Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KONSEP DASAR PROSES MORFOLOGIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Morfologi Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu: Dr. Novelti, M. Hum

Disusun Oleh Kelompok 5

Shinta Safira

20120010

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Bismillahirrahmanirrahim..
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya. Tidak lupa pula sholawat dan salam kami panjatkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang seperti saat ini.
Kami juga menyampaikan terimakasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Morfologi
Bahasa Indonesia yang telah membantu dan membimbing kami dalam menyelesaikan
makalah ini.Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan,sehingga kami
senantiasa terbuka untuk menerima saran serta kritik pembaca demi penyempurnaan laporan
ini.
Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua,khususnya bagi mahasiswa
prodi pendidikan bahasa dan sastra indonesia di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Padang Panjang, 13 Oktober 2021

Shinta Safira
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara etimologi kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti ‘bentuk’ dan kata
logi yang berarti ilmu mengenai bentuk. Di dalam kajian linguistik, morfologi berarti ilmu
mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata, sedangkan di dalam kajian biologi
morfologi berarti ilmu mengenai bentuk-bentuk sel-sel tumbuhan atau jasad-jasad hidup.
Memang selain bidang kajian linguistik, di dalam kajian biologi ada juga digunakan istilah
morfologi. Kesamaannya, sama-sama mengkaji tentang bentuk.
Kalau dikatakan morfologi membicarakan masalah bentuk-bentuk dan pembentukan
kata, maka semua satuan bentuk sebelum menjadi kata, yakni morfem dengan segala
bentuk dan jenisnya perlu dibicarakan. Lalu, pembicaraan mengenai pembentukan kata
akan melibatkan pembicaraan mengenai komponen atau unsure pembentukan kata itu,
yaitu morfem, baik morfem dasar maupun morfem afiks, dengan berbagai alat proses
pembentukan kata itu, yaitu afiks dalam proses afiksasi, duplikasi ataupun pengulangan
dalam proses pembentukan kata melalui proses reduplikasi, penggabungan dalam proses
pembentukan kata melalui komposisi, dan sebagainya. Jadi, ujung dari proses morfologi
adalah terbentuknya kata dalam bentuk dan makna sesuai keperluan dalam satu tindak
pertuturan.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan tersebut di atas, maka rumusan masalahnya


adalah sebagai berikut:
a. Apakah pengertian dari proses morfologis?
b. Bagaimanakah ciri kata yang mengalami proses morfologis?
c. Apa macam macam proses morfologis?
d. Bagaimanakah pembentukan kata di luar proses morfologis?

C.  Tujuan

Makalah ini ditulis bertujuan sebagai konsep dalam mempelajari proses morfologis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PROSES MORFOLOGIS

Pada butir terdahulu, telah dibicarakan bahwa berdasarkan strukturnya, suatu kata dapat
digolongkan atas dua macam, yaitu kata yang bermorfem tunggal atau monomorfemis dan
kata yang bermorfem lebih dari satu atau polimorfemis. Suatu kata yang monomorfemis
tidak akan mengalami peristiwa pembentukan sebelumnya sebab morfem itu merupakan satu-
satunya unsur atau anggota kata. Bentuk pergi pada kalimat Dia akan pergi ke sekolah adalah
kata, dan kata itu terdiri atas satu morfem, yaitu morfem {pergi}. Dari morfem {pergi}
menjadi kata pergi sama sekali tidak mengalami peristiwa pembentukan. Akan tetapi, ini
berbeda dengan suatu kata yang polimorfemis. Morfem-morfem yang menjadi anggota kata
ini mengalami peristiwa pembentukan sebelumnya. Peristiwa pembentukan ini biasanya
disebut proses morfologis.

Kita tentunya sepakat bahwa kata menulis misalnya, terdiri atas morfem, {meN-} dan
tulis}, kata pembangunan terdiri atas morfem {peN-an} dan {bangun}, kata murid-murid
terdiri atas morfem {murid} dan morfem {ulang), dan kata gelap gulita terdiri atas morfem
{gelap} dan {gulita}. Penggabungan morfem {meN-} dan {tulis} menjadi kata menulis,
morfem {peN-an} dan {bangun} menjadi pembangunan, morfem {murid} dan morfem
{ulang} menjadi murid-murid, dan morfem {gelap} dan {gulita} menjadi kata gelap gulita
itulah yang disebut proses morfologis. Jadi, berdasarkan contoh di atas dapat dirumuskan
bahwa proses morfologis adalah peristiwa penggabungan morfem satu dengan morfem yang
lain menjadi kata.

B. CIRI SUATU KATA YANG MENGALAMI PROSES MORFOLOGIS

Apabila kita telaah lebih jauh contoh-contoh yang dikemukakan di atas, ternyata morfem-
morfem yang membentuk atau yang menjadi unsur kata berbeda-beda fungsinya. Ada yang
berfungsi sebagai tempat penggabungan dan ada yang berfungsi sebagai penggabung.
Berdasarkan contoh di atas, morfem {tulis}, {bangun}, {murid}, dan {gelap} berfungsi
sebagai tempat penggabungan; sedangkan morfem {meN-}, {peN-an}, {ulang}, dan {gulita}
berfungsi sebagai penggabung. Morfem yang sebagai tempat penggabungan biasanya disebut
bentuk dasar.

Dalam bahasa Indonesia, bentuk dasar tidak selalu bermorfem tunggal sebagaimana yang
dicontohkan di atas, tetapi mungkin berupa morfem kompleks. Misalnya, bentuk dasar kata
membelajarkan adalah belajar, bentuk dasar kata bersusah payah adalah susah payah, dan
bentuk dasar kata ketidakadilan adalah tidak adil. Bentuk-bentuk dasar itu terdiri atas dua
morfem. (Coba tentukan apa saja morfemnya!)

Di samping itu, dilihat dari wujudnya, bentuk dasar dapat berupa pokok kata, bahkan
berupa kelompok kata. Misalnya, bentuk dasar kata menemukan, berjuang, dan perhubungan
adalah pokok kata temu, juang, dan hubung; bentuk dasar kata mencangkul, perbaikan, dan
disatukan adalah kata cangkul, baik dan satu; bentuk dasar kata mengesampingkan,
ketidakmampuan, dan dikemukakan adalah kelompok kata ke samping, tidak mampu, dan ke
muka.

Ciri lain bahwa suatu kata dikatakan mengalami proses morfologis ialah penggabungan
atau perpaduan morfem-morfem itu mengalami perubahan arti. Bentuk dasar cangkul setelah
digabungi morfem {meN-}, sehingga menjadi kata mencangkul, artinya menjadi 'melakukan
pekerjaan dengan alat cangkul'; dan bentuk dasar juang setelah digabungi morfem {ber-},
sehingga menjadi kata {berjuang}, artinya menjadi “melakukan tindakan juang'. Dengan
demikian, apabila ada suatu kata yang seolah-olah mengalami perubahan dari bentuk
dasarnya, tetapi sama sekali tidak diikuti oleh penambahan atau perubahan arti, peristiwa ini
tidak dapat dikatakan sebagai hasil proses morfologis. Misalnya, di samping kata semakin,
terdapat juga kata semangkin (biasanya "ragam bahasa pejabat"), di samping kata sepeda
terdapat juga kata sepedah, di samping kata siku terdapat juga kata sikut, dan lain-lain.
Penambahan [ɳ] pada semakin, [h] pada sepeda, dan (t) pada siku tidak diikuti dengan
perubahan arti. Sebab itulah, perubahan pada kata di atas tidak termasuk proses morfologis.

Di dalam bahasa Indonesia, kita jumpai kata pemuda dan pemudi, siswa dan siswi, dewa
dan dewi, serta putera dan puteri. Kata-kata yang berakhir dengan (a) mengarah pada arti
‘laki-laki', sedangkan kata-kata yang berakhir dengan bunyi [i] mengarah pada arti
'perempuan'. Apakah adanya perubahan dari bunyi [a] ke bunyi [i] dikatakan sebagai proses
morfologis? Sebelum menjawab masalah ini, marilah kita telaah dahulu contoh kata yang
sudah pasti dianggap sebagai hasil proses morfologis.
Sebagai contohnya, kata membantu. Kata itu sebagai hasil perpaduan bentuk dasar bantu
dan afiks (meN-}. Berpadunya afiks {meN-} dengan bentuk dasar bantu diikuti dengan
penyesuaian bunyi, yaitu dari {meN-} menjadi {mem-}. Penyesuaian ini didasarkan atas sifat
bunyi awal bentuk dasarnya. Karena bunyi awal bentuk dasar bantu adalah bilabial (bunyi
bibir), bunyi akhir afiks {meN-} juga menyesuaikan diri menjadi bunyi nasal bilabial
sehingga menjadi mem-. Peristiwa penyesuaian ini juga terjadi pada penggabungan morfem
lainnya yang mempunyai ciri-ciri yang sama, misalnya penggabungan {meN-} dengan buat,
bidik, bujuk, basmi, dan masih banyak lagi. (Silakan Anda melanjutkannya!). Hasil akhirnya
menjadi membuat, membidik, membujuk, dan membasmi. Peristiwa penyesuaian ini juga
terjadi pada kata, misalnya menulis, menutup, dan meniru; menggali, menggabung, dan
menggiring; mengutuk, mengunci, dan mengail.

Peristiwa morfologis seperti yang dicontohkan di atas ternyata bersistem atau beraturan.
Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia peristiwa perubahan bunyi [a] ke bunyi i] tidak
bersistem. Hal ini terbukti bahwa peristiwa itu tidak dapat diperlakukan pada kata-kata lain,
selain kata-kata yang berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu putera, dewa, siswa, dan
mahasiswa. (Silakan mencari contoh lain!). Akan tetapi, jika misalnya saja disepakati ketua
‘ketua laki-laki', toh tidak pernah dikatakan *ketui untuk ketua perempuan’; begitu juga
remaja untuk pemuda'dan *remaji untuk pemudi’. Kalau begitu, termasuk peristiwa apa
perubahan [a] -[i] dalam bahasa Indonesia tersebut?

Pasangan kata-kata itu merupakan unsur serapan dari bahasa Sanskerta. Kata-kata itu
diserap langsung dalam wujud yang demikian itu. Jadi, di samping menyerap kata putera,
bahasa Indonesia juga menyerap kata puteri; di samping menyerap kata dewa, juga menyerap
kata dewi; di samping menyerap kata siswa, juga menyerap kata siswi; dan di samping
menyerap kata mahasiswa, juga menyerap kata mahasiswi.

Perubahan bunyi [a-] -- [i-] tersebut tidak setelah dipakai dalam bahasa Indonesia, tetapi
sudah dipakai sewaktu katakata itu sebelum diserap dalam bahasa Indonesia, yaitu dalam
bahasa Sanskerta sendiri. Oleh sebab itu, proses perubahan itu tidak merupakan sistem bagi
bahasa Indonesia, tetapi merupakan sistem bagi bahasa Sanskerta. Bagaimana pendapat Anda
tentang bentuk hadir, hadirin, hadirat, mukmin, mukminin, dan mukminat yang diserap dari
bahasa Arab?
C. MACAM PROSES MORFOLOGIS

Dalam bahasa Indonesia, peristiwa pembentukan kata ada tiga macam, yaitu

1. pembentukan kata dengan menambahkan morfem afiks pada bentuk dasar,


2. pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, dan
3. pembentukan kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar.

Hasil pembentukan kata model pertama terlihat pada kata, misalnya menulis,
pembangunan, dan makanan. Kata menulis terbentuk dari bentuk dasar tulis dan morfem
imbuhan {meN-}, kata pembangunan terbentuk dari bentuk dasar bangun dan morfem
imbuhan {peN-an}, dan kata makanan terbentuk dari bentuk dasar makan dan morfem
imbuhan {-an}.

Hasil pembentukan kata model kedua terlihat pada kata, misalnya murid murid, mencari-
cari, memukul-mukul yang terbentuk dari bentuk dasar murid, mencari, dan memukul dengan
morfem {ulang}; kata diberi-berikan dibentuk dari bentuk dasar diberikan dan morfem
{ulang}.

Hasil pembentukan kata model ketiga terlihat pada kata, misalnya meja hijau, tinggal
landas, tempat gelap, dan mata kaki. Kata meja hijau terbentuk dari bentuk dasar meja dan
hijau; kata tinggal landas terbentuk dari bentuk dasar tinggal dan landas; kata tempat gelap
terbentuk dari bentuk dasar tempat dan gelap; dan, kata mata kaki terbentuk dari bentuk dasar
mata dan kaki.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa berdasarkan proses pembentukannya, dalam bahasa
Indonesia terdapat kata berimbuhan, kata ulang, dan kata majemuk. (Pembicaraan lebih
rinci tentang ketiga jenis kata ini diuraikan pada bab-bab berikutnya).

D. PEMBENTUKAN KATA DI LUAR PROSES MORFOLOGIS

Proses morfologis mencatat hal-hal deskriptif dalam pembentukan kata-kata (baru). Di


luar itu, masih ada pembentukan kata-kata baru dengan proses lain. Proses yang dimaksud
adalah
a. akronim,
b. abreviasi,
c. abrevi-akronim,
d. kontraksi,
e. kliping, dan
f. afiksasi pungutan.

Studi terhadap akronim amat banyak dan sudah lama, apalagi akronimisasi merupakan
gejala yang semakin frekuentif saja. Proses akronimisasi dalam bahasa-bahasa Nusantara
pernah diteliti oleh Renward Brandstetter dalam Hal Bunji dalam Bahasa 2 Indonesia (1957).
Dicontohkan akronim bahasa Jawa, misalnya paklik (“bapak cilik”), bangjo (dari “abang
ijo”); dalam bahasa Sawu, ora enen “barang sesuatu” diakronimkan menjadi ranen; dalam
bahasa Bugis, ponglila lidah belakang' menjadi polila (Brandstetter, 1957: 95–96).

Segudang akronim dalam bahasa Indonesia bisa dicontohkan di sini, tetapi cukuplah
beberapa saja, sekadar contoh: pusdiklat (pusat pendidikan dan pelatihan), tongpes (kantong
kempes), bimas (bimbingan masyarakat), menpora (menteri pemuda dan olahraga), dan
sebagainya (Silakan ditambah contoh lain!). Pembentukan akronim tidak mempunyai sistem
yang jelas. Apakah yang diambil suku awal, tengah, atau akhir kata, tidak dapat dipastikan.
Pembentukannya lebih bersifat suka-suka. Dalam pusdiklat misalnya, suku awal sebenarnya
bukan pus, tetapi pu; demikian juga, tak ada suku lat, yang betul la. Dari segi posisi sukunya,
ia pun tak beraturan; pus ada di awal, tetapi dik dan lat ada di tengah. Justru, baik dari segi
posisi suku yang diambil maupun benarnya pengambilan sebagai suku kata (silabe), tongpes-
lah yang benar; tong dan pes sama-sama ada di belakang dan juga sama-sama benar-benar
sebagai suku kata.

Remaja adalah “biang” lahirnya akronim. Kita dengar, misalnya macan (manis dan
cantik), lapendos (laki-laki penuh dosa), sendu (senang duit), susuki (sungguh-sungguh laki-
laki), caper (cari perhatian), bahkan slogan KB dua anak cukup diakronimkan menjadi-maaf!
—dancuk. Anda bisa memperbanyaknya juga. Bahkan, di lingkungan TNI dan Kepolisian,
pemakaian akronim ini sudah mewarnai setiap kegiatan, misalnya: pusdiklat, puskopal,
bekang, paspampres, kanit laka, sipur dan sebagainya. (Anda tahu kepanjangannya?)
Abreviasi adalah apa yang sehari hari disebut “singkatan” (Sudaryanto, 1983: 230). Yang
diambil biasanya huruf terdepan; misalnya ABC (Anggota Bromo Corah), PPP (Partai
Persatuan Pembangunan), ABRI, IKIP, EGP (emangnya gue pikirin) dan lain-lain.
Pengucapannya ada yang dibaca sebagai huruf abjad, misalnya FKP (ef-ka-pe); ada yang
tidak, misalnya PPP (pe-tiga); dan ybs. (diucapkan “yang bersangkutan”).

Nah, yang disebut selanjutnya, abreviakronim adalah gabungan antara akronim dengan
abreviasi. Misalnya Polri (Polisi Republik Indonesia), Pemilu (Pemilihan Umum); AMD;
Anda bertugas meneruskannya.

Kontraksi atau pengerutan, misalnya begitu (bagai itu), begini (bagai ini) (Sudaryanto,
1983: 232). Dalam bahasa Jawa, kita temukan ning (nanging); kawit diabreviakronimkan
menjadi kit; mau kae menjadi mengke (Brandstetter, 1957:96).

Kliping adalah pengambilan suku khusus dalam kata yang selanjutnya dianggap sebagai
kata baru (Samsuri, 1988: 130). Misalnya, influensa menjadi flu; purnawirawan menjadi pur
saja, profesional menjadi prof saja.

Proses dengan afiksasi pungutan tidak asing lagi. Kita lihat {anti-} (antikomunis,
antikekerasan), {non-} (nonformal, non-Amerika, nonpemerintah), {antar-} (antardaerah,
antarsiswa), {swa} (swasembada, swadaya, swalayan), dan lain-lain. Dalam proses lebih
lanjut, jika sudah tidak terasa keasingannya, ia masuk sebagai keluarga afiks bahasa
Indonesia. Kita lihat, misalnya, -wan, -wati , -isme, -isasi yang amat produktif; dan
karenanya, tidak terasa lagi bahwa afiks-afiks tersebut sebenarnya hasil pungutan dari bahasa
asing.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

B.   SARAN
Penulis sangat memahami bahwa makalah ini masih memiliki banyak
sekali  kekurangan untuk diperbaiki dan bersumber dari data yang terbatas.
Penulis mengharapkan saran demi meningkatkan kualitas makalah selanjutnya
agar tersusun makalah yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai