MAKALAH
Oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat allah SWT, atas nikmat dan
karunia yang di berikan selama ini. sholawat dan salam semoga tercurah kepada
junjungan kita Rasulullah SAW atas perjuangannya, pengorbanannya untuk
membimbing umat manusia menuju jalan yang lurus.
Makalah sederhana ini dibuat untuk memenuhi dan melengkapi salah satu
tugas mata kuliah studi qur’an. Dalam makalah ini penulis akan membahas
tentang “Tafsir Bi al-Ra’yi”. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengatahuan dan dapat di jadikan bahan pembelajaran.
Penulis
ii
DADTAR ISI
HALAMAN SAMPUL............................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar belakang................................................................................. 1
B. Rumusan masalah........................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A. Kesimpulan..................................................................................... 7
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. sebagai petunjuk,
peringatan, dan sumber hukum yang bersifat pokok keterangan sehingga
diperlukan usaha pemahaman lebih terperinci dan mendalam untuk
memberikan kemudahan dalam mengimplementasikan ajarannya di setiap
sudut kehidupan. Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat al-
Qur’an harus dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan
tetap mengacu pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan
tidak melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Kedudukan tafsir dalam
Islam sangat dijunjung tinggi karena melihat objek yang ditafsirnya, yaitu
Kitab Allah, al-Qur’ān al-Karīm. Merupakan sebuah keagungan bagi mereka
yang mampu menyingkap tabir makna al-Qur’an.
Para ulama sepakat, kaitannya dengan pengklasifikasian tafsir al-
Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, membagi dalam tiga kategori;
yaitu, tafsir bi al-ma’thūr atau tafsir bi al-riwāyah, tafsir bi al-ra’yi atau tafsir
bi al-dirāyah, dan tafsir bi al-iqtirāni atau campuran antara nas dan akal
pikiran manusia.
Dari ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar
para ulama tafsir adalah tafsir bi al-ra’yi. Banyak terdapat perbedaan
pendapat diantara mereka dalam pembolehan menafsirkan al-Qur’an dengan
menggunakan akal pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti
tafsir bi al-ra’yi, hanya ditafsirkan secara subjektif untuk mendukung
kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Namun, juga sangat disayangkan sekali ketika anugerah akal yang
memang seharusnya diperuntukkan manusia untuk mencari kebenaran dan
hikmah di balik ayat-ayat-Nya, baik yang tersurat maupun yang tersirat
selama tetap dalam koridor syariah yang telah baku, tidak difungsikan
sebagaimana mestinya. Sebaliknya, akal yang semestinya diperuntukkan
menunjukkan dan mempertimbangkan kebenaran dalam segala bentuknya
1
disalahgunakan untuk menggiring al-Qur’an mengikuti keinginannya.
Merupakan sesuatu yang sangat diluar batas kewajaran kita sebagai seorang
hamba.
Berpijak dari uraian di atas dalam makalah ini kami sajikan secara
mendalam deskripsi tentang tafsir bi al-ra’yi, baik dalam hal pendefinisian,
persimpangan pendapat para ulama tafsir, latarbelakang munculnyanya,
macam-macam tafsir bi al-ra’yi, dan sebagian contoh dari tafsir bi al-ra’yi
menurut macam-macamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tafsir bi al-ra’yi ?
2. Apa syarat Syarat-syarat mufassir bi al-ra’yi ?
3. Apa saja Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’yi ?
C. Tujuan Masalah
1. Memahami pengertian dari tafsir bi al-ra’yi ?
2. Mengetahui syarat Syarat-syarat mufassir bi al-ra’yi ?
3. Mengetahui Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’yi ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
harus tetap selaras dengan hukum shari’ah, tanpa ada pertentangan sama
sekali.
Menurut al-Dzahabi, ada lima perkara yang harus dijauhi oleh seorang
mufassir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak termasuk pentafsir bi al-
ra’yi yang fasid. Lima perkara tersebut adalah;[6]
1. Menjelaskan maksud Allah Swt. dalam al-Qur’an dengan tanpa
memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufassir.
2. Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli Allah untuk
mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutashābihāt yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh Allah sendiri.
3. Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan hawa nafsu dan
kepentingan pribadi
4. Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab yang fasid,
sehingga faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras untuk
mengikuti keinginan madzhabnya.
4
5. Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah kehendak Allah”
terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada dalil yang mendukungnya.
5
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani
Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu
pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup
mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat
penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
Penafsiran al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli,
yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr bi al-ma’thūr. Setelah
itu para ahli ilmu menafsirkan al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-
masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan
semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan
ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah penta’wilan
terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham mereka masing-
masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil al-Qur’an sudah dimulai oleh
beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan
‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah
perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash al-
Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-
Zamakhshāriy.[7]
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bi al-ra’yi
adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunkan
kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak
melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh para ulama. Terhadap tafsir bi al-ra’yi, sebenarnya, para ulama
berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang
mengharamkannya. Jika dikaji ulang, sebetulnya pengharaman mereka
hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu
itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan
kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at dan sebagainya, atau
penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka.
Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi
tafsir bi al-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah dan al-
madhmūmah.
7
DAFTAR PUSTAKA
1. ‘Abdullāh, Musa’īd Muslīm. Aṭhar al-Taṭawwur al-Fikr fi al-Tafsīr,
(Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
2. Al-Dhahābiy, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Dār al-
Kutub al-Hadīth, tt.
3. Al-Ṣābūniy, Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta:
Dinamika Barokah Utama, 1985.
4. Al-Ṣāliḥ, Ṣubḥiy, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
5. Al-Suyūṭiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān. Itmām al-Dirāyah li Qurrā’ al-
Nuqāyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985.
6. Al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Mustashfā Al-Bāb al-Ḥalabiy, 1951.
7. Al-Shirbāṣiy, Aḥmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1985.
8. Al-Qaṭṭān, Mannā’, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Saudi Arabi: al-Dār al-
Su’ūdiyāt li al-Naṣr, tt.