengaitkan makan makna
dalam sebuah teks. Hubungan itu mungkin bersifat eksplisit yang ditandai oleh adanya kata
penghubung dan kata-kata tertentu yang bersifat menghubungkan namun mungkin juga hanya
berupa hubungan kelogisan hubungan yang ditimbulkan oleh pembaca hubungan implisit.
Hubungan tersebut dalam ilmu bahasa disebut kohesi atau cohesion keutuhan.

Untuk mengungkapkan sebuah gagasan yang utuh tiap bagian kalimat siap terima atau
tiap alinea yang dimaksudkan untuk mendukung gagasan itu haruslah dihubungkan dengan
satu yang lain baik secara eksplisit implisit maupun keduanya secara bersamaan atau
bergantian. Untuk mengungkapkannya dalam sebuah karya yang sekaligus mendukung tujuan
estetis pemilihan atau penggunaan bentuk-bentuk puisi tersebut memerlukan penyiasatan.

Penghubung antar unsur sebuah teks pada hakikatnya yang berupa penghubung makna
dan referensi namun biasanya orang tidak melihatnya dari segi sarana formal sebagai penanda

24
hubungan. Misalnya sebuah kalimat Teto dan Atik saling mencintai tetapi mereka tidak dapat
kawin memiliki kata sambung dan yang menghubungkan teto dan Atik yang telah disebut
sebagai klausa sebelumnya kata kata dan tetapi dan mereka dalam kalimat tersebut
memperlihatkan adanya dua macam kohesi linear sambungan linkage dan rujuk silang cross
reference. Sambungan merupakan alat kohesi yang berupa kata-kata sambung sedangkan
rujuk silang berupa sarana bahasa yang menunjukkan kesamaan makna dengan bagian yang
di referensi.

Penanda kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia ada banyak sekali yang
berbeda-beda fungsinya. Ia dapat berupa kata-kata tugas seperti dan kemudian sedang tetapi
namun melainkan bahwa sebab jika maka dan sebagainya yang menghubungkan antar bagian
kalimat sebagai preposisi ataupun konjungsi. Penanda kohesi yang menghubungkan antar
kalimat biasanya berupa kata atau kelompok kata seperti jadi dengan demikian akan tetapi
oleh karena itu disamping itu dan sebagainya. Jika membaca beberapa karya fiksi kita akan
menemukan pengarang yang "royal" dengan kata kohesi sambungan misalnya kata "dan"
yang sering mengawali sebuah kalimat namun ada juga yang mempergunakan secara efisien
dan hati-hati. Menggunakan kata sambung dan di tengah kalimat sebagai penghubung antar
bagian kalimat bahkan sering didayagunakan menjadi sebuah gaya polisidenton.

Rujuk silang yang merupakan penyebutan kembali sesuatu yang telah dikemukakan
sebelumnya merupakan alat pengulangan makna dan referensi. Bentuk pengulangan yang
paling nyata yang dikenal dengan pengulangan formal adalah berupa pengulangan kata atau
kelompok kata yang sama. Namun kohesi pun mengenal adanya prinsip pengurangan
reduction yaitu yang memungkinkan kita untuk menyikat apa yang akan di sebut kembali
untuk menghindari pengulangan bentuk yang sama. Selain itu peningkatan atau pengurangan
itu pada umumnya dilakukan jika sesuatu yang dituturkan sebelumnya itu panjang sehingga
jika ditutup kembali seperti apa adanya akan merupakan pemborosan yang justru
menyebabkan tidak efisien dan efektifnya penuturan itu. Peningkatan dan penggantian itu
dapat pula terjadi pada penggunaan bentuk persona.

Bentuk peningkatan pengurangan banyak dipergunakan adalah berupa pemakaian kata-


kata seperti "kalian kau, sekalian, kami, kita dan mereka.". Misalnya kata mereka pada
contoh diatas dimaksudkan untuk menggantikan Teto dan Atik. Bentuk peningkatan yang
berupa klitik-klitik nya dapat dipakai untuk menggantikan persona tertentu atau sesuatu yang
lain yang bukan persona. Bahkan kata ia, dia nampaknya kini juga banyak dipergunakan
untuk menggantikan sesuatu yang juga bukan persona (contohnya dapat dijumpai dalam stile
penulisan buku ini). Bentuk peningkatan yang lain misalnya kata tunjuk itu dan ini untuk
menggantikan sebuah frase dan sebagainya. Bentuk-bentuk penyingkatan tersebut dilihat dari
sudut pandang lain dapat disebut sebagai daiksis. Namun penggunaan berbagai bentuk
penggantian dan atau peningkatan tersebut haruslah tetap mendukung kejelasan hubungan
makna.

Penggunaan kohesi rujuk silang sebagai sarana memperoleh efek estetis dalam karya
sastra biasanya ditempuh melalui dua cara

1. Pengulangan ekspresif atau ekspresi repetition


25
2. Anggun variasi elegan elegan variation.

Wujud pengulangan ekspresif adalah pengulangan formal. Pengulangan itu sendiri


merupakan suatu bentuk peninggalan makna dan kesan emotif. Ekspresif disamping itu
juga untuk memperkuat sifat paralelidtis kalimat.gaya repetisi dan anafora seperti
dibicarakan di atas dapat pula dijadikan contoh di sini. Contoh lain misalnya penggunaan
kata keindahan dan penuturan berikut.

"Keindahan itu adalah matahari yang tahu diri menarik cahayanya dari ladang dan
sawah sawah yang di malam hari menikmati cahaya bulan. Dan keindahan itu adalah
bunga tanjung yang tiada berbudi tapi mekar dalam keharumannya karena
persekutuannya dengan alam semesta keindahan itu adalah penyerahan diri, sukesi! Kini
terbanglah bersama keindahan itu kata begawan wiswara."

(Anak bajang menggiring angin 1993 19).

Wujud kohesi yang merupakan bentuk peningkatan dan sekaligus berupa pengulangan
ekspresif misalnya pada penggunaan kata mereka pada contoh berikut:

"Lihatlah berjuta-juta manusia yang mengiringi kami. Mereka ini belum lelah
dengan dosa-dosanya. Pandanglah tangis mereka. Kami ingin mereka tetap menangis
karena memang demikian kehendak mereka. Jangan sampai tangis mereka diubah
menjadi kebahagiaan oleh kesucian wiswara dan suksesi yang kini sudah diambang
sastra jendera".

(Anak bajang menggiring angin 1993 19).

Kata "mereka" di atas untuk menggantikan kelompok kata yang relatif panjang "berjuta-
juta manusia yang mengiringi kami". Jadi penggunaan "mereka" berfungsi mempersingkat
penuturan, disamping juga berfungsi ekspresif.kata kami di atas sebenarnya juga meningkat
dan menggantikan penyebutan makhluk-makhluk seperti warudoyong, singa barong,
jerangkong, banaspati dan balang atandan yang telah disebutkan sebelumnya namun tak
terlihat dalam kutipan itu.

Variasi anggun sebenarnya juga berdasar diri pada prinsip pengulangan namun dengan
mempergunakan bentuk pengungkapan lain. Ia mungkin berupa penggunaan bentuk-bentuk
sinonim khususnya sinonim berdasarkan kelayakan konteks. Artinya berdasarkan konteks
yang bersangkutan kata-kata itu dapat berjalan pada makna yang sama bukan berdasar
sinonim kata lepas. Misalnya kata-kata keintiman kedua and kekawanan dan kebersamaan
dalam konteks tertentu dapat bermakna sama hubungan laki perempuan.

Selain itu variasi elegan juga dapat berupa penggunaan sinonim bentuk ekspresi
penggunaan bangunan struktur yang berbeda namun maksudnya kurang lebih sama. Jadi
seperti yang disebut dalam pembicaraan stile di atas yang berbeda adalah hanya yang
menyangkut struktur lahir sedangkan struktur batinnya kurang lebih sama dalam penuturan
kalimat: "srintil heran mengapa nyanyikan mengerti keadaan dirinya juga warga dukuh paruk
lainnya" . Kata "juga bentuk pengungkapan secara lain dari ekspresi "tak mengerti keadaan

26
dirinya". Dengan demikian penggunaan kata juga dalam konteks itu selain berupa
pemanfaatan alat kohesi bentuk variasi elegan sekaligus juga berupa peningkatan.

Untuk keperluan analisis kohesi walau mungkin orang beranggapan bahwa unsur kohesi
tak begitu penting peranannya dalam stile kesastraan kita dapat melakukannya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut

1. alat kohesi apa sajakah yang dipergunakan dalam karya itu apa yang menonjol?
2. bentuk kohesi rujuk silang apa sajakah yang dipergunakan apa yang menonjol?
3. apa peran kohesi bagi stile karya secara keseluruhan? Dan sebagainya.

Jika menganalisis unsur bahasa sebuah karya fiksi dengan melibatkan semua unsur Stile
di atas dimungkinkan sekali terjadi ketumpangtindihan. Artinya sebuah bentuk yang sudah
diidentifikasikan sebagai suatu bentuk unsur Stile tertentu berdasarkan ciri tertentu yang lain.
Misalnya sebuah kalimat sudah dikelompokkan ke dalam bentuk bahasa figuratif pemajasan
dan penyesatan struktur sekaligus namun dilihat dari unsur penanda kohesi pun dapat
dikelompokkan ke beberapa jenis atau sebaliknya. Hal itu wajar saja terjadi mbahkan sebuah
kalimat yang dapat dikategorikan ke dalam berbagai gaya itu menunjukkan bahwa
pengungkapan itu padat efektif dan untuk memperoleh tujuan eksistensinya didukung oleh
berbagai bentuk stile.

C. PERCAKAPAN DALAM NOVEL

a. Narasi dan Dialog

Sebuah karya fiksi uummnya dikembangkan dalamm dua bentuk penuturan: narasi
dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan
menjadi tidak bersifat monoton, terasa variatif, dan segar. Sebuah novel yang hanya
dituturkan dengan teknik narasi saja, atau dengan dialog yang amat sedikit, misalnya,
disammping terasa monmoton juga akan membosankan. Apalagi jika stielnya kurang
menarik. Pembaca akan cepat payah dalam hal penyampaian informasi kepada pembaca,
teknik narasi dan dialog, dapat dipergunakan secara saling melengkapi.

Pengungkapan dengan gaya narasi dalam hal ini yang saya maksudkan adalah semua
penuturan yang bukan bentuk percakapan sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih
singkat dan langsung. Artinya, pengarang mengisahkan ceritanya secara langsung,
pengungkapan yang bersifat menceritakan, telling. Ia dapat berupa pelukisan dana tau
penceritaan tentang latar, tokoh, hubungan antar tokoh, peristiwa, konflik dan lain-lain.
Bentuk narasi dapat menceritakan sesuatu secara singkat sebab pengarang biasanya
cenderung menuturkannya secara singkat juga. Pengarang cenderung memilih peristiwa dan
tindakan, konflik, atau hal-hal yang menarik dari perjalanan hidup tokoh untuk diceritakan.

27
Penuturan bentuk dialog tak mungkin hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu
dengan) bentuk narasi. Sebaliknya, bentuk narasi dapat hadir tanpa dialog, walau mungkin
terasa dipaksakan, misalnya dalam sebuah cerita yang relatif pendek.

“Tapi bagaimana si Dota?. Dia sudah terima itu cincin?”. “Udah!. Tapi kan betul yang
kubilang tadi. Semua cewek itu anak wewe.”

“Dia gembira menerima hadiah?”

“Bah!. Terlalu amat kelewat gembira”

“Betul?”

“Sampai ia tunjukan suratmu pada semua cewek dan cowok, sambil menertawakan
kau. Sudahlah, semua cewek itu brengsek”.

(Burung-burung Manyar, 1981:9)

Sepenggal percakapan di atas diapit oleh penuturan bentuk narasi. Berdasarkan kata per
kata kita akan dapat mengerti arti percakapan itu. Namun, bentuk percakapan di atas akan
terasa hidup dan segar serta dapat dipahami makna keseluruhannya jika telah jelas konteks
situasinya.

b. Unsur Pragmatik dalam Percakapan

Percakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah novel, adalah
percakapan yang sesuai dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi
nyata penggunaan bahasa. Konteks yang diluar bahasa inilah sering juga disebut sebagai
faktor penentu yang justru lebih menentukan wujud percakapan. Faktor-faktor itu antara lain
berupa situasi berlangsungnmya percakapan. Ketepatn penggunan bahasa percakapan adalah
ketepatan konteks situasi, maka bentuk percakapan dala sebuah situasi belum tentu tepat
untuk situasi yang lain.

28
Untuk memahami sebuah percakapan yang mmemiliki konteks tertentu, kita tak dapat
hanya dapat mengandalkan pengetahuan leksikal danm sintaksis saja, melainkamn harus pula
disertai dengan interpretasi pragmmatik (Leech & Short, 1981:290). Dengan menyertakan
konteks pragatiknya. Makna sebuah percakapan akan dapat dipahammi secara penuh.

Pemahaman terhadap percakapan seperti tersebut dalam konteks pragmatik disebut


implikatur (inplicature,yang sebenarnya merupakan kependekan dari conversational
implicature, ‘implikatur percakapan’) (Levinson, 1984:98—100). Konsep implikatur
merupakan hal yang esensial dalam pragmatik. Implikatur merupakan sebuah contoh
pradigmatik dari hakikat dan kekuatan penjelasan pragmatik terhadap mfenomena linguistic.
Ia memberikan penafsiran pragmatis yang mampu melewati dan mapu emnmbus batas-batas
structural linguistic.

Kontribusi adanya nosi implikatur dalam kegiatan bernahasa adalah ia mampu


meberikan makna secara lebih dari sekedar apa yang dimkatakan pemmbicara. Ia terlihat
mempengaruhi penyerdehanaan substansial baik dala struktur maupun isi deskripsi semantis.

Percakapan itu dimulai dengan kmata-kata saudagar. “bagaimana, bu Bei, jadi?”,


boleh jadi memang mengandung ketakjelasan bagi pembaca yang tak mengerti konteks
pembicaraan yang seperti itu, termamsuk konteks pembicaraan di pasar antara orang-orang
yang telah akrab, atau pembaca yang taj ampu membuat immplikatur-implikatur.

Dengan demikian, kita pembaca seharusnya mebayangkan bahwa sebelumnya


terjadinmya percakapan diatas pernah dipercakapkaan masalah “lamaran” itu. Novel dapat
mmenghadirkan konteks situasi yang beramcam-macam: Resmi,formal, serius, santai, akrab
atau yang lain. Percakapan yang menyertai situasi-situasi tersebut haruslah menyesuaikan.
Penggunaan kata dan leksikal daerah(Jawa) seperti percakapan diatas menunjukan bahwa
percakapan itu bersifat tak resmi dan akrab. Namun demikian percakapan tetap komunikatif
dan amat wajar. Jika terjadi sebaliknya, yaitu dengan kalimat-kalimat utuh dan panjang,
percakapan justru terasa kaku dan tidak pragmatik. Penghilangan unsur-unsur kalimat dalam
percakapan tak akan mengaburkan informasi sebab penuturan yang bersangkutan didukung
oleh konteks.

29
c. Tindak Ujar

Salah satu hal yang penting dalam interpretasi dalam percakapan secara pragatik, konsep
yang menghubungkan antara makna percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak ujar
(speech acts), sebuah konsep yang dikembanbkan olsh Austin(1962) dan Searle (1969) (lewat
Leech dan Short, 1981;290). Konsep tersebut menyatakan bahwa jika sesdorang
mengucapkan kalimat-kalimat dalam percakapan yang dilakukan umumnya disertai oleh
adanya perfom acts yang berbeda-beda.

Bentuk penampilan tindak bahasa dapat diketahui dari makna kalimat (-kalimat) yang
bersangkutan, namun sering juga pembicara menekankannya dalam wujud kata kerja tertentu.
Misalnya ucapan “datanglah kemari” dipertegas menjadi “ saya mengharapkanmu dating
kemari”. Bentuk-bentuk penampilan yang berupa perintah,tanya, dan pernyataan inilah,
antara lain, yang disebut tindak ujar pengungkapan kalimat secara berbeda dengan makna
yang kurang lebih sama, seperti telah dikemukakan, merupakan salah satu cara pemilihan
stile.

Austin membedakan penampilan tindak ujar kedalam tigz macam tindak, yaitu lokuxi,
ilokusi, dan perlokusi. Tindak bahasa lokusi (locusionary speech acts) adalah salah satu yang
mengandung makna adanya hubungan antara subjek dengan predikat, pokok dengan sebutan,
atau antara topik dengan penjelasan.

Tindak ujar ilokusi bentuk-bentuk ujaran berdasarkan intonasi kalimat. Dalam konteks
ketatabahasaan, kita kenal dengan adanya intonasi kalimat (baca:intonasi ujaran) berita atau
pernyataan, tanya, perintah, permohonan, atau intonasi kalimat yang lain. Dalam percakapan
yang pragmatik sering terdapat kalimat ujaran yang tak lengkap, mungkin berupa
penghilangan (baca: Tak diucapkannya) unsur subjek, prediket atau objek. Hal itu
dimungkinkan terjadi dan tetap komunikatif , karena percakapan telah dibantu dengan
konteks situasi. Kalimat ujaran yang tak lengkap demikian, tentunya tidak dapat dipandang
sebagai tindak lokusi yang menyaratkan adanya subjek prediket diatas.

Berdasarkan konsep bahwa tindak ujar ilokusi membedakan bentuk ujaran berdasarkan
intonasi kalimat. Sebuah kalimat ujaran dapat saja dimasukan kedalam jenis-jenis tertentu
tindak ilokasi yang berbeda walau secara makna kurang lebih sama. Atau sebaliknya, jenis-
jenis tindak ilokasinya sama, namun maknanya dapat berbeda. Analisis percakapan dalam
sebuah novel dari segi tindak ujar, juga dapat dipandang sebagai analisis stile karya yang

30
bersangkutan, khusunya stile yang berwujud gaya dialog. Ananlisis yang demikian adalah
analisis yang berdasarkan interpretasi pragmatik.

Kalimat-kalimat percakapan dalam sebuah novel, walau hanya berwujud kalimat-kalimat


tulisan yang bisu, pada hakikatnya merupakan rekaman dan visualisasi kalimat ujaran yang
menyaran pada intonasi tertentu. Dengan demikian kalimat-kalimat tersebut dapat
dikelompokan kedalam tindak-tindak ilokusi tertentu berdasarkan rambu-rambu yang
diberikan pengarang. Misalnya ujaran seorang tokoh yang disertai kata-kata: “tanya” (Rasus)
dan “jawab” ( Srintil keduanya menyaran pada tindak ilokusi tanya dan berita, atau mungkin
berupa tanda-tanda pungtuasi seperi “ tanda tanya” (?). “tanda seru” (!). “ tanda titik” (.) atau
yang lain-lai yang bersifat mengarahkan penafsiran pembaca.

Tindak bahasa perlokusi (perlocutionary speech acts) meihat pada adanya suatu
bentukpengucapan yang menyaran pada makna yang lebih dalam,yang tersembunyi dibalik
ucapan itu sendiri. Makna itu sendiri secara tak langsung diucapkan lewat percakapan, namun
iperlokusi menyaran pada penafsiran makna yg tersirat daripada yang tersurat, makna yang
dimaksud oleh pengaan sekaligus ditafsirkan oleh pembaca.

Jadi berbeda halnya dengan tindak uar lokusi dan ilokusi yang telah tertentu tinjauannya,
tindak ilokusi lebih menanpilkan kemampuan penafsiran pembaca. Persepsi, keoekaan, dan
kekritisan perasaan dan pikiran pembaca dalam memahami kontes wacana itu sangat
menentukan penafsiran makna secara perlokutif dan antara pembaca yang satu dengan yang
lain mungkin sekali terjadi perbedaan.

Berdasarkan pembedaan tiga penampilan tindak ujar di atas sebuah kalimat ujaran dapat
menyaran pada tiga tindak ujar sekaligus: Misalnya ucapan saudagar :” bagaimana, bu bei,
jadi?” (1) dan jadi panya?” (2), karena dapat dikategorikan sebagai kalimat yang religiositas
yang otentik( Mangunwijaya,1982:13) yaitu membiarkan atau memisahkan perkawinan anak-
anaknya.

Hubungan yang terjadi antara pengarang denga pembaca adalah hubungan yang tak
langsung dan tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca
sebab yang demikian justru tidak efektif disamping juga merendahkan kadar litererkarya
yang bersangkutan. Pengarang tidak menganggap pembaca bodoh dan sebalikya pembaca
pun tak mau dibodohi oleh pengarang.

31
32
CERPEN KOMPAS

Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang


Karya A. Mustofa Bisri

Ketika pertama kali aku melihatnya,


aku sudah bertanya tanya dalam hati.
Aku melihatnya dari jendela kereta api
menjelang keberangkatanku dari
stasiun S menuju kota J. Seorang gadis
cilik beralis tebal berdiri sendirian di
peron, memandangiku. Semula aku
kira dia sedang mengantar dan ingin
melambai seseorang lain, orangtuanya
atau saudaranya atau siapa. Tapi
kulihat matanya yang cemerlang
tertuju langsung kepadaku dan hanya
kepadaku. Saya membayangkan atau
mengharapkan dia tersenyum. Bila
tersenyum, pasti akan semakin indah
bibir mungil itu. Tapi dia sama sekali tidak tersenyum. Hanya pandangannya saja yang tidak
terlepas dari diriku. Aku sama sekali tidak bisa menafsirkan atau sekadar menerka ncrka
kehadiran dan pandangannya. Wajah manis itu tidak mengekspresikan apa apa.

Sampai keretaku berangkat, wajah gadis kecil beralis tebal bermata cemerlang itu masih
memandangiku. Anak siapa gerangan? Mengapa sendirian di stasiun? Bukan. Menilik
pakaian dan sikapnya, dia pasti bukan gelandangan. Pakaiannya bersih, sikapnya mantap.
Dan matanya itu, mata yang cemerlang itu, meski tidak memancarkan kegembiraan, tidak
menyiratkan sedikit pun penderitaan atau sekadar kegelisahan seperti umumnya kebanyakan
mata anak gelandangan.

Keretaku semakin melaju. Stasiun yang menyimpan misteri gadis kecil itu sudah lenyap
dari pandangan. Tapi wajah gadis kecil itu tak kunjung hilang dari benakku. Dia terus
mengikutiku. Sampai kondektur memeriksa karcis. Sampai kru KA menyuguhkan makan
malam. Sampai aku makan. Sampai aku tertidur.

Tahu-tahu aku sudah sampai di stasiun kota J. Dengan taksi aku menuju rumah kenalanku
yang menjanjikan akan mengenalkanku dengan adiknya yang katanya cantik seperti bintang
film kesukaanku. Sopir taksi menanyakan seperti biasa. “Lewat mana?” Saya pikir ini kiat
sopir taksi untuk mengetahui apakah penumpangnya ngerti jalan atau tidak. Kalau ketahuan
tidak mengerti jalan, maka dia putar-putar seenaknya agar argonya bisa tinggi. Maka aku

33
bilang, “Terserah abang sajalah!” Dan ternyata karena aku memang tidak mengerti jalan, aku
pun tidak tahu apakah dia putar-putar atau tidak.

Rumah kenalanku, Sahlan, terletak di kampung yang padat Aku keluar masuk gang, tanya
sana-sini, haru akhirnya ketemu. Rumahnya sederhana sekali seperti umumnya rumah-rumah
yang lain.

Sahlan senang sekali melihat aku benar-benar datang memenuhi janjiku. Saking
senangnya dia kelihatan seperti gugup. Sebentar-sebentar masuk lalu keluar lagi dan setiap
keluar ada saja yang dibawanya: yang minuman, kue-kue, rokok. Terakhir dia bawa peralatan
mandi. “Mandi dulu apa?” tanyanya kemudian dijawab sendiri. “Ya, sebaiknya kamu mandi
dulu biar segar.” Aku nurut

“Kok sepi? Kau sendiri ya?!” tanyaku ketika dia mengantarku ke kamar mandinya.

“Ya, bapak dan ibu sedang mudik ke M. Aku sendirian dengan adikku, jaga rumah.”

Entah mengapa ada rasa lega ketika mendengar dia sendirian dengan adiknya. Tapi di
mana dia gerangan? Mau bertanya agak malu juga, jadi aku diam saja.

“Ini kamarmu. Kalau ingin istirahat dulu, silakan lho!” katanya ramah, “Jangan malu-
malu. Anggap saja rumah sendiri!”

Di kamar mandi aku mendengar suara gadis sedang menyanyi lagu India. Ini pasti suara
adiknya, pikirku. Merdu juga. Pasti orangnya cantik.

Habis mandi aku langsung masuk ke kamar yang disediakan, entah kamar siapa. Mungkin
kamar orangtuanya. Kamar ini juga sederhana tapi bersih sekali. Aku ganti baju dan suara
lagu India itu masih terus kudengar.

“Sarapan dulu, Mas!” tiba-tiba terdengar suara Sahlan dari luar kamar. “Oke!” jawabku
dari dalam kamar.

Ketika aku keluar. Masya Allah, aku tertegun. Kulihat di depanku, seorang perempuan
menatapku. Alisnya tebal, matanya cemerlang, dan senyumnya manis sekali; persis seperti
yang dimiliki gadis kecil yang menatapku di stasiun S. Tak mungkin perempuan ini ibu dari
gadis cilik itu. Terlalu muda sebagai ibu. Atau kakaknya? Tapi Sahlan pernah mengatakan
dia hanya mempunyai seorang adik perempuan.

Perempuan itu memberi isyarat, mempersilakan ke meja makan sambil tersenyum manis
sekali. Aku mengangguk dengan gugup. Sahlan sudah duduk di meja makan sambil membaca
koran. Syukur dia tidak memperhatikan kehadiranku dan tidak melihat kegugupanku. Aku
segera memperbaiki sikapku seolah-olah tidak ada apa-apa dan langsung menuju meja
makan. Perempuan itu duduk di samping Sahlan. Aku pun mengambil tempat duduk di depan
mereka. Merasa saya sudah bergabung, Sahlan buru-buru melipat korannya dan
mempersilakan.

34
“O ya, kenalkan dulu, ini Shakila,” katanya sambil melirik perempuan bermata cemerlang
di sampingnya, “Adikku. Adik ketemu gede, ha-ha. Istriku tercinta!” Deg. Ada sesuatu
seperti memalu dadaku. Ternyata istrinya. Asem, kau Sahlan, batinku.

Perempuan itu mengulurkan tangannya. Dengan kikuk aku pun mengulurkan tanganku.
Kami berjabatan tangan dan terasa ada getar yang kurasakan; entah bersumber dari tanganku
atau tangannya yang lembut. Kembali berkelebat wajah gadis kecil di stasiun.

“Ayo, kita mulai! Nanti keburu dingin rawonnya!” Sahlan kembali mempersilakan. Tanpa
berbicara sepatah pun, istrinya mengambilkan nasi untukku dan suaminya. Kami, maksudku
aku dan Sahlan, makan sambil mengobrol. Istrinya sama sekali tidak ikut bicara. Hanya
sesekali tersenyum; seperti ketika suaminya menceritakan asal-usul namanya yang seperti
nama bintang film India itu. Bahkan ketika aku sengaja bertanya sesuatu kepadanya, Sahlan
yang menjawab. Sekejap terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan istri Sahlan ini bisu. Ah,
tidak, lha tadi yang kudengar menyanyi lagu India, kan, dia.

Sehabis makan, aku dan Sahlan masih meneruskan berbincang-bincang, tepatnya Sahlan
yang bercerita dan aku hanya kadang-kadang membumbui pembicaraanya; sementara istrinya
membereskan meja makan dengan diam. Untunglah Sahlan termasuk jenis manusia yang
senang berbicara tanpa peduli didengarkan atau tidak; sehingga dia tidak menyadari kalau
aku tidak begitu konsentrasi mendengarkannya. Konsentrasiku terpecah antara mendengarkan
pembicaraannya dan memikirkan istrinya. Sejak melihat kemiripannya dengan gadis kecil di
stasiun dan mendengar suaranya menyanyikan lagu India, aku mengharap dia itulah adiknya.
Ternyata Sahlan, sengaja atau tidak, telah mempermainkanku. Yang dia bilang adiknya
ternyata istrinya.

Tiba-tiba Sahlan menepuk lenganku dan berkata seolah-olah dia tahu apa yang sedang
kupikirkan, “Kau tahu, adikku itu, eh, istriku itu, betul-betul perempuan istimewa. Betul-
betul istimewa. Dia berbicara tidak menggunakan mulut. Mulutnya hanya untuk tersenyum
dan bernyanyi. Mungkin kau mendengar nyanyian India tadi, itulah lagu kesukaannya. Merdu
ya?! Tapi dia hanya berkata-kata dengan matanya dan sesekali dengan senyumnya. Sejak
berkenalan, aku tidak pernah mendengar dia berbicara dengan mulut. Tadinya kukira dia bisu
—dan aku tidak peduli biar bisu sekali pun, aku sudah telanjur kesengsem oleh senyum dan
matanya yang cemerlang itu—ternyata bila sendirian. sedang mandi, mencuci, atau memasak
di dapur, dia menyanyi.”

Sahlan berhenti ketika istrinya datang membawa dua cangkir kopi. Saat meletakkan
cangkir kopi di depanku, saya melihat matanya yang cemerlang seperti mempersilakan.
“Terima kasih!” kataku dan senyumnya yang manis kulihat seperti mengatakan, “Terima
kasih kembali!”

“Lihatlah,” kata Sahlan begitu istrinya berlalu, “dari tadi kau tidak melihatnya berbicara,
tapi kau pasti merasakan dia berkata-kata kepadamu. Itulah istriku yang lebih suka kusebut
dan kuperkenalkan sebagai adikku. Perkenalanku dengannya juga cukup aneh. Waktu itu aku
sedang berada di atas kereta yang akan berangkat dari stasiun S. Dari jendela kereta, kulihat
dia, waktu itu masih seorang gadis kecil, berdiri dekat gerbong keretaku. Matanya yang

35
cemerlang memandang lurus ke mataku tanpa berkedip. Aku mencoba tersenyum. Ternyata
dia membalas senyumanku dengan senyumannya yang manis itu.”

Sahlan berhenti sejenak matanya menerawang, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa


lalu. Aku sendiri kontan teringat gadis kecil beralis tebal yang juga memandangiku di stasiun
S ketika keretaku akan berangkat.

“Percaya atau tidak.” tiba-tiba Sahlan melanjutkan, “beberapa tahun kemudian ketika aku
pulang ke M setelah capek keluyuran seperti kau sekarang, ibuku memperkenalkanku dengan
seorang gadis cantik beralis tebal bermata cemerlang. Gadis yang tak lain dan tak bukan ialah
gadis yang pernah kulihat di stasiun S. Singkat cerita, ketika ibuku menawariku untuk
mengawini gadis yang bernama India itu, tanpa pikir panjang aku mau. Kami kawin dengan
wali hakim, karena dia gadis lola, tak punya orangtua dan saudara. Ia adalah anak asuh
kawannya ibuku yang memu-ngutnya sejak bayi. Kawan ibuku itu menemukan bayi di
stasiun S dan sudah diurus ke mana-mana, tak ada yang mengakuinya. Akhirnya kawan ibuku
itulah yang memeliharanya. Beliau menamakannya dengan bintang film India
kesayangannya, Shakila.” Aku tak lagi mendengar apakah Sahlan masih terus berbicara atau
tidak karena tiba-tiba gadis kecil beralis tebal dan bermata cemerlang datang, entah dari
mana, dan tersenyum manis sekali.

36
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Prosa ternyata tidak hanya berkaitan dengan tulisan yang berupa karya sastra karena prosa
dapat diklasifikasikan atas prosa sastra dan nonsastra. Prosa fiksi merupakan bagian dari
prosa sastra yang terdiri atas dongeng, novel, dan cerpen.

Banyak ahli sastra yang telah mendefinisikan prosa fiksi. Satu hal yang patut dicatat
bahwa prosa fiksi berbentuk karangan hasil olah imajinasi pengarangnya terhadap peristiwa
yang terjadi atau yang ada dalam alam imajinasi belaka. Di sini terkandung pengertian bahwa
prosa fiksi belum tentu menceritakan hal-hal rekaan belaka. Yang diceritakan dapat pula
berupa hal-hal nyata yang diolah sedemikian rupa dengan imajinasi, penafsiran, dan
perenungan dari pengarang.

Dongeng adalah salah satu ragam prosa fiksi yang keberadaannya sudah ada sejak zaman
nenek moyang kita dahulu. Semula dongeng adalah sastra lisan yang disampaikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya sebagai suatu tradisi yang bersifat hiburan sekaligus memberi
manfaat. Kelebihan dongeng adalah dibalik hal yang tidak masuk akal, kita akan dapat
menemukan nilai-nilai yang bermanfaat atau nilai-nilai yang berguna dalam kehidupan.

Novel adalah salah satu ragam prosa fiksi yang memberi keleluasaan kepada
pengarangnya untuk mengungkapkan sisi kehidupan dan problematika kehidupan relatif lebih
utuh dengan menonjolkan watak dan perilaku tokoh-tokohnya. Dengan membaca novel,
pembaca dapat menikmati sebuah gambaran dan refleksi kehidupan melalui pemeranan yang
dilakukan oleh tokoh, yang tentunya tidak terlepas dari kemampuan pengarang
menghidupkan dan mendeskripsikan watak tokoh.

Pembicaraan mengenai cerpen dapat mengarah pada wujud fisiknya yang memang relatif
singkat (pendek). Namun, pendeknya wujud fisik cerpen pada dasarnya tidak mengurangi
keutuhan cerita yang ditampilkan. Tentunya pengarang cerpen dituntut dapat memilih alur,
tema, dan amanat yang sederhana dengan tokoh-tokoh yang tidak banyak sehingga dengan
bentuknya yang singkat tidak mengurangi keutuhan cerita yang ditampilkan dan pembaca
tetap dapat memetik nilai-nilai yang berguna bagi kehidupannya.

B. SARAN
Dengan adanya pembuatan makalah ini sehingga kita lebih memperhatikan betapa
pentingnya pembelajaran yang membahas tentang prosa. Saran kami sebaiknya pembaca bisa

37
lebih memperhatikan dan lebih memperluas wawasan mengenai tata cara membuat karya
sastra prosa.

DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty
Press

Bisri ,A. Mustofa. 2018. Cerpen koran minggu. https://lakonhidup.com/2018/04/01/gadis-


kecil-beralis-tebal-bermata-cemerlang/ diakses tanggal 2 Mei 2021.

38

Anda mungkin juga menyukai