Anda di halaman 1dari 16

A.

TEORI UMUM
1. Definisi Penyakit
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan
kadar glukosa darah (gula darah) melebihi normal yaitu kadar gula darah sewaktu
sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan
126 mg/dl (Misnadiarly, 2006).
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula
darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar
pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin
(WHO, 1999).
DM dikenal sebagai silent killer karena sering tidak disadari oleh penyandangnya
dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi (Kemenkes RI, 2014). DM dapat
menyerang hampir seluruh sistem tubuh manusia, mulai dari kulit sampai jantung
yang menimbulkan komplikasi. Kendala utama pada penanganan diet DM adalah
kejenuhan pasien dalam mengikuti terapi diet yang sangat diperlukan untuk mencapai
keberhasilan. Meskipun diperlukan pola makan atau diet yang sesuai dengan perintah
dokter, namun kenyataannya tingkat kepatuhan penderita dalam menjalankan
program manajemen penyakit tidak cukup baik.

Dispepsia

Dispepsia adalah sekumpulan gejala berupa nyeri, perasaan tidak enak pada perut
bagian atas yang menetap atau berulang disertai dengan gejala lainnya seperti rasa
penuh saat makan, cepat kenyang, kembung, bersendawa, nafsu makan menurun,
mual, muntah, dan dada terasa panas yang telah berlangsung sejak 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbul dalam 6 bulan sebelumnya.

Sebagai penyebab utama dispepsia dapat berupa gastroesophageal reflux disease


(GERD), bile reflux gastropathy (BRG), atau berupa gastroparesis dan karena faktor
psikososial berupa ansietas atau depresi atau kedua-duanya. Jadi, dispepsia karena
faktor psikosomatik merupakan bagian dari dispepsia fungsional.

Interaksi faktor psikis dengan gangguan saluran cerna diyakini melalui


mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis memengaruhi
keseimbangan sistem syaraf otonom, memengaruhi fungsi hormonal, serta sistem
imun (psiko – neuro- imun - endokrin). Jalur tersebut secara langsung atau tidak
langsung, terpisah atau bersamaan dapat memengaruhi saluran cerna, memengaruhi
sekresi, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri.

Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin
melalui poros hypothalamus – pituitary – adrenal (HPA axis). Pada keadaan ini,
terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks
serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormon
kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung dan
dapat menghambat Prostaglandin E yang merupakan penghambat enzim adenil
siklase pada sel parietal yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. Dengan
demikian, akan terjadi gangguan keseimbangan antara peningkatan asam lambung
(faktor agresif) dengan penurunan prostaglandin (faktor defensif) sehingga
menimbulkan keluhan sebagai sindroma dispepsia. Sebuah studi menyebutkan bahwa
peninggian kortisol pada penderita dispepsia ini didapatkan 9% pada depresi berat.

Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau mikroba
tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna (IDAI,
2011)

ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme dalam


urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi pada saluran
kemih (Dipiro dkk, 2011).

Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur
tetapi bakteri yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak adalah
bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan akan naik
ke sistem saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp, Klebsiella,
Enterobacter (Purnomo, 2014).

2. Patofisiologi
a. Patofisiologi Diabetes Mellitus
Hiperglikemia terjadi akibat kerusakan sel β-pankreas yang menimbulkan
peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati. Pengeluaran glukosa oleh hati
meningkat karena proses-proses yang menghasilkan glukosa yaitu glikogenolisis
dan glukoneogenesis, berlangsung tanpa hambatan karena insulin tidak ada.
Ketika kadar glukosa darah meningkat sampai jumlah glukosa yang difiltrasi
melebihi kapasitas, sehingga sel-sel tubulus melakukan reabsorbsi, maka glukosa
akan timbul di urin (glukosuri). Glukosa di urin menimbulkan efek osmotik yang
menarik air bersamanya, menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh
poliuria (sering berkemih).
Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi,
sehingga dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena volume darah
turun secara mencolok.  Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki, dapat
menyebabkan kematian karena aliran darah ke otak turun atau dapat menimbulkan
gagal ginjal sekunder  akibat tekanan filtrasi yang tidak kuat.
Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstra sel yang hipertonik. Sel-
sel otak sangat peka karena timbul gangguan fungsi sistem saraf yaitu
polineuropati.
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja
secara optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya.
Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena
kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia,
virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada
kelenjar pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan
perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta
pankreas untuk mengsekresi insulin (Hanum, 2013). Sel beta pankreas yang tidak
berfungsi secara optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi
penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat
banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik (NIDDK, 2014).
Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan
resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre
reseptor dan post reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari
biasanya untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal.
Sensitivitas insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi
pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi glukosa
oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi
insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).
Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi
yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam
darah masuk ke dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang
ditandai dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan
yang keluar menimbulkan sensasi rasa haus (polidipsia). Glukosa yang hilang
melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya glukosa yang akan
diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat
(polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa
mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi
tersebut (Hanum, 2013).
b. Patofisiologi Dispepsia
Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia
afungsiona tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan
pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran
pencernaan). Dispepsia fungsional terjadi pada kondisi perut bagian atas yang
mengalami rasa tidak nyaman,mual, muntah, rasa penuh setelah makan yang
menunjukkan perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen dan kontraksi
otot yang tidak terkoordinasi di dalam perut. Penyebab ini secara umum tidak
sama walaupun beberapa kasus berhubungan dengan stress, kecemasan, infeksi,
obat-obatan dan ada beberapa berhubungan dengan IBS (irritable bowel
syndrome) (Desai, 2012).

c. Patofisiologi ISK
Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam
saluran kemih dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih,
uretra dan dua ureter dan ginjal (Purnomo, 2014). Sejauh ini diketahui bahwa
saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisma atau steril. Infeksi saluran
kemih terjadi pada saat mikroorganisme ke dalam saluran kemih dan
berkembang biak di dalam media urin (Israr, 2009).
Mikroorganisme penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan
hidup secara komensal dalam introitus vagina, preposium, penis, kulit perinium,
dan sekitar anus. Kuman yang berasal dari feses atau dubur, masuk ke dalam
saluran kemih bagian bawah atau uretra, kemudian naik ke kandung kemih dan
dapat sampai ke ginjal (Fitriani, 2013).

Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui empat cara, yaitu:

1) Ascending,

kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal dari flora
normal usus dan hidup secara komensal introitus vagina, preposium penis, kulit
perineum, dan sekitar anus. Infeksi secara ascending (naik) dapat terjadi
melalui empat tahapan, yaitu :

a) Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina

b) Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli

c) Mulitiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih

d) Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal (Israr, 2009).

2) Hematogen (descending)
disebut demikian bila sebelumnya terjadi infeksi pada ginjal yang akhirnya
menyebar sampai ke dalam saluran kemih melalui peredaran darah.

3) Limfogen (jalur limfatik)

jika masuknya mikroorganisme melalui sistem limfatik yang menghubungkan


kandung kemih dengan ginjal namun yang terakhir ini jarang terjadi (Coyle dan
Prince, 2009).

4) Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen
sebagai akibat dari pemakaian kateter (Israr, 2009)

3. Terapi Non Farmakologi dan Farmakologi

Terapi DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi


medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi
metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau
Tersier (PERKENI, 2015).
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri
tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.
1) Terapi Non-Farmakologi
a) Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik.
b) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Prinsipnya yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
c) Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa
darah sebelum latihan jasmani. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah (PERKENI, 2015).
2) Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
I. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea : Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan
risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
Glinid : merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.
II. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin : mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti
adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal
jantung). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan
seperti halnya gejala dispepsia.
Tiazolidindion (TZD) : merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat
antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
III. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
IV. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi nsulin dan
menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
V. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin (PERKENI, 2015).
b) Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
I. Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni : Insulin
kerja cepat (Rapid-acting insulin), Insulin kerja pendek (Short-acting insulin),
Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin), Insulin kerja panjang (Long-
acting insulin) dan Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
II. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk
golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide.
III. Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua
obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan
kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. Kombinasi obat antihiperglikemia oral
dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam
menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore
sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis
awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit. Kemudian dilakukan
evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis
insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa
darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati (PERKENI,
2015).
a. Terapi Non Farmakologi DM
1. Menekan Berat Badan Dengan Diet Sehat
Obesitas merupakan penyebab dari munculnya penyakit diabetes
melitus tipe 2 ini, maka dari itu agar penyakit diabetes yang Anda derita tidak
semakin bertambah parah, mulai sekarang Anda harus melakukan diet sehat.
2. Cukup Tidur
Hormon insulin akan bekerja dengan baik dalam mengolah kadar
gula dalam darah, apabila seseorang telah tercukupi dalam hal istirahat.
Selain itu istirahat juga dapat memicu resisten insulin menjadi meningkat.
Istirahat yang baik untuk penderita penyakit diabetes tipe 2 adalah tidur,
minimal usahakan sehari bisa tidur selama 8 jam.
3. Perbanyak Makan Berserat
Bagi penderita penyakit diabetes melitus sangat tidak dianjurkan
untuk memperbanyak konsumsi makanan yang memiliki rasa terlalu
manis.Dikarenakan hal dapat memicu resiko glukosa bercampur ke dalam
darah, jika Anda ingin mengonsumsi makanan yang manis-manis.Konsumsi
makanan seperti buah tinggi akan serat misalnya pepaya dan buah pir. 
4. Asam Lemak Omega-3
Salah satu makanan yang banyak dianjurkan oleh dokter untuk
penderita diabetes adalala makanan yang banyak mengadung Asam Omega-
3.Kandungan ini dapat Anda temukan pada ikan, terutama untuk ikan laut.
Minimal konsumsi ikan laut sebanyak 1 porsi setiap minggunya untuk
mengurangi kadar glukosa dalam darah.
5. Kayu Manis
Kayu manis mengandung polifenol, dimana polifenol ini sangat
berperan penting dalam produksi insulin dalam tubuh.
 Terapi Farmakologi DM
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu
dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi farmakologi, baik
dalam bentuk obat antidiabetik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya
(Depkes RI., 2005).
a. Insulin
Insulin merupakan protein kecil yang mengandung 51 asam amino
tersusun dalam 2 rantai (A dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida.
Insulin dilepaskan dari sel β pankreas dengan laju basal yang rendah dan dengan
laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi sebagai respon terhadap berbagai
rangsangan, terutama glukosa. Insulin meningkatkan simpanan lemak dan
glukosa di dalam sel target khusus dan mempengaruhi pertumbuhan sel dan
fungsi metabolik berbagai jaringan (Prativi, 2015).
b. Obat antidiabetik-oral
Ada 5 golongan obat antidiabetika oral (ADO) yang dapat digunakan
untuk DM dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan : sulfonilurea,
meglitinid, biguanida, penghambat α-glikosidase, dan tiazolidinedion. Kelima
golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya
dengan diet dan latihan fisik saja (Suharti, 2011).
1. Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid,
tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi II yang potensi
hipoglikemik lebih besar antara lain : (Glibenklamid), glipizid,
gliklazid, dan glimepirid (Suharti, 2011).
Obat ini menstimulasi pelepasan insulin dari pulau-pulau pankreas
sehingga pasien harus mempunyai selβ yang berfungsi parsial agar obat
ini berguna. Glipizid dan Glikazid mempunyai waktu paruh yang relatif
singkat dan biasanya diberikan pertama kali. Glibenklamid mempunyai
durasi kerja yang lebih panjang dan dapat diberikan sekali sehari. Akan
tetapi, terdapat lebih banyak kemungkinan hipoglikemia dan
glibenklamid sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko
hipoglikemia (misalnya pada orang lanjut usia). Pasien-pasien lanjut
usia mungkin lebih aman diberi tolbutamid yang mempunyai durasi
kerja paling singkat (Neal, 2006).

3. Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme
kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat
berbeda. Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal
K yang ATP independent di sel β pankreas (Suharti, 2011).
3.Biguanid
Metformin merupakan contoh obat golongan dari golongan ini. Zat ini
adalah derivat-dimetil dari kelompok biguanida yang berkhasiat
memperbaiki sensitivitas-insulin, terutama menghambat pembentukan
glukosa dalam hati serta menurunkan kolesterol-LDL dan trigliserida.
Lagipula berdaya menekan nafsu makan dan berbeda dengan
sulfonilurea tidak meningkatkan berat badan. Oleh karenanya terutama
digunakan pada pasien yang sangat gemuk (Tjay dan Rahardja, 2013).
4.Tiazolidinedion
Senyawa golongan tiazolidinedion bekerja meningkatkan kepekaan
tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ
(peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan
lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa
tiazolindinedion juga menurunkan kecepatan glikogenesis (Depkes RI.,
2005).
5. Inhibitor enzim α-glikosidase
Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim
alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-
glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi
untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi
kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat
kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan
kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor
α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase
pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus
halus. Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan
dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi 46 penderita dengan diet
tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180
mg/dl (Depkes RI., 2005).

 Terapi Non Farmakologi Dispepsia


Non farmakologis Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan
yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu,
makanan kecilrendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada
juga yang merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak
terutama di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi
beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi,
terapi relaksasi dan terapi perilaku.
 Terapi Farmakologi
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu
1. Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian
antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat
simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan
adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin
yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan
sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga
memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis resptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia


organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Proton pump inhibitor (PPI )
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)
selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh
sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi
mucus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein
sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki asam lambung.
7. Golongan anti depresi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor
kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah
golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti amitriptilin

 Terapi ISK
Infeksi saluran kemih (ISK) ini memiliki beberapa gejala klinis termasuk bakteuria
asimptomatik, sistitis akut, pielonefritis akut serta urosepsis berat. Pada pasien
dengan diabetes, prevalensi infeksi saluran kemih ini dapat meningkat dikarenakan
oleh beberapa faktor resiko seperti usia lanjut, komplikasi yang berkepanjangan,
kontrol metabolic, nefropati diabetes serta sistopati. Sehingga pada studi ini
diperlukan gambaran factor resiko yang menyebabkan pasien diabetes mellitus
rentan terhadap infeksi saluran kemih.
Dari studi pola antibiotik menunjukkan bahwa beberapa mikroorganisme termasuk
pathogen resisten masih menunjukkan kepekaan terhadap beberapa antibiotik pada
regimen pertama seperti fosfomisin dan nitrofurantoin. Beberapa mikroorganisme
juga menunjukkan sensitifitas pada antibiotik golongan bekta lactam seperti
golongan carbapenem yakni meropenem. Sedangkan beberapa mikroorganisme
menunjukkan resistensi pada antibiotik golongan trimethoprim-sulfamethoxazole,
golongan beta lactam seperti amoksilin-clavulanic acid, cefixime, cefpodoxime;
golongan ampicillin serta tetracyclin. Dikarenakan masih ditemukan tinngginya
resistensi antibiotic ini maka diperlukan pemeriksaan sensitifitas dan resistensi
antibiotik sebelum dilakukan terapi pada pasien DM-ISK terutama dari antibiotik
golongan tripmethoprim-sulfamethoxazole, beta-lactam, fluoroquinolone serta
tetracycline.

B. Paparan kasus
Pada pasien Mr. Dj usia 61 th 4 bln, Yang dimana memiliki keluhan nyeri perut
bawah, BAK anyang-anyengan, demam, mengigil, lemas dan menolak untuk mondok.
Pada tanggal 19 diperiksa mempunyai diagnose awal yaitu DM tipe 2, GEA,ISK,
Hipotensi dengan RBBB, dan Dipepsia serta pada pasien memiliki riwayat DM tidak
minum obat teratur. Pada tanggal 19 terapi yang diberikan yaitu Novorapid 3x8 iu,
ulsafat 3x10cc, Lanzoprazole0-0-1, dan Ranitidine 2x1. Adapun hasil pemeriksaan UGD
yaitu memiliki leukodit 11,2 dan memiliki Hb 11,6 yaitu Hb kurang,

Anda mungkin juga menyukai