Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbedaan manhaj kalam tersebut akhirnya berimplikasi pada perbedaan yang sangat
signifikan tentang konsep ketuhanan pada masing-masing aliran kalam. Perbedaan dalam
penempatan peran dan kedudukan akal dalam manhaj kalam akhirnya menimbulkan perbedaan
yang sangat signifikan pada konsep ketuhanan.

Dalam pembahasan Ilmu Kalam, kita dihadapkan pada barbagai macam gerakan pemikiran-
pemikiran besar yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa agama Islam telah
hadir sebagai pelopor munculnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat
kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana
di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan
bersumber pada al-Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat
luas. Misalnya saja pada aliran Qodariah dan Jabariahyang bertentangan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan sejarah munculnya sekte qodariyah dan jabariyah

1. Qodariyah

a) Asal-usul kemunculan qodariyah

Qodariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kataqodaro yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, qodariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi
oleh tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qodariyah dipakai
untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini harun nasutiaon
menegaskan bahwa kaum Qodariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudroh atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qodar tuhan. [1]

Kapan Qodariyah muncul masih di diperdebatkan. Menurut ahmad amin, ada


ahli teologi yang mengatakan bahwa Qodariyah pertama kali dimunculkan oleh
ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat
dipercaya dan pernah berguru pada hasan al;basri. Adapun ghilan adalah seorang
orator yang berasal dari damaskus dan ayahnya menjadi maula usman bin affan.

Ibnu nabatah dalam kitabnya syarah al-uyun, seperti dikutip ahmad amin,
memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham qodariyah
adalah orang irak yang semula beragama kristen kemudian masuk islam dan balik lagi
keagama kristen. Dari orang inilah, ma’bad dan ghailan mengambil faham ini.

Berkaitan dengan pertama kalinya qodariyah muncul, ada buktinya bila


meninjau kembali pendapat ahmad amin yang menyatakan kesulitan untuk
menentukannya. Para peneliti sebelumnyapun belum sepakat mengenai hal ini
karena penganut qodariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di irak dengan
bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian hasan al-basri. Pendapat ini dikuatkan
oleh ibn nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini
adalah seorang kristen dari irak yang telah masuk islam. Pendapatnya itu diambil oleh
ma’baddan ghailan. Sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di damaskus.
Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang kristen yang banyak dipekerjakan di
istana-istana khalifah[2].

Faham qodariyah mendapat tentangan keras dari umat islam ketika itu. Ada
beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti
pndapat harun nasution, karena masyarakat arab sebelum islam kelihatannya
dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan
jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah terhadap keganasan alam,
panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa
dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh
alam sekelilingnya. Faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama islam.
Kerena itu, ketika faham qodariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya.
Faham qodariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin islam.

Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan itu sngat mungkin
terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah. Ada
kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham qodariyah
sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada
gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai
dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.

2. Jabariyah

a) Asal-usul pertumbuhan jabariyah

Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam al-
munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, allah
mempunyai sifat al-jabbar, itu artinya allah maha memaksa. Asy-syahratsan
menegaskan bahwa faham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam
arti yang sesungguhnya dan menyandarkanya kepada allah.[3]

Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan


terpaksa. Faham al-jabar pertama kali diperkanalkan oleh ja’d bin dirham kemudian
disebarkan oleh jahm bin shafwan dari khurasan. Dalam sejarah teologi islam, jahm
tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia
adalah sekertaris suraih bin al-haris dan selalu menemuinya dalam gerakan melawan
kekuasaan melawan bani umayah. Namun dalam perkembangannya, faham al-jabar
juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya al-husain bin muhammad an-
najjar dan ja’d bin dirrar.

Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh
tersebut. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini.
a. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah
takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut,
agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai
takdir.

b. Khalifah umar bin khaththab pernah menangkap seseorang yang ketahuan


mencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “tuhan telah menentukan aku
mencuri”. Mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang itu
telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis
hukuman kepada pencuri itu, pertama, hukuman potong tangan karena mencuri.
Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan.

Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal
periode islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola fikir atau aliran-aliran yang
dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan
daulah bani umayah, yakni oleh kedua tokoh tersebut.

B. Ajaran-ajaran qodariyah dan jabariyah

1. Doktrin-doktrin qodariyah

Harun nasution menjelaskan bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya.


Menusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan
manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas
kemauan dan daya. Salah seorang pemuka qodariyah yang lain, an-nazzam,
mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia
mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.

Dari penjelasan tersebut dapat difahami bahwa doktrin qodariyah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik perbuatan baik ataupun perbuatan jahat. Oleh karena itu ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan jaga berhak pula
memperolehhukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang
diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa
dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan
oleh takdir tuhan.

Faham takdir dalam pandangan qodariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang
umum dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu.Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia
hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak zaman azali terhadap dirinya.
Dalam faham qodariyah, takdir itu adalah ketentuan allah yang di ciptakan-Nya bagi alam
semesta beserta seluruh isinya,sejak azali,yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah
sunatullah.

Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat di
ubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain,kecuali mengikuti hukum
alam. Misalnya, manusia di takdirkan oleh Tuhan tidak memiliki sirip seperti ikan yang
mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga, manusia tidak mempunyai kekuatan
seperti gajah yang mampu membawa barang beratus kilogram, dan lain-lain. Akan tetapi,
manusia di takdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh
lainnya dapat berlatih sehingga dapat terampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang
kreatif dan anggota tubuh yang dapatdilatih terampil, manusia dapat meniru apa yang di
miliki ikan sehingga dia dapat juga berenang di laut lepas. Demikian juga, manusia dapat
membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa
gajah, bahkan lebih dari itu. Di sinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang
dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana
kebebasan yang dimiliki manusia? Siapa dapat membatasi daya imajinasi manusia? Atau
dengan pertanyaan lain, dimana batas akhir kreatifitas manusia?.

2. Doktrin-doktrin jabariyah

Menurut asy-syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, ekstrim


dan moderat. Di antara doktrin jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri,
tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri,
perbuatan mencuri bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha
dan qadar tuhan yang menghendaki demikian.

Doktrin ja’d secara umum sama dengan pikiran al-ghuraby menjelaskannya sebagai
berikut.

1. Al-qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru iru tidak
dapat disifatkan kepada allah.

2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk. Seperti berbicara, melihat,
dan mendengar.

3. Manusia terpaksa oleh allah dalam segala-galanya.

Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi
manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa manusia dalam paham jabariyah adalah
sangat lemah, tak berdaya, terikat dengankekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tidak
mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagainama dimiliki oleh paham qodariyah.
Seluruh dindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari aturan , skenario dan
kehendak tuhan. Segala akibat baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan allah.[4]

An-najjar mengatakan bahwa tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi


manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
Dengan demikian, manusia dalam pandangan an-najjar tidak lagi seperti wayang yang
gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan tuhan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

C. Konsep indeterminisme dalam ajaran qodariyah

Tentang apakah pada diri manusia itu terdapat kemampuan daya ikhtiar atau tidak,
maka lahir firqoh Qodaruyah dan firqoh jabariyah. Qodariyah sebagai indeterminisme
tioligsi,menurutnya manusia mempunyai kebebasan menentukan nasibnya sendiri atau bebas
untuk berbuat.

D. Ciri-ciri corak pemikiran faham qodariyah dan jabariyah

a) Ciri-ciri corak pemikiran faham Qodariyah

Faham qodariah memiliki cirri-ciri tertentu, yaitu :

1) Mereka meyakini bahwa mereka berkuasa atas segala perbuatan-perbuatannya;


manusia yang melakukan, baik atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia
pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan
dayanya.

2) Paham takdir dalam pandangan qodariah bukan dalam pengertian takdir yang umum
dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia
hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak zaman azali terhadap
dirinya. Dalam paham qodariah, takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya
berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak azali.
b) Sedangkan cirri-ciri khas yang ada dalam paham Jabariyah

1) Sebaliknya, jika qodariah memiliki paham bahwa yang mereka lakukan adalah atas
kehendaknya, paham jabariah meyakini bahwa segala perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya atau dikenal dengan istilahpredestination.[5]

E. Pengaruh ajaran Qodariah dan Jabariahbagi umat islam

Paham Jabariayah dan Qadariyah dua aliran yang kelihatannya sangat berlawanan, Jabariyah

menghilangkan usaha manusia, sedangkan Qadariyah menghilangkan campur tangan Tuhan dalam

urusan manusia, akan tetapi pada prinsipnya tidak seorangpun yang bisa mengamalkan seratus persen

salah satu aliran tersebut, sebab dalam sejarahnya orang yang paling Jabariah seperti sahabat Rasul

yang konsen hidup di masjidpun mengeluh tentang kehidupan mereka, begitu pula orang yang sangat

percaya akan kemampuannya sendiri seperti Firaun juga harus bersikap pasrah ketika terdesak oleh

keadaan pada saat itu berupa ditenggelamkan dalam laut sehingga di meminta pertolongan Tuhan.

Sehingga sebagai manusia yang punya keterbatasan sebaiknya mengakomodir kedua aliran

tersebut dengan cara mengambil jalan tengah seperti halnya aliran Maturidiyah, yaitu berusaha

sambil berdoa.Meskipun demikian apapun pilihan manusia terhadap kedua aliran tersebut

mempunyai kelebihan dan kekurangan bagi penganut Jabariah mereka akan kenyang dengan

kebahagian dan kesejehteraan rohani, sedangkan Qadariyah akan sejahtera Jasmani.[6]

BAB III

KESIMPULAN

Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya.

Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan

bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Paham

Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm bin
Safwan mewakili kelompok eksterim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar bin ‘Amr mewakii kelompok

moderat. Dalam perkembangannya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berintegrasi dengan

paham Asy'ariyah.

Qadariyah adalah salah satu paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan

perbuatannya, memiliki kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan

dayanya sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau siksa. Namun

demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan perbuatan-per-buatannya,

Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya hukum alam (sunatullah), dan tak dapat disangkal lagi

bahwa hukum alam itu adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan,

Aliran baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling

bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-Qur'an. Hal ini menunjukkan betapa

terbukanya kemungkinan pebedaan pendapat dalam Islam.

Jabariyah dan Qadariyah pada masa kini tidak lagi berwujub sebagai aliran yang mempunyai

pengikut setia dan menyebut diri mereka sebagai pengikut aliran tersebut, akan tetapi bila dilihat dari

segi paham yang dianut oleh masyarakat Islam saat ini, Jabariyah dan Qadariyah masih banyak di

praktikkan.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2001. Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, Jakarta: raja grafindo.

Rozak, Abdul, Anwar,Rosihon. 2001. Ilmu kalam, Bandung: Pustaka Setia.

Rozak, Abdul, Anwar,Rosihon. 2012. Ilmu kalam, Bandung: Pustaka Setia.

Thohir Abdul Mu’in, Taib . 1984. Ilmu kalam, Jakarta: Widjaya.


[1] Abdul rozak, Rosihon anwar, ilmu kalam, (bandung: pustaka setia, 2001), hal.63

[2] Ibid. hal. 70

[3] M. Taib Thohir Abdul Mu’in, ilmu kalam, (Jakarta: Widjaya, 1984), hal.238

[4] Abuddin Nata, MA. Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, (jakarta: raja grafindo, 2001), hal.41

[5] Abdul rozak, Rosihon anwar, ilmu kalam, (bandung: pustaka setia, 2012), hal.81-83

Anda mungkin juga menyukai